SOCIAL MEDIA

search

Saturday, May 30, 2020

Mau Kemana Setelah Pandemi Covid-19 Terkendali?

Tidak terasa… Sudah dua bulan lebih dunia tiba-tiba berubah menjadi tempat yang asing untuk ditinggali. Benar-benar asing, hingga kita harus meraba-raba, sangat berhati-hati dan bahkan dianjurkan keras untuk tinggal di rumah saja.

Mall yang biasanya ramai menjadi sepi, demikian juga dengan cafe dan restaurant tempat mencairkan kebosanan… bangku-bangku tampak kosong tanpa pengunjung. Dan oh, serta tentu saja tempat favorit anak-anak seperti bioskop, play land, dan (sureprisingly) sekolah. Mereka bahkan harus tutup sementara karena aktivitas di dalamnya memang rawan penyebaran virus COVID-19.

Inhaleexhale… 

Harus diakui, pandemi ini memang sudah merubah tatanan kehidupan yang kita kenal selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Pandemi ini memaksa kita untuk menahan diri dan merekonstruksi lagi segala kebiasaan yang sudah kita jalani.

Juga memaksa kita berandai-andai ketika menyadari bahwa menunda-nunda waktu itu kadang berarti kehilangan kesempatan untuk melakukan apapun rencana kita. Termasuk rencana menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta… meski itu sesederhana melewatkan Hari Raya Idul Fitri bersama-sama.


Tahun ini… karena pandemi, kami harus legowo melewatkan Idul Fitri berjauhan di pulau yang berbeda-beda. Saya dan anak-anak di Pulau Sumatra, sementara suami di Pulau Kalimantan.

Sedih?

Jelas lah… Anak-anak entah sudah berapa kali bertanya dan meminta papa untuk cepat pulang.…Beberapa waktu sempat melewatkan malam dengan mimpi tentang papanya… Termasuk juga marah karena papanya tidak kunjung pulang…

Sedih, tapi tetap semangat kok… Ya, ini kondisi yang sulit, apalagi semuanya terjadi secara mendadak, tanpa ada persiapan sama sekali. Banyak rencana yang gagal dieksekusi, banyak juga penyesalan dan kegelisahan membayangkan kapan semua ini akan berlalu… tapi di satu sisi juga kondisi ini membuat kita berandai-andai bagaimana menghabiskan waktu bersama keluarga seandainya pandemi ini sudah terkendali.

Yang terakhir ini saya banget lah… Pandemi ini membuat saya melihat betapa banyak waktu yang terlewati sesungguhnya harus disyukuri. Segala kemudahan untuk bertemu dan bersama… semua yang kita anggap biasa, sesungguhnya adalah anugerah yang luar biasa.

Jujur, saya ini bukan tipe yang doyan liburan. Sebagai seorang introvert sejati, saya menikmati waktu berdiam diri di rumah dan tidak terlalu merasa tertantang untuk menjelajahi dunia (especially Indonesia). Tapi, ternyata kondisi pandemi ini membuat jiwa melankolis saya bergejolak karena untuk melanglang jarak bertemu dengan orang-orang yang saya cintai.

Saya ingin ke Kalimantan Selatan menemui suami saya… Saya juga ingin ke Jogja menemui Ibu saya… Ingin menjelajah Pulau Jawa dari tengah ke barat untuk bertandang juga ke tempat keluarga besar saya…

Banyak ya…

Tapi, setelah saya pikir-pikir… tempat yang paling ideal untuk keluarga kami, termasuk anggota junior yang berusia 9 dan 5 tahun, Jogja jadi pilihan terbaik. Itung-itung hadiah buat anak-anak yang sudah bersabar di rumah aja selama berbulan-bulan.

Gambar di capture dari sumber Google 'Tempat Wisata Terpopuler di Daerah Istimewa Yogyakarta'

Nah, ini nih tempat-tempat wisata di Jogja yang kayaknya bakalan disukai sama anak-anak… Dan yah, kalo kami orang-tua sih ngikut aja lah ngangon mereka.

