SOCIAL MEDIA

search

Wednesday, December 26, 2018

Belajar Biologi dengan Film Free Willy: Escape From Pirates Cove (2010)

Fiuh, akhirnya… setelah berjibaku sekian lama dengan pekerjaan yang 'mendadak rame' kurang lebih enam bulan kebelakang, Sabtu (22 Desember 2018) lalu menjadi tonggak kelegaan yang tidak terkira dalam rutinitas saya. Libur panjang, teman-teman… tanpa cuti pun, ditambah dengan cuti bersama di tanggal 24 Desember 2018, total saya bisa menghirup napas lega selama empat hari! Empat hari tanpa harus bangun jam 5:00 pagi, tanpa harus mandi pagi dan menyiapkan anak-anak ke sekolah, menyiapkan bekal, tergesa-gesa mengantar ke sekolah, atau memikirkan pengasuh, karena mbak Susi sedang sakit.

"Yesss!" Tak terkira senangnya… Saya mungkin kelihatan tenang di luar, tapi dalam hati rasanya guling-guling saking hapy-nya…

Dan liburan panjang yang jadi panjang banget karena cuti saya selama tujuh hari di-acc oleh atasan ini sesungguhnya mengandung dua misi. Pertama, untuk menjenguk Bapak (Mbah Akung-nya anak-anak) yang kemarin sempat dirawat di rumah sakit. Kedua, untuk 'bermain bersama anak-anak'. Iya, saya pakai istilah bermain saja daripada 'menebus kesalahan' kan… padahal memang sebenarnya memang demikian. Setelah kurang lebih enam bulan ini saya banyak menyisipkan kebutuhan mereka di antara kesibukan mereka, selama liburan ini saya ingin menjadikan mereka prioritas utama saya…

Bukan berarti kemudian selama 24 jam sehari kesibukan saya hanya akan tentang duo cemplon ini sih… Karena saya masih harus sibuk beberes rumah (ingat, mbak sedang tidak di rumah), masih mau curi waktu buat nulis blog juga seperti malam ini, masih mau update instagram juga, dan banyak lagi… Tapi, ya saya akan lebih pay attention dan involved dalam kegiatan anak-anak. Misalnya, lagi cuci piring, eh tiga-tiba ada panggilan, "Mama, itu kok mobilnya berubah jadi traktor… sini dulu deh…" Yah, saya dengan sukacita akan segera datang menjelaskan, "Oh… itu si Cruz lagi inget pas latihan sama McQueen sama Smokey aja… pas latihan kan sama traktor…" Walaupun, ini cerita 'Cars 3' sebenarnya sudah belasan kali diputar. Dan sebagainya… akan panjang kalau diceritakan semua…

Nah, berkaitan dengan misi kedua ini, saya pun terlintas untuk membuat satu kegiatan utama setiap harinya untuk dikerjakan bersama anak-anak. Bayangan kegiatannya apa saja sudah ada sih di kepala saya, tapi memang sengaja tidak dijadwal, alias biar saja situasi dan kondisi yang menentukan kegiatan mana yang akan dilakukan. Yah, tau sendiri lah, namanya kita berempat, apalagi papanya masih harus stand by di kantornya, hari-hari terlalu di jadwal itu ga akan seru dan akan lebih banyak bikin stress malahan… Teman-teman tau maksudnya lah ya…

***


Kemudian, kembali ke judul post ini… Singkat cerita, sebelum cuti, seperti weekend-weekend sebelumnya, kali ini saya sudah mempersiapkan beberapa film untuk ditonton setiap hari Jumat atau Sabtu. Salah satunya adalah film berjudul 'Free Willy: Escape From Pirates Cove' yang dirilis dalam format DVD dan Blu-Ray pada tahun 2010. Yes, ini film tidak diputar di bioskop ya, jadi mungkin kurang familiar, cuma ya sebagaimana film 'Free Willy' lainnya, film ini bercerita tentang penyelamatan anak ikan paus bernama Willy.

Dalam cerita ini dikisahkan tentang seorang anak perempuan bernama Kirra yang dikirim untuk tinggal bersama kakeknya di Afrika Selatan, karena ayahnya yang mengalami kecelakaan tidak dapat merawatnya. Pada awalnya, Kirra tidak terlalu senang berada di rumah kakeknya yang memiliki sebuah taman hiburan yang hampir bangkrut itu, sampai akhirnya seekor ikan paus yang terpisah dari kumpulannya terdampar di laguna milik kakeknya yang kemudian diberi nama Willy.

Setelah kedatangan Willy, Kirra kemudian terlibat dalam misi merawat anak ikan paus yang mogok makan karena stress ini. Sehari-hari, Kirra berusaha mengajak Willy ngobrol dan membujuknya makan, hingga akhirnya mereka berdua (Kirra dan Willy) menjadi sahabat.

Kedekatan Kirra dan Willy ini kemudian menjadi perhatian masyarakat luas dan menambah ramai taman hiburan milik kakeknya.

Hal ini tentu sebuah hal yang menguntungkan sang kakek, kerenanya dia berusaha menahan Willy tetap di taman bermainnya dan tidak segera memanggil tim penyelamat. Pun akhirnya tim penyelamat datang, diketahui bahwa kemampuan echolocation Willy belum berkembang, sehingga diprediksi tidak akan mampu bertahan hidup di laut luas sendirian tanpa kumpulannya.

Kondisi ini kemudian membuat sang kakek sedikit putus asa akan kemungkinan Willy kembali ke laut, sementara penghasilan dari taman hiburannya tampak tidak akan mencukupi kebutuhan makan Willy selanjutnya. Sementara Kirra justru berusaha melatih Willy untuk mengembangkan kemampuan echolocationnya dengan melatih Willy menangkap ikan hidup dalam kondisi mata tertutup.

Di tengah putus asanya kakek Kirra akan masa depan Willy, kemudian dia menjual ikan paus ini kepada temannya yang juga memiliki taman hiburan, dengan harapan Willy akan mendapat perawatan yang lebih baik.

Dan singkat cerita, cerita selanjutnya adalah bagaimana Kirra dibantu oleh temannya Sifiso, Mansa (pekerja kakeknya) dan (akhirnya juga) kakeknya menyelamatkan Willy dengan mengembalikannya kepada kumpulannya… yang tentu saja berakhir bahagia…

***

Saya pribadi, sebenarnya merasa bahwa alur film ini cukup monoton dan tidak banyak gejolak, bahkan konfliknya pun terasa kurang nendang… Tapi, Ganesh dan Mahesh ternyata sangat excited menonton film ini, bahkan ikut bersorak-sorak pada saat Willy akhirnya bertemu dengan kumpulannya.

Dan, di sepanjang cerita ternyata ada banyak hal berbau biologi yang menjadi perhatian Ganesh dan Mahesh…
  • Ganesh: "Mama, kok ikannya bisa terdampar?"
  • Saya: "Kan itu badai Anesh, terus mungkin dia dikasih tau papa-mamanya buat jangan berenang jauh-jauh, eh, tetep berenang jauh-jauh… jadinya pas ombaknya gede, dia terdampar di pantai deh…" (Yes! sisipkan sedikit nasehat supaya nurut sama papa-mamanya ✌)
  • Mahesh: "Mama, kok ikannya ga mau makan?"
  • Saya: "Iya Adek, soalnya ikannya ga suka di kolam kaya gitu, dia pengennya ke laut… jadi ga mau makan deh…"
  • Ganesh: "Mama, itu om-omnya pada ngapain? Kok Willy-nya ga jadi dibawa ke laut?"
  • Saya: "Anesh, itu om-omnya lagi ngecek Willy ini sudah bisa dilepas di laut belum. Willy kan masih kecil, harus dicek, dia sudah bisa cari makan sendiri belum, sudah bisa cari mama-papanya belum…"
  • Ganesh: "Mama, kok Willy-nya ngeluarin suara kaya gitu sih?
  • Saya: "Itu bahasa ikan paus Anesh, kaya pas Dori ngajak ngomong ikan paus, kan suaranya mirip begitu juga kan…
  • Ganesh: "Mama, kok Willy-nya ditutup matanya?"
  • Saya: "Iya, itu Kirra lagi ngelatih Willy biar bisa cari makan sendiri… Biar bisa dilepas ke laut luas… biar dia bisa bertahan, sementara papa-mamanya belum ketemu.
  • Ganesh: "Mama, kok papa, mama sama sodara-sodara Willy bisa tau kalo Willy dideketnya?"
  • Saya: "Iya, kan mereka denger suaranya Willy… Makanya, tadi kan om-nya masukin rekaman ke air kan… itu biar papa, mama, sama sodara-sodara Willy bisa tau kalo Willy di deketnya…"
Kurang lebih begitulah pertanyaannya anak-anak selama menonton film ini…

Like always… menurut pengalaman saya menonton film bersama seperti ini, mengikuti alur pertanyaan anak-anak… selalu memberikan pengetahuan baru bagi mereka. **Ya, kan kalo mereka udah ngerti, ga akan tanya ya…** Selain tentu saja, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan jawaban yang logis juga akan mengasah kemampuan mereka berlogika.

