SOCIAL MEDIA

search

Wednesday, November 18, 2015

My Pay It Forward Project

Muda dan galau, itulah saya di kala menginjak masa remaja hingga duduk di bangku kuliah. (Baca: muda, merasa memiliki cukup kemampuan dan banyak keinginan tapi selalu takut mewujudkannya menjadi sebuah tindakan). Dan sungguh, rasanya sangat konfrontatif! Merasa jago menyanyi, tapi takut tampil saat diberi kesempatan untuk berkompetisi. Merasa jago matematika, tapi malah down dan mati kutu setelah mendapat pengakuan dari orang-tua dan guru matematika di sekolah. Saya ingin sekali berteman, saya tidak bermaksud sombong; tapi rasa sungkan dan malu selalu menyergap setiap kali akan menyapa orang di sekitar saya. Saya selalu heran dan geram mengapa tidak bisa spontan bergurau dengan lawan bicara saya, selalu saja kaku! Dan semua itu membuat hari-hari saya terasa benar-benar tidak memuaskan, selalu dipenuhi dengan rasa kecewa yang menyesakkan.


Baik, saya melihat ada banyak orang yang pemalu, pendiam dan sebagainya; tapi adakah yang merasakan hal yang sama jauh di dalam hatinya? Sebuah pertentangan batin yang membingungkan saat sebuah keinginan yang begitu besar bertemu dengan ‘ketakutan’ mental yang tidak kalah besar?

Saat itu, saya begitu bingung, ada apa dengan saya dan apa yang harus saya lakukan. Berbagai upaya sudah saya coba, mulai dengan mencoba mengesampingkan perasaan itu, bahkan dengan mencoba di sebuah lingkungan yang benar-benar baru (sekolah baru); tapi selalu gagal! Semangat dan keinginan saya selalu kalah melawan rasa takut yang terwujud sebagai keinginan untuk menghindar, rasa nervous dan deg-deg-an serta rasa takut gagal yang tidak pernah saya kesampingkan. Sampai akhirnya, saking gundah gulananya saya, terlintas dalam pikiran saya untuk mencoba peruntungan memilih Jurusan Psikologi saat SPMB tahun 2003. Dan singkat cerita, dengan segala ketidakmungkinan yang besar dan juga ketakutan, atas ijin Alloh, saya diterima. What a surprise

Dan sejak dinyatakan diterima dan masuk kuliah, saya pun kembali berhadapan dengan ketakutan saya, apalagi karena saya menyadari bahwa saya HARUS benar-benar menghilangkan ‘sakit’ saya! Kalau saya benar-benar ingin menjadikan profesi di bidang ini sebagai masa depan saya. Mana ada sih lulusan Psikologi yang ‘sakit’ secara psikis diterima bekerja? Ada juga kami selalu dipandang sebagai orang yang lebih matang dan paham hal-hal berbau psikologis. Rasanya waktu itu, pengen lari saja, pindah jurusan, ikut SPMB tahun berikutnya… Tapi, untungnya rasa malas mendera dan akhirnya saya memilih bertahan dan menuntaskan doa yang telah disambut Tuhan ini. Saya HARUS bisa menjadi seorang pribadi yang sehat. Yang parameternya menurut saya saat itu adalah kemampuan untuk menjalani hari-hari dengan ‘beban’ yang minimal (baca: rasa bersalah, sesal dan kecewa) serta kemampuan mengekspresikan diri kepada lingkungan luar.

Dan singkat cerita (lagi), dengan perjalanan yang panjang dan percayalah sangat berat bagi saya yang penakut ini, perlahan saya pun berhasil memahami siapa diri saya dan menjadi diri saya yang lebih sehat. Melalui jalan yang diberikan oleh Tuhan, yang mempertemukan saya dengan berbagai situasi dan orang-orang yang memaksa, menginspirasi dan memberikan insight tentang pertanyaan-pertanyaan hidup saya. Akhirnya saya mengerti siapa diri saya, mengapa saya merasakan apa yang saya rasakan dan mampu berdamai dengan semua itu dan mengekspresikan diri saya ke dunia luar. Menurut teori kuno Hippocrates saya adalah si Melancholy yang introvert, moody dan ingin melakukan semua dengan sempurna, dengan sedikit unsur Sanguines yang ingin mendapat pengakuan dari dunia luar (penilaian pribadi). Atau menurut salah satu teori kepribadian sederhana yang disampaikan oleh Dr. Taylor Hartman (The Color Code) saya adalah seorang ‘BIRU’ sejati dengan unsur ‘KUNING’. 

