SOCIAL MEDIA

search

Monday, November 15, 2021

IBU BERHENTI BEKERJA DARI BUMN [PERNAH MERASA MENYESAL?]

Video version is here:

Jadi, semenjak resign dari PLN di bulan Agustus 2019 lalu, beberapa teman yang sedang menimbang untuk mengambil keputusan yang sama pun banyak bertanya pada saya seputar hal ini. Salah satunya yang paling banyak ditanyakan adalah, "Pernah ga merasa menyesal setelah resign?"

Hmm, pernah ga ya? Baiklah, so, saya akan mendedikasikan tulisan untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi, sebelum membahas lebih lanjut, kita samakan persepsi tentang definisi 'menyesal' ya...

Secara psikologis 'menyesal' atau 'regret' dapat diartikan sebagai kondisi kognitif dan emosional yang negatif yang meliputi perasaan menyalahkan diri sendiri akan hasil yang tidak baik (sesuai harapan), perasaan kehilangan atau sedih atas sesuatu yang terjadi, atau berharap kita bisa mengulang waktu dan mengganti pilihan yang pernah kita ambil (dari PsychologyToday).
Artinya pada saat merasa 'menyesal' ada perasaan menyalahkan keputusan yang pernah diambil. Kita membandingkan kondisi sebelum dan sesudah resign, kemudian merasa bahwa kondisi sebelum resign lebih baik, sehingga kita ingin kembali ke posisi tersebut.

Jadi, apakah saya pernah merasa menyesal setelah resign?

OK, dalam setiap mengambil keputusan, sesungguhnya pasti ada sebuah ekspektasi. Baik suatu kondisi yang ingin dicapai, maupun sebuah kondisi yang ingin dihindari atau diperbaiki; dengan mempertimbangkan risiko atau kondisi tidak nyaman yang menyertainya. Dimana dalam perjalanannya, bisa jadi ekspektasi tersebut terpenuhi ataupun sebaliknya.

KONDISI YANG INGIN DIPERBAIKI

Sebelum resign saya adalah seorang pekerja full time yang bekerja dari Senin hingga Jumat dari jam 7.30 hingga 16.00. Kondisi tersebut menuntut saya untuk banyak mendelegasikan peran saya menjaga anak-anak kepada pengasuh, serta mengesampingkan hal-hal terkait hobi dan aktualisasi diri untuk melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung-jawab saya.

Work-life balance benar-benar menjadi isu saat itu, terlebih saat saya mulai merasa tidak puas dengan pekerjaan yang saya lakukan. Typical saya yang perfeksionis dan idealis, yang begitu passionate, yang ingin menghasilkan sesuatu yang bisa dibanggakan sebagai 'karya' tidak terpenuhi melalui pekerjaan saya. Hal ini membuat upaya menciptakan keseimbangan antara 'kerja' dan 'kehidupan pribadi' menjadi lebih sulit dicapai. Karena di samping perlu menyeimbangkannya dengan keluarga, saya masih harus struggle untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri yang tidak terpenuhi dari dunia kerja.

Singkat cerita, kemudian saya tiba di tahap dimana kondisi tersebut cukup mengganggu kesehatan mental saya. Seringkali merasa terburu-buru, merasa ada begitu banyak hal yang ingin saya kerjakan tapi tidak selesai atau harus selesai di bawah standard pribadi saya, merasa tidak bisa menjalankan peran saya dengan baik, tidak punya waktu untuk diri sendiri, dan sebagainya.

Well, mungkin ini untuk beberapa teman sulit dipahami ya... Tapi, percayalah bahwa ini bukan sesederhana tentang kurang bersyukur. Cukup pahami bahwa setiap individu memiliki karakter dan kepribadian yang berbeda, sehingga ini pun termanifestasi pada perasaan, pandangan, harapan, dan juga apa yang membahagiakannya.

KENYAMANAN YANG MENJADI KONSEKUENSI

Menjadi pekerja pada titik itu menciptakan ketidaknyamanan, tapi tentu saja tidak memunafikkan kenyamanan yang menyertainya. Gaji bulanan yang relatif tinggi dan stabil beserta segala tunjangannya, status yang prestise dimata masyarakat, aktivitas yang menghidupkan hari hari-hari saya, dan circle pertemanan. Semua itu adalah zona nyaman yang akan berganti pada saat memutuskan untuk resign.