So, yes-yes-yes, despite it is funwe're learn a lot of thing too

***

Nah, begitulah kira-kira salah satu kegiatan yang saya lakukan bersama anak-anak di hari #1 liburan. Not so bad lah ya, walaupun cuma di rumah saja…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Sunday, December 16, 2018

Menulis 'Knowledge Capturing' For Novice…

Baiklah… setelah sekian lama tidak merangkai kata-kata di blog ini, akhirnya hari ini sengaja banget menyempatkan waktu untuk 'corat-coret'. Mau nulis apa, juga awalnya belum jelas… tapi, setelah kalimat pertama, akhirnya saya memutuskan untuk menulis hal berkaitan dengan vakumnya saya dari dunia blogging

Kata vakum kaya apa aja ya kedengarannya, lha wong selama ini juga saya ga terlalu aktif juga. Paling banter tahun-tahun terakhir ini ya satu-dua post aja tiap bulan… Tapiii, ya emang ini sebulan lebih saya ga merapat kesini. Alasannya sih tepat, 'ga ada waktu', karena memang begitu adanya. Beberapa waktu ini saya terjebak dengan sebuah project kantor yang sudah terlanjur saya 'iya' kan. Sebuah proyek, yang jujur saja, kemudian membuat saya terjebak karena pada saat yang bersamaan saya mendapat sebuah tugas yang demikian menyita waktu saja. Sehingga, akhirnya si proyek pun terbengkalai hingga benar-benar dekat dengan deadline…

Stress? Itu pasti… tapi, untuk menyerah dan mengerjakan seadanya juga rasanya tidak ikhlas. Karena somehow, saya begitu mencintai dunia tulis-menulis… Dan setiap karya, sekecil apapun bentuknya itu bukankah adalah jendela orang-orang menilai siapa kita? Jadi, at least walaupun bukan sebuah mahakarya yang kita hasilkan, paling ga kita menunjukkan usaha terbaik kita dan tidak ada penyesalan…

And then back to my (office) project… ini adalah sebuah proyek menulis buku Knowledge Capturing. Jadi kita berusaha mendokumentasikan suatu pengetahuan yang ada dalam sebuah organisasi dalam bentuk tulisan. Suatu proses dimana pengetahuan dikonversikan dari tacit (dalam pikiran seseorang) menjadi eksplisit. Nah, dari sini kebayang kan pentingnya proses ini… Bayangkan sebuah organisasi yang sudah menjalani berbagai asam garam kehidupan, dengan berbagai pengalaman pelakunya menghadapi semua itu; akan sayang sekali jika semuanya hilang begitu saja karena tidak tidak didokumentasikan dengan baik. Mengingat terbatasnya ingatan manusia dan juga pegawai atau manusia itu sendiri pun tidak kekal adanya dalam perusahaan atau dunia. So, you have to agree the importance of this phase

Mundur ke belakang… Project ini sebenarnya sudah ditawarkan ke saya pada Bulan April 2018 lalu. Awalnya sih saya mikir juga, "Apa bisa?" karena pekerjaan saya sendiri sudah cukup hectic di kantor dan jika saya terima, itu berarti kemungkinan besar saya harus mengorbankan waktu saya untuk mengerjakan hobi saya. Tapiii, somehow, lamaran langsung ke saya itu sungguh rasanya seperti sebuah pengakuan loh… dan mau menolak kok rasanya gimana gitu… Apalagi kemudian beliau ini mengupayakan saya untuk mengikuti sebuah writing camp, makin mengudara lah perasaan itu. Dan walaupun si writing camp tidak terealisasi, akhirnya saya pun menerima project ini… Dengan pikiran positif bahwa ini tidak akan sesulit kelihatannya…

Sedikit maju dari Bulan April, tepatnya Bulan Mei 2018… Nah loh, kok saya malah diitugasin jadi PLH (Pelaksana Harian) menggantikan bos saya yang mendapat promosi ke unit lain. Dan dari sini lah kemudian pekerjaan-pekerjaan saya mulai ngantri seperti berhenti di lampu lalu lintas, yang merahnya lama banget, ijonya sekejap saja 😆. Jangan kan untuk punya waktu khusyuk untuk menulis, pekerjaan saya yang deadline-nya lebih pendek saja mulai keteteran… Itu bukan bearti project Knowledge Capturing ini terbengkalai sama sekali sih, tapi serius deh, saya kerjain sekedarnya saja pada awalnya… just to meet the deadline

Sampai akhirnya, eng-ing-eng… akhir Oktober 2018, satu tugas sedikit berkurang… Tetep sih jadi PLH, cuma ini akan segera berakhir, karena ada peraturan baru bahwa suami-istri di perusahaan kami, tidak boleh berada dalam unit induk yang sama. Jadi ya, saya sudah mulai siap-siap untuk pindah unit induk kan… So, semangat itu kembali membara… This book is my reputation, mungkin peninggalan terakhir saya di unit induk lama ini… Jadi, ya gimana sih rasanya, no I don't want to give up yet kan…

November 2018, mulailah saya intensif menggeber penulisan buku ini lagi, setelah minta ijin dengan bos saya. Hari-hari udah ga kenal waktu dan tempat lagi; ga di kantor, ga di kantor; laptop terus yang dihadepin. Di kantor pun, meski harus ikut rapat, tetep aja pilih tempat duduk deket colokan dan mantengin laptop. Di rumah, gitu juga, anak-anak minta temenin nonton, hayuk aja… tapi, tetep sayanya sambil ngadepin laptop juga. Sungguh, sebulan penuh November kemarin mengingatkan saya pada saat membuat skripsi, tidur malam, cari data, pulang malam… everyday on repeat. Tapi, ya ga se-epic pas bikin skripsi sih, dulu pas bikin skripsi itu saya tidur di atas jam 3.00 malam, baru terlelap sebentar pas lagi nge-print karena lama, lalu jam 6.00 pagi langsung siap-siap ke kampus lagi minta koreksi dari dosen pembimbing, hahaha… Ya, kalau sekarang ga mampu lagi sih kaya gitu, karena masih mikirin suami dan anak yang harus diurusin 😆.

Sebulan itu… saya juga rutin meneror orang-orang yang jadi narasumber tulisan saya untuk menggali data dan juga sudut pandang. Kadang pagi, kadang siang, kadang malem; ga tentu, karena saya nanyanya sambil jalan nulis. Ibaratnya begitu kejedot ada yang perlu diperjelas, baru saya tanya mereka.


Byuh… Bulan November 2018 yang berat pun terlewati dan menjadi pembuktian bahwa usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil, hihi 😄. No, no, it's not about that I make such kind of masterpiece… atau mendapat apreasiasi yang wow atau bagaimana… tapi RASA PUAS. Pada akhirnya melihat tulisan saya selesai paling tidak 98% sesuai standard pribadi (2% nya karena waktu tidak memungkinkan untuk memoles lebih lanjut); dimana saya handle semua dari penulisan, lay out, hingga desain cover-nya… itu kepuasan tersendiri buat saya 😊.

***

Nah, selanjutnya, sebelum tulisan ini berakhir menjadi ajang curhat saja… mungkin teman-teman ada yang juga sedang mengerjakan project serupa dan bisa menjadikan pengalaman saya sebagai, hmm, referensi kali ya… here it is