Baca juga: 

Dulu hingga sekarang saya pun tetap seorang ‘BIRU’ sejati yang emosional, pencemas dan sering merasa bersalah; hanya saja, akhirnya saya bisa menjadi ‘BIRU’ yang lebih sehat. Akhirnya saya bisa menjadi pribadi yang hidup dengan (lebih) ringan dan bebas, serta mampu mengekspresikan diri saya ke dunia luar and I feel blessed. Dan menilik apa yang pernah saya alami serta perjalanan yang menurut saya cukup berliku, saya pun berjanji suatu saat ingin membagi cerita ini ke dunia luar. Tentang bagaimana saya akhirnya berdamai dengan ketakutan dan keinginan saya hingga menjadi pribadi yang lebih sehat.

Booklet yang bikinnya benar-benar kejar tayang 
Dan selesai dicetak beberapa menit sebelum acara :D 

Menerbitkan cerita panjang ini menjadi sebuah buku adalah sebuah harapan yang semoga saja bisa terwujud pada saatnya nanti. Namun, untuk sekarang saya mulai mencoba untuk berbagi awareness tentang arti sebuah kepribadian di komunitas di sekitar saya. Ide ini sesungguhnya muncul sejak beberapa bulan yang lalu, namun karena kesibukan belum juga terlaksana. Sampai akhirnya sekitar 4 minggu yang lalu saya nekad mengiyakan tawaran ibu-ibu arisan istri pegawai di kantor suami untuk sharing mengenai hal berbau psikologis, padahal itu berarti harus menyiapkan materi dan tetek bengek-nya di sela-sela kesibukan sebagai ibu pekerja. Tapi, saya pikir kalau tidak begitu, entah kapan niat ini bisa terlaksana, jadi ya hajar saja…

Dan 13 November 2015 kemarin, niat ini pun terwujud… Akhirnya saya sukses membawakan materi sharing ‘Mengenal Kepribadian Anak untuk Melejitkan Potensinya’ di acara arisan dimaksud. Sederhana memang, dan penyampaiannya jelas masih banyak sekali kekurangan. Tapi semoga saja bisa memberikan sedikit pemahaman tentang sudut pandang berbagai kepribadian. Sehingga para peserta yang adalah seorang ibu ini lebih memahami sudut pandang kepribadian anak-anak yang mungkin tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Dengan harapan bahwa pemahaman para ibu ini akan membantu anak-anaknya mengenali kepribadian dan mendapatkan perlakuan yang tepat sesuai kepribadiannya tersebut. Karena, menurut pengalaman saya, tidak semua anak bisa memahami kepribadiannya sendiri dengan cepat, kadangkala ada beberapa anak yang bahkan mengalami kebingungan saat tidak memperoleh bantuan dan perlakuan yang tepat.

13 November 2015 lalu adalah awal sederhana dari niat saya untuk meneruskan kebaikan dan kesempatan yang pernah saya dapatkan hingga dapat menjadi pribadi yang lebih sehat. Selanjutnya, satu occasion sudah menunggu, sesi parenting PAUD CSR kantor suami. Hihi, lagi-lagi masih seputar komunitas saya dan suami aja :D. Eh, tapi kalau ada yang berminat boleh lho ngundang ke acara kumpul-kumpulnya. Gratis! Jika diperlukan cukup mengganti biaya penggandaan materi saja. Tapi ya itu tadi, saya belum pro lho… sama sekali bukan trainer dan sebangsanya. Yang saya sampaikan sekedar pengalaman dan pengetahuan yang saya dapatkan selama kuliah Psikologi selama 4 tahun saja. Haha, kok jadinya kaya promo sih :D. Eh tapi ini serius kok, kalau memang memungkinkan saya sama sekali tidak keberatan. Selain dalam rangka mewujudkan cita-cita kecil saya saat mulai ‘merehabilitasi’ diri saya sendiri, juga menambah pengalaman kita bersama tentunya… Win-win kan… (malah diterusin promo, haha :D).