Yang jelas ga pernah absen setiap kali ke Jogja itu ya Taman Pintar! Ini bener-bener tempat favorit anak-anak banget, dan kalau sudah kesini pulangnya pasti kalo venue-nya udah tutup. Iya, seniat itu mereka! Karena memang wahananya banyak dan menarik semua. Kami aja udah dua kali kesana dibela-belain dari pagi sampai tutup, belum selesai dicoba semua wahananya.

Terus Kawasan Hutan Pinus Mangunan, yang anak-anak pun beberapa kali nanyain kapan kesana lagi. 

Wajar sih karena hutan pinus memang selalu punya suasana yang magical… bikin kita berimajinasi akan petualangan yang seru. Jadi, anak-anak suka banget tuh jalan-jalan di antara pohon pinus sambil mungutin bunganya sambil sesekali terkaget-kaget kalau ada hewan atau tumbuhan yang mereka belum pernah liat.

Terus satu lagi tempat kesukaan anak-anak, yaitu Kidzona di Jogja City Mall! Iya, saya aja terwow-wow liat play land segede ini, karena di Lampung emang ga ada. Dan anak-anak kalo udah main disini, bisa dari buka mall sampai tutup lagi. Makanya kami selalu ambil paket seharian, cuma break pas makan siang, terus balik lagi kesana deh…

Kawasan wisata lain… ya tentu saja masih banyak yang bakalan kami jelajahi dan kayaknya sih juga ada potensi jadi favorit anak-anak selanjutnya. Next time ke Jogja, saya pengen sih ajak mereka ke Keraton Jogja dan Jogja Bay Pirates Adventure Waterpark.

Screen Capture dari pencarian 'Wisata Terpoputer di Daerah Istimewa Yogyakarta: Jogja Bay Pirates Andventure Waterpark'

Kalau ke Jogja, sudah pasti kami menginap di rumah orang-tua saya atau Mbah Uti-nya anak-anak, tapi sepertinya perlu dipertimbangkan jika berencana mengunjungi tempat wisata tertentu untuk cari hotel yang dekat untuk memangkas waktu tempuh… 

Kenapa?

Pertama, karena tempat wisata itu asyiknya memang pagi-pagi, jadi belum terlalu ramai dan kita masih leluasa bermain. Sementara mengkondisikan dua anak cowo umur 9 dan 5 tahun untuk bangun pagi, mandi dan sarapan cepet itu susah banget! Ditambah dengan jarak yang lumayan… Hmm, biasanya sih rencana itu berakhir jadi wacana saja…

Kedua, ya karena anak-anak sendiri ya butuh waktu yang sangat luas untuk memuaskan hasrat bermain mereka. Dan ini kembali seperti poin pertama sih, idealnya ya berangkatnya pagi, supaya mereka bisa puas bermain sebelum wahananya tutup.

Lagian sayang kan kalau sudah jauh-jauh kesana dan anak-anak kurang puas? Jadi sepertinya kalau memang berencana ke tempat wisata yang cukup jauh dari rumah Mbah Uti-nya anak-anak, ya mendingan cari hotel di Jogja yang lebih dekat dengan lokasi.

Sounds great ya?

Tapi kan hotel di Jogja, apalagi dekat tempat wisata semacam Malioboro itu harganya selangit, gimana tuh?

Iya sih, sempet kepikiran juga… Tapi kemudian setelah searching di internet, ternyata ada juga kok hotel di Jogja yang sangat affordable, tapi juga terstandard.


Yup, seperti layanan yang ditawarkan RedDoorz ini misalnya… Wifi, televisi satelit, air mineral, linen bersih, kamar mandi bersih dan perlengkapan mandi… rasanya cukup banget ya untuk menjamin kenyamanan tinggal kita.


