SOCIAL MEDIA

search

Tuesday, March 21, 2017

Aditya Car Wash & Cafe: Tempat Cuci Mobil Anti Mati Gaya

Siang itu, sepulang arisan… **saya yang arisan, ngajak anak-anak, dan suami yang antar jemput 😀** setelah awalnya berniat pulang saja, mendadak suami punya ide untuk mencuci mobil dulu. "Apa kita ke tempat cuci mobil yang waktu itu aja ya?" katanya. Dan langsung saya sambut, "Iya, ayok ke tempat waktu itu aja…" 


Beneran lho, ini suami ngajakin nyuci mobil… Dan ekspresi saya yang begitu excited itu juga bukan dibuat-buat. Tempat cuci mobil yang dimaksud suami itu memang berbeda dengan tempat cuci mobil kebanyakan. Disana, sembari menunggu mobil yang sedang dibersihkan, kita disediakan sebuah cafe dengan suasana yang begitu asri plus makanan dan minuman yang disajikan secara 'serius'!

Iya, 'serius', karena mereka begitu memperhatikan detail dari makanan dan minuman yang disajikan, baik dari segi penyajian maupun rasa. Kali pertama ke tempat ini, saya cukup amazed dengan cara mereka memotong telur rebus untuk soto secara melintang yang tidak biasa. Juga penyajian minuman yang selalu dipisahkan dari gulanya, membuat orang yang tidak terlalu suka manis seperti saya tidak kerepotan.

Ini adalah kali kedua kami mampir mencuci mobil di tempat ini; sebuah tempat cuci mobil, cafe dan guest house yang dikawinkan dengan apik bernama 'Aditya'.


Disini, kita bisa memilih untuk duduk di bagian luar atau di bagian dalam cafe. Jika memilih untuk duduk di bagian luar, maka kita akan disuguhi kesan sejuk, rindang dan asri yang begitu kental terasa. Bagian luar dihiasi dengan banyak tanaman hijau; bukan cuma yang ditanam di pot dan diletakkan di lantai, tapi juga yang berupa tanaman tempel dan gantung. Kita juga bisa menikmati lalu lalang kendaraan di jalan sambil sesekali melihat apakah mobil kita sudah selesai dicuci. Meskipun ini tidak begitu krusial, karena toh, kita akan diberitahu jika mobil kita sudah selesai dikerjakan.


Atau, jika ingin kesan yang lebih intim, kita juga bisa memilih duduk di bagian dalam yang diatur sedemikian rupa sehingga jauh dari kesan kaku… pemilihan perabot yang unik dan penataan yang detail membuat kesan santai, hangat dan intim begitu kental terasa dari cafe ini. Bagian dalam cafe juga adalah area bebas merokok, jadi kita bisa merasa lebih nyaman.


Karena suasana di dalam cafe yang demikian itu kemudian saya mengajak suami untuk duduk di dalam saja. Namun, suami mengajak duduk di luar saja dengan pertimbangan anak-anak akan lebih betah dan mudah dikendalikan daripada di dalam, hahaha 😂. Iya sih, kalau di luar mereka lebih banyak kegiatan; bisa asyik memperhatikan mobil kami yang sedang dicuci, naik-naik ke panggung yang digunakan untuk live music dan muter-muter tanpa mengganggu tamu yang lain… Dan kami pun bisa lebih santai menikmati minuman yang kami pesan. Lagi pula, waktu itu tidak ada tamu yang sedang merokok di luar, sehingga kami terganggu dengan asap rokok.


Untuk menunya sendiri, cukup bervariasi. Mulai dari Indonesian food seperti soto, Italian food semacam Spagheti sampai American food seperti aneka sandwich. Minumannya juga bervariasi, dari sekedar teh hangat, berbagai macam jus, sampai beraneka ragam es krim. Keturutan dah si Ganesh di sini, wajahnya sumringah bener dibolehin makan es krim 😄. Win-win bangetlah tempat ini, anak-anak suka, bapak-emaknya bisa santai, mobil juga jadi bersih kinclong. Yeay!

