“Apa sih susahnya nyetir itu… gampangan nyetir mobil daripada motor tauk…”
Mungkin apa yang dibilang suami saya itu benar baginya, atau sebagian besar orang, tapi bukan saya :(. Bagi saya, mobil adalah sebuah kendaraan yang sulit dikendalikan; dengan ukuran dan tenaganya yang besar, serta (jangan lupakan) tuas-tuas kemudi yang kompleks (baca: setir, kopling, rem tangan, dkk.). Dan itu sebabnya, saya selalu menolak untuk belajar menyetir, selain karena memang belum ada urgensinya. Saat itu, kemampuan saya bermotor sudah lebih dari memadai untuk memfasilitasi kebutuhan mobilisasi saya; karena saat itu memang kantor, bank, pasar, midi market dan sejenisnya jaraknya tidak lebih dari 4 km. Namun, all good things come to and end (meminjam lirik lagu Nelly Furtado dan Mandy Moore), akhirnya semua kemudahan itu berakhir…
Setelah mutasi ke Lampung, jarak ke kantor melar sampai 30 km (1 jam perjalanan) dan jalanan-jalanan kampung yang sangat bersahabat dengan pengendara motor berubah menjadi jalan lintas propinsi yang dipenuhi kendaraan-kendaraan raksasa. Beberapa saat setelah pindah ke Lampung juga, kami harus mencari pengasuh yang baik dan sayang pada Ganesh dan Mahesh, yang alhamdulillah kami temukan, namun tidak bersedia untuk menginap ataupun bekerja terlalu jauh dari tempat tinggal mereka (rumah kami saat ini), sehingga opsi pindah rumah mendekati kantor saya pun kami coret. Dua hal itulah yang akhirnya membuat saya (terpaksa) harus belajar menyetir! Karena jika tidak; itu sama artinya membuat suami saya terus terlambat ke kantor karena harus mengantar saya dulu dan juga harus meninggalkan Ganesh dan Mahesh lebih lama karena untuk pulang saya harus menunggu jemputan suami. Dan ini stressfull, karena pada saat sampai di rumah kadangkala Mahesh sudah rewel ingin tidur dan Ganesh jadi terabaikan. Padahal setiap pulang, Ganesh sudah menunggu-nunggu kedatangan saya.
Lupa pernah baca quote ini dimana, tapi saya setuju bahwa rasa takut terkadang hanyalah ilusi yang tampak nyata |
Jadi, meskipun pesimis akan hasilnya, saya pun ‘menutup mata’ dan berusaha, seperti ini…
- Diajarin suami. Beberapa minggu sebelum cuti melahirkan habis beberapa kali suami mengajari saya menyetir. Tapi usaha ini mandeg sampai usaha menjalankan mobil dan saya semakin percaya bahwa mobil itu memang kendaraaan yang sulit dikendalikan. Kopling itu adalah benda yang menyusahkan sekali dan setir adalah alat kendali yang abstrak karena tidak jelas berapa derajat diputar akan membuat mobil belok sekian derajat. Alhasil, mau jalan saja mati mesin berkali-kali. Dan kalau pun berhasil jalan, pada saat panik merasa akan menabrak, reaksi saya adalah menginjak rem sekuat tenaga (tanpa injak kopling), sehingga (lagi-lagi) mati mesin dan mobil melompat! Stress? Iya! Hopeless? Juga iya… Sampai suami pun ikut-ikutan hopeless :'(.