Selain itu, Reddoorz pun sangat memperhatikan kebersihan propertinya dan telah memiliki sertifikasi resmi HygienePass dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), yaitu persyaratan pembersihan khusus terutama selama pandemi COVID-19 serta prosedur dari pertama kali check-in hingga check-out, yaitu:
  • Pengukuran suhu saat check-in baik staf maupun tamu
  • Pelaporan kondisi kesehatan dan riwayat perjalanan setiap hari di awal jam kerja untuk staf dan tamu
  • Seluruh staf wajib menggunakan masker
  • Penyediaan pembersih tangan dengan kandungan alkohol 80% di area resepsionis dan area umum
  • Pembersihan dan desinfeksi properti secara berkala
Ini tentu adalah poin penting berdasarkan pengalaman kita terkait pandemi COVID-19. Bagaimanapun juga, hygiene adalah hal yang sangat penting untuk keamanan kita.

Dengan standard fasilitas seperti di atas, lokasi yang strategis dan harga mulai dari dibawah seratus ribu itu kan worthed sekali. Daripada harus bersusah payah bersiap-siap sejak pagi buta karena lokasi yang jauh dan transportasi yang relatif sulit dicari kan.

Semua fasilitas itu dalam harga yang sangat ramah di kantong…

Apalagi kalo Bapak Ibuk dan adek-adek mau ikut jalan-jalan sekalian, kayaknya ga bikin kantong bolong deh pesen dua kamar lagi cari yang deketan lokasinya… Jadi malam-malam bisa ngeluyur rame-rame deh… wakakak…

Bayanginnya aja happy ya…

Tapi, kemudian ingat dong kalau kurva kasus COVID-19 kita masih cukup tinggi… Inhale… Exhale… 

Iya, mungkin sekarang memang masih harus bersabar sedikit lagi… Bersabar untuk membatasi mobilitas, untuk tidak banyak keluar rumah, untuk selalu pakai masker, menjaga kebersihan diri secara ekstra, dan banyak lagi.

Tenang, sabar dulu… karena kesabaran kita juga lah yang akan membantu mengendalikan pandemi yang meluluh-lantakkan raga dan asa kita ini.

Sementara, kita simpan dulu rencananya… sembari berusaha dan berdoa semoga pandemi ini segera terkendali. Badai pasti berlalu kok… nanti, pasti kita bisa jalan-jalan bersama-sama orang yang kita cinta lagi…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Monday, May 18, 2020

The Whole Brain Child #5: Mengintegrasikan Banyak Bagian dari Diri

Woohoo! Akhirnya sampai juga di bagian kelima buku ini! Yang sebenarnya sih udah beberapa bulan lalu sih selesai bacanya, tapi sungguh, belum sempat bikin review-nya sampai hari ini. Dan please jangan bilang ini good thing karena pandemi covid-19 ya… Karena sejatinya kegiatan jadi jauh lebih riuh karena anak-anak belajar di rumah. Hmm, atau lebih tepatnya lebih riuh dan stressfull sih…

OK, intronya segitu aja… sekarang kita kembali ke topik bab 5 Buku The Whole-Brain Child berjudul 'The United States of Me: Integrating Many Parts of The Self'…

***

Untuk memahami chapter ini, saya akan bercerita tentang seorang gadis bernama Asti yang sesungguhnya memiliki begitu banyak potensi; namun, alih-alih mampu mengembangkan potensinya itu, dia justru merasa dirinya tidak mampu karena takut gagal.

Asti memiliki suara yang cukup bagus sehingga guru keseniannya kala duduk di bangku SD memasukkannya untuk seleksi Porseni pada cabang bernyanyi. Namun, Asti sengaja bernyanyi dengan tidak maksimal pada saat seleksi sehingga tidak dipilih mewakili sekolahnya. Kala itu, yang ada dalam kepalanya adalah ketakutan jika dibilang orang 'jelek', jadi dia pura-pura saja memang tidak bisa.

