SOCIAL MEDIA

search

Monday, March 9, 2015

Drama Psikologis Pasca Melahirkan

Pada posting-an sebelumnya, ‘Drama Fisiologis Pasca Melahirkan’, saya menceritakan pengalaman tentang ketidaknyamanan fisik yang terjadi sehabis melahirkan. Yaitu ketidaknyamanan sebagai akibat dari proses melahirkan dan proses tubuh untuk menulihkan diri (mengembalikan rahim ke ukuran semula) dan menyiapkan diri untuk mendukung kehidupan bayi kita (memproduksi ASI). Nah, selain tantangan fisik tersebut, banyak juga wanita yang mengalami tantangan psikis yang disebut sebagai baby blues atau post partum blues, yang membuat para ibu dari bayi baru menjadi larut dalam berbagai perasaan negatif (seperti sedih, kecewa, menyesal, dan sebagainya).

Jadi, apakah Anda merasakan kesedihan yang mendalam, depresi dan frustrasi dengan kehidupan Anda saat ini? Merasa powerless (tidak berdaya) dan putus asa? Ataupun perasaan-perasaan negatif lainnya pasca melahirkan? Jika ‘ya’, maka Anda memang sedang mengalami apa yang disebut sebagai baby blues.


Kedengarannya memang tidak masuk akal bukan? Bahwa pada saat yang begitu ditunggu-tunggu untuk bertemu dengan 'si kecil' yang tumbuh di dalam rahim kita selama kurang lebih 9 bulan, kita justru mengalami berbagai perasaan negatif tersebut. Bagaimanapun, bayi Anda adalah sebuah anugerah bukan, tidak layak rasanya kita merasa beratdan tidak nyaman karena keberadaannya. Dan itulah yang kadang membuat kita semakin bingung, merasa bersalah maupun bersikeras menolak/tidak mengakui perasaan negatif tersebut.

Memang tidak semua wanita mengalami baby blues, tapi bukan berarti wanita yang mengalaminya adalah seorang yang lemah, karena semua itu tergantung pada kepribadian masing-masing individu dan dukungan lingkungan yang didapatkannya. Dan faktanya, menurut babycenter, sekitar 80% wanita mengalami baby blues setelah melahirkan! Sebuah kondisi yang wajar, karena pasca melahirkan akan ada banyak tantangan yang dihadapi wanita pada saat yang bersamaan; mulai dari pemulihan fisik pasca bersalin, tuntutan peran baru yang membuat seorang ibu baru kehilangan waktu istirahat untuk merawat bayinya, kurang pengetahuan dalam merawat bayi, dan banyak lagi. Sangat wajar jika tekanan yang bertubi-tubi itu membuat seorang ibu baru merasa depresi, apalagi ditambah dengan perubahan hormonal besar-besaran dalam tubuh kita pasca melahirkan yang juga mempengaruhi mood. Jadi, sekali lagi, jika Anda mengalaminya, itu sama sekali bukan kegagalan kita sebagai seorang ibu atau wanita.

Saya pun mengalami baby blues, bukan hanya sekali, tapi pada dua kali pasca persalinan saya. Iya, beberapa hari pasca bersalin, tepatnya setelah kembali ke rumah berbagai perasaan negatif mulai menyapa saya. “Lah, kok bisa, kan sudah pengalaman satu kali melahirkan… Masa masih baby blues juga?” Lucu mungkin ya, tapi itulah yang terjadi, meskipun sudah berpengalaman, tetap saja saya baby blues. Jujur, saya pun tidak memprediksi hal ini sebelumnya.

