SOCIAL MEDIA

search

Thursday, March 17, 2016

Sepatu, Kejadian dan Kepribadian...

‘Sepatu’, seperti halnya jenis pakaian lainnya, pada awalnya dia hanyalah sebuah benda yang dipakai untuk menutup atau melindungi bagian tubuh tertentu; supaya tidak sakit jika berjalan dan sebagainya. Tapi, seperti halnya jenis pakaian lainnya, sepatu pun mengalami transformasi menjadi sebuah benda fashion; yang tidak hanya dipilih karena kemampuannya melindungi, tapi juga kemampuannya mempercantik sepasang kaki. Dan transformasi itu tidak berhenti sampai disitu, seperti halnya benda-benda lainnya, sepatu pun kemudian bertransformasi lebih lanjut menjadi benda yang dipilih karena ‘gengsi’; sehingga lahirlah sepatu-sepatu bermerek ‘wah’ dengan harga yang ‘aduhai’…

Hehe, stop sampai situ sajalah… Saya belum sampai ke ranah sepatu atau pakaian sebagai barang yang membawa gengsi. Asal sepatu pas, nyaman dan cantik dipakai, itu sangat cukup… apalagi kalau harganya miring, lebih bagus lagi menurut saya.


Membicarakan mengenai sepatu, seperti halnya transformasi pada diri saya, ternyata preferensi pada sebuah sepatu pun berubah, seiring pertambahan usia dan perubahan pola pikir. Dulu, semasa SD, mungkin adalah masa tersulit menemukan sepatu atau barang lainnya bagi saya. Tuntutan saya akan ‘keunikan’ itu begitu tinggi! Saat itu, saya menolak mentah-mentah sebagus apapun sepatu jika itu sama dengan milik teman saya si A, si B dan seterusnya. Ibu saya saja sampai malas mengantar saya beli sepatu. “Kowe ki mending gawe pabrik sepatu dewe kok Nian…” ujarnya. Yang artinya, “Kamu tuh mendingan bikin pabrik sepatu sendiri Nian…”, saking dongkolnya beliau saya ajak muter-muter toko, haha :D.

Lalu, masa SMP dan SMA… hampir tanpa cerita, tidak ada tanda-tanda perubahan kematangan diri yang tergambar dari pemilihan akan sebuah sepatu. Lha wong sepatunya disuruh seragam kok, setiap hari ya pakainya sepatu kets hitam bertali. Titik.

Nah, baru beranjak ke bangku kuliah nih, tanda-tanda ke-belum-matang-an psikologis nampak dari pemilihan sepatu. Dimana sesungguhnya mungkin tidak ada yang menyadarinya sih, kecuali diri saya sendiri. Masa kuliah adalah masa dimana saya ingin menjadi seorang pribadi yang independent, tidak terpengaruh oleh lingkungan, apalagi trend! No way! Saya tidak selemah itu! Itu pikir saya waktu itu. Kadang lucu jika mengingat saya pernah memiliki pemikiran semacam itu di usia ini (hampir 31 tahun). Dan kemudian, itu jelas-jelas tercermin dari cara berpakaian termasuk pemilihan sepatu saya. Saya suka-suka saja memilih dan memakai apa yang menurut saya bagus, dan bahkan meskipun tidak umum atau nyeleneh! Selama saya merasa percaya diri, it’s OK! Percayalah, dulu saya pernah jalan-jalan ke mal dengan celana kolor kotak-kotak yang biasa dipakai buat tidur :D.