Asti pandai dalam pelajaran Bahasa Indonesia, pada saat duduk di bangku SMP tidak jarang dia mendapat nilai sempurna pada saat ujian. Pun dia adalah satu-satunya siswa kelas 1 di SMA-nya yang lolos seleksi untuk masuk ekskul jurnalistik. Namun, dia sengaja mencari alasan untuk tidak aktif di kegiatan jurnalistiknya, karena takut jika dia tidak akan mampu, bahwa kemampuan menulisnya tidak terlalu bagus, dan sebagainya. Jadi, dia pun berdalih diminta untuk fokus pada sekolah oleh orang-tuanya dan tidak diijinkan ikut kegiatan ekskul.

Asti pun pandai dalam pelajaran matematika… Pada satu caturwulan gurunya pernah mengatakan pada orang-tuanya bahwa nilai raportnya seharusnya adalah 10, karena angkanya 9 dengan koma tinggi. Namun karena angka 10 itu adalah angka sempurna, maka di raport hanya ditulis 9. Dan apa yang terjadi selanjutnya, kemudian justru Asti berkeringat dingin dan gagal pada saat mengerjakan ulangan-ulangan matematikanya… dia dipenuhi ketakutan bahwa sesungguhnya dia tidak mampu.

Orang-orang melihat Asti sebagai seorang yang cerdas dan berbakat, namun justru dia merasa dirinya tidak cukup bagus dan takut gagal…

Jadi, apa yang terjadi sebenarnya dengan Asti?

Dan, setelah ditelusuri ternyata dalam kesehariannya Asti seringkali diinterupsi dan dikritik bahwa apa yang dilakukannya tidak benar oleh orang-tuanya. Hal ini terjadi sejak kecil, sehingga Asti pun merasa tidak percaya diri akan kemampuannya sendiri. Dia merasa tidak cukup baik, tidak pintar, dan tidak bisa karena sehari-hari ide-idenya selalu membuahkan interupsi dan kritik dari orang-tuanya.
Asti terlalu fokus pada satu aspek dalam dirinya, yaitu 'ketakutan bahwa dirinya tidak cukup baik'. Dia lupa bahwa dirinya sesungguhnya terdiri dari banyak aspek, dan ketakutan itu hanya lah satu dari banyak aspek itu.
***

Untuk itu, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membantu kasus-kasus seperti ini, kita bisa membantu mereka untuk memetakan pemikiran pribadi dan pemikiran orang lain (mindsight).  Dimana dalam chapter ini dibahas mengenai memahami pemikiran pribadi dengan menggunakan konsep lingkaran sebagai berikut:


Bagian luar lingkaran ini menggambarkan hal apa saja yang menjadi perhatian dan kita sadari; baik pemikiran atau perasaan, mimpi dan keinginan, ingatan, persepsi akan lingkungan, dan sensasi pada tubuh kita. Sementara pusat dari lingkaran adalah pikiran kita yang menyadari apa yang terjadi di sekitar. Dimana ini merupakan peran dari prefrontal cortex.


Pada kasus Asti, dia terlalu fokus pada kekhawatiran bahwa dirinya tidak cukup baik, sehingga menimbulkan ketakutan dan kegelisahan setiap kali melakukan hal-hal yang sesungguhnya dia mampu. Dan melalui lingkaran ini, diharapkan Asti dapat melihat lebih banyak aspek dalam dirinya dan memahami bahwa ketakutan itu sesungguhnya hanyalah satu bagian kecil dari dirinya… SAMA SEKALI BUKAN DIRINYA!

