Beberapa waktu yang lalu, setelah mencoba rangkaian produk Scarlett Whitening Brightly Series dengan Brightly Ever After Serum, kemudian saya jadi penasaran dengan saudaranya, yaitu Glowtening Serum.
Sepintas, kedua serum ini (Brightly Ever After dan Glowtening) tampak serupa dari sisi ukuran dan juga kombinasi warna kemasan (baca: pink, putih, dan hitam). Tapi, dari namanya, 'glowtening' dan 'brightly' kemudian saya berpikir, "Hmm, mungkin 'brightly' ini untuk mencerahkan, sementara si 'glowtening' untuk membuat kulit lebih glowing. Iya, disini saya berpikir bahwa Glowtening Serum ini adalah rangkaian dari Brightly Series.
Bener ga ya? Hmm, markicek dan markicob... 'Mari kita cek' dan 'mari kita coba'...
OK, first thing first, Glowtening Serum ini, sama seperti produk Scarlett Whitening lainnya, adalah produk yang aman untuk kulit. Telah teruji bebas Merkuri dan Hydroquinon, serta teregistrasi BPOM. So, bahan-bahannya dipastikan aman untuk kulit secara umum, meski cocok tidaknya ya tergantung kondisi spesifik kulit kita masing-masing yang unik.
Selanjutnya, mengenai pemakaian, ternyata Glowtening Serum ini dianjurkan untuk diaplikasikan setelah kita menggunakan Brightly Ever After Serum atau Acne Serum, jadi semacam double serum gitu. Itu mengapa, serum ini diformulasikan untuk semua jenis kulit; normal, berminyak, kering, rentan berjerawat, kombinasi, dan sensitif.
Jadi, Glowtening Serum ini bukan rangkaian dari Brightly Series ya... tapi serum independent (duh bahasanya :D) yang digunakan bersama rangkaian Brightly Series atau Acne Series, setelah menggunakan serum dari rangkaian produk tersebut.
Adapun kandungan dari Glowtening Serum ini adalah: Tranexamide Acid, Calendula Oil, Olive Oil, Allantoin, dan Licorice Extract.
Dengan kandungan seperti itu, Glowtening Serum ini memiliki manfaat berikut untuk kulit sebagai berikut:
Membantu mencerahkan kulit wajah.
Membantu membuat kulit menjadi lebih glowing.
Membantu memudarkan bekas jerawat.
Membantu membuat kulit menjadi lebih sehat.
Menyamarkan garis-garis halus dan flek hitam pada wajah.
Menenangkan dan memperbaiki skin barrier.
Serum ini dikemas sangat elegan dalam botol kaca dengan pipet sebagai aplikatornya. Dari teksturnya, Glowtening Serum memiliki konsentrasi yang lebih pekat daripada Brightly Ever After Serum. Warnanya keduanya pun berbeda; Glowtening Serum memilki warna putih susu, sementara Brightly Ever After Serum berwarna bening. Sementara dari aromanya, Glowtening Serum ini pun sangat mild dengan sedikit sekali kesan wangi. Menurut saya sih baunya lebih 'enak' daripada Brightly Ever After Serum.
Nah, lalu bagaimana setelah dicobain?
Pertama kali, saya coba hanya Glowtening Serum (tanpa sebelumnya menggunakan Brightly Ever After Serum) untuk melihat reaksinya pada kulit saya. Dan setelah hasilnya baik-baik saja dan kulit saya tidak menunjukkan reaksi iritasi atau alergi, baru saya gunakan berbarengan dengan Brightly Ever After Serum.
Pada awalnya, karena teksturnya yang pekat, saya pikir serum ini akan terasa sedikit berat di kulit... tapi ternyata tidak. Meskipun pekat, serum terserap dengan cepat dan tidak meninggalkan kesan berat di kulit. Rasanya sangat ringan, baik diaplikasikan sendiri atau bersama Brightly Ever After Serum.
Mengingat kulit saya yang cenderung sensitif, serum ini pun tidak menimbulkan efek iritasi maupun menimbulkan efek negatif lainnya pada kulit. Serum ini membuat kulit saya terasa lembab, namun tidak berminyak. So far, serum ini pun mampu mempertahankan kondisi kulit saya tetap lembut, cerah, dan glowing.
So kesimpulannya...
Again, menurut saya dengan efeknya yang tidak kalah dengan skincare dengan harga yang lebih mahal, Glowtening Serum ini sangat-sangat worthed dengah harga Rp 75.000,- per botol 15 ml.
Jadi, jika teman-teman mencari skincare yang aman untuk kulit yang bisa menjaga kondisi kulit dengan harga yang terjangkau, coba deh rangkaian Scarlett Whitening dan Glowtening Serum ini. Dengan tentu saja, perlu dicek cocok tidaknya dengan kulit ya... Karena meskipun skincare ini cocok dengan kulit saya yang cenderung berminyak dan mudah berjerawat, kondisi kulit setiap orang kan unik, jadi bisa jadi efeknya berbeda.
Hayo, siapa yang punya kulit sensitif juga? Duh, pasti tahu ya rasa was-wasnya mau pakai make up atau skincare tertentu. Minimal ngecek ingredient produk itu harus! Lalu googling di internet untuk informasi lebih detail dan juga mencari review customer yang pernah pakai.
Itu juga yang saya lakukan sebelum memutuskan mencoba Scarlett Whitening. Awalnya, tidak terlalu tertarik dan cenderung skeptis. Namun, semakin banyak melihat testimoni positif produk ini bersliweran, lama-lama saya kepo juga dan mulai check-and-recheck kandungannya. Dan ternyata produk ini mengandung bahan-bahan yang menenangkan, telah teruji bebas Merkuri dan Hidroquinon yang berbahaya untuk kulit, serta sudah teregistrasi oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Kemudian saya pun semakin tertarik untuk mencoba...
Rangkaian Scarlett Whitening ini sendiri terdiri dari dua seri, yaitu:
Acne Series (Warna Ungu)
Scarlett Whitening Acne Series ini bermanfaat untuk melembabkan dan menghidrasi kulit, menyamarkan pori-pori dan garis halus, membantu meredakan peradangan karena jerawat dan membantu menyembuhkan jerawat.
Kandungan: CM Acnatu, Poreaway, Double Action Salicylic Acid, Natural Vitamin C, Natural Squalane, Hexapeptide-8, Aqua Peptide Glow, dan Triceramide.
Brightly Series (Warna Pink)
Nah, kalau Scarlett Whitening Brightly Series ini memiliki manfaat untuk meningkatkan kelembaban dan elastisitas kulit, membantu mencerahkan kulit dan memudarkan bekas jerawat, menyamarkan pori-pori dan garis halus, serta mengencangkan kulit.
Kandungan: Niacinamide, Hexapeptide-8, Glutathione, Rainbow Algae, Aqua Peptide Glow, Rosehip Oil, Poreaway, Triceramide, Natural Vitamin C, dan Green Caviar.
***
Melihat kandungannya dan juga review yang bersliweran, akhirnya saya memilih rangkaian Brightly Series, karena secara umum saat ini kulit saya tidak berjerawat. Jerawat biasanya muncul pada saat menjelang datang bulan saja. Plus, beberapa bekas jerawat juga masih tampak... siapa tahu kan Brightly Series ini bisa membantu mempercepat menghilangkan bekas jerawat (meratakan warna kulit).
Bakalan cocok ga ya rangkaian Scarlett Whitening Brightly Series ini untuk kulit saya yang sensitif dan gampang jerawatan ini?
Well, rangkaian produk Brightly Series yang saya pakai terdiri dari produk sebagai berikut...
SCARLETT BRIGHTENING FACIAL WASH
Kandungan: Glutathione, Aloevera, Rose Petal, dan Vitamin E.
Manfaat:
Membantu membersihkan kulit wajah.
Meningkatkan kelembaban dan elastisitas kulit wajah.
Memberikan perlindungan terhadap radikal bebas dan polusi udara.
Membantu mengatasi peradangan dan kemerahan pada wajah.
Memberi efek relaksasi (menenangkan) kulit wajah.
Mengembalikan kesegaran kulit wajah.
Facial wash ini memiliki tekstur liquid dengan bulir-bulir putih dan helaian bunga mawar dengan aroma yang sangat lembut (tidak menyengat). Cara menggunakannya dengan menuangkannya sedikit, membusakannya di telapak tangan, kemudian digosokkan dengan lembut ke wajah.
Kesan saya setelah menggunakan produk ini adalah kulit terasa bersih namun tidak kering. Dan sesuai dengan klaimnya yang aman untuk digunakan semua jenis kulit, termasuk kulit sensitif, facial wash ini tidak menimbulkan iritasi atau efek negatif pada kulit saya.
Membantu meredakan peradangan dan mengencangkan pori-pori.
Meregenerasi kulit untuk membantu membuat tekstur kulit menjadi terasa lebih halus dan wajah, sehingga terasa lebih kenyal.
Melembabkan, menenangkan, dan menyegarkan kulit.
Membantu mengecilkan pori-pori yang membesar.
Produk ini dikemas dalam bentuk pump (bukan spray), sehingga pengaplikasian bisa menggunakan kapas atau pun telapak tangan. Teksturnya seperti air, dengan aroma wangi yang sangat mild.