Foto dari Instagram Aditya Car Wash

Oh ya, dengan detail interiornya, tempat ini juga cocok banget lho dijadikan tempat meeting. Karena ada colokan listrik di masing-masing meja… Sederhana sih, tapi sangat dipertimbangkan untuk kegiatan-kegiatan yang membutuhkan listrik untuk sekedar charge hape atau laptop kan…

So, berminat untuk datang kesini? Silakan saja langsung ke sini, Aditya Carwash & Cafe di Jl. P. Emir M. Noer 47, TBU, Bandar Lampung dengan jam operasional car wash pukul 07.30 - 17.00 WIB. Sepertinya, untuk cafe-nya sih sampai malam, karena kami juga belum pernah datang kesini malam-malam. Untuk lebih jelasnya bisa hubungi kontak berikut 08117296559 / 089665977942.

Yeay, this is it… review pertama saya tentang suatu tempat. Semoga cukup membantu teman-teman yang ingin mencari tempat cuci mobil sekaligus refreshing di daerah Bandar Lampung ya… Terima-kasih.

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

When Being You is So Complicated

Banyak pendapat yang mengatakan, bahwa untuk bisa menjadi pribadi yang nyaman itu cukup dengan menjadi diri sendiri. Well, sesuatu yang mudah sepertinya, namun sangat sulit saya cerna… karena saya tidak mengerti siapa sebenarnya saya…

This whole post is like part 2 of previous story: DON'T LET YOU GET YOU

Hmmm… Mencari jati diri dan titik kenyamanan menjadi diri sendiri adalah sebuah pe-er dalam transisi saya dari seorang remaja menjadi seorang dewasa. Ada begitu banyak tuntuntan yang saya rasakan; dari lingkungan dan utamanya adalah dari dalam diri saya. If I simply an introversion yang lebih banyak berfokus pada perasaan dan pemikiran diri; yang seringkali tampak dari perilaku pendiam dan tertutup terhadap orang-orang yang belum dikenalnya dengan baik, serta hanya berlaku lebih sosiable pada kelompok orang yang dikenalnya… Jika demikian, maka sesungguhnya tidak ada suatu masalah yang berarti (bagi diri saya) seandainya bisa menerima hal tersebut. Seandainya saja… karena kenyataannya, saya tidak terlatih untuk itu. Sejak kecil, saya lebih diajari tentang sikap seperti apa yang disukai lingkungan, hingga tanpa sadar, itu pun menjadi tuntutan diri saya sendiri karena saya adalah seorang yang perfeksionis dan suka kompetisi. Padahal, bagaimana caranya saya bisa berenang jika saya adalah seekor burung; atau terbang saat saya adalah seekor ikan? Tanpa saya berusaha demikian keras untuk itu, merasa hopeless, dan demikian kecil karena tidak mampu…

Yah, itu hanya perumpamaan saja… Karena bagaimanapun saya berusaha untuk menjadi seorang yang supel, gampang bergaul, 'rame' dan sejenisnya; tetap saja, ganjalan itu ada. Lebih sering saya gagal dan berakhir dengan perasaan bahwa saya ini orang aneh…


Saya jelas memiliki masalah dalam mengekspresikan diri dengan perasaan semacam itu (perasaan takut gagal, takut tidak sempurna dan takut tidak bisa memenuhi ekspektasi diri dan lingkungan) di masa lalu. Situasi yang sungguh membuat frustrasi, di saat yang sama saya merasa memiliki pemikiran, ide dan kemampuan yang butuh teraktualisasi. Menurut saya, otak saya cukup encer, dan diam saat sesungguhnya ingin mengungkapkan sesuatu itu rasanya sungguh tidak nyaman. Sama tidak nyamannya saat ingin menunjukkan 'suara' saya, tapi selalu tercekat oleh ketakutan 'bagaimana jika hasilnya tidak sempurna seperti harapan saya'.

Saya seperti memiliki dua sifat yang kontradiktif… Menikmati menjadi pendiam, tapi ingin memiliki banyak teman; takut bertindak karena takut kegagalan, tapi memiliki keinginan yang begitu kuat untuk menunjukkan kemampuan… Hmm, kompleks bukan?