  • Tulisan Knowledge Capturing adalah tulisan non-fiksi yang kekuatan dari kontennya adalah bagaimana kita bisa mengumpulkan data-data selengkap mungkin dan menuliskannya kembali untuk dipahami banyak orang.
  • Untuk itu, langkah awal yang saya lakukan adalah mencari tahu sendiri apa yang akan saya tulis (dalam kasus saya adalah mengenai Program CSR Penglolaan DAS untuk PLTA dengan memberdayakan masyarakat bertajuk PEDAS Besai).
  • Setelah mendapatkan sedikit gambaran mengenai hal yang akan kita tulis, buat semacam mind map sebagai bahan kita menggali data lebih lanjut kepada narasumber. Semacam panduan wawancara gitu…
  • Tahap selanjutnya adalah melakukan wawancara dengan narasumber untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam mind map kita sekaligus memancing pertanyaan baru yang akan memperluas dan mendetailkan tulisan kita. Jangan lupa, wawancaranya direkam ya… juga jangan lupa untuk minta data terkait apa yang disampaikan narasumber.
  • Setelah itu, ditulis dulu… Pada saat menulis inilah menurut pengalaman saya, muncul berbagai pertanyaan lanjutan yang mengembangkan tulisan ini. Misalnya, pada saat menulis mengenai PEDAS Besai Tahap I dan tercetus peran ICRAF (kepanjangannya googling aja ya), kemudian saya browsing dan menemukan beberapa artikel dan paper dari ICRAF terkait pelaksanaan program ini. Bahwa sistem imbal jasa ini hanya satu dari tiga sistem yang direkomendasikan dari ICRAF dan kemudian saya pun menuliskannya juga untuk memperjelas tulisan saya. Dan sebagainya…
  • Tentukan dan perbaiki alur. Jadi, pada awalnya, tulis saja dulu sesuai data dan pemahaman yang kita dapatkan, seiring berkembangnya tulisan kita, tidak menutup kemungkinan alur dari tulisan kita akan berubah. Misalnya, dalam kasus saya; saya membayangkan bahwa tulisan ini akan sesederhana Latar Belakang, PEDAS Besai I, PEDAS Besai II dan Penghargaan. Tapi, ternyata seiring berkembangnya tulisan, kemudian saya merasa perlu menjelaskan mengenai sebelum program PEDAS Besai dilaksanakan dan juga mengenai keberlanjutan program. So, alurnya berubah menjadi: Latar Belakang, Sebelum PEDAS Besai, Awal Mula PEDAS Besai, PEDAS Besai I, PEDAS Besai II, PEDAS Besai III, Keberlanjutan Program, Penghargaan yang Diraih dan Penutup. Just write what you got, keep digging, and let it flow lah pokoknya…
  • Kadang, pada saat menulis ini kemudian juga disertai wawancara lanjutan kepada narasumber dan juga meminta beberapa data. Dalam kasus saya, kemudian saya harus bertanya tentang apa itu 'rorak' atau 'cek dam' kepada narasumber saya. Yes, saya menulis tentang tema yang kental dengan Teknik Sipil Hidro, padahal basic pendidikan saya Psikologi… jelas ga nyambung, tapi ada poin plusnya, yaitu saya selalu menggunakan kacamata awam dalam menulis, jadi insyaallah orang yang ga paham tentang Teknik Sipil Hidro pun mengerti isi buku ini.
  • Nah, seperti disinggung pada poin sebelumnya… Penguasaan kita pada materi itu penting, meskipun tidak mutlak. Maksudnya begini, seperti kasus saya dengan background pendidikan Psikologi dan selama ini berkecimpung dengan dunia pengelolaan SDM, sebenarnya kemudian saya menulis mengenai Pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) itu kurang ideal sih. Tapi, masih bisa lah, karena temanya tidak melulu tentang teknisnya tapi lebih ke histori-nya. Jadi, ketidaktahuan saya masih bisa ditutup dengan bertanya atau membaca buku. Tapi, beda cerita jika saya harus menulis tentang hal mengenai produksi listrik dengan teknologi nuklir misalnya, waduh, rasanya butuh kuliah dulu sampai bisa memahami rumus-rumus fisika yang bagi saya sulit dilogika itu 😂.
  • Udah selesai tulisnya, tinggal dibaca ulang… mungkin ada yang typo, mungkin ada yang perlu ditambah kurang, dikonfirmasi, dan sebagainya… Juga koreksi penggunaan bahasanya, jangan sampai terlalu ilmiah dan sulit dipahami oleh orang pada umumnya… pokoknya baca lagi semuanya!
  • Udah fixed di kita, lalu minta validasi ke narasumber ada yang salah ga dengan tulisan kita. Bisa jadi kan kita salah nangkep atau gimana, jadi perlu dikoreksi sama orang yang memang jadi sumber tulisan kita.
That's it and done… Selanjutnya tinggal dicetak dan disosialisasikan deh… Begitu teman-teman… tidak ribet kan?

Tulisan semacam ini tidak perlu daya imajinasi tinggi, yang lebih penting justru rasa ingin tau dan kegigihan mencari informasi. Karena karekateristik yang harus kuat dalam Knowledge Capturing adalah kelengkapan informasi yang berhasil di-capture. Selanjutnya, tinggal membahasakan hasil 'investigasi' kita dengan menggunakan bahasa yang luwes dan mudah dipahami. Begitu menurut saya…

Dan sekali lagi, tips yang saya tulis ini murni hasil pengalaman dan pendapat pribadi ya… jadi jelas ga baku ya…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Saturday, October 20, 2018

Pilihan Paket Wisata untuk Employee Gathering di Jogja

"OK, acara Employee Gathering kita dimajuin ya… jadi awal Bulan Oktober!" demikian preambule yang disampaikan atasan saya tengah Bulan September lalu. Preambule yang cukup saya balas dengan ringisan saja, yang kemudian diiringi dengan gempita menyiapkan kegiatan trip selama empat hari tiga malam untuk meningkatkan kebersamaan… 

Kalo boleh jujur sih, pengen bilang, "Walah kok mepet banget persiapannya sih… Awal November lah…" Tapii, iyalah, saya tahu pertimbangannya kok, sesuatu yang penting pokoknya, jadi ya mari kita usahakan… Yakin bisa sih, cuma memang agak rempong 😁

Daaan… setelah bergulat dengan waktu dan pekerjaan rutin yang juga harus tetap di-handle, akhirnya Employee Gathering kantor kami terlaksana juga di Kota Jogja. Kota penuh kenangan yang konon berhati mantan, hihi 😜. Dan berikut adalah rangkuman perjalanan kami di selama empat hari tiga malam di Kota Jogja…

Day one: Arrival…



Hari itu… Kamis, 4 Oktober 2018 dengan penerbangan direct menuju Jogja, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam, kami pun sampai di Jogja.

Seperti yang kita tahu, bandara Adi Sucipto di Jogja ini memang bisa dibilang relatif kecil untuk ukuran bandara internasional lainnya di Indonesia. Dan meskipun itu bukan berarti bahwa bandara ini tidak nyaman, ini jelas berarti kalau bandara ini memang terkesan penuh karena banyaknya penerbangan dan penumpang yang dilayani.

Hmm, itu mungkin alasan kenapa kemudian dibangun sebuah bandara internasional baru di Jogja. Dimana hal ini tentu adalah sesuatu yang sangat positif mengingat… ya memang lalu lintas penerbangan di Jogja sangat padat. Banyak sekali orang yang berkunjung ke Jogja… bangganya sebagai orang Jogja asli 😎

Back to the trip, setelah kami tiba, malam pun berlalu sesederhana perjalanan ke hotel, membagi kuci kamar, briefing singkat sekaligus makan malam dan kemudian beristirahat untuk mempersiapkan hari berikutnya.

Day Two: Balkondes - Little Ubud - Klangenan Resto…

●Balkondes● Balkondes itu apa sih? Itu juga yang terlintas pertama kali di benak saya  saat berdiskusi dengan seorang teman kerja di unit lain terkait kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) yang dimiliki PLN di seputaran Jogja. Which I finally understand dan membuat kami terkagum-kagum pada akhirnya…


Jadi Balkondes ini adalah kependekan dari 'Balai Perekonomian Desa'. Balkondes ini diprakarsai oleh beberapa BUMN, seperti BNI, Telkom, dan tentu saja PLN. Balkondes ini adalah semacam cottage yang dibangun di sekitaran Borobudur dengan tujuan untuk memperluas dampak pariwisata Candi Borobudur hingga ke desa-desa di sekitarnya, sehingga bisa meningkatkan perekonomian masyarakat sekitarnya.

Setiap Balkondes memiliki arsitektur yang unik satu sama lain dan menonjolkan nilai seni dan budaya yang tinggi. Demikian juga Balkondes PLN yang berlokasi di Ngabean, Ngadiharjo, Boroburud Magelang ini. Lierally, cottage yang diprakarsai PLN ini sungguh-sungguh membuat saya berdecak kagum. Bukan hanya arsitekturnya lebih dari sekedar unik, namun juga antik… Ya, beberapa kayu sangat terlihat adalah kayu-kayu tua yang antik dan diremajakan kembali.

Untuk fasilitas kamar (pondok) pun, tidak perlu diragukan… interiornya jempol! Setiap pondok memiliki interior dengan tema warna yang berbeda lengkap dengan fasilitas standard hotel seperti AC, TV, dan air panas! Benar-benar alternatif jika kita ingin merasakan suasana pedesaan dengan fasilitas selayaknya hotel berbintang!



●Little Ubud River Tubing● Selanjutnya, tidak jauh dari lokasi Balkondes, kami pun bergeser ke wisata yang konon masih baru bernama 'Little Ubud'. Seperti namanya, tempat wisata yang berada di Tampir Wetan, Candi Mulyo, Magelang ini memang menawarkan suasana selayaknya di Ubud Bali, dimana para pengunjung disuguhi dengan suasana persawahan yang hijau.


Tapi… di samping pemandangan persawahan yang asri ini, yang paling seru dari Little Ubud adalah wahana main airnya! Semacam body rafting gitu! Jadi, setiap peserta akan diberikan satu ban besar  dan perlengkapan (sepatu, helm dan pelindung lutut) untuk digunakan melintasi sebuah sungai yang sebenarnya sih tidak terlalu dalam, tapi memiliki jeram yang cukup deras di beberapa titik. Termasuk juga sebuah air terjun buatan dengan ketinggian kurang lebih 4 meter, di mana peserta bisa memilih untuk melompat dari ketinggian itu! Iya, 'memilih', karena bagi yang tidak mau lompat bisa juga turun dengan tangga yang sudah disediakan. Totally save but also fun lah pokoknya…




●Waroeng Klangenan● Habis main air… setelah capek-capek bonus hidung dan mulut kemasukan air plus pantat rada linu karena lupa diangkat pas ada jeram terjal, kami pun beralih ke Waroeng Klangenan untuk makan malam.