Setelah menggunakan produk ini, saya merasa kulit lebih lembab dan ada kesan dingin di kulit.
Produk yang diklaim cocok untuk digunakan jenis kulit normal, kering, dan kombinasi ini ternyata tidak menimbulkan iritasi dan efek negatif pada kulit saya.
BRIGHTLY EVER AFTER SERUM
Kandungan: Lavender Water, Phyto Whitening, Niacinamide, Glutathione, dan Vitamin C.
Manfaat:
Meningkatkan sirkulasi darah dan menghaluskan kulit wajah.
Membantu melembabkan kulit wajah.
Membantu menyamarkan noda bekas jerawat serta membantu kulit wajah tampak lebih cerah.
Meningkatkan elastisitas kulit wajah.
Mencegah dan melindungi kerusakan jaringan kulit akibat paparan radikal bebas yang menyebabkan penuaan dini pada kulit.
Hal yang membuat saya amazed pertama kali pada produk ini adalah kemasannya yang sangat elegan (terbuat dari kaca), padahal harganya relatif ekonomis.
Untuk produknya sendiri, seperti serum pada umumnya, berupa cairan bening yang diaplikasikan dengan dioleskan ke wajah setelah menggunakan facial wash dan toner. Kesannya sedikit licin saat diaplikasikan, sampai akhirnya meresap ke lapisan kulit. Untuk aromanya tidak bisa dibilang wangi, jadi kemungkinan aromanya berasal dari bahannya saja (non-perfumed).
Produk ini cocok untuk jenis kulit normal, kering dan kombinasi, namun memiliki formulasi yang cukup lembut sehingga tidak menimbulkan iritasi dan efek negatif pada kulit saya.
BRIGHTLY EVER AFTER CREAM DAY/NIGHT
Kandungan: Rainbow Algae, Green Caviar, Rosehip Oil, Niacinamide, Hexapeptide-8, Glutathione, Triceramide, Poreaway, dan Aqua Peptide Glow.
Manfaat:
Mencerahkan dan mengatasi hiperpigmentasi.
Sebagai antioksidan untuk membuat kulit tampak lebih cerah.
Membantu mengencangkan pori-pori kulit wajah.
Membantu menghambat penuaan dan kerutan wajah.
Membantu kulit melawan dehidrasi kulit wajah.
Scarlett Brightly Ever After Cream Day dan Night sama-sama memiliki warna putih. Bedanya, jika Day Cream memiliki tekstur yang cukup encer sehingga lebih menyerupai cairan, sementara Night Cream lebih kental. Keduanya memiliki aroma yang sangat mild, namun masih ada kesan wangi.
Scarlett Brightly Ever After Cream Day dan Night ini cocok untuk jenis kulit normal, kering, dan kombinasi. Akan tetapi formulasinya cukup lembut sehingga tidak menimbulkan iritasi dan dampak negatif pada kulit saya yang juga cenderung sensitif.
***
Lalu, efek setelah pemakaian rangkaian produk ini sendiri seperti apa? Apa manfaat yang dirasakan dan juga apakah produk ini worthed dibandingkan dengan harganya?
Well, saat saya menulis review ini, saya baru beberapa hari menggunakan produk Scarlett Brightly Ever After Series. Sebagai orang yang sangat concern sekali tentang kulit, saya cukup disiplin mengenai perawatan wajah saya. Hal ini membuat kondisi kulit saya relatif prima sebelum mencoba produk ini, hanya terdapat beberapa bekas jerawat yang belum hilang pasca menstruasi beberapa waktu lalu.
Sejauh ini, yang saya rasakan adalah produk Scarlett Brightly Series ini mampu mempertahankan kondisi kulit saya tetap lembab, lembut, dan tidak muncul jerawat atau keluhan lainnya, serta membantu menyamarkan noda bekas jerawat saya. Jadi, bagi saya, dengan harga yang sangat ekonomis, yaitu Rp. 75.000,- untuk masing-masing variannya, produk ini sangat-sangat worthed! Produk ini tidak kalah dengan skincare lain dengan harga yang jauh lebih mahal.
Namun, kondisi kulit masing-masing individu tentu beberapa sangat unik ya... Jadi, meskipun produk ini hasilnya baik untuk jenis kulit saya yang cenderung sensitif dan mudah berjerawat, mungkin hasilnya bisa berbeda untuk teman-teman. Tapi, jika teman-teman mencari produk skincare yang berkualitas, aman, dan ekonomis; maka saya akan merekomendasikan produk ini.
Oh ya, untuk mendapatkan rangkaian produk Scarlett Whitening, teman-teman bisa order melalui SCARLETT OFFICIAL berikut ya: https://linktr.ee/scarlett_whitening.
"Calistung alias Baca Tulis Hitung itu tidak boleh diajarkan pada anak sebelum usia 7 tahun!"
Hmm, jujur, pada awalnya saya mengamini statement ini begitu saja. Saya merasa bahwa di usia kurang dari 7 tahun, ada banyak hal lain yang lebih penting untuk diajarkan pada anak selain calistung. Saya pun merasa bahwa calistung sendiri tidak termasuk dalam tugas perkembangan anak-anak di bawah usia 7 tahun.
Yang sebenarnya tidak sepenuhnya salah sih, tapi perlu dikaji lebih dalam tentang beberapa hal, terutama mengenai definisi mengajarkan calistung yang dimaksud itu seperti apa. Simpelnya, kalo ngajak anak nyanyi 'Satu Satu Aku Sayang Ibu' aja masa iya ga boleh? Padahal jelas disitu juga ada muatan hitungannya lho... Iya apa iya?
Ini yang saya rasakan pada saat si Ganesh mulai masuk TK di sebuah sekolah yang menggunakan Metode Montessori. Disana saya melihat bagaimana anak-anak mulai dikenalkan pada bunyi dan huruf dengan metode bermain, misalnya main tebak huruf sebelum masuk kelas. Juga menyiapkan anak-anak untuk belajar menulis dengan kegiatan meremas, mewarnai, dan sebagainya.
Yes, ternyata belajar baca-tulis-hitung itu bisa banget dikemas dalam bentuk permainan yang jauh dari kata stressing (atau membuat stress), dan bahkan sangat menyenangkan untuk anak-anak. Well, dengan metode seperti ini sangat tidak ada salahnya untuk 'mengajarkan' calistung pada anak dari usia dini pun kan?
Jadi, dulu pun saya santuy aja dan sepakat pada saat Ganesh mulai diajarkan calistung sejak TK dengan Metode Montessori tersebut. Dan meskipun pada saat masuk SD dia belum lancar baca, tidak lama kemudian dia sudah bisa baca.
Tapi, kemudian pandemi pun melanda saat adiknya, Mahesh, duduk di bangku TK A... kegiatan belajar online membuat peran saya sebagai orang-tua dan pendidik menjadi jauh lebih besar dari sebelumnya. Kalau dulu, ya cukup antar jemput anak sekolah sambil sedikit-sedikit mengamati perkembangannya. Setelah pandemi, saya merasa punya beban untuk memastikan Mahesh bisa membaca, sehingga tidak kesulitan pada saat masuk SD nanti.
Dari sana kemudian saya mencari lebih banyak mengenai pengajaran baca tulis melalui Metode Montessori yang minim stress. Karena yang saya tahu belajar membaca itu yang dengan mengeja, saya tidak tahu bagaimana cara mengajarkan anak membaca dan menulis dengan Metode Montessori ini.
Dan gayung bersambut, saat itu kemudian saya menemukan Buku 'Montessori: Keajaiban Membaca Tanpa Mengeja' karya Ibu Vidya Dwina Paramita.
BACA TULIS DALAM METODE MONTESSORI
Dalam Metode Montessori, anak dikategorikan mampu membaca jika mampu mengorelasikan rangkaian huruf yang dia 'baca' (bunyikan) dengan maknanya.
Jadi, jika seorang anak mampu 'membaca' sebuah kata atau kalimat misalnya, tapi tidak memahami makna dari kata atau kalimat yang baru saja dibacanya itu, maka dia baru masuk pada tahap 'membunyikan huruf'.
Karena itu, mengajarkan anak bahwa membaca itu adalah kegiatan yang menyenangkan kemudian menjadi hal yang sangat penting. Karena dari rasa menyenangkan itu, anak akan lebih mudah untuk memahami makna dari rangkaian huruf yang dia baca. Bukan sekedar buru-buru membunyikan huruf dan skip proses memaknainya.
So, belajar membaca harus jauh-jauh dari aktivitas yang justru membuat anak merasa tertekan.
TAHAP PRA-MEMBACA
Yup, dalam Metode Montessori ada dua tahapan pengajaran baca dan tulis pada anak, yaitu tahap pra-membaca dan teknis membaca.
Pada tahap pra-membaca, anak belum dikenalkan dengan huruf, namun lebih ke kegiatan yang membuat anak tertarik untuk membaca juga kegiatan mengenal bunyi, kata, kalimat, serta makna. Misalnya dengan berbincang, membacakan cerita, maupun bernyanyi. Kegiatan ini bisa dimulai pada usia yang sangat dini, bahkan sejak dalam kandungan.
