SOCIAL MEDIA

search

Monday, July 31, 2017

Ooh, I Feel Underappreciated!

Exactly! Itulah yang saya rasakan pasca ujian pelaksanaan proyek sebagai tugas pasca diklat di kantor untuk kenaikan (sebut saja) peringkat.

Disclaimer: ini tulisan curhat. Tulisan ini jujur, tapi harap dimaklumi jika (mungkin) sedikit lebay dan dramatis 😂

Bukannya ga lulus… Lulus sih, tapi sebenarnya saya berharap respon yang lebih 'menantang' dari penguji atas proyek saya ini. Karena, saya bukan sekedar mengerjakannya sebagai syarat kelulusan, tapi dengan passion… Bukan kenapa-kenapa, bukan sok-sok-an banyak waktu juga… Tapi, memang sudah bawaan saya perfeksionis dan cenderung malas mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai standard saya. Jadi, daripada jadi proyek mangkrak, lebih baik dikerjakan bener-bener saja…


Saya berusaha merancang dan mengerjakan sebuah proyek yang (memang) tidak bisa dibilang mahakarya sih, tapi menurut saya cukup original, unik dan ditulis dengan jelas.

Saya membuat suatu metode pengembangan kemampuan kepemimpinan pegawai dengan basis kepribadian. Karena menurut pengamatan saya selama kurang lebih 8 tahun sebagai admin SDM, pengembangan soft skill yang dilakukan di perusahaan lainnya baru dikaitkan dengan dengan kompetensi yang dibutuhkan. Misalnya; orientasi pelayanan pelanggan, kepemimpinan, dan sebagainya. Selanjutnya, maka pengembangan dilakukan tanpa memperhatikan latar-belakang kepribadian seorang pegawai.

Hmm, agak sulit dipahami ya… Hmm, kira-kira begini…

Jadi, pada saat seseorang dinilai memiliki (misalnya) aspek pelayanan pelanggan yang rendah, sebenarnya akan sangat bermanfaat bagi seorang pengelola SDM untuk melihat kepribadian yang melatarbelakangi perilaku tersebut. Misalnya; sikap kurang ramah, hanya sekedar menjawab pertanyaan dari pelanggan tapi tidak berusaha mencari tahu kebutuhan pelanggan lainnya; bisa jadi hal ini disebabkan karena:
  • orang tersebut cenderung cuek dan lebih suka bermain-main,
  • orang tersebut cenderung pemalu, sehingga membatasi interaksi seperlunya saja,
  • atau malah orang ini merasa kalau pekerjaannya kurang menantang, pengennya cepet selesai, pengen merasa lebih produktif, dan sebagainya…

Jadi, pada saat seorang yang dinilai kurang memiliki kemampuan pelayanan pelanggan yang baik lalu kemudian dipukul rata diberikan pelatihan pelayanan pelanggan; seperti menyapa pelanggan dengan ramah, memberikan pelayanan yang cepat, dan sebagainya; berusaha membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan… Bukannya tidak bermanfaat, tapi sangat mungkin hal itu akan kurang efektif, karena tidak semua dilatarbelakangi ketidaktahuan atau kekurangterampilan, tapi bisa jadi karena sesuatu yang mendorong dalam diri mereka. Dan itu adalah 'kepribadian'… Sehingga treatment yang perlu diberikan pun akan lebih efektif jika disesuaikan dengan 'kepribadian' ini. 

Masuk akal bukan…

Lebih lanjut, mengapa kemudian saya secara spesifik memilih sasaran atasan dan menyasar kemampuan kepemimpinannya adalah tidak lain karena saya melihat hal ini adalah sesuatu yang sangat strategis dalam perusahaan. Selama 8 tahun mengurusi hal berkaitan dengan SDM, saya merasa bahwa berhasil tidaknya suatu program, bagaimana seorang pegawai di bawah suatu organisasi akan dikembangkan, bagaimana keputusan strategis akan diambil, sampai dengan urusan motivasi kerja bawahan; semuanya ditentukan oleh seorang atasan.

Dan dalam banyak kasus, seorang atasan tidak mampu 'berfungsi' dengan baik karena kendala berkaitan dengan kepribadian seperti yang saya ceritakan di atas. Ada kalanya karena hal ini menghambatnya dalam melakukan suatu tindakan yang seharusnya dilakukan, atau bisa juga ketidakpahaman akan kepribadiannya justru membuatnya berjarak dengan bawahan. Dimana yang kedua ini tentu juga akan mempengaruhi efektivitas kepemimpinannya.