Pasca persalinan anak pertama, tanpa persiapan pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang hal-hal yang akan terjadi pasca bersalin dan juga mengurus bayi, saya merasakan depresi dengan peran baru saya sebagai seorang ibu. Saya merasa harus bisa melakukan semua keperluan bayi saya dan sebisa menolak bantuan yang ditawarkan, padahal di satu sisi saya belum memiliki kemampuan yang cukup. Bahkan untuk urusan menggendong atau memangku bayi pun saya baru belajar. Dengan kondisi seperti itu, keadaan menjadi sangat stressfull bagi saya, ditambah lagi dengan kondisi fisik pasca melahirkan yang sangat tidak nyaman serta kebingungan dengan kebiasaan/perangai bayi yang sulit ditebak/dikendalikan. Jadilah saya merasa benar-benar tidak berdaya (powerless) menghadapi tuntutan diri saya sendiri, kadang merasa gagal dan tentu saja (sedikit) depresi.

Sedangkan pasca persalinan anak kedua, hal-hal di atas memang tidak lagi menjadi masalah, tapi perubahan peran saya dari ibu beranak satu menjadi ibu beranak dua memberikan andil yang besar dalam tercetusnya baby blues episode kedua ini. Yah, saya memang tidak memperkirakan bahwa kehadiran satu anak lagi akan merubah kestabilan yang sudah ada. Waktu itu, Ganesh (anak pertama kami) tampak belum bisa menerima berkurangnya perhatian yang didapatkannya, sementara semua orang (saya, papa dan pengasuhnya) sibuk dengan urusan masing-masing (urusan bayi, pekerjaan dan tetek bengek rumah tangga). Hal itu ditambah dengan kami yang baru saja pindah rumah sehingga Ganesh kehilangan teman mainnya, semakin membuatnya terlihat tidak nyaman dengan perubahan ini. Ganesh menjadi sulit diatur berkaitan dengan kebiasaan sehari-hari, terlihat bosan di rumah dan bahkan kami pun tidak mampu mengurusnya setelaten dan sesabar dulu. Dan melihat semua itu membuat saya benar-benar sedih; di satu sisi saya ingin memberikan dukungan untuk Ganesh beradaptasi, namun di sisi lain saya pun merasa harus memberikan perhatian penuh pada Mahesh (anak kedua kami).