Dan kembali ke urusan sepatu atau alas kaki; saat itu saya nyaman-nyaman saja memakai sepatu kets dengan rok panjang, atau selop… Tidak terdiferensiasi dan tidak terlalu memikirkan keserasian. Hey, keren itu dari dalam diri (otak dan hati), tidak perlu terlalu memikirkan penampilan jika kamu memang punya keduanya, orang akan lihat kok ke-keren-anmu :D. Itulah kepongahan masa muda saya, dimana sesungguhnya semua itu untuk menyembunyikan rasa tidak percaya diri saya. Yes, deep inside, waktu itu saya merasa tidak punya kapasitas untuk bersaing dalam hal penampilan… Jadi, pura-pura tidak mempedulikannya adalah cara terbaik untuk tetap merasa ‘hebat’. Dasar anak muda! Tidak mau merasa kalah sama sekali! :D

Tapi, seiring berjalannya waktu, realita pun merubah keteguhan hati saya; perlahan saya pun menerima pemikiran bahwa penampilan itu sesuatu yang cukup menentukan penilaian seseorang. Sesuatu yang dulu saya anggap tidak penting. Tapi akhirnya saya harus mengakui bahwa saya membutuhkan semua itu saat berburu mencari pekerjaan pasca lulus tahun 2007. Masih dalam ingatan saya saat bude saya menasehati, bahwa berdandan itu penting, apalagi saya ini lulusan Psikologi. Ngelamar kerjanya di bidang HRM (Human Resource Management), jadi ‘wajah’-nya perusahaan. Masa iya perusahaan akan memilih orang yang tidak terlihat profesional sama sekali? Sangat tidak mungkin kan…

Itu pemikiran yang sangat masuk akal. Saya pun menyerah dan mulai mengalah untuk mulai memperhatikan penampilan. Karena mendapatkan pekerjaan dan bisa hidup mandiri itu adalah tujuan jangka pendek yang ingin saya raih saat itu. Dan saya pun mulai membeli barang-barang yang menurut pandangan ‘normal’ menimbulkan kesan profesional dan enak dilihat itu. Sebut saja blazer, rok, lipstick dan pernak-pernik make up lainnya, serta tentu saja high heels (meski heels-nya cuma 3 cm). Setelah berkali-kali gagal wawancara dengan penampilan yang menurut saya seharusnya tidak terlalu dipermasalahkan itu, saya pun mulai mengikuti norma yang ada. Dan alhamdulillah, akhirnya lolos juga di wawancara yang ke-11 :D. Well, saya tidak bilang kalau semua itu semata-mata karena penampilan ya, karena saya yakin dari perjalanan 9 bulan dengan melalui kegagalan 10 wawancara kerja itu membawa saya menjadi pribadi yang lebih matang dari sebelumnya.

Dan kembali ke sepatu… saat diterima kerja sekitar 7 tahun yang lalu itu, saya sudah bisa pakai high heels lho. Meski cuma 3 cm. Dan itu adalah high heels satu-satunya yang saya pakai di tempat kerja selama sekitar 7 tahun (termasuk prajabatan dan on-the-job-training). Karena saya mendapat penempatan di pembangkit, yang tidak terlalu ribet soal penampilan, dan juga karena heels 3 cm saya itu pernah nyangkut di lantai pembangkit yang terbuat dari besi bolong-bolong. Sejak itu, saya pun kembali menikmati santainya memakai flat shoes selama bertahun-tahun. Meskipun tidak kembali seekstrim memakai sepatu kets dan rok ke kantor sih. Bukan karena tidak percaya diri, tapi karena menurut saya saat itu adalah hal yang terlihat kurang profesional, tidak cantik dan childish (ingat umur)… hihi, betapa pemikiran saya menjadi lebih dewasa ya :D.

Lalu, setelah hidup yang stagnan dengan beragam variasi flat shoes, tiba-tiba pada suatu hari saya melirik sebuah iklan sepatu di Facebook. Kok tiba-tiba pengen coba sesuatu yang enggak flat ya… enggak heels juga sih, karena malas dengan bunyi cetak cetok-nya kalau jalan. Kayaknya… wedges 3 cm itu patut dicoba deh! Dan saya pun memesan sebuah wedges warna cream di sebuah toko online di Facebook bernama ‘SEPATUKU BARU’. Karena menurut saya dua warna sepatu wajib wanita itu adalah hitam dan cream, sementara sepatu cream saya sudah tidak layak pakai. Jadi, tidak ada alasan untuk mencegah diri saya membeli sebuah wedges cream setinggi 3 cm, apalagi menurut mbaknya kalau tidak pas boleh ditukar.