Perubahan ini adalah hal yang pasti terjadi, sehingga sudah diperhitungkan dan diantisipasi, meskipun sifatnya tentu adalah prediksi. Sebaik apapun persiapan, sesungguhnya semua adalah sebatas angan-angan yang kita bayangkan, kita tidak benar-benar menjalani masa depan di masa kini. So,  sebenarnya kita tidak benar-benar tahu apakah segala rencana dan persiapan kita itu sesuai dengan harapan atau sebaliknya.

MASA TRANSISI

Semakin mengkerucut pada pertanyaan, 'pernah ga merasa menyesal setelah resign', menurut pengalaman saya ada ada dua masa yang rawan bagi kita untuk merasa menyesal. Yang pertama adalah masa transisi, yaitu masa tepat setelah kita resign.

Bagi banyak orang termasuk saya, masa transisi adalah kondisi yang tidak nyaman. Bagi saya, masa transisi itu masih kental dengan kenangan akan kondisi yang ditinggalkan, sekaligus antisipasi akan risiko-risiko yang kita pikirkan. Jadi, rasanya itu tidak santai, lebih was-was, dan juga sensitif. Dalam intensitas yang ekstrim masa ini pun bisa menerbitkan rasa sesal, yang untungnya tidak terjadi pada saya.

Semua yang disebutkan di atas, itu saya rasakan. Bagai habis putus cinta, kenangan akan hari-hari yang dilewati bersama itu masih begitu nyata diingatan. Tapi, semua masih pada batas yang masih logis saya terima dari bagian dari proses adaptasi. Saya bisa bilang di masa rawan pertama ini saya tidak merasakan menyesal.

MASA DEPAN SIAPA YANG TAHU...

Kemudian, masa kedua adalah saat kita mulai terbiasa dan beradaptasi dengan kondisi setelah resign. Masa dimana kita melihat dan merasakan apakah ekspektasi kita terpenuhi atau tidak...

Sebelum resign saya bersama suami pun sudah mempersiapkan beberapa hal. Saat itu, kami membuka sebuah usaha akan menjadi aktivitas baru yang produktif bagi saya. Dimana semua berjalan baik-baik saja sejak saya resign di Bulan Agustus 2019, hingga akhirnya April 2020 semuanya berubah. Kondisi pandemi memaksa begitu banyak usaha untuk berhenti beroperasi, termasuk usaha kami yang mengandalkan pengunjung mall sebagai customer. Sehingga di bulan yang sama (April 2020) saat kontrak sewa habis, kami pun memutuskan untuk tidak melanjutkan dulu usaha ini.

Hal ini praktis itu merubah semua hal, zona nyaman baru yang saya rencanakan tidak berjalan sesuai rencana. Pandemi, adalah sebuah kondisi yang tidak terbayangkan akan terjadi bagi kami saat itu, dan siapa pun. So, yes, kondisi itu membuat saya kehilangan aktivitas sehari-hari, sumber penghasilan, dan juga lingkaran pergaulan saya. Ditambah lagi dengan kondisi pandemi yang menciptakan tekanan lainnya, diantaranya Long Distance Marriage yang sangat panjang, tidak bisa kemana-mana, dan juga kesibukan baru bernama belajar online, membuat saya benar-benar merasa powerless.

Di sini saya ingin menyampaikan bahwa kemungkinan jika rencana dan langkah antisipasi yang kita siapkan itu tidak berjalan sesuai rencana bisa saja terjadi. Meski tidak menutup kemungkinan, jika hal sebaliknyalah yang terjadi. Misalnya bisnis yang kita siapkan berjalan lebih baik setelah kita resign.

Prediksi adalah prediksi, semua hal bisa terjadi, yang lebih buruk ataupun justru yang lebih baik...

LALU APAKAH MENYESAL?

