SOCIAL MEDIA

search

Tuesday, May 24, 2016

Tips Agar Skripsimu Cepat Selesai

Skripsi, pada hakikatnya hanyalah sebuah karya tulis. Tapi, menurut pengamatan saya, dia seringkali menjadi momok bagi seorang mahasiswa, bagaikan sebuah ujian berat sebelum seseorang dinyatakan lulus. Hmm, apakah kamu termasuk yang berpendapat demikian? Jika ‘ya’, maka kamu punya pemikiran yang sama dengan saya sekitar 8 tahun yang lalu, saat menginjak semester ke-7 kuliah, 1 semester sebelum mengambil mata kuliah penulisan skripsi. Dan karena itu, saya pun mengambil ancang-ancang sebelum benar-benar mengambil mata kuliah penulisan skripsi pada semester ke 8. Dan kamu percaya atau tidak, saya berhasil menyelesaikan skripsi saya dalam waktu sekitar 6 bulan saja. Atau mungkin kurang dari itu, karena saya mengerjakannya sembari mengambil mata kuliah KKN yang mengharuskan saya menginap di daerah KKN (yang cukup pelosok) selama 2 bulan, sampai akhirnya bisa fokus mengerjakan skripsi sekembali dari sana.


Dimana skripsi saya walaupun mungkin tidak terlalu spesial insyaallah tidak ‘abal-abal’ kok. Saya kuliah di sebuah PTN terakreditasi A (Jurusan Psikologi UGM), yang katanya waktu itu 1:40 peminat dan mahasiswa yang diterima. Dosen pembimbing saya pun seorang guru besar dengan berderet karya ilmiah yang sudah diterbitkan secara nasional dan internasional (Johana E. Prawitasari, Ph.D.). Jadi, insyaallah benar-benar sebuah skripsi yang cukup layak, bahkan untuk diterbitkan dalam Jurnal Psikologi UGM pada tahun 2007.

Eh, tapi kata ‘singkat’ ini relatif ya… Untuk sebuah skripsi yang membutuhkan penelitian sosial secara kualitatif, bisa jadi memang memerlukan waktu penelitian yang lebih lama. Atau skripsi-skripsi untuk jurusan exact yang misalnya kita harus melakukan uji coba penanaman yang harus ditunggu hingga benih tumbuh hingga usia tertentu (pengalaman adik yang kuliah di fakultas pertanian), mungkin waktu 6 bulan adalah waktu yang tidak mungkin.

Iya, mungkin tips ini paling pas untuk teman-teman yang kuliah di jurusan sosial seperti saya; walaupun tidak menutup kemungkinan bisa juga diterapkan bagi teman-teman yang kuliah di jurusan exact. Who knows? Let’s see…

Pilih topik skripsi sesuai minat kita. Klasik memang kedengarannya, tapi memilih topik skripsi sesuai minat kita pada suatu hal akan membuat kita lebih bersemangat mengerjakannya. Waktu itu, saya memilih topik mengenai ekspresi wajah sebagai pertanda emosi; karena menurut saya itu adalah hal yang ‘keren’, menarik serta belum banyak diteliti di Indonesia. Yes, saya merasa lebih tertantang dan bersemangat dengan hal-hal yang baru dan unik.

Rancang penelitian yang membuat kita bersemangat! Ukur dan kenali kemampuanmu sendiri. Kalau kamu suka penelitian kualitatif, ya pakai metode itu. Tapi sebaliknya, kalau kamu cenderung tidak sabar dan telaten, ya jangan paksakan menggunakan metode itu. Atau lebih spesifik, kamu bisa memilih penelitian yang menggunakan metode spesifik; seperti wawancara, observasi, kuesioner, eksperimen di laboratorium dkk., yang membuat kita bersemangat untuk mengerjakannya; tapi tentu saja, ini harus disesuaikan juga dengan topiknya ya… Dan berkaitan dengan hal ini, saya sendiri memilih untuk menggunakan kuesioner, yang salah satunya secara spesifik menggunakan potongan-potongan gambar ekspresi wajah pada Komik Jepang alias Manga. Karena apa? Tentu saja karena waktu itu saya suka sekali dengan Manga, sampai-sampai menjadi anggota beberapa taman bacaan yang banyak ditemui di Kota Jogja. Dan masalah memantengi gambar-gambar Manga,memilih gambar-gambar ekspresi wajah yang dibutuhkan, menggunting-guntingnya, memilah-milah berdasarkan jenis emosi yang ditampilkan sampai berinteraksi dengan teman-teman yang ahli membuat Manga untuk menjadi rater kuesioner yang terdiri dari potongan-potongan gambar Manga itu adalah sesuatu yang menyenangkan!

