SOCIAL MEDIA

search

Friday, August 16, 2019

Kenapa Memutuskan Resign?

Alhamdulillah… setelah beberapa hari bangun dengan rasa kosong di satu sudut hati saya layaknya putus cinta… Semacam masih cinta, tapi harus berpisah karena sadar jika bersama bukanlah yang baik untuk kedua belah pihak… Akhirnya, hari ini setelah kurang lebih seminggu, semua terasa baik-baik saja dan bahkan saya berani membuka email korporat saya untuk mengecek apakah masih ada sisa-sisa email pribadi yang perlu saya ketahui. Yang mana pastinya hal seperti ini akan mengingatkan kembali pada kenangan yang sedang ingin dikesampingkan…


Yah, seperti itulah rasanya berpisah dari sebuah perusahaan besar yang memberikan keamanan finansial, kebanggaan dan juga teman-teman yang menyenangkan.

Apalagi coba yang kurang?

Itu juga kenapa banyak orang di sekitar saya seringkali berkata, "Apa ga sayang?" Huhu, yang kalau mau dijawab pakai hati ya memang sayang sih… walau dengan segala persiapan yang sudah kami lakukan.

Tapi, ya itu tadi, karena kondisinya memang sudah tidak sehat bagi kami berdua untuk melanjutkan hubungan ini… Perpisahan menjadi pilihan terbaik bagi kami berdua…

Nah, bahasanya jadi macam pacaran beneran kan… Hahaha… 😅

Oke, kembali ke judul tulisan ini… Jadi, berhubung hati saya sudah siap, saya ingin bercerita hal-hal yang melatari keputusan saya untuk resign… Mari kita buat post saja karena ceritanya lumayan panjang, sekedar berbagi cerita, siapa tahu ada teman-teman yang memiliki wacana sama.

First of All

First of alllet me tell you kalau wacana untuk resign itu sudah muncul pertama kali delapan tahun yang  lalu saat harus meninggalkan Ganesh kecil yang berumur tiga bulan untuk bekerja, itulah kali pertama kegalauan dengan peran ibu bekerja itu terjadi. Hari itu, masih terekam jelas pada ingatan, bagaimana kalutnya saya meninggalkan Ganesh ke kantor sementara dia menangis tidak mau berpisah dengan saya… Ya, waktu itu anak yang kini telah berusia delapan tahun itu sempat tidak mau minum ASIP melalui dot atau media lainnya.

Yah, tapi, kala itu saya sadar bahwa keinginan resign ini lebih banyak didominasi emosi dari pada logika. Karena ga tega liat anak nangis, ga tega pas pamitan ninggalin dia kerja, dan sebagainya. Yang sebagaimana yang dialami ibu bekerja lainnya, masalah seperti itu datang dan pergi… Yang anak sakit, kemudian sembuh; yang belum dapat pengasuh, kemudian dapat; yang anak ga mau sekolah, kemudian mau; dan seterusnya…

Sehingga, saya pun masih bertahan di tempat kerja saya, dengan keyakinan bahwa kami akan bisa bertahan, badai pasti berlalu, dan sebagainya.


Dan ya memang benar sih, kami bisa bertahan sekian lama dengan masalah yang datang dan pergi tadi. Tapi sampai kapan?

Pendapat saya kala itu ya sampai anak-anak dewasa… Pikir saya, repotnya jadi ibu bekerja itu pas anak-anak masih kecil saja, begitu mereka beranjak besar, sekolah, dan banyak kegiatan, peran kita akan semakin berkurang… Yang ternyata salah…
Semakin besar, anak-anak semakin membutuhkan perhatian kita dengan cara yang berbeda. 
Semakin besar, mereka memang lebih mandiri untuk mengurus dirinya sendiri, tapi mereka butuh tempat curhat, butuh didengarkan, butuh dipahami, dan sebagainya. Yang semua ini membutuhkan kondisi psikis yang prima… kadang, kalau kita sudah capek, antusiasme kita bercerita dan mendengarkan anak pun berkurang, dan bisa terakumulasi menjadi stress-nya mereka.