Selanjutnya anak-anak juga perlu diajak mengenal bentuk, tekstur, ukuran, berat dan arah benda, yang akan berguna nantinya untuk mengenali huruf. Termasuk juga kegiatan fisik seperti makan sendiri, menuang, memasukkan benda ke wadah, meronce, memukulkan palu pada paku, dan sebagainya yang akan melatih koordinasi tangan serta matanya.
TAHAP TEKNIS MEMBACA
Nah, lalu kapan saatnya anak diajarkan untuk mengenal huruf (mengorelasikan huruf, bunyi, dan makna)?
Berikut adalah checklist untuk menilai kesiapan anak memasuki tahap teknis membaca yang dapat digunakan sebagai pedoman:
Anak memahami minimal 100 kata,
Anak dapat berkomunikasi dua arah,
Anak dapat memahami jalan cerita dalam kisah pendek yang dibacakan,
Anak dapat membedakan bentuk segitiga, persegi, dan lingkaran,
Anak dapat mengklasifikasikan objek berdasarkan kesamaan dan perbedaannya serta menyebutkan alasan pengelompokan,
Anak dapat memahami konsep sebab akibat sederhana.
Anak dinilai siap untuk mulai memasuki tahapan teknis membaca pada saat menguasai minimal empat dari kemampuan pada checklist tersebut. Dimana yang perlu diingat, menurut Metode Montessori ini bukan artinya memberikan tugas anak untuk menghapal huruf dan mengeja secara kaku. Namun tetap mengedepankan proses yang menyenangkan supaya anak mencintai kegiatan membaca.
So, menjawab pertanyaan, 'kapan sebaiknya mengajari anak membaca', jika maksudnya adalah tahap teknis membaca, maka jawabannya bukanlah usia ataupun jenjang pendidikan, tapi kesiapan anak. Dimana kesiapan anak ini akan berbeda-beda satu sama lain, ada yang bahkan di usia empat tahun sudah bisa membaca dengan sendirinya, ada juga yang mulai siap pada usia pra-sekolah (TK).
Potensi anak berkaitan dengan literasi tentu berbeda-beda yang juga mempengaruhi kapan kesiapan ini muncul. Dan tugas pendidik maupun orang-tua adalah mengoptimalkan potensi ini, yaitu menyiapkan anak pada tahap pra-membaca. Sebuah tahap yang sangat krusial supaya anak mencintai kegiatan belajar dan membaca.
Begitu kira-kira teman-teman jawabannya dari berbagai sumber yang saya baca.
***
Nah, selanjutnya gimana gambaran tahapan pra-membaca dan teknis membaca ini? Hmm, ini juga lumayan seru dan rada bikin bingung awalnya. Dalam Metode Montessori ada istilah 'writing before reading' atau 'menulis sebelum membaca'. Nah loh, gimana tuh ceritanya? Kita bahas di post dan video berikutnya ya teman-teman.
Jadi, semenjak resign dari PLN di bulan Agustus 2019 lalu, beberapa teman yang sedang menimbang untuk mengambil keputusan yang sama pun banyak bertanya pada saya seputar hal ini. Salah satunya yang paling banyak ditanyakan adalah, "Pernah ga merasa menyesal setelah resign?"
Hmm, pernah ga ya? Baiklah, so, saya akan mendedikasikan tulisan untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi, sebelum membahas lebih lanjut, kita samakan persepsi tentang definisi 'menyesal' ya...
Secara psikologis 'menyesal' atau 'regret' dapat diartikan sebagai kondisi kognitif dan emosional yang negatif yang meliputi perasaan menyalahkan diri sendiri akan hasil yang tidak baik (sesuai harapan), perasaan kehilangan atau sedih atas sesuatu yang terjadi, atau berharap kita bisa mengulang waktu dan mengganti pilihan yang pernah kita ambil (dari PsychologyToday).
Artinya pada saat merasa 'menyesal' ada perasaan menyalahkan keputusan yang pernah diambil. Kita membandingkan kondisi sebelum dan sesudah resign, kemudian merasa bahwa kondisi sebelum resign lebih baik, sehingga kita ingin kembali ke posisi tersebut.
Jadi, apakah saya pernah merasa menyesal setelah resign?
OK, dalam setiap mengambil keputusan, sesungguhnya pasti ada sebuah ekspektasi. Baik suatu kondisi yang ingin dicapai, maupun sebuah kondisi yang ingin dihindari atau diperbaiki; dengan mempertimbangkan risiko atau kondisi tidak nyaman yang menyertainya. Dimana dalam perjalanannya, bisa jadi ekspektasi tersebut terpenuhi ataupun sebaliknya.
KONDISI YANG INGIN DIPERBAIKI
Sebelum resign saya adalah seorang pekerja full time yang bekerja dari Senin hingga Jumat dari jam 7.30 hingga 16.00. Kondisi tersebut menuntut saya untuk banyak mendelegasikan peran saya menjaga anak-anak kepada pengasuh, serta mengesampingkan hal-hal terkait hobi dan aktualisasi diri untuk melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung-jawab saya.
Work-lifebalance benar-benar menjadi isu saat itu, terlebih saat saya mulai merasa tidak puas dengan pekerjaan yang saya lakukan. Typical saya yang perfeksionis dan idealis, yang begitu passionate, yang ingin menghasilkan sesuatu yang bisa dibanggakan sebagai 'karya' tidak terpenuhi melalui pekerjaan saya. Hal ini membuat upaya menciptakan keseimbangan antara 'kerja' dan 'kehidupan pribadi' menjadi lebih sulit dicapai. Karena di samping perlu menyeimbangkannya dengan keluarga, saya masih harus struggle untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri yang tidak terpenuhi dari dunia kerja.
Singkat cerita, kemudian saya tiba di tahap dimana kondisi tersebut cukup mengganggu kesehatan mental saya. Seringkali merasa terburu-buru, merasa ada begitu banyak hal yang ingin saya kerjakan tapi tidak selesai atau harus selesai di bawah standard pribadi saya, merasa tidak bisa menjalankan peran saya dengan baik, tidak punya waktu untuk diri sendiri, dan sebagainya.
Well, mungkin ini untuk beberapa teman sulit dipahami ya... Tapi, percayalah bahwa ini bukan sesederhana tentang kurang bersyukur. Cukup pahami bahwa setiap individu memiliki karakter dan kepribadian yang berbeda, sehingga ini pun termanifestasi pada perasaan, pandangan, harapan, dan juga apa yang membahagiakannya.
KENYAMANAN YANG MENJADI KONSEKUENSI
Menjadi pekerja pada titik itu menciptakan ketidaknyamanan, tapi tentu saja tidak memunafikkan kenyamanan yang menyertainya. Gaji bulanan yang relatif tinggi dan stabil beserta segala tunjangannya, status yang prestise dimata masyarakat, aktivitas yang menghidupkan hari hari-hari saya, dan circle pertemanan. Semua itu adalah zona nyaman yang akan berganti pada saat memutuskan untuk resign.
Perubahan ini adalah hal yang pasti terjadi, sehingga sudah diperhitungkan dan diantisipasi, meskipun sifatnya tentu adalah prediksi. Sebaik apapun persiapan, sesungguhnya semua adalah sebatas angan-angan yang kita bayangkan, kita tidak benar-benar menjalani masa depan di masa kini. So, sebenarnya kita tidak benar-benar tahu apakah segala rencana dan persiapan kita itu sesuai dengan harapan atau sebaliknya.
MASA TRANSISI
Semakin mengkerucut pada pertanyaan, 'pernah ga merasa menyesal setelah resign', menurut pengalaman saya ada ada dua masa yang rawan bagi kita untuk merasa menyesal. Yang pertama adalah masa transisi, yaitu masa tepat setelah kita resign.
Bagi banyak orang termasuk saya, masa transisi adalah kondisi yang tidak nyaman. Bagi saya, masa transisi itu masih kental dengan kenangan akan kondisi yang ditinggalkan, sekaligus antisipasi akan risiko-risiko yang kita pikirkan. Jadi, rasanya itu tidak santai, lebih was-was, dan juga sensitif. Dalam intensitas yang ekstrim masa ini pun bisa menerbitkan rasa sesal, yang untungnya tidak terjadi pada saya.
Semua yang disebutkan di atas, itu saya rasakan. Bagai habis putus cinta, kenangan akan hari-hari yang dilewati bersama itu masih begitu nyata diingatan. Tapi, semua masih pada batas yang masih logis saya terima dari bagian dari proses adaptasi. Saya bisa bilang di masa rawan pertama ini saya tidak merasakan menyesal.
MASA DEPAN SIAPA YANG TAHU...
Kemudian, masa kedua adalah saat kita mulai terbiasa dan beradaptasi dengan kondisi setelah resign. Masa dimana kita melihat dan merasakan apakah ekspektasi kita terpenuhi atau tidak...
Sebelum resign saya bersama suami pun sudah mempersiapkan beberapa hal. Saat itu, kami membuka sebuah usaha akan menjadi aktivitas baru yang produktif bagi saya. Dimana semua berjalan baik-baik saja sejak saya resign di Bulan Agustus 2019, hingga akhirnya April 2020 semuanya berubah. Kondisi pandemi memaksa begitu banyak usaha untuk berhenti beroperasi, termasuk usaha kami yang mengandalkan pengunjung mall sebagai customer. Sehingga di bulan yang sama (April 2020) saat kontrak sewa habis, kami pun memutuskan untuk tidak melanjutkan dulu usaha ini.