It's like something, isn't it? Sesuatu yang menurut saya bisa membawa pengelolaan SDM yang ada di unit kerja saya ke level yang lebih tinggi. Lebih dari sekedar formalitas atau tembakan-tembakan random ke segala arah yang tidak efektif. Sesuatu yang terasa begitu effortful tapi low impact. Ya, ini bahasa ekstrimnya saja sih, bukan berarti benar-benar bahwa pengelolaan SDM yang sekarang benar-benar tanpa arti… bukan! Tapi, saya benar-benar ingin menunjukkan bahwa kita bisa lho bergerak ke tingkatan yang lebih tinggi! Sekarang! Dengan ide dan willing kita sendiri… Tanpa menunggu petunjuk atau instruksi dari level organisasi yang lebih tinggi.

Terdengar dramatis ya… tapi memang begitu lah adanya 😂. Saya benar-benar menganggap serius proyek ini! I put all my heart and soul to do it lah pokoknya. Bukan sekedar sebagai syarat kelulusan…

Dan saat para penguji bahkan tidak memahami memahami apa yang saya tulis, tapi tidak berusaha mencari tahu dan justru memberikan komentar atau pertanyaan. Saya memang lulus, tidak perlu mengulang diklat dua minggu yang penuh perjuangan dengan membawa anak + pengasuh, mendatangkan ibu saya untuk menjaga si Kakak, dan sebagainya… Tapi ada rasa kurang puas dalam hati saya.

I feel underappreciated

Sedih…

Tidak puas…

Kecewa…

Merasa kerja keras saya tidak terbayar lunas…

Saya berharap para penguji paling tidak membuka diri untuk memahami apa yang saya kerjakan, bukan sekedar mencari celah yang kurang krusial untuk dipermasalahkan karena harus ada sesuatu yang dipermasalahkan di dalam ruang sidang. Baiklah, jika memang itu sesuatu yang harus diperbaiki, saya setuju, saya akui dan akan saya perbaiki; so let's move to another point.

Berkali-kali saya memberikan sinyal ini, berharap bahasan beralih ke sesuatu yang lebih 'seru', but failed… Mengenai format penulisan yang dikupas berulang-ulang meskipun saya sudah menerima untuk melakukan perbaikan, tentang data kualitatif yang dianggap kurang objektif yang sudah saya jelaskan tentang cara berpikirnya, dan beberapa hal lain. Harapan bahwa mereka akan menengok pada cara assessmen kepribadian yang saya gunakan, cara penentuan pengembangan yang saya rekomendasikan, bagaiman tanggapan responden yang sudah terlibat dalam proyek ini, hingga dampak dari proyek ini; tidak sedikit pun disentuh…

Saya kecewa sih… jelas kecewa…

Tapi saya tidak menyesal, karena saya merasa ini sama sekali tidak sia-sia! Seperti yang saya bilang, mengapa saya bersusah payah mengerjakan tugas ini, bukan sekedar untuk sebuah sertifikat kelulusan. Saya melakukannya sesuai dengan passion, standard, idealisme dan harapan saya. Tidak ada yang sia-sia disini; saat saya merasa puas dengan hasil kerja saya dan merasa bahwa proyek ini bisa menjadi batu loncatan untuk meraih idealisme dan harapan saya. I'll keep doing it; untuk diri saya sendiri dan untuk orang-orang di sekitar saya…

Begitu kira-kira…

Bagaimana menurut teman-teman? Pernah merasakan hal yang sama? Merasa hasil kerjanya kurang dianggap serius dan kemudian bete? Yes, it feels so bad! Rasanya nyebelin, tapi, jangan menyerah dan nglokro dalam istilah Jawa. Jika itu memang bermanfaat untuk diri kita dan orang di sekitar kita, kenapa harus mengambil pusing pendapat dan apresiasi beberapa orang?

Setuju kan?

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Tuesday, July 25, 2017

Once Upon A Time in Bali With 5 and 2 Year Old Kids...