Jadi, meskipun anak-anak bertambah dewasa, ya masalah itu tetap saja datang dan pergi, bahkan lebih rumit… Itu lah satu hal yang kemudian membuat keinginan untuk resign itu semakin kuat pada tahun 2016…

Namun, ini bukanlah satu-satunya alasan saya akhirnya resign pada bulan Agustus 2019. Waktu itu, pergesekan peran antara orang-tua dan pekerja sebenarnya sedang dalam fase adem ayem. Anak-anak sedang dalam kondisi sehat jasmani rohani, setelah sebelumnya memang tampak menunjukkan gejala membutuhkan perhatian lebih.

Jadi, saya tidak mengklaim bahwa ini alasan keluarga dan anak-anak adalah satu-satunya alasan di balik keputusan resign saya ya… Cerita saya tidak seheroik itu, saya bukan orang yang berpendapat bahwa seorang ibu itu lebih baik di rumah saja mengurus anak. Jadi, maaf jika saya mengecewakan teman-teman yang menganggap keputusan resign saya ambil semata untuk keluarga dan anak-anak.

Ini hanyalah satu hal yang kemudian berkomplikasi dengan hal-hal lainnya…

Me Not Enjoying My Office Life That Much Anymore…

Huhu, maafkan saya yang manusia biasa ini… Ada saja tidak puasnya ya…

But wait, insyaallah keputusan resign ini bukan sekedar dalam rangka menuruti rasa tidak puas itu… tapi juga kesadaran bahwa memaksakan diri untuk bertahan pun justru hal yang tidak baik untuk kami berdua (saya dan perusahaan tempat saya bekerja).

Membicarakan minat, saya memang memiliki ketertarikan yang cukup besar dalam hal menganalisa perilaku manusia. Cukup sesuai dengan penempatan kerja di bagian SDM yang banyak berhubungan dengan pengembangan dan perencanaan SDM, meskipun saya dulu sebenarnya tidak terlalu berminat mengambil mata kuliah Psikologi Organisasi dan sebangsanya.

Yah, kalau dulu kan fokusnya memang berobat jalan, jadi yang banyak diambil ya tentang Psikologi Klinis dan Perkembangan, haha… ✌

Dan setelah terjun ke dunia kerja, ternyata pengelolaan SDM itu mengasyikkan juga lho… Memikirkan strategi bagaimana mengembangkan kompetensi pegawai, bagaimana agar kapasitas mereka ter-capture dengan baik untuk keperluan suksesi jabatan, dan juga mengelola motivasi mereka melalui sistem manajemen kinerja… itu benar-benar menyenangkan. Apalagi dengan budaya kerja existing yang menangtang, semuanya menjadi lebih seru.
Namun, wajar juga bukan, jika suatu hal yang menyenangkan dan dilakukan terus menerus tanpa perubahan berarti ternyata menurunkan excitement-nya. Apalagi saat menemukan semakin banyak benturan antara apa yang ideal menurut kita dengan praktik yang harus dilakukan.
Yang awalnya saya merasa bersemangat mempelajari budaya dan orang-orang baru serta kultur organisasi… juga seni berkompromi untuk mengambil jalan tengah antara idealisme dan eksekusi yang diharapkan. Namun, semakin lama, sampai juga pada titik jenuh dan bosan…

Awalnya pun saya berusaha meredam rasa ini sekuat tenaga dan waktu itu tidak terlalu sulit karena saya memang butuh… Butuh gaji untuk kebutuhan hidup kami yang notabene pun generasi sandwich seperti kebanyakan orang… butuh prestise untuk membanggakan keluarga saya, butuh kegiatan produktif, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya…

But, guess what… pada akhirnya saya pun harus mengamini teori Maslow tentang Hirarki Kebutuhan yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu pada dasarnya dapat dikategorikan dalam lima tingkatan. Mulai dari level terendah adalah kebutuhan fisiologis, rasa aman, memiliki dan cinta, harga diri, dan kebutuhan teratas adalah aktualisasi diri. Dan saat satu tingkatan kebutuhan terpenuhi, maka kebutuhan itu tidak akan menjadi motivasi bagi seseorang.