Dalam kasus saya, pada satu titik bisa dibilang bahwa rencana berjalan di bawah ekspektasi. Dan saya pun merasakan struggle untuk beradaptasi dengan keadaan ini. Tapi, jujur, saya tidak pernah merasa menyesal dengan keputusan saya untuk resign.

Mungkin hal ini akan terjadi sebaliknya, jika saya adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Tapi, karena saya memiliki privilege itu, meskipun saat itu merasa tidak nyaman dengan keadaan, tapi rasa sesal itu tidak hadir.

Tidak ada keinginan sedikit pun dalam diri untuk menukar kondisi powerless yang saya rasakan dengan situasi powerful saat masih bekerja. Sekali lagi setiap individu itu unik ya, dan saya kebetulan adalah seorang yang sangat membutuhkan kebebasan, idealisme, dan kompetisi fair yang membuat seseorang merasa dapat meraih prestasi. 

Lagi pula saya melihat kondisi tidak sesuai ekspektasi ini sekedar sebagai tertutupnya satu pintu, sementara pintu yang lain masih banyak. Sementara rejeki dari berjualan bisa dibilang sedang sulit untuk semua orang, ya saya tetap berusaha melakukan hal yang saya bisa. Mengembangkan media yang saya punya (Instagram, YouTube, dan lainnya), melakukan hobi-hobi seperti menyanyi, menggambar, apa aja yang saya suka.

Kehidupan pasca resign saya pada satu titik memang terasa di bawah ekspektasi, tapi siapa disangka kemudian hobi-hobi ini pun bisa menghasilkan income, meski tentu tidak se-stabil saat bekerja full time. Ada kalanya lebih banyak, sering juga dibawahnya. Tapi, kebahagiaan dan ketenangan hati yang saya dapatkan karena keleluasaan membersamai anak-anak dan kesempatan mengembangkan diri itu selalu stabil di atas, dibandingkan pada saat bekerja.

Hidup adalah pilihan, saya memiliki privilege untuk mengambil pilihan resign dan saya tidak pernah menyesal mengambil keputusan itu. Bagi saya, kepurusan untuk resign adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya.

Jadi, jika ingin digeneralisasi, mungkin menyesal dan tidak menyesalnya seseorang setelah resign itu tergantung pada:

PERTIMBANGAN. Pastikan jika itu bukanlah keputusan emosional semata, bukan sekedar pelarian untuk menghindari hal yang tidak kita inginkan, tapi lebih ke usaha untuk mencapai situasi yang kita inginkan. Sehingga kita tetap bisa menghargai mensyukuri situasi setelah resign. Dan jika ternyata sebagian rencana tidak berjalan sesuai ekspektasi, kita tidak merasa kehilangan tempat berpijak.

LEGOWO DAN RESILIANCE. Selain itu, yang perlu disadari dan disikapi legowo adalah bahwa kehidupan setelah resign itu secara finansial sudah pasti tidak se-stabil saat bekerja. Kamu bisa mendapatkan lebih, tapi juga bisa dibawahnya, jadi jangan baperan, keep on going pokoknya.

***

Kira-kira begitu penjelasan saya menjawab pertanyaan, "Pernah ga merasa menyesal setelah resign?" yang jawabannya adalah 'tidak'.

Struggle-nya saya ya di bagian merasa powerless itu, dan ini mungkin sangat berbeda bagai orang lain. So, jika teman-teman pun memiliki keinginan untuk resign, sekali lagi pertimbangkan segala sisi positif dan negatif dari bekerja full time dan resign.

Resign akan membuat teman-teman kehilangan sesuatu, so pastikan kan is it OK? Resign juga akan membawa kita untuk mendapatkan sesuatu, so pastikan juga jika teman-teman benar-benar menginginkan hal itu. Serta satu lagi, sadari bahwa selalu ada kemungkinan jika rencana yang telah disusun tidak berjalan sesuai harapan kita, is it also OK

Hidup adalah tentang pilihan, termasuk memilih risiko yang akan ikhlas kita jalani.

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

No comments :

Post a Comment

Hai! Terima-kasih sudah membaca..
Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan disini atau silakan DM IG @nianastiningrum for fastest response ya ;)