Pernah suatu kali saya berkelakar dengan suami, "Wajar lah ya, beberapa orang memandang kita ini cukup tajir padahal sebenarnya penghasilan sama aja… Lha wong kita ini ga pernah liburan kaya orang-orang… Coba aja bayangin, ga usah ke luar negeri deh, ke luar kota aja kalo memang niatnya memang liburan, yakin deh pasti banyak keluar duit…"

Dan suami hanya nyengir…

Bukannya kepengen liburan sih, karena memang saya tidak terlalu suka traveling. Menurut saya, traveling itu ribet. Saya lebih suka ngendon di rumah atau jalan-jalan ke tempat yang dekat untuk menghabiskan hari libur. Dan suami pun sepertinya begitu. Dia tidak terlalu berhasrat untuk menghabiskan waktu untuk liburan. Baginya alasannya sepele dan tidak terbantahkan. Tidak ada waktu. Titik. Haha…

Dan begitulah waktu berjalan hingga 6 tahun pernikahan kami, tidak sekali pun benar-benar traveling untuk liburan. And we feel fine… Sampai pada suatu hari, timbul juga hasrat untuk merencanakan liburan berempat gara-gara momen Garuda Travel Fair tahun 2016. Yes, pada hari itu, di luar kebiasaan, kami bersedia berdesak-desakan untuk mencari tiket liburan pertama kami, yang akhirnya kami putuskan ke Bali.

Awalnya, kami berencana untuk berangkat pada bulan Januari, sebelum usia Mahesh 2 tahun demi menghemat tiket pesawat. Tapi karena bentrok dengan acara pernikahan sepupu, akhirnya dimundurin. Walaupun akhirnya nikahan sepupu pun kami tidak bisa hadir karena saya kena flu parah sampai harus bed rest… Dan liburan ke Bali yang direncanakan di Bulan Maret pun musti reschedule ke Bulan April karena Mahesh yang sakit, yang berarti menambah cost lagi. Sehingga harga tiket kami berasa benar-benar ga promo lagi, hiks… Kalau dipikir dari sisi materi, sebenarnya ini jadinya ga fun lagi… But it's OK lah, sekali-sekali ini kan, harus sehat semua biar bisa benar-benar dinikmati bersama.

Dan akhirnya tibalah kami di Bali 12 April 2017…


Kami menginap di The Kuta Beach Heritage Bali yang berlokasi di seberang Pantai Kuta, tepatnya di Jl. Pantai Kuta, Br. Pande Mas. Kuta, Badung 80361. Bali-Indonesia. Sebagai seorang yang (seingat saya) ga pernah merasakan hotel yang premium, hotel ini sangat reccomended menurut saya. Lokasinya yang sangat dekat dengan pantai kuta, membuat suasana terasa syahdu oleh deburan ombak, meskipun kadang terdengar juga suara alunan konser musik yang diadakan di sekitar hotel –tapi, tenang, ga sampai berisik kok.

Selain lokasi; yang paling OK dari hotel ini adalah sarapannya yang enak, bervariasi dan tempatnya di dekat kolam renang outdoor di lantai atas! Ini keren! Karena kami bisa main-main air dulu dan langsung lanjut sarapan.

Oh ya, tapi ada satu masukan untuk hotel ini, untuk pintu masuk dari belakang ada baiknya dipasang penunjuk arah. Saat datang, kami sempat cukup lama kebingungan mencari tempat check in, yang ternyata dikarenakan kami salah masuk lewat pintu belakang! Yah, seharusnya, jika itu memang pintu belakang, karena lokasinya di pinggir jalan, akan sangat membantu jika diberikan penunjuk arah tempat check in. Dah itu aja minusnya, lainnya cukup OK.

Tempat favorit anak-anak di hotel, bathup!
Dan kalau mereka sudah di sini, sibuklah saya cekrak-cekrek,
soalnya desainnya eye catchy sekali :D
Selama di Bali, setelah beristirahat semalaman, siangnya –iya, siang, karena anak-anak susah diajak buru-buru dengan segala excitement-nya– kami pun mulai petualangan kami menjelajahi Bali ke tempat-tempat berikut ini:

Bali Safari & Marine Park


Yeay! Day one, kami akhirnya memutuskan untuk ke Bali Safari & Marine Park yang berlokasi di Jl. Bypass Prof. Dr. Ida Bagus Mantra Km. 19,8, Serongga, Kec. Gianyar, Kabupaten Gianyar, Bali 80551.

