SOCIAL MEDIA

search

Thursday, September 26, 2013

Sharon Corr: The Same Sun

Hmm, pokoknya saya bikin review album baru Sharon Corr! Ngaku-ngaku musik sebagai salah satu passion kok tulisan di blog soal musik cuma ada dua :(.

Tipe-tipe musik seperti album Sharon Corr ini memang selalu menjadi favorit saya sepanjang masa. Lagu-lagu pop akustik dengan vokal yang santai… hmm, serasa menghirup udara pegunungan :). Musisi lain dengan karakter yang mirip, yang juga selalu saya tunggu musiknya adalah Marit Larsen, Marion Raven, The Corrs sendiri. Sara Bareilles dan Christina Perri juga pas di telinga saya, meskipun tidak semerdu yang saya sebutkan sebelumnya menurut pendapat pribadi saya. Kalau dipikir-pikir, artis favorit saya terkesan kurang populer ya… Kalau menurut saya sih, musisi-musisi ini memang mempertahankan idealismenya masing-masing. Membuat musik untuk kepuasan batin, bukan untuk tujuan komersil semata. Jadi ya keep it going, terus menciptakan musik tanpa ada beban popularisme, cool right?

Dan sejak tahu berita album baru Sharon Corr bertajuk ‘The Same Sun’ akan release di Brazil pada 16 September 2013 lalu, setiap hari, setiap ada kesempatan, saya pasti langsung browsing dimana saya bisa mendapatkan album itu. Tapi, ternyata album ini memang kurang populer, sehingga sulit dicari! Baru Selasa pagi 24 September lalu, ketika menyempatkan online sebelum bersiap-siap ke kantor, saya menemukannya di i-Tunes Store Indonesia… Yuhuu! Kuota modem masih mencukupi, harganya juga tidak terlalu mahal (49 ribu saja), langsung deh semangat download album ini :D. Dan selama dua hari, saya masih asyik menikmati lagu-lagu sambil mengerjakan tugas kantor.

Cover Album ‘The Same Sun’
Gambar dari sini

Lagu-lagu di album The Same Sun yang mendayu-dayu, slow dan santai benar-benar membuat saya jatuh cinta. Album ini berisi 11 lagu, dan saya menyukai semuanya… meskipun ada beberapa yang menjadi favorit saya; sebut saja ‘Raindorps’, ‘Take a Minute’, ‘You Say’, ‘Thinking About You’ dan ‘Christmas Night’. Dibandingkan album Sharon sebelumnya; ‘Dream Of You’, Under The Same Sun ini lebih banyak menonjolkan piano dan gitar. Biola sebagai instrument Sharon dalam The Corrs tentu tidak ditinggalkan, namun tidak terlalu kuat seperti album sebelumnya. Dalam album ini juga tidak ada menyelipkan track lagu instrumental yang dengan jelas mengeksplor kemampuan Sharon sebagai seorang violist; tapi itu sama sekali tidak mengurangi keindahan album ini. Bahkan menurut saya, album ini lebih enak didengar dibandingkan ‘Dream Of You’.

Wednesday, September 25, 2013

Serba Serbi Cooking Oil

Baru kemarin menyelesaikan satu post untuk blog ini berjudul ‘Luigi’sPasta’, tapi di luar kebiasaan, malam ini saya kembali berkutat dengan laptop untuk membuat tulisan ini; ‘Serba Serbi Cooking Oil’. Biasanya sih, saya memberikan jeda kurang lebih seminggu untuk post berikutnya dengan alasan mencari ide, bahan dan waktu tentu saja, hehe :D. Tapi, kali ini spesial deh, sebagai bentuk tanggung-jawab saya telah menciptakan obrolan panjang beberapa teman di Grup KEB seputar minyak zaitun untuk memasak. Jujur, awalnya saya tidak menyadari lho jika tidak semua minyak itu bisa dipakai untuk menumis atau menggoreng. Baru setelah mendapat komentar bahwa minyak zaitun tidak bisa dipanaskan dalam suhu tinggi, saya kemudian googling untuk mencari tahu lebih lanjut. Dan berikut adalah pengetahuan (baru) yang saya dapatkan mengenai ‘Minyak Goreng’ atau ‘Cooking Oil’…

Cooking oil yang didefinisikan sebagai tanaman, hewan atau lemak sintetis yang digunakan untuk menggoreng, memanggang dan berbagai teknik memasak lainnya; termasuk juga yang digunakan dalam penyiapan makanan dan pewarnaan yang tidak menggunakan pemanasan seperti salad dressing. Tipenya sendiri bermacam-macam; seperti minyak zaitun, minyak kelapa, minyak kedelai, minyak canola (rapeseed/lobak), minyak biji labu (pumpkin seed), minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak safflower, minyak kacang tanah, minyak biji anggur, minyak wijen, minyak argan, minyak dedak padi (rice bran) dan sebagainya (1).