Well, itu dulu… Yang berlangsung cukup lama; sejak saya sangat kecil dan baru berakhir menjelang lulus kuliah. Dan beberapa orang menghubungkan itu dengan disiplin ilmu yang saya ambil, yaitu Psikologi. Hmm, ya, sekian lama belajar ilmu Psikologi memang membantu saya menemukan begitu banyak insight tentang diri saya. Tapi, jika mereka berpikir, bahwa proses ini semudah saya menjalani konsultasi psikologi dan kemudian berubah pikiran. Atau bahkan menjalani hipnosis lalu kemudian saya bisa berubah perilaku menjadi lebih ekspresif dan percaya diri… Itu jelas salah. Let me tell you once again, bahwa mengetahui lebih banyak tentang ilmu Psikologi memang membantu saya mendapatkan begitu banyak insight, tapi keputusan untuk berubah menjadi apa yang saya inginkan, diri saya yang lebih nyaman, sepenuhnya adalah tekad dan komitmen saya. Dimana sesungguhnya hal inilah yang paling berat dalam proses merubah perilaku dan pemikiran seseorang. Karena, percayalah, yang namanya proses perubahan itu selalu tidak nyaman, karena itu tekad dan komitmen yang kuat adalah satu-satunya hal yang bisa melewati proses ini.

Dan sekarang, saya akan menceritakan insight yang saya dapatkan…

Rasa ingin berubah menjadi pribadi yang lebih nyaman itu adalah motivasi dan tujuan pertama saya. Awalnya, saya pikir ini adalah sesuatu yang tidak terlalu sulit, saya cukup mendefinisikan seperti apa sesungguhnya diri saya dan menerimanya. At that time, saya pikir semua itu sederhana saja, sesederhana bahwa saya seorang introvert dengan segala sikap dan pandangannya yang harus saya terima. Dimana, ternyata saya sama sekali salah! Yes, I am an introversion, tapi saya juga memiliki dorongan yang begitu kuat untuk mengaktualisasikan diri ke dunia luar. Saya ingin suara saya didengar, dan itu tentu bukan dengan cara menerima saja sifat pendiam saya. Itulah yang membuat semuanya tidak sesederhana, "Ya, saya seorang introvert, it's OK to be quiet and a lot silence…" Itu yang membuat 'diam' dan berusaha untuk 'tampil' itu sama menyiksanya bagi saya.

That's why I saythat being me is so complicated… Tapi, menyerah bukanlah sifat saya! Saya menolak untuk menyerah begitu saja… Saya yakin, mengekspresikan diri dengan kondisi saya yang (sebut saja) cukup ekstrim introvert, bukanlah hal yang mustahil. Jika ini hal yang sulit, maka saya akan menjadi bukti nyata bahwa hal ini bisa dilakukan…

Dan kemudian, mulailah saya berusaha lebih banyak bicara. Mulai dengan kegiatan pada malam hari menulis topik apa yang akan bicarakan dengan teman A, B dan seterusnya. Yes, little silly maybe, tapi cara ini sangat membantu saya yang sangat tidak spontan. Termasuk juga, jika ingin bertanya atau berbicara di depan kelas, harus saya tulis dulu. Ini masih saya lakukan sampai memasuki semester 8 pada saat KKN lho, saya ingat betul, waktu itu saya menyiapkan catatan untuk berbicara pada seorang teman saya dalam rangka ala-ala konsultasi psikologis.

Siang harinya, atau pada saat harus berinteraksi, itulah 'medan peperangan' saya. Saya harus terus mengingatkan diri saya sendiri, "Harus maju! Harus ngomong! Persetan akan kelihatan konyol atau apa! Hidup cuma sekali, ambil risikomu untuk maju…" Berdamai dengan rasa dag-dig-dug setiap kali mau ngomong… Juga berdamai dengan rasa, "Aduh, kayaknya aku salah ngomong deh. Kayaknya tadi aku kelihatan konyol. Bla-bla-bla…" Pokoknya, siang hari, bagaimana caranya saya harus maju dan maju, ngomong dan ngomong, meskipun dengan segala ganjalan dan perasaan tidak nyamannya.