Ada beberapa wahana dan atraksi yang bisa kita nikmati disini, dimana tiket bisa dibeli di masing-masing wahana/atraksi. Di sini, kami bersenang-senang dengan cara:
  • Memberi makan gajah! Jadi, disana kita bisa membeli makanan gajah dan memberikannya dengan dipandu oleh mbak dan mas pawang gajahnya.
  • Mengelilingi taman safari dengan mobil. Ini pertama kalinya kami berwisata seperti ini, jadi rasanya benar-benar seru; melihat binatang-binatang bebas di area yang luas, sampai sempat berhenti untuk menunggu seekor gajah lewat. Lalu heboh pada saat mobil melewati  semacam kolam berair dan tentu saja excited dengan binatang-binatang yang ada di sana.
  • Berfoto dengan gorila! Tentu saja dengan bantuan mbak dan mas pawang di sana. Ambil fotonya juga bayar, tapi it's OK, kan untuk pengelolaan binatangnya juga.
  • Melihat atraksi hewan terlatih. Waktu itu, atraksi yang kami lihat adalah atraksi burung elang.
  • Melihat ikan dan hewan air dalam akuarium. Yang spesial sebenarnya adalah atraksi memberi makan ikan piranha, yang kami lewatkan, karena anak-anak sudah kecapekan. Yes, anak-anak tidak bisa ditawar, jadi marilah kita pulang…
Ubud Monkey Forest


Di hari kedua, kami memilih Ubud Monkey Forest yang berlokasi di Jl. Monkey Forest, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali 80571 sebagai tujuan.

Di sepanjang jalan dari parkiran menuju lokasi, kanan-kiri terdapat berbagai macam restaurant dan tempat makan, yang rata-rata bercita-rasa bule. Sehingga kami menyimpulkan bahwa tempat ini lebih banyak dikunjungi wisatawan asing daripada lokal.

Dan benar saja, sampai di sana mayoritas pengunjung adalah turis asing. Tapi, meskipun bukan bule, saya suka tempat ini! Suasananya hutan banget! Cuma, bagian agak ngerinya adalah saat ada monyet yang mendekat dan mau mengobrak-abrik kantong bagian bawah stroller Mahesh! Padahal ya, kami sudah mengindahkan peringatan yang diberikan dengan tidak membawa makanan ke dalam area. Eh, ternyata, monyet-monyet ini mengincar botol air mineral yang kami taruh disana 😅.

Di sini kami bersenang-senang dengan cara:
  • Berpetualang menjelajahi hutan dan kuil kuno ala-ala film juglebook. Beneran mirip! Karena disini kan ada monyetnya juga, jadi serasa berada di area monkey temple gitu.
  • Memberi makan monyet –tentu saja dengan makanan yang bisa dibeli di lokasi– tapi dilarang ya memberi makan monyet dengan makanan dari luar, untuk menjaga kesehatan monyet-monyet disana.
  • Menikmati kuliner bule yang ada di sepanjang jalan dari parkiran menuju lokasi. Tapi ini musti hati-hati, perlu tanya dulu apakah halal atau tidak.
Bulih Bali Turtle Park


Hari ketiga, setelah menimbang beberapa alternatif, akhirnya kami memutuskan berkunjung ke Pulau Penyu di Tanjung Benoa. Untuk mencapai lokasi Pulau Penyu, kami harus menyewa kapal boot yang akan mengantar kami berangkat dan pulang kembali dari pulau.

Di sana, kami bersenang-senang dengan cara:
  • Naik kapal boot menuju pulau penangkaran penyu yang cukup seru karena kecepatan dan air yang terciprat-ciprat ke arah kami, lalu makan ikan –bukan penyu ya– dengan roti yang sudah disediakan oleh penyewa.
  • Melihat dan berfoto dengan penyu yang super besar –walaupun kami ragu juga, apakah dia tidak merasa terganggu karena berkali-kali diangkat ke tepi pantai.
  • Melihat hewan-hewan lain seperti burung yang juga dipelihara disana.
Sebenarnya, secara pribadi ada hal yang kurang saya sukai dari tempat ini; pertama perlakuan pada hewan yang menurut saya kurang lembut dan hewan-hewan selain penyu yang kandangnya kurang terawat. Dan kedua, karena pengelolaan dan pelayanannya yang kurang profesional. Jadi pada saat datang ada guide yang mengantar kami menjelajahi area, yang bukannya tidak ramah atau baik, guide-nya baik, cuma kesannya terburu-buru dan grusah-grusuh.