Jenis-jenis Cooking Oil
Gambar dari sini

Sunday, September 22, 2013

Luigi's Pasta

Sarapan pagi Ganesh itu adalah prerogative saya :D. Kenapa demikian? Karena hanya di pagi harilah kesempatan saya untuk bisa memasak untuk Ganesh, karena di waktu lain, dari Senin sampai Jumat, saya sudah pasti di kantor seharian. Memasak sarapan untuk Ganesh itu gampang-gampang-susah, karena harus dibuat se-praktis mungkin tanpa mengesampingkan aspek nutrisi dan rasa tentunya.

Seperti menu kali ini, Luigi’s Pasta… Basically ini adalah pasta biasa, atau mungkin malah pasta yang tidak standard karena tidak mengikuti pakem masakan pasta yang ada. Tapi, Ganesh suka! Dan bahkan suami saya bilang kalo rasanya enak! Yah, harus tapi disamping pengakuan akan rasa pasta sederhana ini, saya pribadi menyadari kelemahan pasta ini terletak pada penyajian; dimana dia hanya enak selagi hangat. Kalau sudah dingin, hmm, perlu kembali dipanaskan dengan ditambahkan air, yang tentu saja merusak lebih banyak nutrisi di dalamnya ya…

Penampakan Luigi’s Pasta

OK, sebelum mencoba memasaknya, mungkin nama Luigi’s Pasta sedikit membuat penasaran pembaca tulisan ini ya… Hehe, ini adalah salah satu metode saya untuk mendongkrak semangat makan Ganesh :D. Sederet nama keren makan pagi Ganesh seringkali tercipta secara spontan yang terbukti ampuh membuatnya menghabiskan makan paginya dengan lebih cepat; sebut saja Tofu dari Jepang, Nasi Keriting, Jagung Kukus dari Ladang Mater dan yang terakhir Pasta Luigi! Terdengar seperti me-mark-up makanan biasa dengan nama yang luar biasa ya :D. Kami berdua sendiri sangat menikmati story telling semacam ini dalam berbagai kesempatan, termasuk pada saat makan. Pada banyak kesempatan memang saya sengaja memancing Ganesh untuk memperhatikan adanya kemiripan antara cerita yang diketahuinya dengan pengalaman yang dilihatnya. Bagi saya ini bagian dari usaha sederhana untuk menajamkan kognisi Ganesh, agar menjadi lebih kritis dalam mengamati sesuatu.

Sunday, September 15, 2013

Jamu Indonesia: Mengangkat Mutiara dalam Lumpur

‘Jamu’, walaupun kebanyakan bercita-rasa pahit, tapi saya tetap setia padanya sampai saat ini. Kecintaan saya pada Jamu, dimulai sejak masih kecil dimana saya begitu akrab dengan Jamu ‘Beras Kencur’ dan ‘Kunir Asam’ yang bercita-rasa manis. Kemudian, menginjak remaja ibu mengenalkan saya dengan Jamu sehabis datang bulan serta Jamu bersih darah untuk mengurangi jerawat yang rutin saya minum. Dan beberapa tahun setelah masa itu, saya pun berkenalan juga dengan jamu sehabis melahirkan yang kali ini sudah dikemas secara modern. Alasan saya setia pada Jamu cukup sederhana; yaitu karena Jamu adalah solusi akan kekurangsukaan saya pada obat yang mengandung senyawa kimia buatan yang menurut keyakinan saya memiliki dampak negatif dibalik efek menyembuhkannya. Itulah alasan kenapa saya lebih suka menggunakan Jamu sebagai salah satu alternatif untuk menjaga kesehatan dibandingkan obat yang banyak beredar.