Baru pada malam harinya sebelum tidur, saya melepaskan semua ganjalan itu… Karena bagaimanapun juga, ganjalan itu harus dilepaskan, atau jika tidak tanpa disadari akan mempengaruhi mood kita. Seharian, saya 'berperang', ada banyak perasaan negatif yang perlu saya lepaskan (sebut saja, "Aduh, kayaknya aku salah ngomong deh. Dia mikir apa ya… Kayaknya tadi kelihatan konyol. Bla-bla-bla…"). Caranya adalah dengan berbicara dengan diri sendiri. Dengan membayangkan kejadian yang membuat saya merasa konyol (dan sebagainya), lalu menjelaskan pada diri sendiri, "It's OK Nian, berbicara salah itu adalah yang wajar, mereka juga tidak akan hanya menilaimu dari itu saja. Yang penting niatmu baik, berusaha berbuat baik, pasti pesanmu akan tersampaikan, terlepas dari kamu merasa itu konyol atau apa…"

Begitu terus selama hitungan bulan dan (mungkin) 1 tahun. Dari awalnya, benar-benar terasa berat; hingga perlahan-lahan terasa lebih ringan, hingga bahkan saya tidak perlu melakukan refleksi di malam hari karena merasakan ada ganjalan di hati saya. Dimana itu berarti, bahwa saya telah (lebih) menerima diri saya sendiri; seorang gadis introvert dengan banyak ide dan suara yang ingin disampaikan ke dunia luar. Satu tahun itu cukup lama bukan? Apalagi untuk merasakan hal-hal yang tidak nyaman karena perubahan sebuah perilaku yang mengarah pada kepribadian. Karena itu, setuju ya, jika saya sebut, butuh tekad dan komitmen yang kuat untuk itu.

And then… kembali ke judul post ini, 'When Being You is So Complicated', yang terinspirasi dari kelas diklat yang saya ikuti. Dimana seorang rekan saya memberikan komentar, bahwa untuk menjadi leader dalam posisi yang tinggi, hanya seorang yang memiliki kecerdasan berkaitan dengan manusia (people smart) yang dominan yang akan berhasil. Yang kemudian saya tanggapi, bahwa kecerdasan berkaitan dengan manusia memang penting untuk menjadi seorang pemimpin, tapi bukan berarti hanya orang-orang yang memiliki kecerdasan dominan itu saja yang akan berhasil. Karena toh, meskipun kita sesungguhnya tidak terlalu terampil dalam hal tersebut; dengan potensi, tekad dan komitmen yang kuat, kita memiliki kemampuan untuk mempelajarinya. Yah, meskipun mungkin memang tidak akan secerdas mereka yang memiliki bakat bawaan berkaitan dengan hal tersebut, tapi cukup memadai lah. Toh, yang namanya pemimpin kan bukan hanya sekedar masalah membina relasi dan sebangsanya, tapi juga tentang menggunakan kemampuan analitisnya untuk mengambil keputusan, dan banyak hal lainnya.

So, when being you is so complicated… Saat kamu memiliki sebuah keinginan yang sepertinya bertentangan dengan dirimu. Sesungguhnya kamu punya pilihan; untuk merasionalkan keinginan itu atau berusaha mewujudkannya. Tidak ada yang salah dengan keduanya, karena itu tergantung dari diri kita sendiri. Bukan hal yang salah, jika kemudian kita menyadari bahwa suatu keinginan sungguh tidak bisa dicapai dengan modal kepribadian yang kita miliki. Atau sebaliknya, berusaha mencari jalan tengah untuk tetap mengejar mimpi itu, dan menerima jika hasilnya tidak akan sesempurna bayangan kita.

Ya, seperti saya… Yang sekarang fine-fine saja berbicara di depan banyak orang, nyanyi juga lancar; meski kadang harus sedikit merasa dag-dig-dug juga. Dan meski kadang kala merasa tidak nyaman karena tidak sempurna, saya pun bisa menerimanya. I want to express myself, I'm an introversion, so I have to accept that little guilty and anxious feeling. It's OK

"Cause in life, there's gonna be time when you feeling low. And in your mind, insecurities they seems to take control. We start to look outside ourselves for acceptance and approval. We keep forgetting that, the one thing we should know is. Don't be scared to fly alone, find a path that is your own. Life will open every door, it's in your hand, the world is yours. Don't hold back and always know all the answers you will unfold. What are you waiting for? Spread your wings and soar!"
Lagunya Christina Aguilera nih… Yang menurut interpretasi saya sangat menggambarkan bagaimana galaunya pikiran pada saat struggling menghadapi berbagai tuntutan dalam diri dan dari lingkungan. Tapi satu hal yang harus diingat, yang terpenting dari dilema itu adalah, tentukan keinginanmu dan tetap kuat untuk meraihnya.