- Belajar di tempat kursus setir profesional. Ternyata beda lho instruksi orang yang memang biasa ngajarin nyetir! Lebih mudah dipahami dan dipraktekkan… Selain itu, karena kopling dan remnya diparalel (ada dua), tekanan mentalnya juga lebih ringan. “Ga mungkin nabrak…” paling tidak itu membuat proses belajar lebih santai daripada diajarin suami :D. Karena itu, disini saya akhirnya bisa menjalankan mobil, mengarahkan mobil dengan setir dan berhenti tanpa mati mesin! Yeay! Tapi, tetap saja sih, saat mencoba mobil sendiri masih kocar-kacir dan tidak semudah mengemudi mobil latihan, jadi artinya tetap harus membiasakan diri dengan mobil sendiri…
- Belajar didampingi suami (lagi). Setelah pengetahuan tentang dasar-dasar menyetir; menjalankan mobil, pindah gigi, berhenti, jalan di jalan tanjakan, berbatu dan berkelok-kelok; sudah ada di kepala. Maka untuk membiasakan diri dan berani menyetir mobil sendiri, saya harus sering-sering membawa mobil sendiri. Nah, ini mah tugas suami, mau siapa lagi? And I called it, uji mental! Karena sepanjang jalan saya harus tahan diberi instruksi-instruksi yang kadang bagi saya membuat stress! Please note, instruktur itu sudah terlatih dan berpengalaman, jadi tidak bisa disamakan dengan suami atau siapa pun yang mengajari kita. Kalaupun ada kata-kata yang ‘gimana-gimana’, jangan dimasukkan ke hati, cukup masukkan ke otak saja. Dan tetap ingat pada tujuan utama untuk bisa menyetir. Jadi, kalaupun harus nangis saking stress-nya, ya cukup menepi dulu, setelahnya, ya jalan lagi… :D.
- Ke kantor didampingi driver kantor. Suatu hari muncullah ide, mengajak driver kantor yang tinggal di dekat rumah untuk mendampingi pulang-pergi rumah – kantor setiap hari, dan ternyata dia bersedia. Jadilah selama 5 hari, saya menyetir pulang-pergi kantor bersamanya sambil belajar. Mulus? Tentu tidak semudah itu :D. Hari pertama, mobil sempat lompat karena nervous karena mobil mundur saat harus berjalan setelah berhenti di tanjakan. Lalu dag-dig-dug saat menyeberang jalan, mengambil u-turn atau berjalan lagi di lampu merah adalah makanan sehari-hari. Kopling, masih benda yang sulit saya pahami dan mati mesin itu bagaikan rutinitas. Dan setelah 5 hari, saya akhirnya menghentikan usaha ini karena mas driver ini ditugaskan dinas keluar kota.
- (Finally) memberanikan diri membawa sendiri! Setelah 5 hari itu, saya pun meminta suami saya mendampingi ke kantor untuk menilai kelayakan saya membawa mobil sendiri, meskipun sebenarnya masih dag-dig-dug juga. Dan hasilnya adalah yes! Meskipun masih mati mesin beberapa kali, kecepatan maksimal 50 km/jam dan belum berani menyalip di jalan dua arah; hari berikutnya saya diijinkan berangkat sendiri. Dan rasanya perdana menyetir sendiri ke kantor itu adalah dag-dig-dug sepanjang jalan, setir basah oleh keringat, sakit perut sebelum berangkat, stress saat berhenti di tanjakan atau macet atau diklakson orang di lampu merah dkk. Tapi berbekal usaha maksimal, doa dan tekad perjalanan demi perjalanan pun saya lalui dengan selamat :). Alhamdulillah…
Dan akhirnya, setelah 3 minggu, dag-dig-dug membawa mobil sendiri ke kantor, tulisan ‘belajar’ yang tertempel di belakang pun di lepas. Bukan karena sepenuhnya sudah ‘jago’ di segala kondisi (karena nyatanya untuk kondisi-kondisi sulit, seperti berhenti dan berjalan lagi di tanjakan masih belum lancar), tapi rasanya secara mental dan kemampuan sudah cukup memadai untuk tidak selalu minta dimaklumi oleh pengendara lain.
And now, here I am… memiliki kehidupan yang lebih manusiawi setelah bisa berangkat dan pulang sendiri ke kantor. Tidak lagi pontang-panting berangkat pagi-pagi sekali supaya suami tidak terlalu terlambat; tidak lagi tiba di rumah saat matahari terbenam saat anak mulai rewel ingin tidur. Fiuhh, akhirnya, setelah perjuangan panjang yang menegangkan, saya bisa (bukan ahli ya…) juga menyetir :).
Karakter Gator diambil dari sini |
And at last… saran saya untuk teman-teman senasib yang merasa belajar menyetir itu sesuatu yang sangat sulit dan bahkan menakutkan; just remember that, fear is in your mind… Dimana sesungguhnya dia tidak perlu ditaklukkan, tapi diajak bersahabat dalam artian kita bersedia menerima rasa takut sebagai konsekuensi dari suatu usaha kita. Kalau katanya Gator dalam film Thomas and Friends: Tale of the Brave, “Being brave isn’t the same as not feeling scared, being brave is about what you do even when you do feel scared.” Jadi, kalau memang ingin bisa, ya go ahead, meskipun dengan rasa takut di hati kita. Percaya deh, pelan-pelan rasa itu akan hilang semakin sering kita bersamanya, meskipun pada awalnya harapan itu terasa kecil sekali.