Dulu, saya biasa menikmati Jamu dalam bentuk racikan segar yang dibeli di pasar tradisional dekat rumah. Sekarang, kita dapat dengan mudah menemukan Jamu dalam kemasan modern yang nota bene sudah pasti lebih praktis karena mudah didapatkan, lebih tahan lama dan lebih mudah dikonsumsi. Hal ini merupakan angin segar yang menandakan bahwa Jamu Indonesia mulai diakui eksistensinya di ranah nasional, meskipun saya merasa bahwa popularitasnya masih kurang dibandingkan Obat Tradisional dari Cina. Pendapat ini didasarkan pada pengamatan saya sebagai seorang yang awam dalam dunia Jamu dan Obat Herbal, yang melihat bagaimana Obat Herbal Cina dipasarkan secara lebih profesional dibandingkan Jamu Indonesia. Tahun 2005 pada saat ayah mengalami stroke adalah pengalaman pertama saya berkunjung ke Toko Obat Herbal Cina, yang jelas berbeda jauh jika dibandingkan Toko Jamu yang pernah saya tahu. Di Toko Obat Herbal Cina, saya melihat bahan-bahan obat berjajar rapi beserta labelnya dan dikelola oleh seorang yang sangat memahami obat-obat yang dijualnya, sebagaimana seorang apoteker. Kenyataan ini membuat saya bertanya-tanya, apakah hal ini disebabkan oleh khasiat Obat Herbal Cina yang memang lebih baik dari Jamu Indonesia; ataukah kita yang kurang memberikan perhatian pada Jamu Indonesia, sehingga potensi yang ada tidak terasah sebagaimana mestinya.

Gambaran Toko Obat Herbal Cina
Gambar diambil disini [1] 

Sebenarnya apa sih ‘Jamu’? Pertanyaan itu kemudian terlintas di kepala saya pada saat memikirkan mengenai nasib Jamu Indonesia. Kita tentu familiar dengan berbagai racikan Jamu; seperti Jamu Beras Kencur, Cabe Puyang, Kunir Asam atau Paitan [2]; yang memiliki komposisi dan cara pembuatan baku. Selain itu, kita juga mengenal berbagai racikan non-tradisional yang didasarkan pada pengalaman tradisional akan khasiatnya; misalnya conditioner yang 100% berbahan dasar herbal diantaranya urang-aring yang dipercaya berkhasiat untuk menghitamkan rambut dan minyak zaitun yang melembutkan. Apakah keduanya adalah Jamu? Merujuk pada definisi yang digunakan pada Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.00.05.41.13843; disebutkan bahwa Jamu adalah obat tradisional Indonesia, sedangkan Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sarian atau campurannya yang digunakan secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Jadi, berdasarkan definisi tersebut, maka kedua contoh yang saya sebutkan di atas dapat disebut Jamu, yaitu obat tradisional Indonesia, baik yang berasal dari resep tradisional, maupun resep modern yang didasarkan pada pengalaman tradisional mengenai khasiat bahannya.

Jamu sebagai obat tradisional Indonesia sesungguhnya sudah menarik perhatian ilmuan Eropa Jacob de Bondt pada awal abad tujuh belas. Selanjutnya, sebuah buku mengenai obat tradisional Indonesia berjudul ‘Herbaria Amboinesis’ juga diterbitkan oleh Rumphius yang bekerja di Ambon pada awal abad delapan belas. Pada tahun-tahun berikutnya pun jamu mampu menarik lebih banyak ilmuan dari luar negeri lain, meskipun ilmuan Indonesia sendiri justru tidak terlalu tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Jamu4. Sampai pada tahun 1940, diadakan seminar pertama mengenai Jamu di Solo, pembentukan organisasi Jamu pada tahun 1944 dan seminar kedua pada tahun 19665. Hingga pada era tahun 2000an, lebih banyak ditemukan penelitian Ilmuan Indonesia mengenai manfaat Jamu, seperti yang dilakukan oleh Rosita dkk. (2003) yang membuktikan bahwa Jamu ‘Galohgor’ secara empirik dapat mempercepat pengeluaran darah nifas dan pemulihan pasca persalinan6. Penelitian mengenai efektivitas Kepel sebagai oral deodorant oleh Darusman dkk. (2011) 7. Serta daftar panjang penelitian berkaitan dengan Jamu Indonesia yang dapat dilihat pada situs Biopharmaca Research Center (BRC)8.