That's all I want to say… :)

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Tuesday, March 14, 2017

Don't Let 'You' Get You

Whoa, abstrak bener nih judulnya ya… Judulnya ini terinspirasi lagunya P!nk berjudul 'Don't Let Me Get Me', yang menceritakan situasi dimana si P!nk merasa bahwa dirinya ini memiliki begitu banyak kekurangan, sehingga berharap bahwa berharap bahwa dirinya adalah orang lain…
"Don't let me get me
I'm my own worst enemy
It's bad when you annoy yourself
So irritating
Don't wanna be my friend no more
I wanna be somebody else"
Sesuatu, yang pernah terjadi pada diri saya dan dalam beberapa kesempatan masih membuat saya risih akan keberadaannya. Dia adalah diri saya, dan dia bernama sifat perfeksionis. Atau lebih tepatnya sifat perfeksionis yang akut dan cenderung mal-adaptif. 

Huhu, yeah, begitulah saya, unfortunately punya beberapa sifat ekstrim yang (awalnya) membuat saya merasa kurang nyaman dengan diri sendiri. Sesuatu yang dulu saya pikir harus ditendang jauh-jauh dari diri saya; tapi ternyata tidak bisa! The only way to move on is to deal with that part of me… Terus maju, meskipun sesekali merasakan ganjalan dalam hati, dan juga menertawakan diri sambil berkata, "Oh, I hate myself…"


Hahaha, OK, sebelum makin abstrak penjelasan saya… baiklah, akan saya ceritakan sedikit tentang sebuah sifat perfeksionis yang cenderung mal-adaptif tadi…

Tuesday, March 7, 2017

Never Underestimate a Child: Sebuah Cerita Menyapih Anak

Halo ibu-ibu… apa kabar? Adakah yang sedang bergelut dengan episode dramatis bernama menyapih anak? Jika iya, mungkin cerita saya ini bisa menjadi bahan penyemangat dan penguat hati dalam proses menyapih buah hatinya. Dua kali menyapih anak, tentu ceritanya berbeda. Bukan sekedar karena anaknya beda karakter, tapi juga pengalaman saya juga bertambah.

Cerita menyapih anak pertama bisa dibaca disini: GANESHA’S ‘BYE BYE NENEN’ MOMENT…

Dan waktu itu… 3 tahun lebih dari masa itu; saya memutuskan untuk menyapih anak kedua saya, Mahesh, yang saat itu berusia 2 tahun 3 minggu. Sebuah keputusan yang sebenarnya berat bagi saya walaupun Mahesh sudah berusia 2 tahun lebih. Namanya juga ibu melankolis… Mendengar anak saya kala itu selalu menolak setiap saya tanya, “…Adek, Adek kan sudah gede, ga usah nenen lagi ya…” jelas saya belum sampai hati untuk menyapihnya. Ya, mungkin saat ini saya masih menyusuinya, seandainya tidak mendapat panggilan mengikuti diklat selama 2 minggu lamanya. Yang 3 hari 2 malam di antaranya mengharuskan saya menginap di tenda, tanpa komunikasi dengan dunia luar. Mau tidak mau, saya harus menyiapkannya, karena Mahesh memang sudah tidak minum ASIP sejak sebulan terakhir. Dan nenen baginya lebih untuk sekedar mencari kenyamanan psikologis.


Lebih dari 1 tahun yang lalu, saya pernah mengundurkan diri dari diklat yang sama dan meminta penundaan semaksimal mungkin. Jadi, saat akhirnya dipanggil kembali, hati pun berkata bahwa saya harus berusaha kali ini. Apalagi anak saya sudah berusia 2 tahun lebih, sudah bisa disapih. Jadi, rasanya saya harus mencoba dulu, daripada begitu resisten dan langsung menolak.