Dan ternyata, wedges baru saya itu menjadi favorit sejak pertama pakai. OK, awalnya memang terasa tidak nyaman, tapi setelah beberapa kali pakai, saya ketagihan dan tidak bisa lepas dari sepatu itu. Sampai-sampai sepatu itu selalu ada di dalam mobil karena selalu saya pakai ke kantor. Meskipun tidak flats, tapi rasanya mantap dipakai. Jadi saya masih bisa jalan cepat-cepat wara-wiri di kantor dengan nyaman tanpa suara cetak-cetok yang bikin risih, plus kelihatan cantik tentu saja. Rasanya seperti mendapatkan semua hal yang saya inginkan dari sebuah sepatu dengan wedges baru ini. Hihi, kemana saja selama ini ya… semacam orang udik baru nyoba sepatu enak saja :D.

Whatever-lah… tapi saking sukanya, akhirnya saya berpikir kalau saya butuh wedges warna hitam juga deh. Dan akhirnya pesan juga wedges hitamnya dengan model yang berbeda. Kali ini dengan sistem PO (Pre Order) karena model yang saya inginkan tidak ready stock. Cukup dag-dig-dug nunggu sepatu kedua ini, karena modelnya lebih ‘berani’ dan ‘unik’ (ada bagian transparannya gitu), sementara kaki saya ini enggak bisa dibilang sexy. Tidak ramping, tapi lebih ke arah gendut dan bulat. Dag-dig-dug bayangin seperti apalah penampakannya pakai sepatu semacam itu nanti. Dag-dig-dug karena menurut saya harga sepatu 300 ribuan itu lumayan mahal, hehe :D.

Tapi, ternyata, wedges kedua warna hitam ini pun lagi-lagi jadi favorit!


Lalu, apa sih inti tulisan ini? Hmm, pertama sih ingin sekedar bercerita tentang hal-hal dalam diri saya yang melatar-belakangi pemilihan barang (especially sepatu disini).  Bahwa ada hal yang bisa digali dari preferensi kita akan suatu benda. Mungkin dia adalah pertanda dari sebuah peristiwa psikologis yang terjadi dalam diri kita. Bahkan seringkali pemilihan kita pada suatu benda itu dilatar-belakangi kepribadian kita. So, you better be sensitive about this. Dan kedua, tulisan ini dedicated untuk SEPATUKU BARU, brand lokal produsen sepatu, yang produknya benar-benar memuaskan menurut saya. Ini bukan endorse dan semata-mata karena saya puas dengan sepatu dan pelayanannya.

So, kalau berminat ingin pilah-pilih sepatunya bisa cek Facebook Page-nya atau Instagram-nya. Disini, kita bisa beli sepatu yang ready stock atau pesan ukuran tertentu dan juga customize model sesuai keinginan kita. Keren kan! Dan satu lagi, pelayanannya OK banget. Jangan segan untuk tanya-tanya melalui kontak yang ada, mbaknya ramah banget ;). Saya sendiri juga sudah punya sepatu baru di wishlist nih, tapi sepertinya masih harus nunggu 3 sampai 4 bulan lagi. Secara sepertinya kurang bijak secara finansial aja beli sepatu setiap 2 bulan :D. Kecuali ada yang ngasih sebagai kado ya, kan saya mau ulang tahun. Duh makin out of topic deh :D

And so… apakah kamu juga punya cerita tentang penampilan especially sepatu pilihanmu? ;)

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

1 comment :

  1. Waaaah wedgesnya keceee. Ada offline storenya juga ngga ya?

    ReplyDelete

Hai! Terima-kasih sudah membaca..
Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan disini atau silakan DM IG @nianastiningrum for fastest response ya ;)