Bahan Jamu Indonesia
Indonesia sebagai negara dengan kekayaan hayati yang luar biasa
menyimpan potensi yang luar biasa akan obat herbal
gambar diambil disini [9] 

Khasiat Jamu, sesungguhnya tidak kalah jika dibandingkan dengan obat tradisional Cina atau India yang lebih terkenal di dunia. Time World menyebutkan dalam artikelnya bahwa pada tahun 1990, Susan Jane-Beers seorang jurnalis Irlandia melalui karyanya ‘Jamu: The Ancient Art of Herbal Healing’ mengungkap seluk beluk Jamu setelah merasakan sendiri khasiat Jamu dalam menembuhkan sakit lutut kronis yang dideritanya yang tidak dapat disembuhkan oleh pengobatan konvensional10. Khasiat Jamu Indonesia dalam menyembuhkan kanker pun telah dibuktikan oleh penelitian Virginia Tech’s Department of Food Science and Technology yang menemukan bahwa Sirsak memiliki khasiat menghambat pertumbuhan kanker payudara pada manusia. Penelitian lain yang lebih up-to-date juga dilakukan oleh Keller & Nugraha (2011) yang menyajikan data berbagai bahan obat tradisional Indonesia sebagai terapi pada penyakit berat seperti herpes, malaria, dan sebagainya11. Berdasarkan dua fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Jamu Indonesia memiliki kemampuan menyembuhkan yang luar biasa dan memerlukan lebih banyak penelitian intensif untuk mengungkap lebih banyak potensi lainnya.

Selain belum banyaknya penelitian yang memberikan fakta empirik mengenai manfaat Jamu dalam menyembuhkan berbagai penyakit; kenyataan bahwa di Indonesia sendiri Jamu lebih banyak digunakan sebagai penjaga kesehatan, stamina dan kecantikan juga menjadi faktor penghambat kenapa Jamu kurang populer dibandingkan Obat Herbal Cina5. Hal ini menandakan perlunya promosi yang lebih intensif pada masyarakat sebagai konsumen mengenai manfaat Jamu sebagai alternatif penyembuh. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa Jamu memiliki khasiat menyembuhkan yang luar biasa, tidak kalah dengan Obat Herbal Cina (misalnya), sekaligus dengan resiko efek samping jangka panjang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan obat konvensional yang mengandung berbagai senyawa sintetis.

Penjual Jamu Menyajikan kepada Costumer
Jamu lebih populer sebagai penjaga stamina di Indonesia
Gambar diambil disini [10] 

Strategi promosi lain untuk meningkatkan image Jamu sebagai kekayaan heritage Indonesia adalah melalui sektor pariwisata, karena sesungguhnya sesuatu yang sifatnya tradisional memiliki daya tarik yang kuat bagi wisatawan, terutama dari luar negeri. Kita tentu sudah familiar dengan istilah ‘Desa Wisata’; suatu tempat dimana pengunjung akan menemui dan dapat berinteraksi secara langsung dengan struktur tradisi yang ada di suatu wilayah. Bayangkan jika kita membangun semacam ‘Desa Wisata Jamu’, suatu lokasi dimana kita menyajikan informasi mengenai Jamu dengan lebih hidup. Suatu tempat dimana seorang wisatawan dapat melihat secara langsung apa itu ‘empon-empon’ dengan tour guide yang menjelaskan tentang khasiatnya, kemudian disodorkan dengan teknik pembuatan dan peracikan jamu dan di akhir sesi dapat menikmati sajian Jamu sekaligus spa tradisional serta membeli souvenir berkaitan dengan Jamu. Bayangkan juga jika setiap wilayah di Indonesia dengan tradisi Jamu-nya masing-masing memiliki daerah wisata semacam ini, tentu akan sangat menarik bagi para wisatawan bukan? Disatu sisi kita melestarikan Jamu dan meningkatkan pamor Jamu Indonesia sekaligus mendongkrak sektor pariwisata. 

Tantangan selanjutnya untuk mampu mengangkat Jamu Indonesia adalah bagaimana supaya dapat memenuhi standard pabrikasi internasional, sebagaimana dijelaskan oleh Charles Saerang10, ketua umum Asosiasi Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu) tahun 2011-2015. Hal ini menyebabkan banyak pengusaha mensiasatinya dengan membeli bahan baku Jamu dari Indonesia, mengolahnya di India dan Malaysia dan menjualnya di Inggris, dimana menghilangkan kesempatan Indonesia untuk mempromosikan brand Jamu di dunia karena diambil alih oleh pihak ketiga.