Menu-menu di resto ini sebenarnya sederhana saja, tapi unik! Waroeng Klangenan yang bertempat di Jl. Patangpuluhan No. 28, Wirobrajan, Yogyakarta ini menyajikan makanan khas angkringan dalam suasana restaurant. Ada Nasi Kucing, sate-satean (tahu, telur puyuh, ayam, dll), mendoan, dan banyak lagi. Juga wedang-wedangan khas Jogja; seperti Wedang Uwuh, Bir Jawa, dan lain-lain…

Semua makanan disajikan secara prasmanan, sehingga kita bebas untuk memilih apa dan seberapa banyak yang kita inginkan. Kemudian, bukan itu saja, kita pun bisa memesan panggangan arang lengkap dengan kipasnya di meja  untuk menghangatkan sate-satean yang akan akan kita makan. Very cozy, authentic and fun lah pokoknya…


Oh ya, selain makan malam, disini juga membagi door prize dan juga memberi kejutan seorang rekan yang sedang berulang-tahun.


See that smile? Yes, alhamdulillah hari kedua kegiatan Employee Gathering hari itu diisi dengan banyak tawa dan kebahagiaan, sehingga kami pun bersemangat melanjutkan kegiatan di hari ketiga…

Day three: Candi Prambanan - Jeep Lava Tour Merapi - Wedang Kopi Prambanan…

●Candi Prambanan● Siapa yang tidak kenal Candi Prambanan? Saya rasa sih hampir semua orang Indonesia paling tidak sudah pernah mendengar nama besar Candi Prambanan.


Candi yang terletak di Kranggan, Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta ini merupakan Candi Hindu terbesar di Indonesia dan diduga dibangun pertengahan abad ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya. Di dinding candi yang menjulang tinggi ini dipenuhi relief yang menceritakan Kisah Ramayana, yaitu kisah percintaan antara Dewi Shinta dan Rama Wijaya.

Sebagai warga asli Jogja, saya memang tidak lagi terlalu excited saat berkunjung ke sini. Tapi, bangunan-bangunan megah menjulang tinggi dengan highlight didirikan pada jaman kuno sebelum alat-alat berat dan teknik sipil tingkat tinggi ditemukan ini tidak berhenti membuat saya berdecak kagum dan bangga.

Ya coba saja bayangin, bagaimana lah caranya orang-orang jaman dulu membawa sedemikian banyak batu, memotongnya menjadi bagian-bagian untuk disatukan menjadi sebuah bangunan yang sedemikian besar, bagaimana merekatkannya tanpa semen, dan banyak lagi… Satu kata, "AMAZING!"

Namun, di luar wisata berupa bangunan candi, kini di lokasi ini sudah dilengkapi juga dengan berbagai wahana, seperti aarena panahan, Museum Prambanan, kereta wisata, dan tentu saja Sendratari Ramayana pada waktu-waktu tertentu. Untuk atraksi terakhir, informasi dari tour leader kami pada musim hujan akan dilakukan di dalam ruangan, so bagi yang berminat silakan dipersiapkan betul waktu yang tepat untuk kesini.


●Lava Tour Merapi● Siapa sangka jika pasca bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010, bisnis wisata di kawasan Merapi justru semakin menggeliat.  Bencana erupsi yang menewaskan Mbah Marijan sebagai juru kunci Gunung Merapi kala itu tampaknya dimaknai oleh warga sekitar sebagai sesuatu yang menarik bagi masyarakat luas, sehingga muncullah wisata Lava Tour Merapi dengan menggunakan Jeep ataupun motor trail. Yang ternyata disambut sangat positif oleh wisatawan dengan tujuan Jogja, sehingga wisata ini pun semakin berkembang hingga saat ini.



Saat kita mengikuti perjalanan menggunakan Jeep dalam Lava Tour, kita akan dibawa melintasi track dengan beberapa tempat pemberhentian; di antaranya adalah Museum Mini Sisa Hartaku, Batu Alien dan Bunker Kaliadem.

Museum Mini Sisa Hartaku adalah adalah sebuah bangunan sangat sederhana yang dipugar dari puing-puing sisa rumah yang terkena dampak letusan Gunung Merapi. Di dalam bangunan yang dinaungi seng ini, terdapat banyak benda-benda yang tersisa pasca letusan kala itu; mulai dari tulang belulang ternak, televisi, alat musik, gelas yang meleleh, dan sebagainya.



Konon, rumah ini adalah milik seorang warga bernama Sriyanto yang kehilangan seluruh hartanya akibat letusan Merapi 2010 silam. Kala itu, pasca letusan, kemudian dia berinisiatif mengumpulkan harta-hartanya yang masih tersisa dari letusan, termasuk sebuah jam dinding yang terhenti tepat pada saat erupsi karena terkena awan panas. Dari situlah awal mula Musemum Mini Sisa Hartaku yang ada saat ini… Sebuah tempat, yang jujur membuat saya merinding membayangkan hebatnya letusan Merapi kala itu.


Selanjutnya, beralih dari Museum Mini Sisa Hartaku, masih dengan menggunakan Jeep, kami pun mengunjungi Batu Alien, sebuah batu yang berbentuk menyerupai wajah manusia dengan mata, hidung dan telinganya. Menurut pemandu Jeep Tour, batu ini ada begitu saja setelah erupsi yang terjadi di tahun 2010, sehingga masyarakat menduga bahwa batu ini adalah dikeluarkan oleh Gunung Merapi pada saat letusan dahsyat itu.


Dan terakhir, mengakhiri petualangan Lava Tour, kami pun singgah di Bunker Kaliadem. Sebuah bunker yang sejatinya dibangun sejak Jaman Belanda untuk berlindung dari lahar maupun awan panas Merapi, namun tidak berfungsi sesuai harapan pada saat letusan Merapi 2006 lalu. Dimana saat itu, ada dua orang relawan yang perperangkap dalam bungker yang suhunya menjadi berkali lipat di luar toleransi makhluk hidup. Menurut pemandu Jeep Tour, itulah kali pertama dan terakhir bungker ini digunakan. Baiklah cerita ini benar-benar yang paling mengharu biru dan membuat merinding dari kisah Gunung Merapi yang disampaikan melalui Lava Tour…

●Wedang Kopi Prambanan● Hari menjelang malam, tentu saja kami kemudian beringsut ke tempat makan untuk bersiap santap malam… Dan di hari ketiga ini, kami mendapat kesempatan untuk dinner klasik di Rumah Makan Wedang Kopi.

Terletak di Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, rumah makan ini menawarkan konsep jamuan yang 'ndeso'. Dimana hal ini dikuatkan oleh arsitektur khas Jawa berupa bangunan-bangunan berbentuk Joglo dan juga interior berupa meja kursi kayu dengan model yang klasik. Senada dengan menu makanan yang ditawarkan; seperti tumis bunga pepaya, tumis bunga pisang, garang asem, tempe garit, dan aneka wedang khas Jawa.




Nah, yang lebih romantis lagi ambience-nya adalah di malam hari, saat suasana remang-remang ditemani oleh lampu-lampu taman dan juga live band akustik ber-genre Jazz yang bisa juga beradaptasi dengan lagu pop dan bahkan dangdut! Alhasil, meskipun rangkaian acaranya sesungguhnya serupa dengan makan malam di Waroeng Klangenan, ada aura berbeda yang tercipta disini… Bukan cuma fun dan happy, tapi juga syahdu dan haru…




Momen yang paling mengesankan adalah pada saat seusai makan, kemudian kami mulai terpancing ajakan tour leader dan band pengiring untuk menyanyi bersama di pelataran terbuka di tengah restaurant. Saat itulah lagu-lagu kenangan dan kebersamaan mengalir begitu saja; mulai dari 'Kemesraan', 'Yogyakarta' dan deretan nomor lagu Sheila on 7. Benar-benar MAGIC! This place is totally awesome

Day 4: Bakpia Pathuk 25 - Malioboro - De Mata Trick Eye Museum - Ayam Goreng Ny. Suharti - Kembali ke Lampung

●Bakpia Pathuk 25● Pagi itu, seusai sarapan, kami pun bersinggah ke Toko Bakpia Pathuk 25 yang legendaris. Nama Bakpia, seperti yang kita tahu sesungguhnya berasal dari Bahasa China 'Bak' yang berarti babi, dan 'pia' yang berarti sejenis makanan. Namun, tenang kemudian Bakpia yang dikenal di Jogja bukan lagi Bakpia dengan isian daging bagi, tapi kumbu kacang hijau. Yang kini pun sudah berinovasi menjadi berbagai macam rasa, seperti coklat, keju, durian, dan banyak lagi…

Mungkin beberapa orang penasaran kenapa makanan bernama Bakpia ini disebut Pathuk dan nomornya macem-macem… Hmm, nama Pathuk sesungguhnya menunjuk nama jalan tempat perajin Bakpia, sedangkan angka yang mengikutinya adalah nomor rumahnya. That simple! Tapi, ya saya juga baru tau ini sih… Termasuk kalau di Bakpia Pathuk 25 ini hanya menerima pembayaran tunai alias ga bisa gesek!