Pilih dosen pembimbing skripsi yang ‘pro’. Dosen pembimbing skripsi itu boleh milih kan? Karena dulu di fakultas kami, ya, kami boleh hunting dosen pembimbing skripsi kami sendiri. Dan menurut pengalaman saya, dosen yang pembimbing ini memiliki andil yang sangat besar dalam proses pengerjaan skripsi saya. Kesimpulan ini juga saya dapatkan saat melihat skripsi adik saya yang tak kunjung sudah karena dosen pembimbing skripsinya yang kurang berdedikasi :(. Dan dosen pembimbing skripsi yang baik menurut saya adalah: cerdas, berpengalaman dan memiliki minat pada bidang yang akan kita teliti, tepat waktu dan tepat janji; pokoknya kesannya profesional dan helpful. 

Dulu, saat memutuskan dosen pembimbing skripsi, pada awalnya saya merasa tidak percaya diri karena beliau adalah dosen yang benar-benar terlihat pintar, cool dan profesional. Beliau banyak mengampu mata kuliah untuk mahasiswa S2, dan itu membuat saya bimbang apakah beliau akan menuntut hal yang sulit dicapai oleh mahasiswa S1 yang biasa-biasa saja seperti saya, atau sebaliknya bisa memberikan pencerahan-pencerahan yang justru memudahkan. Dan alhamdulillah, ternyata 

Buat jadwal visual tentang apa yang harus kita kerjakan day by day! Ya! Apalagi jika kamu punya saya punya kecenderungan sifat obsesif-kompulsif seperti saya, yaitu menunda-nunda waktu. Maka membuat jadwal sehari-hari dalam sebuah kertas A0 yang ditempel di dinding kamar itu sangat membantu saya tetap on track pada target yang saya buat. Kenapa? Karena saya bisa melihat dengan jelas, berapa waktu yang masih saya punya untuk mengerjakan hal-hal yang harus saya selesaikan; dan sifat kompulsif saya justru malah berbalik; dari menunda-nunda waktu menjadi sebuah keinginan untuk menyelesaikan daftar tugas yang sudah saya buat sendiri dalam jadwal tersebut.

Siapkan diri dan strategi sebelum berkonsultasi dengan dosen pembimbing! Waktu bertemu dengan dosen itu sesuatu yang benar-benar berharga bukan? Pada beberapa kasus, bahkan seringkali saya mendengar cerita bahwa untuk menemui dosen pembimbing skripsi, seorang mahasiswa harus membuat janji berkali-kali atau bahkan ‘mengejar-ngejarnya’… Jadi, manfaatkan waktu bimbingan semaksimal mungkin! Caranya:
  • Dengan mengerjakan tugas yang harus kita tunjukkan ke dosen sebaik mungkin, sehingga kita tidak perlu mengulang-ulang membuat janji konsultasi untuk hal yang sama. 
  • Buat daftar pertanyaan dan kendala, sehingga kita mendapatkan sebanyak mungkin pencerahan agar setelahnya kita bisa mengerjakan banyak hal dan skripsi kita cepat selesai. Pokoknya, jangan sampai ada yang terlewat, karena jika demikian maka akan menghambat saya mengerjakan ‘tugas’ selanjutnya. 

Kerja keras! Push yourself to your limit! Itu adalah hal selanjutnya yang harus mengikuti perjalanan pengerjaan skripsi kita. Kerja keras itu seperti apa? Jika saya waktu itu adalah: dengan membuat jadwal yang rapat (no santai-santai); duduk di perpustakaan berjam-jam setiap harinya untuk mencari literatur dan keluar masuk untuk fotocopy bagian yang dibutuhkan (karena waktu itu belum punya laptop); begadang mengetik studi pustaka, analisis data dan sebagainya yang kemudian dilanjutkan paginya segera ke kampus untuk mencari pustaka lain atau berkonsultasi dengan dosen pembimbing; dan seterusnya. Kerja keras adalah bekerja, bekerja, bekerja!