Hal ini praktis itu merubah semua hal, zona nyaman baru yang saya rencanakan tidak berjalan sesuai rencana. Pandemi, adalah sebuah kondisi yang tidak terbayangkan akan terjadi bagi kami saat itu, dan siapa pun. So, yes, kondisi itu membuat saya kehilangan aktivitas sehari-hari, sumber penghasilan, dan juga lingkaran pergaulan saya. Ditambah lagi dengan kondisi pandemi yang menciptakan tekanan lainnya, diantaranya Long Distance Marriage yang sangat panjang, tidak bisa kemana-mana, dan juga kesibukan baru bernama belajar online, membuat saya benar-benar merasa powerless.
Di sini saya ingin menyampaikan bahwa kemungkinan jika rencana dan langkah antisipasi yang kita siapkan itu tidak berjalan sesuai rencana bisa saja terjadi. Meski tidak menutup kemungkinan, jika hal sebaliknyalah yang terjadi. Misalnya bisnis yang kita siapkan berjalan lebih baik setelah kita resign.
Prediksi adalah prediksi, semua hal bisa terjadi, yang lebih buruk ataupun justru yang lebih baik...
LALU APAKAH MENYESAL?
Dalam kasus saya, pada satu titik bisa dibilang bahwa rencana berjalan di bawah ekspektasi. Dan saya pun merasakan struggle untuk beradaptasi dengan keadaan ini. Tapi, jujur, saya tidak pernah merasa menyesal dengan keputusan saya untuk resign.
Mungkin hal ini akan terjadi sebaliknya, jika saya adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Tapi, karena saya memiliki privilege itu, meskipun saat itu merasa tidak nyaman dengan keadaan, tapi rasa sesal itu tidak hadir.
Tidak ada keinginan sedikit pun dalam diri untuk menukar kondisi powerless yang saya rasakan dengan situasi powerful saat masih bekerja. Sekali lagi setiap individu itu unik ya, dan saya kebetulan adalah seorang yang sangat membutuhkan kebebasan, idealisme, dan kompetisi fair yang membuat seseorang merasa dapat meraih prestasi.
Lagi pula saya melihat kondisi tidak sesuai ekspektasi ini sekedar sebagai tertutupnya satu pintu, sementara pintu yang lain masih banyak. Sementara rejeki dari berjualan bisa dibilang sedang sulit untuk semua orang, ya saya tetap berusaha melakukan hal yang saya bisa. Mengembangkan media yang saya punya (Instagram, YouTube, dan lainnya), melakukan hobi-hobi seperti menyanyi, menggambar, apa aja yang saya suka.
Kehidupan pasca resign saya pada satu titik memang terasa di bawah ekspektasi, tapi siapa disangka kemudian hobi-hobi ini pun bisa menghasilkan income, meski tentu tidak se-stabil saat bekerja full time. Ada kalanya lebih banyak, sering juga dibawahnya. Tapi, kebahagiaan dan ketenangan hati yang saya dapatkan karena keleluasaan membersamai anak-anak dan kesempatan mengembangkan diri itu selalu stabil di atas, dibandingkan pada saat bekerja.
Hidup adalah pilihan, saya memiliki privilege untuk mengambil pilihan resign dan saya tidak pernah menyesal mengambil keputusan itu. Bagi saya, kepurusan untuk resign adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya.
Jadi, jika ingin digeneralisasi, mungkin menyesal dan tidak menyesalnya seseorang setelah resign itu tergantung pada:
PERTIMBANGAN. Pastikan jika itu bukanlah keputusan emosional semata, bukan sekedar pelarian untuk menghindari hal yang tidak kita inginkan, tapi lebih ke usaha untuk mencapai situasi yang kita inginkan. Sehingga kita tetap bisa menghargai mensyukuri situasi setelah resign. Dan jika ternyata sebagian rencana tidak berjalan sesuai ekspektasi, kita tidak merasa kehilangan tempat berpijak.
LEGOWO DAN RESILIANCE. Selain itu, yang perlu disadari dan disikapi legowo adalah bahwa kehidupan setelah resign itu secara finansial sudah pasti tidak se-stabil saat bekerja. Kamu bisa mendapatkan lebih, tapi juga bisa dibawahnya, jadi jangan baperan, keep on going pokoknya.
***
Kira-kira begitu penjelasan saya menjawab pertanyaan, "Pernah ga merasa menyesal setelah resign?" yang jawabannya adalah 'tidak'.
Struggle-nya saya ya di bagian merasa powerless itu, dan ini mungkin sangat berbeda bagai orang lain. So, jika teman-teman pun memiliki keinginan untuk resign, sekali lagi pertimbangkan segala sisi positif dan negatif dari bekerja full time dan resign.
Resign akan membuat teman-teman kehilangan sesuatu, so pastikan kan is it OK? Resign juga akan membawa kita untuk mendapatkan sesuatu, so pastikan juga jika teman-teman benar-benar menginginkan hal itu. Serta satu lagi, sadari bahwa selalu ada kemungkinan jika rencana yang telah disusun tidak berjalan sesuai harapan kita, is it also OK?
Hidup adalah tentang pilihan, termasuk memilih risiko yang akan ikhlas kita jalani.
Whoa! So, ini adalah post menindaklanjuti, video yang pernah saya buat tentang Herbilogy Slimming Kit yang saya konsumsi dalam rangka berusaha menurunkan berat badan.
Penggunaan Slimming Kit Herbilogy ini sendiri terdiri dari dua langkah, yaitu proses detoksifikasi dengan menggunakan Laxa Tea selama 14 hari. Baru kemudian dilanjutkan dengan konsumsi Green Tea dan Slimming Capsule-nya.
Nah, di YouTube Channel, saya baru upload dua video, yaitu video part 1 unboxing si Herbilogy Slimming Kit dan part 2 testimoni setelah menggunakan Laxa Tea. Sementara part 3-nya alias testimoni setelah memakai Green Tea dan Slimming Capsule-nya belum saya bikin juga. Bukan apa-apa, tapi saya memang gagal untuk disiplin dalam program ini dan tidak bisa memberikan testimoni teman-teman :D
Jadi begini... Di video pertama kan saya sampaikan bahwa si Slimming Kit ini adalah pelengkap dari program diet yang saya rencanakan meliputi: memperbaiki pola makan (mengurangi asupan kalori) dan olah-raga. Tapi kenyataannya, kesibukan yang luar biasa membuat saya tidak bisa disiplin seperti seharusnya.
Jam tidur yang jauh dari ideal (baca: seringkali tidur jam 3.00 pagi, bangun pagi sekitar jam 7, baru nanti siang tidur lagi) itu membuat saya kesulitan mengatur waktu makan dan juga olah-raga. Rutinitas yang cukup menyita waktu dari menemani belajar online anak-anak, masak, beberes rumah, setrika, belanja, dll itu pun sangat menguras waktu dan energi. Sehingga kedisiplinan yang mutlak diperlukan dalam program diet ini tidak bisa saya lakukan.
Olah-raga banyak sekali ke-skip karena sudah kecapekan. Makan camilan pun seringkali masih dilakukan demi mengurangi ngantuk, dan bahkan minum si Green Tea dan Slimming Capsule pun suka lupa. So, disini lah saya merasa tidak bisa menilai seberapa besar andil si Slimming Kit ini dalam perubahan berat badan saya.
Oh ya, kalo ditanya berapa perubahan berat badan saya, hoho, malahan naik 0,7 kg teman-teman. Dimana, tentu saja ini bukan akibat dari Slimming Kit ya, tapi karena ketidakdisiplinan saya. Nah, disini (sekali lagi) kemudian saya tidak bisa menilai efektivitas dari Slimming Kit ini. Gitu teman-teman...
Dan membicarakan tentang diet, dari kegagalan ini kemudian saya semakin tersadar bahwa kunci dari penurunan berat badan adalah kedisiplinan dan konsistensi.
Jadi begini, pada dasarnya untuk menurunkan berat badan, kita harus membakar cadangan makanan (dalam bentuk lemak) yang ada dalam tubuh, artinya kita harus melakukan program defisit kalori. Dimana ini dilakukan dengan mengurangi asupan kalori dan juga meningkatkan aktivitas yang membakar kalori. Sementara suplemen, sifatnya adalah untuk membantu saja.
Intinya tetap di kedisiplinan kita untuk melakukan program defisit kalori.
Metabolisme tubuh saya memang cenderung lambat alias mudah naik berat badan. Udah gitu cenderung obsesive compulsive yang termanifestasi juga dalam perilaku suka ngemil. Kondisi ini diperburuk karena saat ini hari-hari saya yang serba melelahkan sebagai single fighter (baca: Long Distance Marriage plus ga ada ART), boro-boro mau olah-raga, kontrol diri pun melemah.
Tapi, itu bukan berarti menyerah dan membiarkan semua benar-benar tak terkendali ya... Saya tetap berusaha melakukan hal-hal untuk menerapkan pola hidup sehat yang efeknya juga ke menjaga berat badan. Dan yang saya lakukan saat ini, kembali ke cara lama, yaitu menjaga makanan (meminimalkan karbohidrat dan memperbanyak sayur), serta memakai korset.