●Malioboro●Kemudian, setelah belanja Bakpia dan oleh-oleh dalam bentuk makanan lainnya, kami pun bergeser ke Jl. Malioboro yang tidak kalah legendaris di Jogja. Dan kalo disini, ya sudah, kami diumbar begitu saja, ga usah lah dipandu-pandu… tanpa protokol kami pun sibuk dengan agenda sendiri di sini. Kami semua, termasuk saya…

I do very bad in navigation! So, meskipun Jl. Malioboro ini tempat main saya kala remaja, tetap saja saya ga hapal mau kemana ke arah mana… Sampai akhirnya ada seorang bapak tukang becak yang menawarkan mengantar ke toko-toko batik yang bagus tapi murah. Saya pikir ini opsi yang bagus, jadi saya setujui, tapi ternyata pencarian ini memakan waktu, hingga akhirnya saya minta pak tukang becak mengantar saya ke Batik Hamzah (dulu Mirota Batik).


Di sini, harga batik dan souvenir-souvenirnya so-so lah… Ada yang sangat terjangkau, ada juga yang sangat mahal. Tapi pas lah tempat ini buat orang-orang yang tidak terlalu tau batik karena harga sudah disesuaikan dengan kualitasnya, juga tidak pandai menawar…


●De Mata Trick Eye Museum● Menjelang tengah hari, sebelum puas berbelanja, kami terpaksa beralih ke destinasi berikutnya karena hari itu (7 Oktober 2018) bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Jogja yang ke 262 dan Malioboro akan ditutup untuk pawai. Alasan yang tidak bisa ditawar, jadi walau pun dengan 'ndungsang-ndungsang' (Bahasa Jawa artinya terburu-buru), kami pun berhasil berkumpul di bus dan berangkat ke De Mata Trick Eye Museum.

De Mata Trick Eye Museum terdiri dari tiga wahana yaitu De Mata, De Arca, dan D'WALIK. De Mata adalah wahana wisata 3D dimana pengunjung bisa berfoto dengan berbagai lukisan 3D, sehingga menimbulkan efek nyata. Susah jelasinnya, tapi yakin deh, teman-teman pasti tau yang saya maksud lah ya… Itu lho foto ala-ala kita sedang nyeberang jembatan, diserang buaya, dimakan hiu, dan sejenisnya. Tapi kami melewatkan wahana ini…

Dari ketiga wahana di De Mata Museum, kami memilih untuk berkunjung ke De Arca; yaitu museum patung dengan koleksi kurang lebih 100 buah patung 5D karya seniman lokal Jogja dengan beberapa kategori; seperti tokoh dunia, artis, dan superhero. Jadi kita bisa foto dengan patung-patung yang menyerupai aslinya ini ala-ala sedang duduk bareng, sedang salaman, dan sebagainya… tergantung kreativitas kita lah pokoknya.


Saya memang tidak berfoto dengan semua patung dan saya rasa demikian juga dengan rekan-rekan lain. Kami hanya berfoto dengan patung-patung tokoh favorit kami saja, karena itu kemudian ada jeda waktu yang cukup lama sebelum kami beralih ke Ayam Goreng Ny. Suharti sebagai destinasi terakhir. Karena itu, setelah bosan nongkrong-nongkrong di foodcourt-nya, kami pun memutuskan mencoba wahana D'WALIK bagian dari De Mata Trick Eye Museum.


Dengan membayar tiket Rp. 50.000,- kami pun bisa menjelajahi D'WALIK yang terdiri dari 27 set ruangan tematik yang propertinya tersusun terbalik. Ada yang bertemakan horor, barbershop, kamar, bengkel, angkringan, dan banyak lagi.


Pada ruangan-ruangan dengan properti yang terbalik ini, kita bisa berpose ala-ala jungkir balik dengan kemudian me-rotate foto yang dihasilkan. Pretty fun… tapi cukup melelahkan… Iya, kayaknya sih, cuma pose-pose aja ya disini, tapi coba diperhatiin deh… untuk menghasilkan gambar yang atraktif disini, kita pun harus bergaya ala-ala yoga; kaki diangkat, tangan diangkat… tahan, senyum, liat ke atas, dan seterusnya.

Main kesini, sebenarnya juga badan sudah capek, mengingat dua hari sebelumnya kami sudah melakukan banyak kegiatan… Tapi, dengan semangat kapan lagi punya kesempatan main, kami pun dengan ambisius bertekad berfoto di semua set ruangan. Yang yaah, ternyata memang tidak bisa dicapai sih, tapi meskipun begitu, paling tidak kami berhasil berfoto di kurang lebih 95% set ruangan. Sisanya gagal tereksekusi karena keterbatasan waktu dan juga sudah benar-benar sudah lesu dan kecapekan.

●Ayam Goreng Ny. Suharti● Next and last, menjelang sore, kami bergerak ke Rumah Makan Ayam Goreng Ny. Suharti yang legendaris itu.

Saya orang Jogja, tinggal di sana selama kurang lebih 24 tahun, tapi jujur saja, saya belum pernah mencoba makanan satu ini. So, fixed, saya pun tidak kalah excited dengan rekan-rekan lain dalam perjalanan ini yang notabene banyak yang baru datang pertama kali ke kota ini.

Dan ternyata, memang harus saya akui rasa ayam goreng ini memang lezat, sehingga kami pun yang sebenarnya belum terlalu lapar karena memang belum waktunya makan malam pun bersemangat menyantap hidangan yang sudah disiapkan, yang tentu saja adalah ayam goreng, tumisan, lalap, sambel, nasi putih, dan teh manis. Yumm… sajian sederhana yang benar-benar nikmat…


●Kembali ke Lampung● Dan tak terasa waktu pun berlalu begitu cepat… Waktu 4 hari 3 malam kami di Jogja pun berakhir hari itu… Segala keceriaan, keseruan, dan keharuan kegiatan Employee Gathering kami berakhir hari itu.

The A Team…

Bagi saya pribadi, apa yang kami lalui selama 4 hari dan 3 malam di Jogja ini benar-benar sesuatu yang mengesankan. Sebagai bagian dari panitia yang menyiapkan dan memastikan acara terlaksana sebagaimana mestinya, saya sangat bahagia dengan segala senyum, tawa, dan canda yang saya lihat sepanjang kegiatan ini. Dan saya rasa, seluruh kawan-kawan panitia pun merasakan hal yang sama… And I'm proudly say, "We did it!"

To Adi, Yeny, Ais, Sandy, Seera, Galuh, Iffa, Dino, Erwin, Ridho, Fahma, Mega, Fariz, Eka, Ulis, Diksa, Donni, Pak Mardi, Nopriadi, Bowo, dan panitia yang mungkin lupa saya sebutkan; "Yes, we did it guys! We did a great job!"

Juga untuk pihak event organizer, Limasan Tour and Travel; Zindy, Fida, Yulius, Rika, Vandi, Adit, dan tim yang sudah dengan sangat profesional dan friendly mengorganisir kegiatan kami di Jogja. Mulai dari perencanaan tour; meliputi pemilihan objek wisata, hotel, dan rundown acara; tim Limasan sangat-sangat mengakomodir kebutuhan dan kapasitas keuangan kami. Bukan cuma objek wisata utama yang mereka perhatikan, tapi juga wisata kulinernya; mereka memberikan opsi-opsi tempat makan yang authentic tapi masih masuk di kantong.