Cerita tentang dilema saya sebagai ibu bekerja bisa dibaca disini: JALAN TENGAH YANG TIDAK BERTEMU

Singkat cerita, sekitar seminggu sebelum jadwal diklat, saya mulai mengajak Mahesh memasuki babak baru dalam proses menyapihnya. Karena, sesungguhnya proses sounding sudah saya lakukan sejak usianya mendekati 2 tahun. Pada saat Mahesha menyusu, seringkali saya ajak mengobrol, “Adek… Adek kan udah gede, udah mau 2 tahun umurnya… Nanti, kalo udah 2 tahun, Adek ga nenen lagi ya…” Terus dan terus, dengan variasi kata yang berbeda. Kadang saya tambahkan, “…biar Adek makin pinter, bisa sekolah kaya Kakak…” Atau, “Adek pasti bisa, duluMama, Papa, Kakak juga nenen, tapi pelan-pelan bisa kok ga nenen lagi…” dan sebagainya.

Hingga, saya ingat betul, hari itu Hari Kamis (09-02-2017), saya mulai berusaha lebih keras mengalihkan perhatiannya setiap kali ingin menyusu dengan kegiatan lain. Termasuk pada saat dia ingin tidur malam, saya menawarkannya untuk bobo gendong jalan-jalan. Awalnya, tentu dia masih saja ingin nenen yang tentu saja menguji keteguhan hati saya. Tapi dengan juga menguatkan diri, kembali lagi saya coba memberi pengertian, “Adekkita coba ya bobo-nya ga usah nenen yaMama gendong aja yuk! Adek pasti bisa! Kita coba sama-sama ya…” Dan kemudian saya menggendongnya dengan kain, mengajaknya keluar rumah melihat bulan dan cicak, hingga akhirnya dia semakin mengantuk, minta dinyanyiin dan tertidur.

Fiuhh, lega sekali Kamis malam itu acara menidurkan Mahesh berhasil kami lewati tanpa nenen. Dalam hati, tentu saja terbersit rasa haru dan sedih, serta juga rasa bangga dan kekuatan, melihat Mahesh pun berusaha menguatkan dirinya sendiri. Saya berjanji akan menguatkan diri juga dan membantu Mahesh melewati proses ini, dengan menunjukkan lebih banyak cinta dan juga konsistensi. Iya, karena seperti proses mendidik apapun, menyapih pun butuh konsistensi. Sikap kadang-kadang boleh, kadang-kadang tidak, hanya akan membingungkannya dan membuatnya lebih tersiksa karena berharap.

So? This is it? Inikah kali terakhir Mahesh menyusu? Dan jawabannya adalah ‘tidak’… Malamnya, Mahesh terbangun ingin menyusu dan dengan pertimbangan singkat, saya pun memenuhi keinginannya dengan alasan waktu itu posisi Mahesh sedang setengah sadar. Jadi, meskipun alam bawah sadarnya merekam hal ini, alam sadarnya kemungkinan besar tidak akan menyadarinya dan saya masih bisa melanjutkan penguatan esok hari. Atau sederhananya, dia ga akan ingat kejadian malam itu, tidak akan mempengaruhi pemahaman yang sudah dimilikinya saat sadar bahwa dia harus belajar untuk tidak nenen lagi. Serta juga, dari sisi saya, ini untuk mengurangi efek payudara yang penuh karena air susu yang tidak dikeluarkan. I think it’s OK for both of us

Dan benar saja, Jumat (10-02-2017) pagi dia terbangun, dia tidak serta merta meminta nenen seperti biasanya. Yang mungkin juga efek dari pujian dan semangat heboh yang kami kami berikan begitu dia membuka mata pagi itu. “Papa, Adek hebat lho! Semalem bobo-nya ga nenen lagi! Kan Adek udah gede ya…” kata saya pura-pura menceritakan kehebatan Mahesh pada papanya. And it works… Memang, Mahesh masih terucap, “Adek mau nenen…” tapi, sudah lebih mudah dialihkan pada aktivitas lain. Dan pagi itu pun, saya berangkat ke kantor tanpa sebelumnya menyusui Mahesh, alhamdulillah…