Well, semoga suatu hari kesini lagi, tempat ini jauh-jauh lebih baik…

Pantai Pandawa


Masih di hari ketiga, sorenya bertolak dari Pulau Penyu, kami langsung menuju Pantai Pandawa yang berlokasi di Jl. Pantai Pandawa, Nusa Dua, Kutuh, Kuta Sel., Kabupaten Badung, Bali 80361. Awalnya saya kurang ngeh kenapa pantai ini diberi nama Pandawa, namun saat memperhatikan jalan menuju pantai di tepi gunung batu yang diukir membentuk tokoh Pandawa Lima, baru saya tahu. Patung ini sendiri sepertinya baru dibuat alias bukan peninggalan kuno, yup, tempat wisata ini memang tergolong baru!


Yang paling menyenangkan dari pantai ini adalah ombaknya yang relatif aman karena adanya tanggul yang sengaja dibuat. Karena itu, anak-anak pun bisa bermain kano dan berenang di tempat ini, dengan tentu saja tetap di bawah pengawasan orang dewasa.

Dan di sini, kami bersenang-senang dengan cara:
  • Bermain air di pinggir pantai! Klise sih, tapi tetap saja menyenangkan! Apalagi saat si Mahesh memang susah bener dirayu untuk main agak ke tengah. Jadilah kami main air di pinggir pantai sambil menunggu papa dan kakaknya pulang main kano.
  • Main kano! Karena pantainya memang kondusif, banyak pengunjung yang bermain kano yang disewakan disini.
  • Foto-foto dan menikmati langit sore yang indah pada saat pengunjung mulai berangsur pulang… Liat deh warna langitnya, gradasi biru, pink dan putihnya enak banget dilihat.

3D Art Museum DMZ Bali


Nah, hari terakhir di Bali, sebelum berangkat ke bandara untuk kembali ke Lampung, kami mampir ke 3D Art Museum DMZ Bali yang berlokasi di Jl. Nakula No.33X, Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali 80361. Yang baru saat membuat tulisan ini, saya tahu ternyata adalah (semacam) franchise dari wahana yang sama di Korea.

Gambar 3D di sini bagus! –Tapi ini review dari seorang yang belum pernah ke museum serupa sebelumnya sih–

Di sini, kita bisa berfoto dengan berbagai latar gambar 3D yang membuat hasil foto kita benar-benar nyata –background terlihat nyata–.

Kami cukup excited dengan gambar 3D yang disajikan, meski kurang bisa menikmati karena berkali-kali Ganesh kabur! Hingga kami terpaksa perang urat saraf dengannya setiap kali dia menghilang dengan alasan bosan. Dasar bocah kinestetik, susah bener disuruh diem! 😤


Dan disini, kami bersenang-senang dengan cara:
  • Menikmati gambar 3D yang ada!
  • Berfoto dengan latar belakang gambar 3D tersebut! Untuk hal ini, di setiap scene ada panduan foto dan juga mbak-mbak yang dengan senang hati membantu mengarahkan dan mengambilkan foto untuk kami.
  • That's it. Wahana ini memang tidak butuh waktu lama untuk dieksplore, cukup sekedar mampir dan sebentar kemudian… selesai!
Selain ke tempat-tempat wisata ini, kami sempat juga mampir ke rumah saudara sepupu yang tinggal di Bali. Sebentar sih, tapi lumayan lah buat ngobatin kangen… Sempat juga mampir ke galeri lukisan, yang setelah kebingungan panjang, akhirnya ada juga yang dibeli. Bukan karena tidak ada yang bagus, justru karena bagus-bagus, tapi juga terasa mahal bagi kami yang sejujurnya bukan konsumen seni. Oleh bli yang mendampingi kami, sebenarnya sudah dibilang kalau kami boleh menawar, cuma, karena merasa ga ngerti seni, takut mau nawarnya… takut kurang menghargai seni gitu…


Total empat hari kami berada di Bali bersama dua anak berusia 5 dan 2 tahun, hanya lima tempat wisata yang bisa kami kunjungi dan hampir kesemuanya berbau binatang dan main air. Bukan tanpa alasan, tentu saja semuanya demi semua bisa menikmati liburan kali ini. Karena menurut perkiraan kami, anak-anak tidak akan terlalu tertarik dengan wisata semacam pura, melihat tari-tarian, dan sebagainya. Dan benar bukan, di tempat terakhir yang kami kunjungi, rasanya benar-benar effortful untuk membuat anak-anak mau foto-foto sesuai keinginan kami. Karena sukanya mereka di tempat seperti ini ya lari-larian 😂.