Baca juga:  

Dulu, dengan motivasi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis hingga harga diri, pekerjaan yang saya lakukan ya cukup menyenangkan. Namun, setelah kebutuhan-kebutuhan itu terpenuhi, gejolak untuk aktualisasi diri pun menjadi-jadi.

Saya tidak bilang bahwa perusahaan tidak memfasilitasi pengembangan diri saya sebagai seorang pegawai. Namun, dengan minat saya dan juga peran sebagai ibu, saya merasa tidak mampu mengikuti jalur yang disiapkan perusahaan.

Untuk berkarir di bidang kepakaran atau keahlian, penempatan kerja saya ini bisa dibilang kurang pas… mungkin suasana kerja akan lebih menantang bagi saya jika ditempatkan di Unit Induk, Unit Assessment Centre atau Unit Pendidikan Pelatihan. Namun, opsi tersebut pun saya coret, karena sama artinya harus menjalani Long Distance Marriage (LDM). Suami saya tinggal di mana, saya juga dimana…

Cukup sadar diri lah, kalau melankolisnya saya akan membawa banyak masalah… dikit-dikit baper, dikit-dikit nangis, marah, dll… ga usah lah cari perkara yang bikin rumit kan. Belum mikirin mengasuh anak-anak sendiri, belum jauh-jauhannya ga bisa manja-manjaan, huhu, tak sanggup saya… 

Dan jika tidak menginginkan mutasi ke sana, maka pengembangan diri yang memungkinkan adalah melalui jenjang jabatan struktural yang sebenarnya sih dari awal saya kurang passionate… Huhu, saya ini kok jadi orang kompleks amat yak, sukanya dibebasin berkreasi dan susah pasrah menerima untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan idealisme saya. Dan menurut pengamatan saya, menduduki fungsi struktural itu ya berarti harus siap mengesampingkan semua itu…

Tapi, saya sempat kok akhirnya membuka diri dengan kemungkinan itu dan menjajaki posisi struktural…

Waktu itu, untuk menunggu kenaikan level kompetensi yang tinggal hitungan satu tahun (begitu saya naik otomatis tidak bisa menduduki posisi struktural itu karena grade-nya ketinggian), saya terimalah tawaran untuk menempati satu fungsi struktural. "Ah, cuma satu tahun…" pikir saya. "Kenapa ga dicoba?"

And guess what, meskipun akhirnya hanya berjalan selama enam bulan, fixed saya merasa memang tidak cocok dengan karir semacam ini. Selama kurang lebih enam bulan, saya benar-benar merasa kehilangan kebebasan. Waktu, keinginan, idealisme… rasanya semuanya harus saya tepikan demi mengemban tanggung-jawab… Saya pun harus berpikir ekstra keras agar tanggung-jawab saya sebagai seorang pekerja, ibu dan istri dapat terpenuhi… dan bagi saya itu benar-benar melelahkan.

Karena itu, saya cukup bersyukur saat ada satu kebijakan baru di perusahaan bahwa suami istri yang sama-sama pegawai dalam satu unit induk tidak boleh sama-sama menduduki jabatan struktural. Jadi, walaupun waktu itu pengajuan keputusan saya sudah diproses sekitar enam bulan sebelumnya, karena adanya aturan itu, prosesnya pun tidak dapat dilanjutkan. Yup, saya dan suami berada pada unit induk yang sama, meskipun pada unit yang berbeda…

It's OK lah, enam bulan yang melelahkan itu tidak dibayar dengan materi atau apresiasi kinerja, karena dari sana kemudian saya mantap kemana harus melangkah.

Seeking for New Opportunities…

Sebenarnya sejak sebelum menikah pun, suami sudah mulai mencoba peruntungan pada beberapa bisnis (pertanian dan peternakan). Dan kala wacana resign saya mulai muncul, dia pun makin getol mencoba hal-hal berbau bisnis lainnya; sebut saja transportasi, trading IHSG, produksi rumput laut dan beberapa lainnya yang masih dijalani sampai detik ini…

Dulu, awalnya semua bisnis ini dijalani sekedar karena melihat adanya peluang, namun dengan munculnya wacana resign, kemudian semua ini berubah menjadi satu sarana untuk mengamankan sektor finansial. Mengingat tanggungan kami yang tidak bisa dibilang sedikit, kami perlu memastikan bahwa keputusan ini tidak akan membawa dampak buruk pada keluarga maupun keluarga besar.