Berdasarkan ulasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya terdapat tiga hal penting untuk dapat melestarikan dan mengangkat Jamu Indonesia ke ranah internasional. Pertama, diperlukan adanya penelitian yang komprehensif baik dari sisi arkeologis untuk mendata obat-obat tradisional yang ada di Indonesia, maupun dari sisi biologis untuk mampu memberikan bukti empirik akan khasiat obat-obat tradisional tersebut. Kedua, diperlukan adanya promosi atau sosialisasi yang memadai supaya informasi mengenai potensi Jamu Indonesia sebagai penyembuh dengan berbagai kelebihannya diketahui oleh masyarakat luas. Dan ketiga adalah menyiapkan produsen Jamu dalam negeri supaya mampu memproduksi Jamu Indonesia sesuai standard pabrikasi internasional, sehingga kita tidak perlu kehilangan brand Jamu di ranah internasional. Jika ketiga hal tersebut dilakukan, saya yakin bahwa Jamu Indonesia akan mampu sejajar dengan Obat Tradisional Cina maupun India dan ibarat mutiara yang terbenam dalam lumpur, perlahan-lahan Jamu Indonesia akan terlihat kilaunya.

With Love,
Nian Astiningrum
-end-


Referensi:

  1. Kapanlagi.com. 2013. Toko Obat Cina (Sinshe) di Surabaya. http://travel.kapanlagi.com/artikel/kesehatan/213-toko-obat-cina-sinshe-di-surabaya.html. Diakses tanggal 13 September 2013. 
  2. Riswan, S. & Sangat-Rumantyo, H. 2002. Jamu as Traditional Medicine in Java, Indonesia. http://cpi.kagoshima-u.ac.jp/publications/southpacificstudies/sps/sps23-1/SouthPacificStudies23%281%29pp1-10.pdf. Diakses tanggal 14 September 2013. 
  3. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.41.1384 Tahun 2005 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. http://www2.pom.go.id/public/hukum_perundangan/pdf/KRITCARA%20PENDAFT.OT.pdf. Diakses tanggal 13 September 2013. 
  4. Wikipedia. 2013. Jamu. http://en.wikipedia.org/wiki/Jamu. Diakses tanggal 13 September 2013. 
  5. Joglosemar. 2013. Jamu (Traditional Herbal Medicine) and Traditional Cosmetics. http://www.joglosemar.co.id/jamu.html. Diakses tanggal 13 September 2013. 
  6. Roosita K., Kusumorini, N., Manalu, W. dan Kusharto C.M. 2003. Efek Jamu Bersalin Galohgor terhadap Involusi Uterus dan Gambaran Darah Tikus (Rattus sp). Media Gizi & Keluarga, 27 (2), 52-57. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54115/jurnsl%20gizi.pdf?sequence=1/. Diakses tanggal 14 September 2013. 
  7. Darusman, H.S., Rahminiwati, M., Sadiah, S., Batubara, I., Darusman, L.K. & Mitsunaga, T. 2012. Indonesian Kepel Fruit (Stelechocarpus burahol) as Oral Deodorant. Research Journal of Medical Plant, 6 (2): 180-18. http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/journal/626-indonesian-kepel-fruit-as-oral-deodorant. Diakses tanggal 14 September 2013. 
  8. http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/journal?start=10 
  9. Purbaya, A.A. 2013. Mahasiswa dari 12 Negara Ikuti Festival Jamu Internasional di Semarang. http://health.detik.com/read/2013/09/14/100528/2358705/763/mahasiswa-dari-12-negara-ikuti-festival-jamu-internasional-di-semarang?991104topnews. Diakses tanggal 15 September 2013. 
  10. Neubauer, IL. 2012. Jamu: Why Isn’t Indonesia’s Ancient System of Herbal Healing Better Known? http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2107489,00.html. Diakses tanggal 14 September 2013. 
  11. Keller, P.A. & Nugraha, A.S. 2011. Revealing Indigenous Indonesian Traditional Medicine: Anti-Infective Agents. Natural Product Communications, 6 (12), 1953-1966. http://ro.uow.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=6393&context=scipapers. Diakses tanggal 14 September 2013. 

Thursday, September 12, 2013

Bersih-Bersih Bunker!