Berdoa kepada Sang Pencipta… Yah, memohon bantuan dan kemudahan-Nya adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan. Di satu sisi, saya merasa ada banyak kebetulan yang sengaja diciptakan-Nya untuk membantu saya pada proses ini; seperti bagaimana menemukan dosen pembimbing skripsi yang baik dan bertemu dengan teman-teman yang membantu proses pengerjaan skripsi. Dan di sisi lain, dengan keyakinan pada bantuan-Nya membuat saya lebih percaya diri dan tenang bahwa akan selalu ada penyelesaian atas segala rintangan yang mungkin timbul. Itulah yang terjadi pada saya! Seperti pada saat kemudian dosen pembimbing saya mengembalikan draft skripsi saya dan menyatakannya sudah siap uji. Lalu saya berhasil membuat janji dengan dosen penguji lainnya dan bagian penyusun jadwal ujian skripsi untuk benar-benar menjalani ujian pendadaran skripsi… Hanya 1 minggu setelah draft skripsi saya dinyatakan layak uji! Dimana itu adalah waktu yang benar-benar mendekati limit saya bisa mengejar segala persyaratan untuk ikut pada wisuda pada periode Agustus 2008! Yang waktu itu saja, saya sudah ancang-ancang untuk wisuda pada periode selanjutnya, yaitu November 2008, karena lebih realistis. Tapi, itulah, ternyata ada begitu banyak kemudahan, hingga akhirnya saya bisa diwisuda pada Agustus 2008. Alhamdulillah…

***

Dan begitulah tips bagaimana saya menyelesaikan skripsi dalam waktu kurang lebih 6 bulan saja. Waktu yang menurut saya relatif cukup singkat di tengah banyaknya cerita mahasiswa yang stuck atau bahkan merasa horror sebelum benar-benar mengerjakan skripsinya. Dan untuk mereka saya ingin berkata, “Hei, skripsi itu cuma salah satu jenis karya tulis kok, just do it dengan segala daya dan upayamu, maka dia akan selesai seperti seharusnya.” Tapi ya itu tadi, kuncinya ‘do it!’, jangan bersantai-santai, jangan terlena karena tidak ada lagi tuntutan pergi ke kampus, apalagi berusaha lari darinya. ‘Main-main’ bisa nanti lagi kok, jika gelar sarjana sudah di tangan. Atau nanti saat kita sudah benar-benar berhasil meraih kemandirian.

“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.”

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Tuesday, May 3, 2016

Memilih Sekolah yang Baik untuk Anak

Setiap anak adalah unik! Mereka memiliki karakter dan potensinya masing-masing, dimana hal ini menjadi alasan mengapa suatu treatment memiliki efek yang berbeda bagi setiap anak. Dan itu juga alasan mengapa suatu sistem pembelajaran belum tentu sesuai untuk semua anak. Apalagi pada usia dini, dimana anak-anak belum mampu menyiasati sistem pembelajaran yang diterima hingga terasa menyenangkan bagi mereka. 

Teringat dulu semasa kuliah ada teman yang sampai merekam kuliah dosen di kelas, sedang saya lebih asyik membuat catatan dengan corat-coret dan gambar-gambar. Sementara teman saya lebih suka mendengarkan, sampai-sampai merekam kuliah dosen di kelas. Bagi saya, mendengarkan saja itu selalu membuat ngantuk, walaupun selalu duduk di barisan paling depan sekalipun :D

Dan kembali ke pendidikan untuk anak usia dini… Anak-anak pasti belum bisa melakukan semua itu… Mereka baru mampu menerima dan mengikuti metode pembelajaran yang diberikan. Jika cocok, maka mereka akan belajar dengan gembira. Namun jika tidak, proses pembelajaran pun tidak akan optimal dan suasana hati (mood)-nya pun akan memburuk karena harus mengikuti rutinitas yang tidak menyenangkan baginya.