If you really want something, just take the risk (of being scared) so you got the chance to get it…
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
Setuju mba diajarin sama yg uda profesional jd guru nyetir itu beda sm diajarin org terdekat misal kl mbak nian itu suami saya sama kakak...Jadi instruksinya lebih jelas dan lebih enak dipahami sekali jadi hahha...btw. salam kenal :)
ReplyDeleteiya.. benar sekali.. pengalaman diajarin sama suami, instruksinya abstrak, bingung menterjemahkannya.. begitu sama instruktur lebih mudah dipraktekkan :D
Deletesalam kenal juga mak :)
Besok belajar di tempat kursus aj deh, klo sama suami kyky juga rempong :D *minta folbek blognya ya mak :D
ReplyDeletekebanyakan cerita teman emang rempong diajarin sama suami.. haha.. tapi ada juga yang berhasil kok :D
Deletesiap Mak, segera ke TKP :)
ai salam kenal, itu pengalaman sama yang pernah saya rasakan 7 tahun yang lalu. Menyetir mobil bagi seorang perempuan memang membutuhkan perjuangan untuk mengalahkan rasa takut di dalam pikiran kita, entah itu takut nabrak, takut mesin mati atau takut mobil kita mbaret(lecet).
ReplyDeleteDa..an selamat dirimu bisa melewati ketakutan itu mak...
Terima-kasih Mak.. So proud of myself ;)
DeleteHiks hiks nangis guling2 karena smp detik ini msh blm bisa menghadapi rasa takut. Baru diajari sekali sm misua, nyalain dan jalan pertama. Gak ada kelanjutan lagi. Yg ngajarin banyak alesan yg diajarin apalagi...banyak takutnya
ReplyDeleteAyo mak.. harus berani.. atau kalau saya sih lebih suka menyebutnya ikhlas menerima rasa takut selama belajar.. itu wajar dan harus dilalui kok ;)
DeleteAduh aku banget ini takut nyetir, sampe sekarang belom bisa :D, okelah mau berani
ReplyDeleteiya.. harus.. harus tetap maju walaupun merasa takut.. itulah keberanian yang sebenarnya..
Deletehaduh, saya takut banget, dah pengen dari dulu belum tercapai juga, mpe termimpi2 belajar nyetir ini, tapi nyali kok ciut banget ya...
ReplyDeletebisa mak.. pasti bisa.. harus ikhlas menjalani prosesnya, termasuk takut dan nervousnya.. lama-lama pasti bisa :)
Deletesebenernya aku bs bawa mobil mba... dulu pas masih tingal di aceh, ke sekolah kdg2pun aku nyetir mobil.. apalagi krn rumahku dsana komplek, jd jalanannya jg ga rame , mulus dan gampanglah.. tp.... mungkin krn darah muda yg msh menggelegak jg, jd suatu hari aku tabrakan parah... ,mobil hancur total... nth kenapa, aku dpt mukjizat selamat... tp sjk itu, ampe skr, aku g prnh mau bawa mobil lagi -__-.. apalagi skr di jkt.. hihhh, ngeliat macet dan 'gila' nya org2 sini bawa mobil , udh cukup bikin aku g trtarik utk bljr lagi.. jd ujung2nya, kalo ga taxi, ya sewa supir harian mba, utk bawa mobil suami ;p
ReplyDeletesebenernya aku bs bawa mobil mba... dulu pas masih tingal di aceh, ke sekolah kdg2pun aku nyetir mobil.. apalagi krn rumahku dsana komplek, jd jalanannya jg ga rame , mulus dan gampanglah.. tp.... mungkin krn darah muda yg msh menggelegak jg, jd suatu hari aku tabrakan parah... ,mobil hancur total... nth kenapa, aku dpt mukjizat selamat... tp sjk itu, ampe skr, aku g prnh mau bawa mobil lagi -__-.. apalagi skr di jkt.. hihhh, ngeliat macet dan 'gila' nya org2 sini bawa mobil , udh cukup bikin aku g trtarik utk bljr lagi.. jd ujung2nya, kalo ga taxi, ya sewa supir harian mba, utk bawa mobil suami ;p
ReplyDeleteSalam kenal Mak.