Yap, bukan salah ketik, it's memakai korset... ini ngefek banget untuk saya. Mari kita bahas satu persatu ya...
Versi videonya kalau males bacanya :D
MENJAGA MAKANAN!
So, sejak kurang lebih 6 tahun lalu saya mulai menerapkan pola makan food combining meski bukan yang saklek banget. Jadi, setiap pagi dimulai dengan minum segelas air jeruk nipis hangat, kemudian beberapa saat kemudian sarapan buah, dan baru makan siang pada pukul 11.30. Menu makan siang atau malam pun sebisa mungkin tidak menggabungkan antara karbohidrat dan protein hewani.
Jadi biasanya saya mengganti nasi dengan sayuran yang banyak kalau ingin makan ayam, ikan, dan protein hewani lainnya. Sementara kalau lagi makan tahu atau tempe (protein nabati), ya makan nasi tidak apa-apa. Meski saya emang pada dasarnya pun ga terlalu suka nasi, jadi sehari-hari jarang sekali makan nasi, bisa seminggu penuh tanpa nasi atau bahkan sebulan penuh, tergantung mood.
Jadi, pola makan ini masih saya lanjutkan, hanya saja yang berbeda adalah saya mengurangi ngemil atau porsi makan snack saja. Dan bagian ini cukup challenging sih, karena ya itu tadi, kadang untuk mengurangi ngantuk akibat jam tidur yang rada kacau, godaan ngemil itu lebih sulit ditahan.
Tapi, tetep berusaha kontrol... jangan dilosin aja...
MEMAKAI KORSET!
Ini juga kebiasaan lama sejak melahirkan anak pertama lebih dari 10 tahun lalu, yaitu memakai korset.
Secara fisik sih dengan memakai korset perut akan tertekan dan terbentuk lebih slim, tapi efek yang paling bermanfaat untuk saya itu sebenarnya adalah untuk mengontrol nafsu makan.
Yes, karena pakai korset, perut tuh rasanya cenderung lebih cepat kenyang dan kenyangnya lebih tahan lama, jadi sangat membantu mengontrol keinginan untuk makan.
So, yes, siang saya pakai korset yang sebelumnya pakai Mustika Ratu Slimming Gel dulu. Dimana untuk saya, krim ini lebih untuk menjaga kulit lembab dan jika pun kulit kembali mengkerut karena menjadi lebih langsing, kulit tetap kencang. Efeknya ke membakar lemak di perut tidak terlalu saya rasakan.
Lagi-lagi ya... menurut saya yang namanya suplemen itu sifatnya hanya membantu secara minimal, inti dari penurunan berat badan tetap di menjaga asupan kalori dan membakarnya.
AKTIFIN CALORY COUNTER
Ini barusan banget sih gara-gara ada diskon 50% untuk aplikasi calory counter favorit saya, Lifesum! Tapi aplikasi calory counter lain banyak ya... so, kalau mau pakai juga, silakan cari yang pas...
Aplikasi ini sendiri sifatnya lebih untuk mengontrol keseimbangan antara kalori yang masuk ke dalam tubuh dan yang kita bakar. Melalui aplikasi Lifesum ini, kita bisa menentukan target; apakah untuk menurunkan berat badang, menjaga berat badan, atau bahkan meningkatkan berat badan. Kita juga bisa memilih jenis diet yang paling pas, me-record perkembangan berat badan kita, dan banyak lagi.
Lebih dari sekedar concern tentang berat badan, Lifesum ini tujuannya sebenarnya lebih ke membantu kita me-maintain kebiasaan hidup sehat. Karena itu, selain calory counter, Lifesum juga memiliki water tracker, dan juga memberikan saran untuk menjaga keseimbangan nutrisi kita (karbohidrat, protein, dan lemak).
Oh ya, satu lagi... ini aplikasi beneran bermanfaat untuk saya yang rada obsesive compulsive ini, supaya lebih sadar diri.
***
Untuk sementara, itu yang rutin saya lakukan... Olah-raga akan sangat membantu, dan saya pun masih mencari celah dalam hari-hari saya untuk bisa olah-raga secara rutin lagi.
Dan kembali ke judul post kali ini, jika ingin disimpulkan seberapa efektif suplemen Herbilogy Slimming Kit dalam penurunan berat badan saya, hmm, saya tidak bisa tidak tahu. Tapi, satu hal yang pasti adalah bahwa peran suplemen dalam penurunan berat badan hanyalah membantu, dan tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak melakukan upaya mengurangi kalori dalam tubuh.
So, jangan berharap terlalu banyak bisa menurunkan berat badan sekedar bergantung pada suplemen tertentu, tanpa mengurangi asupan kalori dan membakar kalori dalam tubuh ya...
Kurang lebih begitu teman-teman... Semangat sehat ya!
"Udah lah, kalau masih ada anak kecil, jangan harap rumah bisa rapi..." demikian curhatan para ibu yang bersliweran di dunia maya maupun nyata yang kemudian saya amini setelah menjadi seorang ibu. Sikap selow dan lapang dada saat melihat rumah berantakan memang kemudian menjadi satu kapasitas yang mutlak diperlukan seorang ibu untuk mempertahankan kesehatan mentalnya menghadapi anak-anak yang belum beranjak dewasa.
Demikian juga dengan si Ganesh yang kini berusia 10 tahun. Sejak kecil dia adalah anak yang 'ada-ada aja..." Hampir semua bisa dia jadikan mainan! Anaknya selalu penasaran untuk mencoba apa yang dilihatnya, utak-atik barang, dan bikin sesuatu dari barang bekas (atau yang sebenarnya masih terpakai). Dan bisa dibayangkan, kemudian rumah pun bisa dipastikan selalu dalam keadaan berantakan kecuali malam saat dia tertidur hingga pagi sebelum dia terbangun.
Rasa geregetan itu pasti ada kalanya datang, tapi ya udah lah... Masa kanak-kanak memang masanya bereksplorasi. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang begitu tinggi dan ingin mencoba semua hal yang dia bisa.
Ganesh sendiri dari kecil memang punya hobi spesifik membuat sesuatu dengan bahan kardus dan bahan bekas lainnya. Hal ini secara konsisten dia lakukan hingga saat ini. Dan sampai sekarang pun, saya masih amazed setiap kali dia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya dan berkata, "Mama, boleh enggak kardusnya buat Anesh?" Geli sendiri melihat binar-binar matanya mengharap suatu barang bekas untuk boleh dia ubah entah jadi apa.
Saat itu, saya berpikir, "Yah, tiap anak tentu memiliki potensinya masing-masing..." Jadi ya saya berusaha fasilitasi saja semampunya karena merasa ini adalah hal yang positif, tapi belum terlalu memahami bahwa kreativitas ini hal yang sangat penting untuk masa depannya. Sampai akhirnya saya mendapat kesempatan mengikuti sebuah webinar yang diadakan oleh Faber-Castell dengan tajuk 'Soft Skill Apa yang Diperlukan di Abad Digital?"
KREATIVITAS DI ERA DIGITAL
Di banyak film futuristik, kita sering disuguhi bagaimana robot menjadi bagian dari keseharian manusia. Saat ini, robotisasi sudah dimulai, berbagai pekerjaan repetitif 'sederhana' telah digantikan oleh robot yang notabene lebih mudah maintenance-nya. Robot tidak kenal capek, emosi (marah atau sedih), dan akurasi pekerjaannya pun lebih tinggi daripada manusia. Dimana hal ini akan semakin berkembang, dan di masa depan akan lebih banyak aktivitas yang digantikan oleh robot.
Berbagai aktivitas memang akan menjadi lebih efisien dengan bantuan robot, tapi tidak semuanya. Manusia memiliki kelebihan yang tidak bisa digantikan oleh robot, salah satunya adalah kreativitas, yaitu kemampuan untuk memproduksi atau mengembangkan suatu karya asli, ide, teknik, atau pemikiran.
Robot bekerja berdasarkan formula atau program yang diberikan manusia sehingga memiliki keterbatasan. Sementara manusia memiliki kreativitas yang membuatnya mampu menciptakan sesuatu hal yang sifatnya original dan cenderung tidak terbatas.
Itu mengapa, kreativitas kemudian menjadi kompetensi yang sangat dibutuhkan anak-anak kita di masa depan. Supaya dia mampu bersaing dan tidak tergantikan oleh robot.
Karenanya kita perlu memfasilitasi anak-anak kita untuk mengembangkan kreativitas ini.
PANDEMI VS KREATIVITAS
Anak-anak membutuhkan media untuk membuatnya melakukan berbagai aktivitas untuk mengembangkan kreativitasnya. Dimana hal ini praktis menjadi tantangan tersendiri pada masa pandemi.
Sebelum pandemi, anak-anak bisa berangkat ke sekolah, bermain bersama teman-temannya, berinteraksi dengan gurunya, mengikuti berbagai kegiatan sesuai dengan minat dan bakatnya, bermain di alam terbuka, dan banyak lagi. Sementara sekarang, praktis mereka lebih banyak beraktivitas di rumah.
Bosan itu pasti. Jadi, apa pengganti dari semua kegiatan ini? Bagaimana menyalurkan energi dan rasa ingin tahu yang begitu besar dari anak-anak ini? Di sinilah kemudian gadget seringkali menjadi musuh terselubung pada situasi ini.