Kemudian, setelah melewati masa enam bulan yang enlightening itu, pemikiran pun mengkerucut pada kesadaran bahwa kondisi sudah semakin tidak sehat bagi saya, keluarga, serta perusahaan. Well, perusahaan pun sesungguhnya berhak atas kinerja terbaik saya sebagai pegawainya bukan? Sesuatu yang saya sadari makin sulit saya berikan, dan itu pun berat bagi saya…

Akhirnya, kami pun berusaha mencari satu peluang lain, kali ini dengan tema, menemukan kegiatan produktif pasca saya resign… Sesuatu yang bisa saya kerjakan dan menghasilkan, namun dengan waktu yang cukup fleksibel untuk merawat anak-anak dan keluarga, serta diri saya sendiri.

Yah, saya pun tidak senaif itu untuk sekedar mengejar passion di bidang literasi, musik atau bahkan psikologi. Dua yang pertama itu anggap hobi dan satu yang terakhir itu rasanya belum punya sumberdaya untuk melanjutkan kuliah hingga mencapai profesi. Dan yang terpenting, ketiganya relatif belum bisa dijadikan pegangan sebagai pengganti penghasilan.

Jadi, win-winnya ya saya harus mencari kegiatan produktif lain, yang bisa dikerjakan secara cukup fleksibel… Kegiatan yang menghasilkan (materi), tapi cukup fleksibel untuk memungkinkan saya menjalankan peran sebagai seorang ibu dan juga mengembangkan diri ke arah yang saya inginkan.

Dari sana, akhirnya saya dan suami pun memberanikan diri terjun ke dunia bisnis food and beverage alias bisnis kuliner.

And Then, All Collided

Setelah melalui koordinasi panjang sejak bulan Oktober 2018, akhirnya aktif per bulan April 2019 kami pun resmi masuk ke dunia bisnis kuliner. Bayangannya sih ini bisa saya handle pada saat sudah berhenti bekerja nanti.

Sejak saat itulah, walau pun dengan waktu yang berhimpit-himpitan antara tugas kantor, antar jemput anak dan sebagainya… Saya dan suami bagi tugas, dia bagian operasional, saya bagian SDM dan promosi. Meski tidak sempurna, semua berjalan semaksimal yang kami bisa… Literally super hectic, sampai berkali-kali kelewat makan siang, karena waktu istirahat dipakai untuk mengurus 'bayi baru' ini. Lembur sampai lewat tengah malam, untuk merapikan administrasi yang ga juga rapi karena keterbatasan waktu and so on and so on

OK, at this point it is so exhausted… 

Mungkin bagi orang dari luar ya liatnya kue sudah ada yang bikin, toko sudah ada yang jagain… tapi, di balik itu masih ada urusan PO, tagihan, inventory, pembukuan, perijinan, sampai perpajakan yang harus diurusin.

Ditambah lagi, suami yang lebih terbiasa dengan urusan seperti itu, jadi rada-rada bossy seakan-akan saya ini anak OJT. Dimana, ini tentu saja tidak bisa saya terima… hahaha… yup, kami ini punya karakter yang bertolak belakang. Dia merah, saya biru… dia suka ngatur, sayanya ga mau diatur. Ribet kan… Dan itu sukses membuat hidup kami jadi makin riweuh dan hectic dalam arti yang sebenarnya.

Baca juga:

Literally… waktu 24 jam itu benar-benar kurang untuk mengurus semua printilan toko, anak-anak dan juga pekerjaan. Dan secara saya ini orangnya perfeksionis, dimana semua maunya berjalan 100%, cukup stress juga saat urusan toko ga beres-beres, kurang fokus sama anak-anak, lebih banyak meminta ijin dari kantor, dan istirahat pun kurang. Saat itulah kemudian, hati semakin mantap untuk menentukan kapan harus resign.

Awalnya rencana resign ini diset pada bulanJanuari 2020, tapi akhirnya dimajukan menjadi bulan Agustus 2019… Dengan pertimbangan semakin overload-nya tanggung-jawab, dan kala itu suami pun berkali-kali meyakinkan bahwa bisnis baru ini berkembang cukup baik dan semakin membutuhkan perhatian.