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Saturday, November 7, 2015

‘Cause Risks, They’re Exist Everywhere…

Beneran lho… resiko itu ada di manapun, bahkan bagi seorang pekerja administrasi di dalam kantor yang alat kerjanya komputer, bolpen dan sebangsanya! Resiko itu ada, kadang datang dengan sendirinya malah! Seperti sekitar 5 tahun yang lalu saat status saya masih pegawai training (OJT/On the Job Training), mendadak ada pegawai yang kalap (marah sampai lupa diri) saat merasa tidak puas dengan jawaban seputar kenaikan grade-nya (mungkin di perusahaan lain disebut sebagai ‘golongan’, ‘peringkat’, dsb.). Dan sontak, saya yang masih ‘unyu-unyu’ waktu itu langsung kabur ke ruangan lain dan menangis… shock gitu lho :’(.



Dan tadi siang, sekitar 5 tahun kemudian, kejadian itu kembali terulang dengan setting yang berbeda. Kali ini, sedikit banyak saya bukan hanya penonton dalam kejadian itu. Yah, walaupun bukan pemeran utama juga, tapi amarah bapak itu berasal dari sesuatu yang saya kerjakan. Bapak itu marah karena kuitansi berobatnya tidak bisa di-reimburst karena ada masalah administrasi. Lha gimana, kuitansi apotik dia cuma tertulis ‘pembelian obat-obatan’; copy resepnya sama semua, bener-bener di-copy sendiri (bukan copy dari apotik) dan itu resep dari tahun 2014 dan 2013, harganya beda-beda!? Benar-benar mengundang kecurigaan bukan? Malah pernah dengar kalau resep obat yang sama itu hanya bisa ditebus 3 kali, setelah itu harus konsultasi kembali karena mungkin kan kondisi pasien sudah berubah sehingga obatnya pun perlu diganti. Itupun seharusnya salinan resep dibuat lagi oleh apotik, bukan fotokopian…

Sunday, November 1, 2015

Jalan Tengah yang Tidak Bertemu

Lulus kuliah, bekerja, menikah dan kemudian mempunyai anak… menjadi wanita karir sekaligus membangun keluarga yang hangat, itulah mimpi saya. Mimpi yang saat itu terasa sederhana dan mudah saja dicapai… waktu itu saya masih begitu naïve (tutup muka :D). Sekarang, sejak memiliki Si Sulung Ganesha, semua berubah… Mimpi menjadi wanita karir terbang begitu saja, ternyata saya tidak bisa mengesampingkan anak dan keluarga saya lebih dari lima hari seminggu dan delapan jam sehari. Ternyata saya posesif sekali, saya tidak ingin kehilangan waktu bersama keluarga saya lebih dari kewajiban saya sebagai pekerja. Hingga bekerja lebih dari pukul 07:30 sampai dengan 16:00 itu terasa pengorbanan yang berat sekali. Saat itu, mimpi saya pun berubah… Bekerja selama 8 jam sehari dan lima hari seminggu itu seperti ‘me time’ untuk bisa mengekspresikan sisi ‘suka mengejar target’ dalam diri saya. Namun, di luar itu adalah ‘hidup dan tujuan’ saya sesungguhnya… keluarga…


Dan kemudian ‘drama-drama’ si ibu posesif yang tetap harus menjadi nomor satu ‘di rumah’ tapi masih membutuhkan ‘kerja’ untuk menyeimbangkan jiwa; pun hadir silih berganti. Mulai dari ringan hingga berat, dan yang paling umum terjadi adalah pada saat harus pergi ke luar kota untuk dinas. Dan saat-saat seperti itu, saya selalu membawa anak yang belum saya sapih. Alasannya sederhana saja, karena menurut saya pada masa menyusui, anak masih sangat tergantung secara fisik dan terlebih secara psikis pada ibu dan saya tidak tega meninggalkan mereka di malam hari. Yah, sebenarnya bisa saja sih anak dibiasakan untuk ditinggalkan di malam hari juga, tapi saya sengaja tidak melakukan hal itu. Bagi saya kebersamaan di malam hari itu adalah waktu untuk mengobati rasa rindu setelah selama 8 jam berpisah di siang hari, bagi saya maupun anak-anak. Dan saya tidak keberatan untuk lebih repot dan mengeluarkan dana pribadi mengajak anak dinas keluar kota bersama pengasuhnya. Demi kesehatan mental bersama, pengorbanan itu sepadan…

Ganesha 2 tahun ikut dinas ke Palembang dari Tanjung Enim
Juni 2013