Satu lagi, karena dasarnya tim ini rame dan berjiwa muda, mereka bisa aja memilih lokasi dan juga membawa suasana menjadi penuh kebersamaan, entah itu seru atau haru. Sebagai klien, kami puas lah dengan servisnya. Termasuk juga foto-foto kerennya… menurut saya yang bukan fotografer profesional, tapi suka rempong dengan foto; angle foto-fotonya bagus! (Semua foto dengan watermark Limasan Tour and Travel is belong to them). Terima-kasih Limasan…

Dan demikian cerita keseruan dan keharuan kami di Jogja selama 4 hari dan 3 malam… Just another story of our employee gathering, tapi meninggalkan kenangan, kepuasan dan pembelajaran tersendiri bagi kami semua. Alhamdulillah…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Tuesday, August 7, 2018

Memuaskan Sisi Visual-Kinesthetic dengan Faber Castell Colour to Life

Siang itu, sembari mendengarkan orang-orang bergantian berbicara dan mengungkapkan pendapatnya… tanpa bermaksud mengabaikan atau tidak memperhatikan, saya justru asyik dengan kertas dan bolpen. Jangan salah sangka dulu… tidak, saya tidak sedang mencatat… tapi sedang menggoreskan bolpen hitam saya ke kertas putih polos yang memang menjadi favorit membentuk gambar matahari, rintik hutan, pepohonan, dan apa saja yang ada dalam pikiran saya. Ide yang keluar begitu saja dari kepala saya dan terwujud tanpa banyak pertimbangan begitu saja…


Sesuatu yang sengaja saya lakukan untuk menjaga kesadaran dalam rapat itu… Karena jika tidak, semacam penglaman sebelumnya, dipastikan saya akan tertidur dalam situasi yang menuntut hanya mendengarkan dan berusaha mencerna stimulus-stimulus auditori itu dalam kepala saya…


Tapi, jangan salah sangka lagi… semua itu bukan semata karena rapat yang membosankan, tapi memang demikianlah kecenderungan saya sejak kecil. Semua saya sadari sejak duduk di bangku SMA, dimana saya harus memutar otak agar tidak tertidur di kelas selama guru menjelaskan pelajaran… mulai dari duduk di meja paling depan, berusaha berkonsentrasi penuh, tidak tidur larut malam, dan sebagainya. Semua usaha yang seolah tidak menunjukkan hasil berarti, karena saya tetap kesulitan mempertahankan mata saya tetap terbuka, tanpa kehilangan kesadaran beberapa detik saja. Sampai-sampai, Bu Guru mengeluhkan hal ini kepada ibu saya saat mengambil raport. "Bu, sebenarnya anaknya ini lumayan cerdas, tapi suka tidur di kelas…" Duh, tidur di kelas katanya… "Ampun Bu Guru, andai ibu tahu usaha keras saya untuk tetap terjaga… semua itu benar-benar di luar kuasa saya…"

Permasalahan klasik yang sama sampai saya menginjak bangku kuliah… Sampai akhirnya menyadari bahwa saya memang lemah dalam situasi seperti itu (baca: diam dan mendengarkan penjelasan). Somehow, dengan menggunakan pengkategorian modalitas belajar yang cukup populer beberapa waktu lalu, saya merasakan kecenderungan ke arah modalitas belajar kinesthetic dan visual yang kuat. Saya perlu bergerak (baca: menulis dan mencorat-coret) untuk membantu mempelajari sesuatu; dan saya merasa sangat terbantu dengan gambar, bagan, struktur yang harmonis serta enak dilihat.

Dan sejak saat itulah saya tahu pasti apa yang harus dilakukan saat mendengarkan penjelasan dosen di kelas atau terlibat rapat… Bukan secangkir kopi, beberapa potong kue, atau bahkan mencubit diri sendiri; tapi membiarkan tangan saya bermain dengan bolpen, pensil atau alat tulis lainnya… sekedar untuk mencorat-coret, membuat catatan atau menggambar.

Corat-Coret Saat Rapat Wali Murid di Sekolah Ganesh


Terus dan terus… sampai akhirnya kemudian saya menyadari betapa semua itu begitu menyenangkan bagi saya… Dan kegiatan mencorat-coret itu pun terkadang bukan lagi sekedar dalam rangka mempermudah proses belajar, tapi menjadi sesuatu yang sengaja dilakukan karena saya menyukainya…

Hasil Karya pada Rapat P2K3 di Kantor
***

Selama ini, saya memang hanya menggunakan media kertas dan bolpen untuk menyalurkan hobi ini karena praktis dan santai; sampai kemudian beberapa waktu lalu berkenalan dengan Faber Castell Colour to Life…

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mencoba produk yang ternyata sangat menyenangkan ini!

Faber Castell Colour to Life ini terdiri dari 20 buah connector pens dan 15 halaman augmented reality colouring book. Hmm, kedengeran canggih banget ya dari namanya? Dan memang demikianlah kenyataannya. Penasaran? Mari saya jelaskan satu persatu…

Connector pens adalah bolpen (atau lebih mirip spidol menurut saya) yang terdiri berbagai warna dan memiliki bentuk yang dapat digabungkan satu sama lain membentuk konstruksi tertentu. Selain itu, pewarna ini ternyata sangat aman untuk anak-anak, karena tidak beracun, tidak meninggalkan noda pada pakaian dan dapat dicuci!


Sedangkan 15 page Augmented Reality Colouring Book adalah lembar mewarnai yang dapat discan dan dimainkan dalam bentuk animasi 3D melalui aplikasi Colour to Life yang dapat di-download pada Play Store (Android) atau Application Store (iOS). 

Untuk menemukan aplikasi colour to life ini bisa dengan search dengan kata kuncinya di Play Store maupun App Store, atau dengan scan barcode yang ada di kemasan Faber-Castell Colour to Life.


Jadi, gambar kita jadi 'hidup' dalam bentuk 3D seperti ini…


Kerennya lagi… animasi 3D ini bisa dimainkan dan juga diajak foto selfie… Sehingga benar-benar bisa menjadi alternatif kegiatan seru selain bermain gadget bagi kita maupun anak-anak. Dan bahkan bagi saya, ada keasikan sendiri tidak hanya pada saat mewarnai buku mewarnainya, tapi juga begitu excited saat gambar saya berubah menjadi animasi 3D.



Untuk saya pribadi, kegiatan mewarnai Faber-Castell Colour to Life ini benar-benar memuaskan sisi visual dan kinesthetic saya… Karena alat mewarnai ini sangat cocok digunakan untuk teknik berupa garis-garis dengan berbagai tekstur (teknik favorit saya). Juga karena hasil mewarnainya pun sungguh-sungguh indah dan eye catchy secara visual; sehingga bisa menjadi alternatif me time untuk memberikan perasaan relax, puas dan bahagia dalam diri saya. 

Apalagi 'connector pens'-nya pun sangat aplicable untuk hasil corat-coret saya selama ini… Gambar-gambar saya yang selama ini monoton berwarna hitam-putih saja benar-benar tampak berbeda setelah saya warnai dengan warna-warna cerah dari 'connector pens' Faber-Castell!

Sangat recommended lah untuk teman-teman yang hobi corat-coret untuk menghasilkan suatu (sebut saja) karya yang indah dan enak dilihat.  


Plis jangan bilang saya hanya memuji diri sendiri… ini memang benar-benar lebih indah dari versi hitam-putihnya kan…

Produk Faber-Castell Colour to Life ini sendiri bisa didapatkan secara online di Tokopedia, Gramedia dan toko buku terdekat lainnya.

Selamat mencoba 😉

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Thursday, July 5, 2018

Each Marriage They Create Chemistry…

…kemudian mereka pun menikah dan hidup bahagia selamanya…
Hayoo… ada ga nih teman-teman yang menganggap kalimat di atas sebagai parameter paripurnanya suatu cerita percintaan? Kalimat pamungkas yang banyak kita temui pada cerita dengan genre fairy tale, semacam Cinderella, Rapunzel, Keong Mas, dan lusinan lagi yang jadi cerita favorit saya sejak dulu. Cerita-cerita yang membentuk relationship goal saya kala itu, bertemu seorang 'pangeran' baik yang mencintai saya, menikah, dan hidup bahagia selamanya…

Goal, yang tercapai sih… Saya menemukan seorang pria baik yang mencintai saya dan kemudian menikah… Juga merasa bahagia dengan pernikahan saya, tapi ya bukan berarti 'udah gitu aja selesai'. 'Bahagia' bukan berarti just happy all the time… hanya pelangi 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu, tanpa hujan dan badai sama sekali. Tanpa perbedaan pendapat, perselisihan paham, dan perang dingin.

Yah, asal tahu saja, dulu pas awal-awal menikah, prosentase akur dan berantemnya mungkin fifty-fifty ya...

Tapi, ya kami menerima situasi itu dengan kesadaran bahwa itu adalah bagian dari reaksi yang terjadi karena bertemunya kami dengan karakter yang sama-sama keras. Berusaha tetap berpikir logis dan tidak mendramatisirnya. Itulah yang akan saya ceritakan disini…

Spesial untuk adik saya tercinta dan juga teman-teman yang mungkin juga sedang menjajaki kemungkinan memasuki dunia pernikahan. Siapa tahu bisa memberi sedikit inspirasi dan mungkin pencerahan…


OK, mari kita mulai cerita ini dari skeptisnya saya akan cinta dimasa remaja… Saat dimana saya merasa kesulitan mengikuti perkembangan kedewasaan teman-teman sebaya yang mulai jatuh cinta dan pacaran sejak SMP. Sesuatu yang cukup mengganggu saya… Sampai-sampai saya menciptakan tokoh fiktif bernama Abimanyu yang bersekolah SMP lain supaya tidak dianggap nerd dan ga gaul karena belum punya gacoan… 😅

Saat teman-teman saya mulai jatuh hati pada si A, si B atau si C. Saya malahan sibuk mencari jawaban, 'cinta itu apa'. Call me over analize, tapi saya tidak bisa sepenuhnya menerima pendapat bahwa cinta itu adalah perasaan suka yang datang dengan sendirinya tanpa kita undang… Bahkan, saya berpikir bahwa 'cinta' itu sesungguhnya adalah perasaan yang bisa diciptakan. Not really like a gifted feeling or something that happen accidentally

Dan karena tak kunjung mendapatkan jawaban, saya pun bereksperimen dengan diri sendiri untuk membuktikan hipotesis itu. Saat duduk di bangku kuliah, saya dengan sengaja, terus dan terus memikirkan seorang pria, memperhatikannya saat bertemu, dan sebagainya; hingga akhirnya simptom-simptom jatuh cinta seperti perasaan dag-dig-dug, malu saat bertemu, dan sebagainya itu muncul.