Dari sana kemudian saya pun mengeraskan hati dan niat untuk tidak menoleh lagi pada pilihan yang ada… Pokoknya maju lurus ke depan pada satu tujuan, yaitu resign per 1 Agustus 2019.

Selanjutnya, proses pun dimulai dengan sounding secara lisan mengenai niatan ini pada atasan saya… Kemudian pada Bulan Mei, saya membawa surat pengunduran diri saya kepada pimpinan tertinggi unit kerja saya. Selanjutnya pada bulan Juni selepas libur Lebaran melanjutkan proses ke Kantor Induk… Bulan Juli mulai membereskan administrasi exit interview dan berkas pensiun… Tanggal 25 Juli menerima slip gaji berisi hak-hak terakhir saya sebagai pegawai dan tanggal 31 Juli resmi berpamitan pada teman-teman di kantor. Selesai sudah masa kerja saya di BUMN ini selama 10 tahun 2 bulan…


***

Begitu kira-kira timeline bagaimana saya akhirnya memutuskan untuk resign… Dari cerita di atas, kedengarannya teknikal sekali ya… Semuanya macam sudah dipersiapkan dan dikalkulasikan. Yah ada benarnya, tapi juga tidak sepenuhnya benar… Karena sebenarnya dinamikanya cukup dramatis, jauh lebih dramatis dari intro saya yang melow di awal post ini…

Walaupun secara logis kami sudah cukup siap dan yakin bahwa ini adalah keputusan terbaik… Ada sudut-sudut hati saya yang gelisah dan menjadi cengeng mengenang hal-hal indah yang pernah saya alami di perusahaan ini…

Sepuluh tahun, Bok! Dari gadis unyu-unyu nan keras kepala yang baru pertama kali merantau pun langsung ke daerah yang cukup terpencil, hingga tumbuh menjadi wanita pemberontak yang semakin sulit mengalah pada keadaan. Dari yang mau masak nasi aja nelpon ke rumah untuk nanya airnya seberapa, sampai diberi kepercayaan untuk mendidik dua anak tengil nan lasak.

Tapi, ya inilah hidup, penuh dengan pilihan… Saat kemudian kita tidak mampu menjalani semuanya bersama-sama, atau saat kita tidak merasa bahagia, kita bisa memilih tetap menjalani semua peran itu seadanya atau memilih keluar dari situasi tersebut. Namun, tentu saja jika pun kita memilih untuk mencari jalan keluar, pun kita bisa mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dari keputusan kita.

Dalam kasus saya, risiko yang saya hadapi adalah mengenai keamanan finansial dan perasaan kedua orang-tua saya yang begitu bangga pada karir anaknya. Sehingga, untuk itu, saya pun memerlukan waktu sekitar empat tahun untuk mempersiapkan semuanya.

Lalu, bagaimana rasanya setelah resign?

Yah, ini belum sebulan sih pasca resign, tapi, so far saya merasa jauh lebih tenang melakukan peran-peran saya. Saya bisa mengerjakan bisnis kami dengan lebih profesional, pun memiliki waktu yang jauh lebih fleksibel.

Saya bisa antar jemput anak tanpa beban dan rasa bersalah karena merasa kurang profesional dalam bekerja. Saya juga bisa lebih tenang dan fokus mengurusi printilan toko, dari operasional, perijinan hingga perpajakan. Dan alhamdulillah kedua orang-tua saya pun sangat suportif dengan proyek baru saya.

Ya, sejauh ini hidup saya jadi jauh lebih tenang dan membahagiakan dengan lepasnya rasa bersalah  saya kepada keluarga, anak-anak dan juga perusahaan. Selanjutnya, karena pilihan sudah dibuat, maka saya hanya tinggal menjalaninya dengan segala keyakinan, daya dan upaya. Bismillah…

***

Yup, begitulah kira-kira sedikit cerita di balik keputusan resign yang saya ambil… Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi teman-teman yang membaca ya… Amiin.

Oh ya, terima-kasih sudah membaca by the way

With Love,
Nian Astiningrum
-end-