Demikian juga pada saat saya pulang kerja, Mahesh tidak lagi langsung minta nenen seperti sebelumnya. Dia sibuk mengajak saya main ini dan itu. Disitu terlihat sekali kalau dia pun berusaha untuk tidak meminta nenen, dan kalau pun akhirnya dia minta nenen, dia lebih mudah diberi pengertian, ditenangkan dan dialihkan dengan kegiatan lain. Sampai akhirnya tiba waktunya Mahesh mengantuk di malam hari tentu saja. Saat seperti ini, memang membutuhkan usaha ekstra untuk mengalihkannya dari keinginan untuk menyusu. Mahesh memang tidak sampai menangis, palingan, dia berkata, “Adek mau nenen…” beberapa kali. Namun saat saya kemudian menggendongnya, (masih dengan tema yang sama) keluar melihat bulan dan cicak, perhatiannya pun teralihkan. Lama kelamaan ngantuk, minta dinyanyiin dan tidur… Good job Le!

Nah, tantangannya adalah pagi dini harinya saat dia terbangun dan minta nenen. Waktu itu, dengan mengumpulkan semua kesadaran dan kekuatan; saya pun menggendongnya dan berkata, “Adek kan sudah gede, minum air putih aja ya… digendong sama Mama…” Yang, dia sambut dengan suara ngotot dan marah, “Adek maunya nenen!” lalu menangis. Ya, saya memakluminya, waktu terjaga di malam hari seperti ini, alam bawah sadarnya yang lebih banyak bekerja. Dan kebiasaan dan keinginan nenen tentu lebih kuat tertancap dalam ingatannya, daripada ingatan bahwa dia sudah gede dan harus berusaha untuk tidak nenen lagi.

Mahesh terus menangis, tantrum, menegangkan badannya tidak mau digendong meminta nenen. Dan dengan sedih (tapi harus kuat), saya pun berkata, “Adek, Mama juga sedih… Tapi kita harus belajar Adek… Kita pasti bisa! Adek minum air putih ya…” Terus dan terus, waktu terasa berjalan lama, hingga akhirnya dia berhenti menangis, minta air putih dan tidur dalam gendongannya. Yang ternyata semua itu hanya berlangsung selama kurang lebih 15 menit saat saya melirik ke arah jam dinding. Iya, waktu yang terasa begitu lama itu, ternyata hanya 15 menit saja. Dalam 15 menit, Mahesh bisa menenangkan dirinya, dan itu semakin membuat saya merasa yakin bahwa dia adalah anak yang hebat. Dia pun berusaha keras untuk menyapih dirinya sendiri, dan karena itu, saya pun harus lebih bersemangat meyakinkannya kalau kami berdua bisa. Semangattt!

Dan akhirnya, sejak Jumat malam itu, Mahesh resmi tidak nenen lagi hingga seterusnya. Beberapa hari berikutnya, sampai dengan sekitar 3 minggu, beberapa kali dia bilang, “Adek mau nenen…” Tapi, saat saya kemudian berkata, “Eit, Adek kan udah gede, jadi enggak nenen lagi…” dia pun tidak meminta lagi. Terkadang berkata, “Inum ai utih aja ya…” dan kemudian minum air putih. Yes, he’s my son! Saya benar-benar bangga padanya. Bangga dan terkagum-kagum! Karena sebelumnya, saya selalu berpikir bahwa proses menyapihnya akan jauh lebih sulit dari Kakaknya melihat perangainya yang ngotot-an dan sulit mendengarkan pendapat orang lain. Dalam hal ini saya jelas salah menilainya. Dia mungkin memang ngotot-an dan keras kepala, tapi (sepertinya) dia juga dibekali dengan willing yang kuat dan kesadaran untuk mengendalikan hal itu. Dia benar-benar membuktikannya dalam proses ini.

Termasuk bagaimana usahanya untuk terlelap dengan berbagai cara tanpa nenen. Kadang minta dikelonin dan baru tertidur setelah gulang-guling kesana-kemari beberapa lama. Kadang minta dinyanyiin; dari lagu Dusty sampai Skipper yang harus saya karang sendiri. Atau minta dipeluk pada saat kami sedang dalam perjalanan. Ya, baginya menyusu adalah cara untuk menenangkan diri dan tertidur; dan saat dia setuju untuk tidak nenen lagi, dia harus mencari cara baru dan beradaptasi.