Anak-anak haus akan kegiatan, kita sebagai orang-tua pun tentu punya keterbatasan untuk memfasilitasinya karena segala kegiatan yang harus dilakukan, sehingga gadget menawarkan solusi supaya anak-anak tenang sementara orang-tua bisa tetap melakukan kegiatannya dengan tenang.
Solusi yang tidak bijak tentu saja, karena gadget akan membuat anak-anak terpaku padanya, melupakan kegiatan yang bermanfaat baginya, dan bahkan berpotensi menimbulkan masalah. Di antaranya adalah masalah kesehatan fisik (karena banyak duduk diam), terlambat berbicara, masalah atensi dan konsentrasi, masalah pada executive functioning, masalah pada perilaku, dan memburuknya kelekatan dengan orang-tua.
Secara konkret penggunaan gadget yang berlebihan akan membuat anak terlalu terpaku padanya dan kurang melakukan aktivitas yang sesungguhnya bermanfaat. Termasuk juga aktivitas-aktivitas yang mengasah kreativitasnya. Padahal kreativitas ini menjadi hal yang sangat penting untuk masa depannya nanti.
KEGIATAN UNTUK MENGASAH KREATIVITAS ANAK
Sesungguhnya ada begitu banyak kegiatan yang bisa dilakukan anak-anak untuk mengembangkan kreativitasnya. Melalui berbagai permainan, diskusi, kegiatan seni, dan banyak lagi. Pada dasarnya setiap anak akan terdorong untuk melakukan aktifitas untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Dan kita sebagai orang-tua memiliki peran untuk memfasilitasi dorongan ini; baik dengan memberikan lingkungan yang supportif, memberikan ide kegiatan, dan juga membimbing (aktif mengajak bermain).
Membiarkan anak berkreasi meskipun rumah menjadi berantakan, menyediakan supply bahan-bahan yang dia butuhkan, tidak mudah marah saat anak merusak sesuatu karena sedang mencoba-coba, dalam hal ini termasuk bagian dari upaya kita untuk memberikan lingkungan supportif yang dimaksud.
Ada kalanya, kita sebagai orang-tua juga perlu merangsang anak-anak untuk melakukan kegiatan kreatif di tengah godaan gadget di masa pandemi ini. Bentuk kegiatannya sendiri bisa bermacam-macam, dari kegiatan seni seperti menggambar, kegiatan science seperti melakukan eksperimen sederhana, kegiatan berkaitan dengan logika berpikir seperti diskusi bersama, dan banyak lagi.
Butuh ide? Hmm, saat ini pun ada berbagai kegiatan tematik beserta supply-nya yang sangat memudahkan kita untuk mengajak anak berkreasi. Salah satunya adalah Faber-Castell Creative Art Series...
FABER-CASTELL CREATIVE ART SERIES
Yup, Faber-Castell memiliki serangkaian produk tematik yang merangsang kreativitas anak-anak. Dalam satu paket Faber-Castell Creative Art Series sudah lengkap akan peralatan, bahan, dan juga petunjuk pengerjaannya.
Misalnya seri Glow In The Dark Clock yang kami coba beberapa waktu lalu. Art Series ini mengajak anak-anak membuat jam yang bisa menyala dalam gelap. Adapun kegiatan yang dilakukan di sini meliputi mengecat, merangkai siluet gambar dan bagian-bagian lainnya hingga menjadi jam yang benar-benar bisa digunakan, dan tentu saja menyala dalam gelap!
Faber-Castell Creative Art Series: Glow In The Dark Clock Foto: Faber-Castell Indonesia
Hoho, jangan tanya ya... sejak paket Glow In The Dark Clock ini datang, si Ganesh sudah ribut pengen bikinnya. Keseruan dia bikin si jam yang menyala di gelap ini bisa dilihat di video berikut ya...
Melakukan kegiatan Faber-Castell Creative Art Series ini, praktis sangat memfasilitasi kreatifitas anak-anak. Tapi bukan cuma itu. Kegiatan ini juga dapat meningkatkan bonding antara anak dan orang tua dengan mengerjakan project ini bersama-sama. Serta meningkatkan rasa percaya diri anak karena perasaan mampu membuat suatu benda yang benar-benar berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Si Ganesh benar-benar bangga akhirnya jamnya selesai, bisa berfungsi dengan baik dan bisa menyala di gelap!
Produk dari Faber-Castell Creative Art Series ini sendiri bermacam-macam, bukan hanya Glow In The Dark Clock saja. Ada juga Finger Printing Art, Basketball Arcade, Air Jet Sport Car, dan sebagainya. Semua bisa didapatkan secara online di marketplace favorit teman-teman (Shopee atau Tokopedia).
Beberapa Serie Faber-Castell Creative Art Series Lainnya
Faber-Castell Creative Arti Series: Basketball Arcade Foto: Faber-Castell Indonesia
Bagi saya, adanya Faber-Castell Creative Art Series ini sangat membantu menyiapkan kegiatan yang bermanfaat untuk anak-anak. Tidak perlu memikirkan mau bikin apa, bagaimana caranya, dan membeli alat dan bahan secara terpisah, karena semuanya sudah disiapkan dalam satu kotak. Benar-benar praktis bukan?
***
Memang tantangan kita sebagai orang-tua untuk menyiapkan anak-anak menghadapi era digital yang semakin nyata ini tidak mudah. Apalagi di masa pandemi seperti saat ini.
Sebagai orang dewasa, kita pun memiliki berbagai tanggung-jawab, sehingga memiliki keterbatasan tenaga maupun waktu untuk membimbing anak-anak kita. Namun, sesungguhnya mengajak anak-anak untuk melakukan kegiatan kreatif pun tidak sesulit dan seberat yang kita bayangkan.
Misalnya dengan mengajak mereka mengobrol, menyediakan bacaan, pensil warna, kertas gambar atau art supply lainnya. Apalagi dengan adanya Faber-Castell Art Supply Series ini, yang benar-benar praktis dan menarik untuk anak-anak.
Ada banyak kegiatan sederhana yang bisa dilakukan untuk membuat anak-anak tetap aktif dan mengembangkan kreativitasnya, tidak hanya terpaku pada gadget.
Bisa yok bisa... Demi masa depan anak-anak kita kan...
Omaigat, it's really been a while ga buka dashboard blog kesayangan ini, sampai-sampai ga familiar pas ngetik website-nya! Dan ternyata terakhir post itu 23 April 2021, berarti 6 bulan! Tapi jujur, saya pikir lebih lama sih, ternyata baru 6 bulan, hahaha :D
But, yes teman-teman... 6 bulan ini berjalan benar-benar (sebut saja) membingungkan. Ada banyak rasa disana, yang sedikit demi sedikit disadari, meski tidak semua rasa terbalas seperti harap yang ada. Beberapa pun mendewasakan, meski menghangatkan pelupuk mata ketika mengingatnya.
Mungkin bahkan belum sempat mengungkannya, betapa banyak rasa yang akhirnya terkuak selepas kepergian ibuk. Saat dimana saya kuat dan baik-baik saja, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Ternyata saya tidak sekuat itu, ternyata hati dan raga ini demikian berduka dan sakit karena kepergian ibu.
Tapi, semuanya sudah sejauh ini. Mungkin beberapa rasa memang belum terbalas atau mungkin memang tidak terbalas. Rasa rindu tidak pernah hilang, mata masih selalu berair saat mengingatnya, tapi di titik ini, sedikit demi sedikit hati dan raga sudah baik-baik saja. Ada titik dimana akhirnya tersadar adanya depreasi dan psikosomatis, tapi waktu dan keterbukaan sudah meredakannya.
Let's see jika satu saat bisa cerita tentang ini juga di blog, mungkin pun ada teman-teman yang merasakan hal yang sama. Tapi bukan di tulisan ini, karena beneran ini cuma sebuah quick hi... Awalnya ini buka blog niatnya untuk nulis (sebut saja) script untuk YouTube Channel baru saya. Hoho, yes, beberapa waktu lalu saya bikin YouTube Channel yang isinya lebih ke vlog dan podcast gitu.
Nah, ngomongin soal si project YouTube ini, saya baru mulai menambah konten baru berupa podcast tentang opini dan psikologi. Sebelumnya, memang YouTube Channel ini isinya banyakan tentang vlog sehari-hari, karena emang ga ada waktunya bikin konten lain. Yes, 6 bulan ga ada ART, suami di seberang pulau, ditambah belajar online dua anak... hidup benar-benar se-hectic itu!
OK, kurang lebih gitu dulu kali ya 'quick hi'-nya... Udah lewat tengah malam, mau beres-beres, terus habis itu tidur! Hmm, besok libur by-the-way, semoga besok bisa menikmati hari yang hangat dalam rasa dan juga produktif.
Dan sebelum the end, berikut saya attach video dari Channel YouTube baru saya yang lumayan nge-hits dan sekaligus juga tipe konten yang akan saya perbanyak nantinya. Jika teman-teman suka dengan konten YouTube Channel saya, jangan lupa untuk support dengan subscribe ya...