***


Sekolah Formal untuk Anak Usia Dini. Membicarakan mengenai pendidikan bagi anak usia dini (sebelum usia Sekolah Dasar), sebenarnya tidak melulu pada pendidikan formal dengan jenjang tertentu yang diberikan sebuah lembaga pendidikan, seperti Taman Kanak-Kanak. Tapi, juga termasuk di dalamnya pendidikan yang diberikan di rumah oleh orang-tua atau pun pengasuh lainnya dan juga lingkungan. Misalnya untuk pendidikan nonformal adalah Kelompok Bermain atau Taman Penitipan Anak, sedang untuk pendidikan informal adalah pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan (berdasarkan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003).

Saya pribadi pada awalnya tidak terlalu sependapat bahwa anak perlu masuk ke sekolah formal sedini mungkin (usia 2 atau 3 tahun). Alasannya sederhana saja, karena menurut saya anak seusia itu belum selayaknya menjalani rutinitas yang begitu formal setiap harinya dan kehilangan waktu bermainnya. Tapi, saya juga kurang setuju jika anak didaftarkan sekolah namun sepenuhnya dibebaskan untuk tidak masuk sekolah. Menurut saya seakan memberikan pemahaman bahwa sekolah itu boleh sesuka hati, mau berangkat atau tidak. Selain tidak mendidik, tentu saja tidak ekonomis, karena bayarnya jalan terus… :D

Namun demikian, saya juga bukannya antipati dengan sekolah formal/nonformal pada usia dini. Jika anak ternyata sudah memiliki keinginan untuk masuk TK atau bahkan Nursery Class atau Kelompok Bermain (Kober) pada usia yang lebih dini. Selama itu murni keinginan anak dan tanpa paksaan, tidak masalah… Karena kami percaya bahwa setiap anak memiliki karakter dan potensinya masing-masing, sekaligus kami juga tidak menutup mata bahwa pendidikan yang kami berikan di rumah dan lingkungan sudah mencukupi kebutuhannya. Misalnya anak ternyata sudah merasa bosan dengan kegiatan yang kami berikan selama bersamanya setiap harinya, ya salah satu solusinya adalah mengenalkannya pada sekolah formal. Karena selain memberikan tantangan yang lebih, tentu juga bisa menjadi pemecah rutinitasnya sehari-hari. Jika sebelum sekolah, dari siang hingga sore kegiatannya hanya bermain (baik sendiri atau bersama teman-temannya) dan melihat kesibukan orang-tua atau pengasuhnya membereskan rumah dan mengurusi adiknya; dengan sekolah waktu 2,5 jam untuk bernyanyi bersama teman-temannya, mewarnai dan aktivitas-aktivitas lainnya; itu akan sangat-sangat mengurangi kebosanannya. Dan itulah yang terjadi pada anak kami…

Saat itu, Bulan Februari 2015, beberapa hari setelah adiknya lahir, Ganesh pun bersikukuh ingin bersekolah. Hal yang sangat kami pahami alasannya, yaitu karena dia merasa bosan di rumah, lebih terabaikan karena kami semua sibuk mengurusi adiknya, sedang mau bermain keluar pun dia belum memiliki teman karena kami baru saja pindah rumah. Sangat terbayang betapa berat situasinya saat itu :(. Dan karena memang keadaan sedang begitu hectic sehingga kami tidak bisa memfasilitasi kebutuhannya akan kegiatan yang menyenangkan di rumah, kami pun setuju untuk mengenalkannya dengan sekolah pertamanya (waktu itu di kelas Kober). Dan selama satu tahun (6 bulan di kelas Kober dan 6 bulan di kelas Satuan PAUD Sejenis/SPS) dia pun dia pun menikmati hari-harinya di sekolah pertamanya, sampai akhirnya dia mogok sekolah…

Ya, Ganesh mogok sekolah setelah 6 bulan masuk kelas SPS… Ada apa? Dan kami pun sesungguhnya tidak tahu pasti, tapi dugaan kami adalah karena dia tidak lagi menikmati sekolahnya. Karena menurut guru-gurunya, tidak ada kejadian spesifik tertentu (misal sering diusilin temannya) dan Ganesh memang terlihat bosan di kelasnya; dia seringkali pindah ke kelas lain sesuka hati dan tidak mengikuti kegiatan yang diberikan. Sepertinya dia membutuhkan suasana yang berbeda untuk membuatnya betah dan terhibur di kelas. Sampai akhirnya setelah kurang lebih dua bulan diam di rumah saja dan terlihat semakin bad mood, akhirnya saya pun mengambil cuti untuk mengenalkannya pada sekolah baru. Yang sekolah kami pilih dengan segala pertimbangan dan kehati-hatian, agar tidak hanya memberikan pendidikan yang baik, tapi juga supaya Ganesh senang dan mood-nya sehari-hari terjaga.