Dan finally, sebagai kali pertama kami liburan bersama, berikut adalah hal-hal yang kami rasa perlu diperhatikan saat akan mengajak anak-anak (di bawah 5 tahun) liburan bersama:
  • Persiapkan mental, setel kendo, jangan terlalu strict pada target… Namanya anak-anak, ada banyak kemungkinan waktu yang dibutuhkan untuk segala hal menjadi lebih lama dari perkiraan. Diajak bangun susah, diajak tidur susah, diajak mandi susah, diajak udahan mandinya juga susah. Belum lagi jika baru lanjut dari suatu tempat, kemudian minta pipis, sehingga perlu melambatkan kendaraan mencari SPBU terdekat… dan banyak lagi. Just be prepared for that
  • Pilih tujuan wisata yang menyenangkan bagi anak. Karena, tentu saja kita ingin anak-anak juga menikmati liburan bukan? Selain, kalau anak-anak tidak tertarik dengan tempat tertentu, mereka cenderung bosan, kurang kooperatif dan akhirnya kita juga bete sendiri. Dan kalau dalam cerita kami, itu tidak jauh dari yang namanya binatang-binatang dan main air…
  • Di setiap pemberhentian, ajak anak-anak pipis… Lebih baik kosongkan tangki, dari pada harus dikeluarkan pada saat-saat yang kurang tepat; misalnya di jalan yang macet dan sebagainya.
  • Kondisikan anak-anak untuk tidur tepat waktu. Karena jika tidak, kita akan lebih sulit menyusun agenda hari berikutnya. Coba saja bayangkan, begitu bangun siang, acara persiapan akan menjadi lebih lama, bisa jadi pantai sudah jadi panas, kebun binatang sudah jadi ramai, dan sebagainya.
  • Bawa baju ganti, obat-obatan, susu dan keperluan anak lainnya. Ini standard sih…
Sudah, itu saja catatan kami dalam perjalanan ini. Dan semoga nanti akan ada kesempatan lagi untuk liburan bersama, lebih baik daripada liburan tahun ini. Amin.

That's it… bagaimana dengan teman-teman? Memiliki cerita liburan seru bersama anak juga?

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Monday, July 10, 2017

Ganesha's First Innocence Lie

Pada suatu hari…

"Anesh… Anesh tahu enggak kenapa headset Papa ini miring?" pada suatu hari suami saya bertanya pada Ganesh dengan serius sambil memperlihatkan colokan headset yang terlihat miring karena kena panas sehingga plastiknya terkena panas.

Ganesh kemudian tampak memperhatikan headset yang dimaksud suami saya sejenak dan kembali mengalihkan perhatiannya pada hal lain. 

"Anesh panasin headset Papa pake korek enggak?" lanjut suami saya bertanya, karena beberapa hari terakhir Ganesh memang terlihat asyik bermain dengan korek gas. **Iya, ini bahaya, dan kami beberapa kali memperingatkannya** 

Kemudian Ganesh tampak terdiam, lalu menjawab, "Iya. Anesh panasin pake api di kompor…" Dan kami hanya berpandangan… 

"Anesh, lalu kalo mainan Dusty kemarin sebenarnya keinjek atau digunting sih sama Anesh?" Lanjut saya bertanya pada kasus lain, dimana sebelumnya Ganesh mengaku bahwa mainan Dusty (dari film Planes) miliknya patah rodanya karena terinjak, sementara dua pengasuh kami bilang kalau itu digunting oleh Ganesh. 

Sejenak Ganesh kembali terdiam, kemudian menjawab, "Iya, Anesh gunting…" sambil nyengir ke arah saya. ***


Pada hari yang lain… Ganesh saya beri tugas untuk mengantarkan kado untuk seorang temannya yang berulang tahun. Detail tugasnya adalah,

"Anesh ketok pintu rumah Aurel ya… bilang sama om atau tante yang bukain pintu, kalo Anesh mau ketemu Aurel… terus kasih deh kadonya… Atau, kalau Aurel-nya ga ada, Anesh titipin ke om atau tante di rumah Aurel… bilang, ini kado buat Aurel sama Dave…"

Well, saya tahu… Ganesh sebenarnya segan melakukan tugas ini, karena beberapa kali dia bolak-balik lagi ke rumah. Katanya malu! Tapi, terus saya dorong hingga akhirnya dia kembali ke rumah tanpa kadonya, yang ternyata dia tinggal saja di depan rumah Aurel. Lalu saya dorong lagi, hingga kemudian dia pulang tanpa kadonya…

Saya pun bertanya untuk memastikan,

"Anesh, kadonya sudah dikasih?"