Terima-kasih sudah mampir teman-teman, dan see you again. Last words... ternyata, menulis bisa semenyenangkan ini ya... still my favourite things to do, so semoga bisa lebih banyak nulis lagi nantinya. Bye ❤️
Plastik itu tidak ramah lingkungan! Ya, tidak terbantahkan. Namun, hingga saat ini pun belum ada bahan yang dapat menggantikan sepenuhnya. Adalah keniscayaan bahwa plastik sulit diurai secara alami oleh alam, tapi juga tidak terbantahkan bahwa bahan ini masih dibutuhkan baik oleh produsen maupun konsumen.
Pernah ga sih, pada saat belanja skin care kemudian kita berpikir, “Duh, ini kemasan plastiknya tebel amat. Cantik dan keliatan elegan sih, tapi apa kabar ini nanti pas jadi sampah?” Tapi, di sisi lain coba bayangkan, jika kosmetik tersebut kemudian berhemat penggunaan plastik. Dengan kemasan yang lebih tipis, apakah sebagai konsumen kita yakin kualitas skin care tetap terjaga? Dilema kan?
Demikian juga yang dialami produsen, mereka pun mengalami dilema yang sama. Di satu sisi, tidak mungkin mereka tidak memahami dampak dari penggunaan plastik. Namun disisi lain, inilah bahan yang paling tepat guna hingga saat ini, dalam artian ekonomis, durable dan mampu menjaga produknya, serta memiliki tampilan yang menarik.
Hal ini memang dilematis, tapi bukan absolut tanpa solusi. Limbah plastik memang sulit terurai secara alami oleh alam, tapi sangat bisa didaur-ulang. Dimana konsumen dapat mendukung hal ini dengan pemilahan sampah, demikian juga produsen dapat mendorong hal ini dengan program pengumpulan kemasan produknya. Misalnya yang dilakukan The Body Shop dengan program Bring Back Our Bottle (BBOB)-nya.
Bagi saya konsumen The Body Shop sejak lebih dari 6 tahun, program ini punya arti tersendiri. Semacam memberikan garansi bahwa skin care saya dikemas dengan aman, sekaligus tenang bahwa kemasan bekas pakainya tidak akan berakhir merusak lingkungan. Di samping juga mendapatkan benefit berupa poin yang dapat ditukar dengan produk ataupun digunakan untuk belanja saat mengembalikan kemasan bekasnya. Benar-benar jenius bukan?
Member The Body Shop, kartunya berdua sama suami
Selain membawa manfaat bagi konsumen, program ini tentu juga membawa manfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Sampah anorganik berkurang, masyarakat pun teredukasi untuk bertanggung-jawab akan sampahnya.
Bahkan lebih dari itu, program pengelolaan sampah yang dilakukan melalui BBOB ini pun saya sadari meningkatkan loyalitas pada brand. Sebagai seorang yang concern akan bahayanya sampah anorganik bagi lingkungan, program ini sungguh menimbulkan sentimen positif. Membuat saya merasa membuat keputusan yang tepat dengan berbelanja produk mereka. Saya mendapatkan produk berkualitas, dan mereka pun menggunakan sebagian keuntungan yang didapatkan untuk melaksanakan tanggung-jawabnya pada bumi.
Botol bekas siap dibawa ke toko
Hal ini, saya yakin juga terjadi pada banyak konsumen lain. Sikap suatu brand pada isu lingkungan turut meningkatkan loyalitas konsumen, sekaligus berpengaruh positif pada citra perusahaan. Dimana kedua hal ini (loyalitas konsumen dan citra positif) adalah aset yang turut mendukung keberlangsungan dan perkembangan bisnis perusahaan.
Sikap dan keputusan perusahaan pada pelestarian alam akan berpengaruh pada loyalitas konsumen dan citra perusahaan.
Saat ini, organisasi penggiat lingkungan pun bahu-membahu melakukan aksi penyelamatan bumi. Salah satunya dengan melakukan penelitian berkala untuk mengetahui pola limbah plastik di dunia. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk menyadarkan, serta memberikan edukasi pada masyarakat dan produsen mengenai limbah mereka. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh The #breakfreefromplastic Movement.
Gerakan yang dirilis pada tahun 2016 ini melakukan penelitian bertajuk ‘Brand Audit’ secara berkala pada tiga tahun terakhir (2018, 2019, dan 2020). Melalui ‘Brand Audit’ yang dilakukan oleh volunter, dihasilkan laporan tahunan mengenai pola limbah plastik di dunia, salah satunya adalah tabulasi sampah plastik bermerek. Dimana melalui penelitian ini diperoleh hasil brand dengan sampah plastik terbanyak di dunia.
The Brand Audit 2020 yang dilakukan oleh The #breakfreefromplastic Movement
Publikasi semacam ini sedikit banyak membuat saya berpikir ulang untuk all out menggunakan produk-produknya. Saya sadar sepenuhnya jika sampah-sampah plastik yang saya hasilkan akan merusak lingkungan. Akan tetapi, sebagai konsumen, yang mungkin saya lakukan saat ini adalah memilah sampah, dengan harapan ada pihak yang akan mengambil tindakan daur ulang ataupun pengolahan lanjutan. Saya akan cenderung memilih produsen yang memberikan perhatian khusus pada limbah mereka. Sehingga fakta yang terungkap melalui penelitian yang dilansir dengan tajuk ‘The Brand Audit Report’ ini secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi keputusan saya untuk menggunakan suatu produk.
Jika ada brand lain yang lebih concern dengan limbahnya, saya akan memilihnya. Perasaan semacam ini, saya yakin dimiliki juga oleh banyak konsumen lain, sehingga jelas berpengaruh pada loyalitas customer dan citra perusahaan. Keputusan berkaitan dengan lingkungan, baik pada fase produksi maupun pengelolaan limbah adalah hal yang sangat krusial dalam hal ini. Sehingga ada baiknya perusahaan-perusahaan melalui brand yang diusungnya menganggap serius hal ini.
Untuk melakukan pengelolaan limbah yang lebih baik, produsen dapat bekerjasama dengan perusahaan pengelolaan limbah, salah satunya adalah Waste4Change. Salah satu perusahaan Waste Management Indonesia yang berdiri pada tahun 2014 ini memberikan berbagai jasa pengelolaan limbah, salah satunya adalah In-Store Recycling sebagai salah satu bentuk Extended Producer Responsibility Indonesia.
Program ini dirancang untuk meningkatkan daur ulang sampah berlabel merek yang dapat berasal dari proses produksi, proses distribusi, gudang, maupun konsumen. Sebagaimana program BBOB The Body Shop Indonesia yang juga di-handle oleh Waste4Change.
Keuntungan dari layanana In-Store Recycling ini adalah mencegah penyalahgunaan produk berlabel merek, mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA, adanya laporan tentang alur sampah, dan membantu meningkatkan daur ulang. Dimana hal ini bukan hanya memiliki manfaat bagi lingkungan dan masyarakat, tapi juga bagi brand sendiri.
Adapun alur sampah dalam program In-Store Recycling ini adalah sebagai berikut:
Pemilahan sampah oleh konsumen
Penyimpanan sampah di gudang/toko klien
Pengumpulan sampah terpilah
Pengelolaan sampah di Rumah Pemulihan Material Waste4Change
Pengelolaan residu menggunakan teknologi RDF
Layanan In-Store Recycling ini sangat mudah dilakukan oleh konsumen, maupun brand. Konsumen hanya perlu membawa kemasan bekas ke toko, sedangkan perusahaan (brand) hanya perlu mengumpulkan untuk kemudian menyerahkannya untuk dikelola lebih lanjut oleh Waste4Change.
Melalui treatment ini, sampah pun dikelola lebih baik dan tidak mencemari lingkungan, citra perusahaan semakin baik karena sampah dengan label mereka mereka tidak ditemukan di sembarang tempat (karena sudah didaur ulang), dan loyalitas konsumen pun terjaga.
Yup, sebagai konsumen, saya berharap akan lebih banyak perusahaan yang turut mengambil peran dalam pengelolaan limbah produk mereka. Saya pribadi pun merasa lebih tenang dan puas saat menggunakan produk yang saya tahu tidak akan berakhir mencemari lingkungan.
-end-
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog Waste4Change Sebarkan Semangat Bijak Kelola Sampah 2021
Nama penulis: Nian Astiningrum"
Referensi:
[1]. breakfreefromplastic.org. (2020). The Brand Audit Report 2020. Diakses pada 22 April 2021, dari https://www.breakfreefromplastic.org/globalbrandauditreport2020/.
[2]. thebodyshop.co.id. Bring Back Our Bottle. Diakses pada 22 April 2021, dari https://www.thebodyshop.co.id/stories/bring-back-our-bottle.
[3]. waste4change.com. In-Store Recycling. Diakses pada 22 April 2021, dari https://waste4change.com/official/service/in-store-recycling.
Jeanie marries when she's twenty one, Has a baby one year on And every year that's the way that life goes Lost herself in domesticity, A cleaning, feeding entity, She can't recall what she was before
In an ideal world kids would keep their rooms tidy, In an ideal world he would be home from his work on time And in the morning I could lay in
(Lagu oleh Andrea Corr)
Gara-gara semingguan dipaksa berkutat dengan pekerjaan rumah-tangga pasca di-ghosting ART, lagu ini tiba-tiba terngiang-ngiang di telinga. Ya gimana, tiap pagi mau bangun, yang di otak sekarang adalah mau masak buat sahur, cuci piring, nyapu, ngepel, jemur baju, nyetrika, dan printilannya. Hmm, I literally mengerti banget apa yang disampaikan lagu itu; sebuah kondisi dimana seorang perempuan tenggelam dalam pekerjaan domestik hingga lupa akan kehidupannya sendiri.