See? Hipotesis terbukti! Dan bahkan menguat, saat kemudian ada kejadian dimana saya melihat pria itu mencontek di kelas dan kemudian saya 'ilfeel' dan perasaan saya itu hilang begitu saja… 😅 Berarti, perasaan cinta itu pun bisa hilang jika tidak dipelihara…

Sehingga, lebih lanjut, saya mengambil kesimpulan bahwa perasaan 'cinta' tidak mutlak diperlukan untuk memulai sebuah hubungan romantis, karena perasaan itu bisa diciptakan. Dan justru yang lebih penting sesungguhnya adalah komitmen, karena itulah yang akan menjaga cinta kita tetap hidup pada seseorang…

Sejak itulah, saya tidak terlalu ambil pusing dengan yang namanya 'cinta' dan 'pacaran'. "Yah, nanti kalau ada laki-laki yang nembak, saya pertimbangin deh.." dengan pedenya saya berprinsip seperti itu. Dan berakhir saya menjomblo sekian lama, karena ga ada yang nembak dan baru mengenal pacaran di akhir masa kuliah 😅.
Rasa cinta itu bisa diciptakan, tapi kepribadian seseorang itu adalah sesuatu yang (nyaris) tidak bisa berubah
Bapak dan ibu saya adalah alasan meyakini hal itu… Di mata saya, mereka adalah contoh nyata bagaimana jadinya kehidupan pernikahan yang tidak diiringi dengan kecocokan kepribadian dan penerimaan satu sama lain… Banyak sekali ribut-ribut, pertengkaran, sampai perang dingin yang berimbas tidak hanya pada kurang bahagianya kedua belah pihak, tapi juga stabilitas emosi anak-anaknya.

Mungkin cinta mereka untuk satu sama lain begitu besarnya hingga meskipun dengan ketidakcocokan yang tidak bisa terselesaikan, mereka tetap bertahan. Tapi, bertahan saja tidak cukup, karena keduanya seringkali mengeluhkan sikap masing-masing, terlibat pertengkaran, dan bahkan melibatkan saya sebagai anak pertama dalam perbedaan pendapat mereka. Dimana, di usia saya yang sama sekali belum matang saat itu, semua itu menimbulkan tekanan tersendiri bagi saya.

Juga semacam menciptakan membentuk stigma negatif pada sosok pria seperti bapak yang begitu sulit dipahami dan memahami orang lain. Sosok yang saya tandai dengan karakteristik: merokok, berasal dari background pendidikan teknik, serta memiliki karakteristik kepribadian sulit mengalah, merasa paling benar, selalu melihat orang lain salah, arogan, dan seterusnya. Yang kemudian saat mulai banyak bergaul dengan dunia psikologi, saya kenali dengan istilah Tipe Kepribadian Merah atau Cholerics.

"Tidak memiliki latar belakang teknik…" Statement ini mungkin sedikit menimbulkan pertanyaan karena tidak mengisyaratkan sesuatu yang negatif ya… Tapi, kalau saya sih iya… Bapak yang sering sekali bilang, "…kalau orang teknik itu…" penuh perhitungan lah, jarang salah lah… kata-kata yang berulang-ulang dikatakan untuk menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri, membuat saya (maaf) sedikit muak. Hingga setengah berjanji pada diri sendiri, untuk tidak menikah dengan seorang dengan latar belakang pendidikan teknik. 

So, I keep this on my mind

Satu, tidak merokok…

Dua, dari sisi kepribadian, bukan Cholerics atau Merah…

Tiga, tidak dari latar belakang pendidikan teknik… pokoknya tidak dari segala macam fakultas teknik!

Daan… Eng-ing-eng… Ternyata dari ketiga kriteria itu, hanya poin pertama saja yang menjadi kenyataan. Fortunately, saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang pria dengan yang lugas sekali kalau ngomong, almost selalu merasa dirinya benar, cenderung arogan… everything untuk mengkategorikannya ke dalam Tipe Kepribadian Merah… Lengkap dengan titel S.T. dari ITB dan kerjanya pun di bagian operasi pemeliharaan… 😱 Triple teknik! 😆

Dengan segala perbedaan dan pertentangan karakter kami berdua, tidak terlintas sedikit pun jika dia akan menaruh hati pada saya. Menurut logika, saya jelas bukan tipenya! Dan dengan segala stigma negatif saya padanya, tidak pernah terpikir kemungkinan kemudian saya pun jatuh cinta padanya. Makanya, setuju lah saya, jodoh itu memang misteri…

Dan bisa ditebak, perjalanan cinta kami pun cukup terjal dan berliku… Putus pada saat usia pacaran beberapa minggu saja, dan ga pernah nyambung-nyambung lagi sampai akhirnya dia (suami) melamar saya… Sejak awal, kami berdua sadar akan tajamnya perbedaan karakter kami berdua. Itu kenapa, setelah putus, butuh waktu yang cukup lama sampai akhirnya sepakat berkomitmen lagi.

Menurut pengakuan suami sih, dia ga ingin kami nyambung lalu putus lagi, jadi harus benar-benar yakin. Saya sendiri, kurang lebih sama… merasa bahwa butuh keyakinan dua orang untuk berkomitmen, tidak bisa satu pihak saja. Apalagi dengan tipe saya yang suka over analyse, takutnya kalau tidak benar-benar yakin suami memang menginginkan saya, akhirnya sedikit masalah saja membuat saya gamang. Yes, it is complicatedI am complicated… apalagi bagi seorang seperti suami saya (baca: Cholerics) yang kurang sensitif secara emosional.


Baiklah… Memangnya sepenting apa sih peran kepribadian dalam sebuah pernikahan?

Menurut saya, penting sekali, seperti halnya yang saya lihat dari bapak dan ibu. Mereka berdua adalah bukti nyata bagaimana jadinya sebuah pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang memiliki perbedaan karakter yang sangat mencolok dan tidak disertai oleh keikhlasan dan sukacita menerima hasil reaksi dari perbedaan itu.

Setiap orang itu adalah unik, setiap dari kita memiliki bakat (potensi genetis) dan juga lingkungan tumbuh yang berbeda. Karenanya, kemudian kita pun memiliki kepribadian (karakteristik berpikir, perasaan dan perilaku) yang berbeda-beda. Ada kalanya perbedaan ini begitu mencolok atau bahkan saling bertentangan, misalnya ada seseorang yang cenderung bersikap santai, ada pula yang bersikap serius; ada orang yang begitu perasa dan ada juga orang cenderung tidak peka secara emosional; dan sebagainya…

Dan saat dua kepribadian yang berbeda atau bahkan bertolak belakang itu terlibat dalam sebuah interaksi yang intens dalam waktu yang lama, maka akan timbul suatu reaksi yang bermacam-macam. Bisa jadi itu adalah sebuah keluarga yang adem ayem dan tenteram tanpa banyak gejolak. Tapi, bisa juga yang terjadi adalah sebuah keluarga yang penuh dengan perbedaan pendapat dan pandangan, dihiasi dengan diskusi-diskusi sengit, pertengkaran, dan gejolak-gejolak lainnya.

Mungkin, secara umum, orang memang memandang bahwa pernikahan yang membahagiakan itu adalah pernikahan yang adem ayem, damai dan tentram… Tapi tidak selalu seperti itu… Bisa jadi, seseorang justru merasa bosan dengan keadaan yang terkesan stagnan dan gejolak-gejolak yang ada justru menimbulkan semangat. Bahkan bisa jadi, gejolak-gejolak yang ada itu justru mendewasakan kedua belah pihak…

Semua kemungkinan bisa terjadi, sehingga yang penting kemudian adalah bukan seperti apa reaksi yang terjadi atas pertemuan kepribadian kita dan pasangan… Tapi, apakah kita bisa menerima hasil reaksi itu…

Saat kita jatuh cinta, mungkin kita menjadi merasa begitu powerfull untuk BERUBAH atau MERUBAH pasangan supaya kehidupan pernikahan seperti harapan kita. Tapi, perlu diingat, bahwa saat menikah interaksi kita dengan suami/istri itu hampir tanpa jeda dan begitu intens. Jadi, ya benar-benar dipertimbangkan pelan-pelan, hati-hati, dan baik-baik senya itu.

Pun yang terjadi pada saya dan suami, memerlukan waktu yang cukup lama untuk akhirnya yakin melangkah ke jenjang pernikahan…

Saya Melancholy dan suami Cholerics… Atau, saya lebih suka menggunakan penggolongan kepribadian Hartman; saya Biru dan suami Merah. Motivasi inti saya adalah intimasi, sementara suami adalah kekuasaan (power).