"Udah…" jawabnya.

"Dikasih sama siapa?"

"Anesh taruh di depan rumah Aurel" jawabnya.

"Anesh, kalo Anesh taroh di depan rumah aja, Aurel-nya mana tau kalo itu dari Anesh…"

Well, sebenarnya saya sudah kasih tulisan di kadonya sih, saya memintanya memberikan kadonya pada Aurel atau papa-mamanya langsung untuk mengajarinya (sebut saja) bersosialisasi dan bersopan-santun.

"Anesh balik kesana lagi ya… Anesh ketok pintu rumah Aurel, lalu kasih kadonya sama Aurel atau papa-mamanya… siapa aja deh yang bukain pintu… Bilang kalau kadonya untuk Aurel dan Dave…"

Dan setelah sesi memotivasi yang panjang, disertai sedikit pemaksaan akhirnya Ganesh mau kembali ke rumah Aurel untuk menyerahkan langsung kadonya.

Beberapa saat kemudian, dia kembali pulang ke rumah…

"Udah Anesh ketok pintunya? Terus sama siapa Anesh kasih kadonya?" Tanya saya.

"Udah. Anesh kasih sama Papa Aurel. Katanya Aurel sudah tidur. Tadi mamanya ngintip aja dari jendela." Jawab Ganesh.

Hmm, mission complete! Ganesh berhasil memberikan kadonya!

Iya, saya berpikir seperti itu. Sampai akhirnya menerima whatsapp dari Mama Aurel, bilang makasih plus cerita kalo dia kaget ada bungkusan di garasi rumahnya. Yang itu berarti, 'dibohongi' lagi sama Ganesh. Saya benar-benar shock dan terpukul 😭

***

Yes, he's getting smarter! Saya benar-benar tidak menyangka Ganesh bisa mengarang cerita yang sedemikian lengkap! Dia sudah bisa mengarang sebuah cerita yang cukup kompleks dan masuk akal, dia bisa menggabungkan antara imajinasi dan logika untuk membuat mamanya percaya.

Literally, Ganesh memang berbohong. Sesuai definisi berbohong sebagai sebuah usaha untuk membuat seseorang mempercayai sesuatu yang tidak benar. Yes he did it! Tapi saya yakin bahwa dia tidak bermaksud seperti itu, saya yakin bahkan dia belum paham sudut pandang moral dari perilaku berbohong. Itu kenapa saya sebut itu 'innocence lie'… Ganesha's first innocence lie

Sebagai seorang anak-anak, konsep dan pemahaman akan moralitas Ganesh belum lah matang dan kaya. Menurut penelitian beberapa ahli, sejak usia prasekolah, anak-anak mulai menilai sesuatu sebagai 'baik' dan 'buruk' melalui konsekuensi yang ditimbulkan dan juga intensi atau niat untuk melakukan tindakan tersebut. Tindakan memukul misalnya, adalah sesuatu yang buruk karena akan membuat anak lain kesakitan dan menangis. Namun, pada saat itu terjadi karena ketidaksengajaan, maka mereka akan membela diri, karena merasa tidak bersalah.

Dan hal 'berbohong' ini saya rasa memang sesuatu yang cukup unik dan perlu dijelaskan dari hati ke hati dengan anak. Kenapa? Karena anak tidak akan secara langsung bisa memahami konsekuensi buruk dari berbohong… Berbohong tidak akan membuat seseorang sakit atau menangis kan… Anak mungkin cenderung berpikir bahwa tidak ada hal yang salah dari tindakan berbohong, sampai kita bisa memberikan penjelasan yang bisa diterima anak, dan dia setuju bahwa berbohong itu adalah tindakan yang buruk.

Itu kenapa, pada awalnya saya mengira akan kesulitan menjelaskan pada Ganesh bahwa tindakan berbohong itu tidak baik. Tapi, ternyata saya salah!

Saat saya mengajaknya berbicara…

"Ganesh, sini deh…" kata saya sambil berusaha mempertahankan wajah serius dan menahan tawa.

"Kenapa mama?" Tanya Ganesh.