Karakter Anak dan Sekolah yang Pas Untuknya. Dan proses memilih ini pun dimulai dengan berusaha menyelami karakter Ganesh sedalam-dalamnya (sedikit lebay karena tidak menemukan diksi yang lebih pas :D). Kembali lagi, karena setiap anak adalah unik, sehingga perlu disesuaikan dengan tipe pembelajaran yang akan diberikan. Apalagi untuk anak-anak yang cukup kritis dan sedikit ‘rebel’ seperti Ganesh, dimana mereka cenderung tidak ingin mengikuti suatu kegiatan yang menurutnya tidak ‘menyenangkan’. Dengan membandingkannya dengan diri saya sendiri yang cenderung mengikuti standard lingkungan yang ada sejak kecil, anak seperti Ganesh membutuhkan alasan yang lebih dari sekedar ‘dia memang harus bersekolah’. Atau pemikiran bahwa di sekolah dia harus mengikuti kegiatan yang ada, mendengarkan nasehat guru, bla-bla-bla… Jika, semua itu tidak menyenangkan atau memberikan manfaat (menurutnya), kenapa harus?

Itu sih bayangan saya saja atas pola pikir Ganesh dengan memperhatikan perilakunya yang sejak kecil selalu bertanya, “Soalnya apa?” jika disuruh melakukan sesuatu…


Kembali ke Ganesh… Ya, menurut saya dia anak yang cukup kritis. Sejauh ini, dia menunjukkan karakter kepribadian ‘merah’ yang sangat kental. Dia seorang anak yang visioner, penuntut dan desicive plus sangat menyukai aktivitas fisik. Sehingga, kami berpikir bahwa dia memerlukan tipe pembelajaran yang bisa mengakomodir sisi ini. Sekolah dengan kelas yang cukup kecil dan pengajar yang memadai, sehingga bisa memberikan perhatian yang lebih dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ‘printilan’ yang mungkin diajukannya. Plus juga untuk mengakomodir sifat suka iseng, suka usil dan suka aktivitas fisik. 

Sempat terpikirkan untuk mengenalkan Ganesh dengan sekolah dengan aktivitas fisik yang dominan (bayangan kami seperti sekolah alam), namun kami urungkan. Kami sependapat bahwa Ganesh akan mampu mengendalikan dirinya asalkan menemukan alasan yang bisa diterimanya. Dengan demikian Ganesh bisa berlatih untuk lebih tenang, mendengarkan orang lain dan mengikuti norma lingkungan yang (mungkin) tidak sesuai dengan keinginannya. Sehingga kami pun sepakat untuk mencari sekolah dengan karakteristik: kelas kecil, pengajar memadai, seimbang antara aktivitas fisik dan non-fisik, kegiatan variatif dan menyenangkan untuk anak-anak dan pengajar mampu memberikan jawaban yang logis atas pertanyaan anak.

Mencari Sekolah Sesuai Kriteria. Kriteria sekolah yang kami inginkan sudah ada, kemudian tugas selanjutnya adalah mencari daftar sekolah sesuai kriteria itu di luar sana. Sesuatu yang awalnya terdengar sulit, tapi ternyata tidak karena kemudahan akses saat ini. Hanya dengan bertanya pada beberapa teman, browsing dan membaca selebaran yang sengaja disebar untuk tujuan promosi; daftar pun tersusun. Selanjutnya tinggal memperkecil daftar itu sampai akhirnya mendapatkan satu sekolah yang akan menjadi tempat belajar Ganesh berikutnya.