Seram ya? Tapi, iya lho, hal ini bisa banget terjadi saat pekerjaan begitu menumpuk sampai-sampai kita tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Begitu terbangun di pagi hari, yang ada di kepala kita adalah bagaimana menyelesaikan pekerjaan yang sudah menunggu, hingga malam tiba, kita kelelahan dan beristirahat. Begitu terus... Alih-alih memikirkan mimpi, pekerjaan yang tidak henti muncul bisa selesai saja bagaikan suatu keajaiban.
Hmm, jujur, pada awalnya saya pun berpikir jika akan berada pada posisi seperti itu. Sekitar satu tahun yang lalu pun saya mengalaminya, dan waktu itu pekerjaan domestik ya hidup saya. Nyaris tak ada waktu lagi untuk melakukan hal-hal yang saya sukai dan memuaskan batin.
But sureprise! Saya terkaget-kaget sendiri ternyata kok sekarang berbeda ya... Sudah seminggu terdampar di timbunan pekerjaan rumah tangga bersama home learning dua anak yang masih sekolah online, tapi saya survive. Bahkan masih sempat melakukan pekerjaan yang memuaskan batin, seperti menyanyi (live streaming), menulis, dan membuat konten.
Ini benar-benar di luar prediksi saya! Dan sontak membuat saya berpikir, apa yang beda dengan tahun lalu? Kenapa tahun ini saya seperti masih punya cukup energi untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah-tangga itu, on-the-way menyelesaikan home learning, menyanyi, menulis dan bikin konten?
Dan setelah saya pikir-pikir, berikut beberapa hal yang ternyata membuat perbedaan itu:
1. Start dari Nol
Jadi, waktu itu kan rumah sempat ditinggal sekitar dua mingguan karena kami ke Jogja saat Ibuk sakit dan kemudian berpulang. Otomatis, PR sepulang dari sana itu lumayan banyak; ya segunung setrikaan, lantai yang aduhai untuk ukuran saya yang OCD bikin bad mood, barang-barang berantakan ga pada tempatnya, dan sebagainya.
Nah, ini nih kalo menurut hemat saya harus dibabat tuntas dulu, jadi kita benar-benar bisa start dari nol dan tidak selamanya menanggung pekerjaan kemarin atau kemarin lusa. And yes, ini part paling berat sebenarnya. Pada saat ini, saya hanya fokus untuk menyelesaikan PR itu dulu, my daily life still paused. Ga nyanyi dulu, ga nulis dulu, ga bikin konten dulu...
Berat? Iya! Makanya buruan diselesein, jadi hidup (harapannya) bisa normal lagi. Iya masih harapan, karena masih meraba-raba apa yang akan terjadi setelah ini.
2. Bangun (Sangat) Pagi
Yup, saya pikir bulan puasa akan menambah keruwetan dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumah-tangga ini, tapi ternyata justru sebaliknya!
Bangun jam 3 pagi setiap hari untuk menyiapkan sahur untuk anak (dan suami jika dia sedang di rumah), setelahnya saya memilih untuk tidak tidur kembali, tapi menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum anak-anak harus bangun dan memulai aktivitas home learning. Pada waktu ini, saya ternyata bisa menyelesaikan banyak hal; seperti mencuci piring, menyapu, mengepel dan membuat sarapan untuk Mahesh yang belum berpuasa.
Alhasil, aktivitas setelah anak-anak bangun pun lancar jaya! Mood saya pun maintain nicely merasa tidak memiliki tanggungan yang bikin stress. Juga tidak merasa diburu-buru karena ada yang kelaperan, sementara saya pun gemas liat tumpukan cucian piring dan lantai yang tidak kesat.
3. Tidak Begadang
Ini penyakit menahun saya! Ada saatnya merasa kalo saya ini 'Night Owl' yang justru pikiran kreatif itu bersliweran di malam hari, begadang itu menjadi hobi dan kebutuhan. Siang harinya, hajar dengan kopi, selesai perkara! beberapa bulan kemudian masuk angin parah, pinggang sakit, ga bisa berdiri lama-lama, cuci piring aja harus duduk. Yup, begadang dan kurang tidur itu beneran merusak badan.
Itu kasus ekstrimnya, secara normal kebiasaan begadang itu membuat kita bangun dalam kondisi yang lelah. Lelah itu berdampak pada kurang efisien dan memburuknya mood seharian, jadi benar-benar tidak efisien. Ngerjain pekerjaan rumah lambat, banyakan nge-hang terus buka socmed. Ngajarin anak juga gampang marah. Udah gitu mau mikir untuk nulis atau bikin konten juga susah. Bete kan?
4. Jangan Tunggu Sampai Numpuk
Karena kalo numpuk itu bawaannya males mau ngerjain, yang namanya cuci baju dan setrika itu sehari sekali aja. Jadi setrika itu cuma 10 menitan aja sehari, ga sampai harus bergunung-gunung. Kenapa yang di-mention setrika? Karena ini permasalahan emak-emak sejagad kan, sampai saat ini belum bisa di-automatisasi.
Cuci piring juga gitu, sehari dua kali deh biar ga eneg liatnya.
Buat saya yang rada obsessive-compulsive tadi beneran efektif banget. Karena kecenderungannya itu kalo liat pekerjaan numpuk, bawaannya males dan menunda-nunda ngerjainnya.
5. Multitasking
Ada banyak kok kerjaan yang bisa dikerjain bersamaan. Misalnya masak. Pertama kupas wortel dulu, masukin ke panci. Nah, sambil nunggu si wortel masak, kita bisa motong-motong sayuran lainnya, siapin bumbu, dll.
Contoh lain misalnya home learning sambil nulis atau bikin konten. Ya udah, gelar aja dua meja jejeran anak. Anak ngerjain tugasnya, kita di sampingnya ngerjain tulisan atau konten sambil kadang ngomelin atau ngajarin. Bahkan kalo mendesak sekali bisa kok ngajarin home learning sambil masak. Tinggal angkut buku anak ke meja makan di dapur. Bisaa...
Bagaimana juga waktu kita itu cuma 24 jam sehari, 16 jam efektif, karena 8 jamnya jangan ditawar lagi, itu untuk istirahat.
6. Bergerak Lebih Cepat
Jalan yang cepet, ngepel yang cepet, cuci piring yang cepet... semua harus dipercepat supaya bisa selesai dengan cepat, sekaligus memaintain ritme kerja kita tetap dinamis dan agresif.
Untuk menjaga ritme kerja ini, saya perlu musik! Entah radio atau musik yang membuat saya stay pada pekerjaan itu dengan semangat. Itu kenapa, literally speaker itu ada dimana-mana di rumah.
7. Ajarkan Anak untuk Mandiri
Tahun ini anak sudah bertambah satu tahun usianya. Kalau dulu si Mahesh (sekarang 6 tahun) masih diambilin kalau makan, tahun ini dia bisa ambil sendiri. Juga soal sanitasi, mandi dan cebok sudah bisa sendiri.
Kakaknya (hampir 10 tahun) pun begitu. Perkara belajar online sudah bisa jalan sendiri dengan jadwal yang kita tempel. Setiap pagi sudah pasang alarm untuk bangun, kemudian mandi, dan video meeting.
Ini benar-benar saving time and energy! Sekaligus mengajarkan anak untuk lebih mandiri.
8. Tools untuk Mempercepat/Meringankan Pekerjaan
Ini memang mungkin relatif pricey ya... Tapi, kalau menurut saya mesin cuci bukaan depan, mesin pel, dan bahkan meja setrika kecil yang bisa diangkut kemana-mana itu investasi untuk waktu dan kesehatan mental kita.
Sambil cuci baju, kita bisa masak, nyapu ngepel dll. Tinggal mikirin jemurnya aja, saving so much time!
Ngepel pake mesin meski belum yang otomatis jalan sendiri juga jauh lebih cepet dan ga capek. Saving so much energy!
Meja setrika kecil bisa diangkut sambil nemenin anak nonton. Anak seneng, kita juga seneng ga bosen plus merasa bisa membersamai anak. Contribute in maintain our mental health for sure!
Menurut saya beli alat semacam itu bukan pemborosan, tapi investasi. So, if you can afford it, go for it! Tapi kalo belum ada dananya ya nabung dulu. Bagaimana juga hidup itu juga tentang prioritas, termasuk prioritas mana yang harus dibeli dan mana yang bisa nunggu.
***
Udah, itu aja sih saya pikir berbeda dengan tahun kemarin dari sisi cara kerja tahun lalu dan tahun ini. Tentu tidak bisa diterapkan pada semua kondisi ya, tapi semoga bisa memberikan sedikit referensi pada teman-teman semua agar tidak tenggelam dalam pekerjaan domestik.
Yuk... yuk... tetap cari cara supaya bisa mengembangkan diri untuk kesehatan mental kita. Hmm, diposting pas Hari Kartini, beneran pas banget deh...