Walaupun sudah bekerja di PLTU ini selama kurang lebih 5 tahun, hanya sekali saya menyambangi lokasi yang bernama ‘bunker’ alias tempat menyimpan batubara untuk operasional unit. Saya sih tidak merasa terlalu bersalah, karena memang pekerjaan saya di bagian HR tidak berhubungan dengan si bunker ini dan lagi lokasinya yang jauh di belakang membuat saya semakin tidak punya alasan untuk melewatinya :D

Kenyataannya, lokasi yang seringkali terlupakan ini ternyata membutuhkan perhatian khusus saat, khususnya masalah kebersihan. Meskipun sudah bekerjasama dengan pihak ketiga untuk penanganan masalah kebersihan ini, tapi tidak ada salahnya bukan kita memberikan perhatian lebih; disaat ternyata SOP (Standard Operating Procedure) pembersihan yang sudah dilaksanakan masih meninggalkan kotoran yang menumpuk dari waktu ke waktu. Singkat cerita, mari kita kerjakan Jum’at ini! Dan seperti biasa, saya kebagian buat pengumumannya…

Pengumuman Jumat Bersih
Tanggal 13 September 2013
Program yg digunakan: Microsoft Publisher; CollorZilla
Gambar: http://fc06.deviantart.net/fs28/f/2008/045/9/0/Dark_Room_by_ikiz.jpg
Fonts: Lobster Two; Anagram; Broadway; Comfortaa; Victorian LET 

Hmm, gambar di atas adalah desain akhir yang digunakan… Awalnya sebenarnya saya menggunakan warna gelap untuk background, karena lebih pas untuk ‘gambar seseorang yang sedang memasuki ruangan gelap’; namun lagi-lagi karena permasalahan tinta printer yang menipis dan discontinued, akhirnya saya ubah menjadi warna di atas. Desain awal pengumuman adalah sebagai berikut:

Desain Awal Pengumuman Jumat Bersih 
Untuk kedua desain tersebut, saya menggunakan kombinasi warna sebagai berikut:


Nature Palette by Design-Seeds

Mosaic Tones By Design-Seeds

Hmm, dari hasil desain amatir kali ini, walaupun awalnya lebih menyukai warna gelap untuk background; akhirnya saya tidak bisa memilih mana yang lebih bagus dari keduanya. Menurut saya, keduanya mempunyai aura yang berbeda; desain awal terkesan lebih serius, sedang desain kedua terkesan lebih segar. Bagaimana menurut teman-teman?

With Love,
Nian Astiningrum
-end- 

Monday, September 9, 2013

Ganesha’s Potty Time ;)

Ganesh   : “Mama, Ganesh ada pipisnya…”
Saya       : “Oh iya, ayo ke kamar mandi Ganesh…" (sambil menggendong Ganesh ke kamar mandi).
Ganesh   : “Cepet mama… Kebulu kelua, kebulu kelua…”

Itulah cara Ganesh mengatakan pada kami kalau dia ingin pipis di kamar mandi; sedikit heboh dan menyenangkan tentunya. Betapa tidak, sebelum memulai toilet training Ganesh, saya sudah membayangkan bahwa hal ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan ‘penuh pengorbanan’ (baca: kurang tidur dan tempat tidur bau ompol). Termyata, setelah melakukannya pada 23 Juni 2013 lalu, sehari sebelum ulang-tahun Ganesh yang kedua; segala ketakutan saya tidak menjadi kenyataan dan perlahan-lahan dengan ritme yang cukup cepat Ganesh mulai mengerti dan terbiasa untuk pipis di kamar mandi dan semakin jarang pipis di celana. Sampai-sampai saya terheran-heran pada saat mudik Lebaran dari Tanjung Enim – Jogja yang memakan waktu dua hari satu malam, Ganesh berhasil melaluinya tanpa pipis di celana! Padahal awalnya sempat ragu, apakah akan kembali memakaikan diapers atau mencoba melanjutkan toilet training berbekal enam buah training pants… 


Ganesh dengan Training Pants-nya
Setelah pipis di rumah makan saat mudik

Sampai saat ini, belum sepenuhnya Ganesh bisa selalu ‘kering’ sih; terkadang ada kalanya dia terlambat bilang dan sudah pipis duluan. Pada malam hari juga, dia masih harus dibangunkan untuk pipis pada jam tertentu. Tapi, bagi saya bagaimana Ganesh memahami bahwa dia harus pipis di kamar mandi setelah melalui kurang lebih sebulan masa belajar itu prestasi tersendiri bagi saya, dan berikut pengalaman kami dalam proses tersebut :)