Suami cenderung tipe commander (suka memerintah) dan arogan, sedangkan saya cenderung perasa dan memasukkan semuanya dalam hati. Suami senengnya mengatur semua supaya benar menurut dia, sementara saya inginnya diperlakukan dengan lembut dan kasih sayang. Alhasil, saat kami berinteraksi suami merasa marah dan kesal, sementara saya merasa tidak dimengerti dan kurang dicintai. Karenanya, tidak berlebihan jika Hartman (2007) dalam bukunya The People Code, kemudian menyebut hubungan antara seseorang dengan kepribadian dominan Merah dan Biru itu bagai 'blood, sweat and tears'… 'Darah, keringat dan air mata'… 👻

Seorang dengan kepribadian dominan Merah berorientasi pada produktivitas atau hasil, sementara seorang dengan kepribadian Biru berorientasi pada intimasi. Bagi seorang Merah sikap arogan, suka memerintah, dan lugas adalah salah satu cara untuk mendapatkan hasratnya akan kekuatan dan otoritas. Sementara seorang Biru, sikap ini (arogan, suka memerintah, dan lugas) ini adalah sesuatu yang sangat mengecewakan karena dipersepsikan sebagai sikap kurang mencintai.

Dan pada kenyataannya, inilah yang terjadi pada kami berdua

Saya sering merasa kalau suami itu:
  • Tidak perhatian dan kurang romantis. Dulu, suami kebiasaan yang cukup mengganggu, yaitu tidur sembarangan! Capek pulang kerja, bisa langsung tidur di sofa ruang tamu, dan sebagainya… Padahal, saya maunya ya dia tidur di kamar sama saya… 😂 *Ingat, intimasi itu hal yang (paling) penting menurut saya…
  • Kurang mendengarkan keluhan saya. Kadang saya mengeluh apa, malah ditanggapin bercanda atau dipotong sebelum cerita saya selesai.
  • Sering mengeluarkan komentar yang membuat saya merasa bersalah. Saat saya sedih dan curhat karena seorang teman tersinggung atas ucapan saya, dan kemudian dia berkomentar, "Kamu sih, suka ga bisa mengemas kata-kata…" Kalimat yang justru membuat saya lebih merasa bersalah lagi.
  • Menuntut. Misalnya bagaimana dulu suami mengkomplain penampilan saya yang terkesan cuek… Juga, memaksa saya untuk menyalurkan hobi menulis dan bernyanyi lebih baik lagi.
  • Dan sebagainya. 
Sementara suami, merasa saya ini:
  • Terlalu perasa dan emosional. Dikasih tau aja marah, tersinggung, sedih, nangis… Lalu, juga mudah merasa iba, itu juga seringkali dianggapnya tidak realistis.
  • Suka melakukan kegiatan kontra produktif. Misalnya, sudah tau buru-buru harus anter Ganesh sekolah, malah foto-foto bekal dulu… 😂
  • Tidak lugas dalam berkomunikasi sehingga sulit dipahami. Maunya suami ngomong tuh langsung to-the-point, tapi saya suka muter-muter. Misalnya dia nanya boleh ga makan malam dulu, terus saya jawabnya, "Ya udah deh, gapapa…" Padahal sebenarnya saya udah capek ngurusin anak-anak berantem dari tadi, terus alhasil pas pulang saya ngambek 😂 Maunya dia, ya langsung jawab aja, "Ga boleh…"
  • Dan sebagainya
Ya, hal-hal seperti itulah yang mewarnai kehidupan kami sebagai pasangan suami istri yang hidup bersama selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam satu minggu.

Pada masa awal-awal pernikahan kami, perbedaan-perbedaan ini cukup tajam… Walaupun kami berdua sudah menyadari adanya perbedaan (dan bahkan pertentangan) karakter ini sejak sebelum menikah, ternyata saat bersama dan berinteraksi se-intens itu, tetap saja kami seringkali kehabisan stok sabar dan pengertian... Dan alhasil; ketegangan, ribut-ribut kecil, sampai ribut-ribut besar pun tidak bisa dielakkan.

At some point that's exhausting

Tapi, enggak juga sih terus-terusan tentu saja; perasaan capek, kesal, bete, dan sejenisnya itu datang dan tidak pernah bertahan terlalu lama. Kenapa? Pertama, karena kami memang sama-sama sudah memprediksi hal ini akan terjadi… Kami sama-sama tahu kekerasan hati masing-masing, sedikit banyak tahu karakter satu sama lain… jadi meskipun ada pikiran, "Ternyata keras banget ya nih orang…" tapi, tidak terlalu kaget lah.

Kedua, kami berdua yakin dengan kualitas moral satu sama lain… maksudnya saya yakin kalau suami saya adalah orang baik, jadi pasti sesungguhnya deep inside selalu berusaha untuk menjalankan perannya sebagai suami dengan baik. Berusaha menjadi suami yang bertanggung-jawab untuk menjaga kesejahteraan lahir dan batin saya. Jadi, pada saat kemudian ada tindakannya yang menyebalkan dan tidak berkenan di hati saya… meskipun awalnya konflik tidak bisa dielakkan, tapi kemudian saat bisa kembali berpikir logis, saya akan melihat situasi itu sebagai miskomunikasi, perbedaan pendapat, perbedaan pandangan, dan perbedaan karakter; yang bisa diselesaikan dengan sedikit menurunkan ego, berbicara, dan berkompromi.

Dan ketiga, tentu saja adalah karena kami berdua bisa menerima kondisi itu, bahkan mungkin menikmatinya. Kan kalau adem ayem aja bagi beberapa orang rasanya kurang seru ya… Dan somehow, kemudian kami semakin santai menghadapi benturan-benturan yang terjadi. Juga semakin terbiasa untuk melihat segala sesuatu dari paradigma yang berbeda. Saya dan suami mulai memperbaiki gaya komunikasi masing-masing…

Saya belajar untuk berbicara lebih lugas, langsung saja ultimatum suami supaya tidak tidur di sembarang tempat, tapi harus di KAMAR, atau siap-siap saya jadi bete dan gampang marah 😅. Demikian juga dengan suami, dia berusaha lebih menghargai tuntutan-tuntutan saya berkaitan dengan intimasi yang dulu dianggapnya tidak penting… meskipun sudah ketiduran di sofa, dia akan pindah ke kamar kalau saya missedcall 😂. Dia juga belajar berbicara lebih halus, mulai memperhatikan mimik muka dan nada bicara saya, mulai paham kapan waktunya harus melunak, dan sebagainya.

Tapi bukan berarti kemudian ribut-ributnya terus sama sekali hilang ya, tetap kok polanya; marah-marah, ribut-ribut, perang dingin, terus baikan. Gejolak hanya berkurang intensitasnya, tapi tidak pernah hilang… dan kami sama sekali tidak keberatan.
It's OK, apapun kondisi dan situasi yang timbul akibat bertemunya kepribadian kita dan pasangan (damai, penuh gejolak, dinamis, adem ayem, dll.), selama kita tidak keberatan dan tetap mencintai serta menghargai pasangan kita… That's what make a happy marriage… 

Bonus! Meskipun seringkali melihat satu sama lain sebagai orang yang menyebalkan, harus diakui jika usaha untuk berkompromi membuat menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Tuntutan-tuntutan suami itu begitu stressfull dan menyebalkan, tapi itu membuat saya menjadi lebih berani dan ekspresif… Sampai akhirnya saya (cukup) aktif menulis dan berani tampil di depan orang banyak, itu adalah salah satu hasil karnyanya. Dia memaksa saya lebih all out menunjukkan sesuatu yang menurutnya adalah bakat.

Sikap decisive suami memang menyebalkan, tapi itu membuat saya menjadi seseorang yang lebih baik. Atau boleh dibilang… lebih bersinar… dan saya lebih bahagia…

Suami? Saya rasa dia juga mengalami hal yang sama… Juga menjadi pribadi yang lebih baik… hanya tidak pernah mengatakannya atau tidak merasakannya, karena ini membutuhkan perasaan yang halus dan sentimentil untuk memahaminya. Sesuatu, yang jelas bukan kompetensinya… 😂

Kurang lebih seperti itu…

Jadi, final words-nya…  Serius dalam hubungan cinta itu bukan sekedar niat untuk melangkah ke jenjang pernikahan, tapi yang tidak kalah penting adalah menjajaki karakter dan kepribadian satu sama lain untuk menemukan jawaban, "Apakah bisa menerima konsekuensi dan bahagia dari pertemuan kepribadian kita dan pasangan?"

That's it

With Love,
Nian Astiningrum
-end-


Catatan:
  1. The Color Code atau The People Code adalah penggolongan kepribadian menjadi empat kategori berdasarkan motif inti dari individu; yaitu Merah (motivated by power), Biru (motivated by intimacy), Putih (motivated by peace) dan Kuning (motivated by fun).  Motif = dorongan dalam diri individu.