Yup, ketakutan itu adalah satu hal dari dirinya, namun bukan berarti keseluruhan dirinya, sehingga semestinya Asti mampu memberikan perhatian yang proporsional pada keseluruhan aspek dirinya tersebut.
Atau bahasa sederhananya, "Dirimu itu terdiri dari begitu banyak aspek, dan ketakutan itu hanya satu darinya. It's OK untuk merasa takut, tapi sungguh dia hanya sebagian kecil dari dirimu, jadi jangan terlalu terpaku padanya."
Kesadaran akan hal ini selanjutnya akan menciptakan insight yang secara biologis diwujudkan dengan firings dan wirings baru pada neuron otaknya. Hal ini akan membuatnya tidak terlalu powerless menghadapi ketakutan-ketakutan dan obsesinya, bukan hanya saat ini, namun juga di masa depan. Karena menyadari bahwa sesungguhnya dirinya lah pengendali dari semua aspek dari diri tersebut.

Nah, selanjutnya hal ini bisa kita lakukan untuk mengenalkan mindsight ini pada anak-anak (oh ya, nomornya melanjutkan tips dari The Whole-Brain Child chapter sebelumnya):

#8 Mengajarkan pada Anak Bahwa Emosi Itu Datang dan Pergi

Sebagaimana yang dijelaskan pada chapter sebelumnya bahwa adalah hal yang sangat penting bagi anak-anak untuk mengenali perasaan dan emosinya. Namun, di disamping itu, pun adalah hal yang penting bagi anak untuk menyadari bahwa perasaan dan emosi tersebut adalah hal temporer dan berubah-ubah.
Perasaan dan emosi adalah 'kondisi' bukan 'sifat'. "Aku bukan bodoh, aku hanya merasa bodoh saat ini…" 
So, hal yang pertama kita lakukan adalah membantu anak mengenali emosinya dan kemudian membantunya mencapai insight bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang temporer serta datang dan pergi.

#9 SIFT: Menyadari Apa yang Terjadi dalam Dirinya

Untuk memahami perasaan dan emosi yang mempengaruhi dirinya, maka anak perlu diajarkan untuk mengenalinya melalui SIFT: Sensation, Images, Feeling, dan Thought (sensasi, gambaran, perasaan dan pemikiran).

Yup, setiap emosi sesungguhnya pun mempengaruhi berbagai aspek dalam diri kita, baik fisik maupun psikis. Misalnya jantung yang berdegup kencang dan sakit perut yang menyertai kegelisahan, keinginan untuk memukul yang menyertai kemarahan atau frustrasi, dan sebagainya.

Selanjutnya, dengan cara ini diharapkan anak dapat mengenali emosinya lebih mendalam, bukan hanya merasa baik-baik saja atau merasa buruk, tapi lebih detail seperti 'kecewa', 'gelisah', 'cemburu', atau 'exciting'.

Dengan mengenali emosi secara lebih mendalam ini kita akan mendapatkan pemahaman bagaimana sensasi tubuh kita membentuk suatu emosi dan emosi kita membentuk pemikiran kita, sebagaimana gambaran dalam pemikiran kita. Sehingga dengan demikian kita mampu memisahkan antara emosi dengan diri kita, bahwa "Aku hanya merasa bodoh saat ini, bukan bodoh…"

#10 Melatih Konsep Mindsight: Kembali ke Pusat Kendali

Selanjutnya, setelah memahami bahwa dirinya terdiri dari banyak aspek, kita perlu mengarahkan anak untuk mampu kembali kepada dirinya sebagai pengendali, tidak terpaku pada satu aspek dalam dirinya saja. Dan ini adalah ketrampilan yang perlu diajarkan pada anak… 

Misalnya pada kasus Asti yang merasa gelisah dan nervous karena harus tampil di hadapan teman-teman dan orang-tua murid lainnya.

Menyadari hal ini, mamanya pun berusaha membantunya lebih menyadari apa yang terjadi dalam dirinya dengan latihan sebagai berikut:

OK Asti, sementara kamu berbaring, gerakkan pandangamu dalam ruangan ini. Tanpa menggerakkan kepalamu, kamu bisa melihat lampu di atas meja. Sekarang lihat fotomu yang tergantung di dinding… kelihatan bukan? Sekarang lihat rak buku di sudut ruangan ini? Apakah kami bisa melihat buku Harry Potter yang ada disana?