Berdasarkan pengalaman saya ini salah satu insight yang saya dapatkan adalah untuk tidak sekali pun menganggap remeh kemampuan anak kita. Kadang, sebagai seorang ibu, kita memiliki begitu banyak ketakutan yang berasal dari rasa sayang yang begitu besar. Yang membawa kita takut membuatnya sedih, apalagi menyakitinya. Ketakutan itulah yang kadang membuat kita tidak memberi anak kesempatan untuk mengaktualisasikan potensinya. Untuk itu, terkadang kita harus memberinya kepercayaan, meski kita pun harus menguatkan diri untuk itu. Sebagaimana saya berusaha menguatkan diri untuk percaya bahwa Mahesh sudah besar dan bisa lepas dari nenen.

Dalam hal ini, saya pun tidak menggunakan cara seperti mengoleskan sesuatu ke puting, menempelkan plester dan sebagainya. Karena bagi saya, momen menyapih justru adalah salah satu kesempatan kita untuk mendidik anak; untuk mengendalikan keinginannya serta berkomitmen. Menurut pendapat saya; saat kita menyapih dengan ‘berbohong’, anak justru akan mengalami dilema antara keinginannya untuk menyusu dan rasa tidak suka karena putingnya terasa pahit. Sementara dengan memberikan penjelasan dan penguatan (tanpa berbohong), justru kita membantunya untuk menemukan insight dan keyakinan untuk menyapih dirinya sendiri. Jadi, ya, secara pribadi saya lebih merekomendasikan cara menyapih ini. Lebih lagi dalam pengalaman saya menyapih dua orang anak, saya membuktikan bahwa pikiran bahwa setiap anak pasti rewel, tantrum dan mati-matian menolak untuk disapih; atau bahwa proses ini akan jauh lebih berat daripada dengan menggunakan brotowali dan sebangsanya… menurut saya, itu hanya mitos! 

Demikian menurut pendapat dan pengalaman saya… Tapi tidak berarti saya tidak respek pada ibu-ibu yang memilih cara yang saya sebutkan di atas. Just another point of view, only follow it when you’re agree. If not, then respect it ;)

Nah, kemudian, untuk proses menyapih sendiri, berikut langkah-langkah yang kami lakukan:
  1. Sounding untuk memberikan pemahaman dan pengertian bahwa dia harus berpisah dengan nenen, apa alasannya, hal menyenangkan apa yang bisa dilakukan tanpa nenen, dan sebagainya. Tentu dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami anak dan jauh-jauh hari, sebelum memulai untuk mengurangi frekuensi menyusui dan sebagainya. 
  2. Pilih waktu yang tepat, yaitu waktu dimana anak cukup rileks dan stabil. Jangan menyapih saat anak menghadapi kondisi berat; seperti saat sakit, dalam perjalanan jauh, pindah rumah, ganti pengasuh, dan sebagainya. 
  3. Beri dukungan psikis. Berikan cinta dan perhatian yang lebih supaya anak merasa lebih tenang, serta percaya pada kita dan bahwa keadaan akan baik-baik saja. 
  4. Hindarkan benda-benda atau situasi-situasi yang membuatnya teringat pada momen menyusui; misalnya kamar, baju daster, dan sebagainya. 
  5. Pandai-pandai mencari kegiatan untuk mengalihkan perhatian saat anak ingin menyusu. Misalnya bermain, lihat bulan, lihat cicak, lihat burung, lihat ikan, dan sebagainya :D. 
  6. Percaya pada diri sendiri dan anak, bahwa berdua akan mampu melewati masa ini. Ingat, percaya potensi anak, never underestimate them
  7. Konsisten tapi jangan mendadak! Jangan tanpa angin tanpa hujan, tiba-tiba kita menghentikan proses menyusui. Tapi bukan berarti kemarin boleh, sekarang tidak boleh dan seterusnya; karena hanya akan menyiksa anak dan memperlama proses menyapih. 
**Whoa, nyaris 1700 kata! Saatnya kalimat penutup sebelum semua bosan membaca ocehan saya :D**

So, kira-kira itulah insight dan lesson learned apa yang saya dapatkan dari episode menyapih anak kedua saya ini. Terima-kasih sudah membaca, semoga bermanfaat… dan happy parenting ;).

With Love,
Nian Astiningrum
-end-