Selanjutnya, setelah daftar menjadi semakin sedikit dengan mempertimbangkan berbagai faktor (termasuk keterjangkauan lokasi dan biaya), kami pun datang ke sekolah untuk melihat sendiri fasilitas yang ada dan bertanya lebih lanjut tentang proses pembelajaran. Total, ada tiga sekolah yang kami datangi, dua cuma mengintip dari luar karena libur dan satu lagi benar-benar datang, melihat ruang kelas dan bertanya dengan staff marketing tentang teknik pembelajarannya. Termasuk bertanya, “Kalau anaknya belum bisa diam mengikuti kegiatan gimana ya?” untuk memastikan :D. Dan alhmadulillah jawabannya cukup membuat tenang, sehingga saya cukup optimis Ganesh akan senang dengan sekolah barunya. So, saya pun mendaftarkan Ganesh untuk kelas trial selama dua hari untuk memastikan…

Ganesh di Mulai Sekolah. Cukup deg-degan juga pada saat mengantar dan menunggui Ganesh ikut kelas trial; khawatir kalau Ganesh tidak merasa senang, kemudian menolak ikut kegiatan hingga tantrum. Iya, hari pertama dan kedua trial saya meminta ijin untuk menunggu di depan kelas. Memastikan Ganesh happy-happy di dalam sana, sambil beberapa kali mewek saat melihat Ganesh mengikuti kegiatan dengan gembira. Alhamdulillah, dia terlihat senang dan bersemangat dengan sekolah barunya, sampai-sampai dia yang tidak sabar menunggu kabar dari sekolah mengenai hasil observasi apakah dia sudah boleh bergabung atau belum. Bagian ini saya ikut-ikutan gelisah semacam menunggu pengumuman SPMB semasa akan kuliah dulu, khawatir Ganesh belum bisa masuk ke sekolah impiannya, padahal dia sudah begitu bersemangat…

Yang untungnya kekhawatiran saya tidak terwujud… dua hari kemudian kami dihubungi pihak sekolah bahwa Ganesh bisa bergabung, meskipun saat itu adalah tengah tahun ajaran. Dan tanpa ba-bi-bu, siang itu juga kami datang ke sekolah untuk menyelesaikan proses administrasi, fitting baju dan paginya langsung datang sebagai siswa. Alhamdulillah, dia akhirnya menemukan sekolah yang membuatnya gembira dan bersemangat; selain juga tentu saja menambah pengetahuan dan ketrampilannya :). Walaupun, ini sebenarnya belum happy end sih, karena butuh waktu selama sekitar dua minggu hingga akhirnya Ganesh bisa beradaptasi sepenuhnya dengan kegiatan di dalam kelas (berdasarkan laporan gurunya setiap hari).

***

Bagaimana Ibu-Ibu? Dari cerita kami, rasanya cukup panjang ya… Tapi, sebenarnya ga juga kok. Jika diringkas, untuk menentukan sekolah yang cocok untuk anak kita perlu melakukan langkah sebagai berikut:
  • Memperhatikan karakter dan potensi anak. Amati perilaku dan respon anak pada lingkungan untuk mendapat informasi ini. 
  • Menentukan karakteristik sekolah yang diperkirakan sesuai untuk anak. Misalnya tentang teknik pembelajaran yang sesuai, intensifitas pengajar yang dibutuhkan (ada anak yang perlu perhatian ekstra sehingga lebih cocok dengan kelas dengan sedikit murid). 
  • Membuat list sekolah yang diperkirakan sesuai dengan karakteristik anak melalui media yang ada (website, dari mulut ke mulut dan sebagainya) 
  • Perdalam informasi mengenai sekolah-sekolah ini bisa dengan berkunjung dan melihat sendiri ruangan kelas dan fasilitas; serta jangan lupa cari tahu dari pengajar atau bagian marketing sekolah mengenai kurikulum, teknik mengajar, dan sebagainya. 
  • Meminta ijin untuk coba langsung (trial) proses pembelajaran pada anak. 
Hanya lima langkah mudah untuk mendapatkan keceriaan dan semangat anak kita untuk berangkat sekolah dan belajar setiap harinya. Serta mood-nya yang terjaga karena dia tidak lagi bosan dengan aktivitas hari-harinya. Benar-benar membawa kelegaan tersendiri… :)


So, that is our story, parents… Semoga bermanfaat :)

With Love,
Nian Astiningrum
-end-