Lalu, apa yang harus dilakukan saat sedang mengalami baby blues? Menurut pengalaman, hal-hal di bawah ini efektif mengurangi tekanan psikologis dalam diri kita pasca melahirkan:
  1. Curhat. Curhat atau menceritakan perasaan dan permasalahan kita pada orang lain yang kita percaya akan membuat kita merasa lebih lega dan ringan, sekaligus membuat kita mendapatkan sudut pandang yang berbeda dari suatu permasalahan. Dimana kondisi tertekan akan membuat kita cenderung mendramatisir segala sesuatu. Karena pentingnya sesi curhat ini, kita pun harus bijak memilih kepada siapa kita akan menceritakan permasalahan kita, bukan hanya orang yang bisa dipercaya dan peduli agar tidak malahan menimbulkan permasalahan baru, tapi juga memiliki pengalaman dalam permasalahan kita. Misalnya, pada saat mengalami baby blues pertama, selain pada ibu, saya pun memilih untuk curhat pada teman-teman sebaya yang sudah melahirkan lebih dulu. Sedangkan pada saat mengalami baby blues kedua, saya lebih memilih curhat pada teman maupun saudara yang memiliki anak lebih dari satu. Oh ya, skip atau batasi curhat pada orang yang sangat dekat (misalnya suami) jika Anda tipe orang yang merasa bersalah dengan menceritakan permasalahan pribadi.
  2. Katarsis (meredakan ketegangan). Selain curhat sebagai media katarsis, ada banyak cara yang bisa digunakan untuk melepaskan ketegangan; misalnya dengan menulis buku harian, berdialog dengan diri sendiri atau menggunakan Sedona Method. Kita tinggal memilih cara mana yang efektif dan accessible untuk kita. Saya sendiri kala itu, selain curhat memilih cara berdialog dengan diri sendiri sebagai media katarsis. Selain itu, beberapa kali saya merekam dialog tersebut agar bisa didengarkan kembali bila dibutuhkan (jadi semacam buku harian dalam versi suara).
  3. Mengantisipasi kerepotan dengan mengatur jadwal sehari-hari. Ketidakteraturan mengelola waktu dan kegiatan akan membuat kita kurang berdaya, frustrasi dan lelah. Bayangkan keadaan dimana kita belum sempat memompa ASI yang membuat payudara penuh, sementara bayi kita sudah terbangun dan ingin minum ASI, sementara aliran ASI yang terlaku deras akan membuatnya kewalahan dan akhirnya rewel, tentu sebuah situasi yang sangat membuat frustrasi. Maka dari itu alangkah baiknya jika kita segera membaca situasi, menyusun jadwal kegiatan yang harus dilakukan dan melaksanakannya dengan baik.
  4. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Seringkali memang kita merasa bahwa kita adalah satu-satunya orang yang harus melakukan semuanya sendirian. But hey, take it easy, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Merawat bayi memang tanggung-jawab seorang ibu, tapi bukan hanya ibu yang punya tanggung-jawab untuk itu, seorang ayah pun memiliki tanggung-jawab yang sama. Dan lagi bentuk tanggung-jawab pun bukan lantas diwujudkan dengan mengerjakan semua sendirian, meminta bantuan pada keluarga dekat ataupun asisten rumah tangga pun salah satu bentuk pelaksanaan tanggung-jawab kita. Dan perlu diingat bahwa kita meminta bantuan pun supaya dapat tetap menjaga energi positif kita untuk merawat bayi, diri dan orang-orang terdekat kita.
  5. Tekun dan sabar merawat kesehatan diri agar dapat pulih dengan segera. Bagaimanapun juga, ketidaknyamanan fisik akan membuat kita sulit berpikir secara jernih, sehingga meminimalkan hal ini akan membuat kita lebih mudah keluar dari berbagai perasaan dan pikiran negatif.
  6. Berdoa dan percaya bahwa apapun yang terjadi dalam hidup kita adalah kehendak Allah SWT, serta bahwa dibalik semua kesulitan selalu ada hikmah tersendiri.
  7. Tertawa pada diri sendiri dan berkata, "Oh come on, nothing's last forever…" termasuk segala kesulitan yang mungkin hanya akibat dramatisasi dari mood kita yang sedang kacau balau.


Menurut pengalaman dua kali baby blues yang saya alami, tujuh langkah di atas bisa sedikit demi sedikit mengurangi perasaan negatif dalam diri kita. Memang kita instant dan serta merta hilang, namun membutuhkan waktu. Ada kalanya, sore hari setelah kita berdialog dengan diri sendiri, perasaan kita lebih lega. Namun, pagi berikutnya, perasaan negatif itu kembali datang. Jika demikian, maka kita perlu mengulangi langkah-langkah yang bisa mengurangi perasaan tersebut… lagi dan lagi, sampai pada akhirnya mood kita benar-benar pulih dan mampu melihat dunia tanpa drama.

Berapa lama menghilangkan baby blues yang kita alami? Itu tergantung pada kepribadian, usaha kita untuk meminimalkan dan juga dukungan dari lingkungan. Karena itu, Anda para suami dan orang terdekat seorang ibu baru, wajib memahami dan membantu meringankan beban psikologis mereka. Perhatian, bantuan dan sikap mendengarkan seringkali menjadi obat yang sangat manjur untuk mengurangi perasaan negatif mereka.

Dan untuk para ibu baru yang mengalami baby blues, it's OK to feel that way. Apa yang kita alami memang berat dan bukan sekedar berasal dari kelemahan kita, apalagi dalam hal ini juga ada pengaruh perubahan hormon. Tetap terima segala perasaan negatif yang ada (jangan mencoba/berpura-pura bahwa mereka tidak nyata), tapi bantu diri kita untuk bisa melihatnya secara lebih proporsional dan positif agar lebih bahagia.