Nah, kamu bisa memahami bukan, bahwa kita bisa mengarahkan perhatian kita pada hal-hal di sekitar kita? Sekarang mari kita coba pada hal-hal yang terjadi dalam diri kita…"
"Sekarang tutup matamu, dan mari kita fokus pada pemikiran, perasaan, dan pengindraanmu… Mari kita mulai dengan apa yang kamu dengar… Mari kita hening sejenak dan mendengar apa yang ada di sekitar kita.

Bisakah kamu mendengar suara mobil yang baru melintas? Suara kucing mengeong di luar sana? Kamu menyadari suara-suara itu karena kamu diam dan memusatkan perhatianmu untuk mendengar mereka.

Sekarang, aku ingin kamu memusatkan perhatianmu pada pernafasanmu. Pertama, sadari bagaimana udara masuk dan keluar dari hidungmu… Sekarang rasakan bagaimana dadamu bergerdak naik dan turun… Sekarang sadari bagaimana perutmu bergerak setiap kali kamu menarik dan menghembuskan napas.

Sekarang, aku akan diam kembali sejenak. Asti tetap fokus pada nafasmu. Mungkin pemikiran tertentu akan datang dalampikiranmu, termasuk tentang pertunjukan yang akan dilakukan Asti. Tidak masalah. Saat kamu menyadari bahwa kamu memikirkan sesuatu atau mulai merasa khawatir, kembali lah fokus pada nafasmu. Ikuti gelombang tarikan dan hembusan nafasmu.

Selanjutnya setelah sekitar satu menit, Mama Asti meminta Asti membuka matanya dan duduk. Disini, kemudian dia menjelaskan bahwa teknik yang baru dilakukan tersebut adalah salah satu hal yang manjur untuk menenangkan pikiran dan tubuh. Dan selanjutnya, memintanya mengulang bagaimana dia memusatkan perhatian pada tarikan dan hembusan nafasnya pada saat jantungnya berdebar karena akan tampil.
Saat mamanya membantu Asti fokus pada tarikan dan hembusan nafasnya, itu bukan semata bertujuan untuk meredakan kegelisahannya, tapi juga membantunya kembali ke pusat lingkaran dirinya, sehingga dia bisa menyadari aspek lain dari dirinya.
***

Yup, kurang lebih itulah inti dari chapter kelima Buku 'The Whole-Brain Child' ini… Yang jika saya rangkum secara singkat, lagi-lagi adalah mengenai betapa pentingnya kita mengajarkan anak untuk mengenali pemikiran, emosi, dan perasaannya. Serta betapa sesungguhnya dirinya terdiri dari begitu banyak aspek dan membantunya supaya tidak sekedar terpaku pada satu aspek, sehingga dapat memegang kendali akan dirinya.

Iya, kalau dirangkum memang simpel ya… Tapi secara autodidak, konsep ini begitu sulit saya rumuskan meski sudah menyadarinya sejak di bangku SMA. Saat itu saya selalu di penuhi dengan rasa takut dan khawatir akan banyak hal. Dan di saat yang sama selalu merasa bahwa apa yang saya rasakan itu identik dengan rasa di saat kita tersesat di kerumunan banyak orang hingga tidak tahu harus berjalan ke mana. Sehingga apa yang sebenarnya harus dilakukan adalah mencari tempat yang lebih tinggi sehingga saya bisa memetakan apa yang terjadi di sekitar kita.

Insight semacam ini memang cukup rumit bagi seorang anak-anak atau bahkan remaja, karena itu akan sangat bermanfaat bagi kita, orang-tua, untuk mengajarkan anak tentangnya.

And yes, Asti is me in the past

With Love,
Nian Astiningrum