ReplyDeleteDuh saya bacanya ikutan tegang2 gimana gitu. Tapi seru juga. Buat saya yg suka tantangan rasa2nya nanti kalau sudah punya mobil sendiri harus berani belajar nyetir sendiri nih. Masak mau ngintil suami muluk ya.
salam kenal juga mak :)
Deleteiya, kayaknya kalo suka tantangan, belajar nyetir mah ga perlu seheboh saya.. hihi.. insyaallah lebih cepet bisa.. :D
yg penting berani mak. Mau sudah kursus kek, diajarin lagi kek, kalo dari dalam gak percaya sama kemampuan diri sendiri gk bakal bisa. Aku juga sdh pernah bahas ini di blog. lengkap dgn tips dan trik buat para perempuan di jalan. Habis kebanyakan perempuan nyetir pemula itu keliataaan banget wln dri belakang. Kdg2 ngeselin hahaha.. belok gak kasih sign lah, ini lah itu lah.. Makanya aku tulis aja di jdi postingan blog. mampir aja mak jika berkenan. #Loh KokJadiPromosi
ReplyDeleteudah ke TKP mak :D
Delete50 - 50 lah antara mental dan pengetahuan/ketrampilan.. hoho, soalnya pas keadaan darurat, cuma keberanian aja ga cukup..
pernah suatu kali, saya mengalami macet di tanjakan, kebayang dong keringetan mau jalanin mobil itu sembari takut mundur.. untungnya pernah diajarin caranya, jadi cuma perlu menenangkan diri supaya ga stress sambil mempraktekkan teknik yang diajarkan instruktur :D
tapi iya, saya setuju, kelemahan kita (wanita) seringkali di keberanian itu tadi :D
selamat ya mak sudah bisa nyetir. hehe aku bisa nyetir hanya berbekal di ajarin suami nih. belum pernah kursus.. tapi sampai sekarang belum punya SIM :v :v
ReplyDeletehebat emak.. aku mah sama suami cuma stress aja dapetnya.. tapi dari sana jadi belajar mengatasi stress dan nervous tadi sih.. hihi..
Deletetumben neh belum update blog, hehe..
ReplyDeleteaku bisa nyetir tapi belom lancar kalo jalan raya. Mau lancarin tapi KangMas ngak mau, katanya takut istrinya ngelayap mulu, haha
hihi.. iyah, saya juga kalo ga terpaksa milih jadi penumpang ajalah :D
Deleteudah update sekarang.. pasca pindahan ini, belum ketemu ritme biar bisa kepegang semua yg ingin dipegang *curhat*
Sy suka baca tulisan mb nian... sy jg senasib mba. Baru belajar nyetir dr rumah kekantor. Tp masih didampingi suami. Kursus sampe 2x krn masih merasa kurang banget. Mgk krn rasa takut saya ya mba yg tll besar jd gagal trs utk move on hehe... tp dr pengalaman mb, sy yakin pasti jg bs. Smpe skrg masih belajar trs utk bs lancar nyetir mundur. OMG suami smpe ngomel2 krn sy masih gak lurus parkir mundurnya. Doakan bs myusul spt mb niam dan yg lainnya ya...
ReplyDeleteAmin.. insyaallah bisa mbak..
DeleteYang jelas.. setelah semua teori khatam, ada di kepala.. langkah selanjutnya harus dilatih terus dan terus.. Awalnya takut, dag-dig-dug, diklaksonin orang, takut tanjakan dll, semua harus dijabanin; lama-lama pasti ilang sendiri :)
Semangat :)
Naaah klo sy setelah beres kursus sy nekat bawa mobil sendiri bareng anak di jalan sempit dan lumayan ramai (walaupun sejujurnya degdegan sih tp rasa nekatnya lebih kuat dari takut π ) dan menurut sy itu berhasil tapi pas suami sy setirin dianya yg ketakutan karena masih banyak kekurangannya katanya jd nya izin nyetir sendiri dicabut sementara deh dan jadi ngedrop mentalnya saat sempat nyerempet pager rumah waktu mau masukin ke garasi ππ
ReplyDelete