*Dari seorang ibu yang mengalami baby blues; merasa tidak berdaya, gagal dan sedih berkepanjangan pasca melahirkan dua buah hatinya :D

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

13 comments :

  1. waktu melahirkan anak pertama, saya pernah merasakan 'blue', namun tak lama

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya sampai dua mingguan mbak :D
      Rasanya serba salah, disatu sisi logika sangat mengerti bahwa yang saya rasakan hanyalah efek dari mood yang kacau pasca melahirkan, tapi 'hati' ngeyel dan tetap blue aja :D

      Delete
  2. I feel it.
    asumsi saya karena kaget, tiba tiba ada segudang aktifitas baru mengurus manusia mungil dengan segala kehidupannya yang harus extra hati hati dijaga, nah kita sebagai sang ibu juga masih lelah pasca melahirkan. Saya harus 3 bulan bermukim di rumah ibu saya, supaya ada yang membantu. Sama, keterlibatan pasangan dalam membantu kerja kerja domestik di 3 bulan pertama itu hal terpenting. Salam kenal ya mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju.. setelah melahirkan, semua berubah.. berubahnya pun sangat drastis, baik sosial maupun fisiologis kita..
      Kebetulan dua kali melahirkan saya hanya berdua dengan suami karena merantau dan jauh dari orang-tua plus lahirannya selalu maju dari HPL :D
      Salam kenal juga ;)

      Delete
  3. alhamdulilah saya tidak mengalami, tapi dengan2 anak, sungguh luar biasa mak....apalagi anak kedua saya lahir saat kakaknya masih 2 tahun4 bulan....repotnya ampyun...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huhu, syukur kalo ga mengalami mak..
      Memang tidak semua orang mengalami hal semacam ini sih, berbahagialah yang tidak mengalami :D
      Tergantung kepribadian dan dukungan lingkungan pastinya..

      Delete
  4. Aku kadang masih kurang memahami baby blues, Mak.
    Yg dirasa termasuk baby blues ato bukan. Tapi yang pasti dukungan org terdekat pada Ibu baru itu penting.

    Pasca melahirkan anak kedua, saya lebih suka berpositif thinking dn selalu berusaha happy apapun kondisinya.

    Tfs, Mak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo pasca melahirkan sukanya mewek aja, galau, sedih, bingung, serba salah, dll.. penuh perasaan negatif yang bikin ga tenang.. itulah baby blues..
      Kalau berlanjut sampai lama, ada kemungkinan malah termasuk depresi..
      Hiks, kalau saya, dasarnya melankolis sekali, selalu mengalami baby blues.. apa-apa dipikirin dan didramatisir..
      Tapi alhamdulillahnya, setelah kelahiran anak kedua sudah cukup paham dengan kondisi ini dan berusaha mencari informasi/bantuan yang membuat saya lebih cepat keluar dari perasaan itu..

      Delete
  5. Saya juga pernah 'feel blue, tapi ga terlalu lama. Iya ya, masalah psikologi itu bener-bener deh, suami istri harus bener-bener saling menguatkan. Tfs Mak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya sekitar 2 minggu mak.. 2 minggu yang lumayan berat :(
      Rasanya sampai ngitungin pergantian jam setiap hari..
      Setuju sekali, suami-istri harus kompak saat seperti itu..
      Sama-sama mak :)

      Delete
  6. Semangat ya mak ^^
    Aku juga pernah merasainnya...😘😘😘

    Semangaattt dan keep smile

    ReplyDelete
  7. Aku pernah mengalaminya waktu lahiran yang pertama. Waktu yang kedua alhamdulillah bisa meng-handle :)

    ReplyDelete
  8. saya mengalami pas lahiran anak pertama. pas anak kedua rasanya lebih kuat karna ada anak pertama yg 'membantu' (lebih tepatnya ngerecokin sih) tapi entah kenapa 'bantuan' dr anak pertama saya terasa banget bisa mengalihkan fokus saya dr baby blues :)

    ReplyDelete

Hai! Terima-kasih sudah membaca..
Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan disini atau silakan DM IG @nianastiningrum for fastest response ya ;)