"Tadi barusan Mama Aurel SMS lho…" kata saya sambil memperhatikan mimik muka Ganesh. Dimana dia sepertinya belum tahu arah pembicaraan saya. "Anesh, tadi kadonya ditaruh di depan rumah Aurel kan? Bukan dikasih ke Papa Aurel?"

Dan kemudian Ganesh hanya cengar cengir sambil semakin mendekati saya…

"Anesh, itu namanya bohong ga boleh lho…" lanjut saya berusaha memperlihatkan mimik yang semakin serius dan sedikit 'horor'.

"Emang kenapa?" tanya Ganesh polos…

"Anesh, bohong itu kan bikin orang lain sedih lhoMama sedih lho Anesh bilang kalo kadonya sudah dikasih sama Papa Aurel padahal sama Anesh ditaruh di depan rumah ajaAnesh sedih ga, kalau misal Anesh minta tolong mama simpenin mainan Anesh di lemari, terus mama bilang 'iya', tapi ternyata mama taroh sembarangan aja?"

Ganesh terdiam.

"Anesh janji jangan bohong lagi ya sama mama… " lanjut saya sambil memeluknya, sembari juga berjanji pada diri sendiri untuk mengurangi marah-marah padanya, karena saya pikir intensitas kami marah dan mengomel padanya adalah salah satu pendorong mengapa Ganesh akhir-akhir ini suka 'berbohong'.

Saya pikir, setelah pembicaraan ini akan dibutuhkan penjelasan-penjelasan lain pada Ganesh berkaitan dengan tema 'berbohong'. Saya pikir, setelah ini dia akan masih melakukan 'kebohongan-kebohongan' karena belum benar-benar memahami bahwa berbohong adalah sesuatu yang tidak baik. Saya bahkan masih memasang kuda-kuda setiap kali Ganesh bercerita atau mengatakan sesuatu, karena berpikir bahwa dia akan 'berbohong' lagi.

Tapi, ternyata saya salah. Setelah pembicaraan itu, saya tidak lagi mendeteksi adanya kebohongan dalam perilaku Ganesh. Saya cukup yakin lah kalau Ganesh memang tidak berbohong lagi, karena kan 'bohong'-nya anak kecil itu relatif lebih mudah terdeteksi 😄.

Yah, demikianlah cerita Ganesh kali ini.

Dan dari kejadian ini, ada beberapa hal yang menjadi pembelajaran bagi kami sebagai seorang orang-tua:
  • Anak kecil, kecerdasan mereka berkembang dengan sangat-sangat pesat. Bersiaplah pada suatu saat kita akan terkaget-kaget dengan kepintaran mereka, dalam kasus kami adalah bagaimana Ganesh bisa 'berbohong' sedemikian meyakinkan. Jadi, adalah wajib kita selalu peka, waspada dan selalu update dengan informasi mengenai tumbuh-kembang anak seusia mereka. Jangan sampai lengah! 
  • Yes, anak-anak seusia Ganesh (kurang lebih 6 tahun, usia pra-sekolah) walaupun tampak telah memiliki penalaran yang baik, namun belum memilki konsep yang matang mengenai moralitas. Adapun perilaku buruk yang mungkin mereka lakukan, seringkali tidak disertai pemahaman akan dampaknya pada orang lain. Jadi, ya tugas kita sebagai orang-tua untuk memberikan pemahaman kepada mereka.
  • Saat memberikan pemahaman kepada anak pra-sekolah mengenai aspek moralitas lebih banyak sentuh pengaruh dari suatu perilaku pada orang lain, entah pada fisik atau psikis orang lain. Misalnya tindakan memukul akan membuat orang lain sakit, atau tindakan membentak akan membuat sedih orang lain. Menurut saya, konsep 'dosa' masih terlalu abstrak dan sulit mereka mengerti, jadi belum saatnya digunakan.
  • Lebih sabar… Kurangi marah-marah atau ngomel-ngomel, karena itu akan menekan mereka untuk mencari jalan pintas supaya tidak kena marah atau omel. Ya, ini sulit, kami pun merasa sangat sulit dan seringkali kelepasan. Tapi, bismillah, bisa… bisa… dan kalau gagal terus lakukan lagi dan lagi. Plus, jangan lupa minta maaf, jelaskan pada anak saat kita kelepasan marah yang sekiranya berlebihan. Stress-nya anak-anak ya salah satu sumbernya dari sana. So, finger crossed
Kira-kira seperti itu. Apakah teman-teman punya pengalaman yang sama?

With Love,
Nian Astiningrum
-end-