SOCIAL MEDIA

search

Showing posts with label Psikologi. Show all posts
Showing posts with label Psikologi. Show all posts

Tuesday, November 3, 2020

For Our Mental Health

It's been a while, sejak terakhir post di blog ini, dan itu pun seingat saya sponsored post. Rasanya kangen juga nulis sesuatu yang mengalir begitu aja, tanpa rencana... so, here it is...

Tahun 2020 tak terasa sudah berada di ujung perpisahan. Tampaknya rencana banyak berbelok dan resolusi pun tak sempat direvisi. Walau sebenarnya jika kita lebih banyak berkontemplasi, maka akan ada banyak pelajaran akan pendewasaan di tahun ini.

Salah satu hal yang mewarnai 2020 ini adalah pertemuan dengan seorang gadis, sebut saja Saras...

Saras anak yang baik dan jujur. Selama tinggal di rumah dan membantu saya menyelesaikan pekerjaan rumah, mau ada duit ketinggalan di kantong berapa pun, selalu diserahkan pada saya. Hanya saja, ada beberapa hal yang akhirnya membuat saya menyerah dan memilih move on...

Saras memiliki masa lalu dan masa kecil yang (mungkin) membentuknya menjadi pribadi yang sulit tersentuh. Hal ini sudah saya ketahui dari awal, dan justru hal ini lah yang akhirnya membuat saya sedih saat harus melepasnya. 

Sejak awal mendengar kisahnya, dalam hati saya tumbuh sebuah keinginan untuk membantunya keluar dari tempurungnya, 'menjadi seorang yang lebih adaptif'. Namun, setelah tujuh bulan bersama, berusaha memahaminya, termasuk memaklumi kekurangannya, berusaha membantunya menemukan insight agar menemukan tujuan hidup yang menguatkan hatinya... akhirnya saya harus mengakui jika saya gagal demi kesehatan mental saya.

Tujuh bulan memaklumi cara kerjanya yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ekspektasi saya, ketidakpeduliannya pada anak-anak, dan juga kekerasan hatinya untuk menerima masukan; cukup membuat saya merasa lelah. Saya tidak akan mengatakan bahwa Saras tidak mengerjakan tugasnya karena dia memang melakukannya, hanya saja sesuai keinginannya sendiri.

Setrikaan rapi kok dikerjakan, tapi setelah ditumpuk seminggu lebih, bahkan saat saya sampai sudah kehabisan pakaian dalam dan berkali-kali minta padanya. Pada saat saya akhirnya lelah menegur dan bilang, "Ini terakhir kali saya negur soal setrikaan ya... tolong dong, maksimal tiga hari sudah diberesin..."

Cucian piring diberesin kok, tapi mostly hanya sekali sehari, yaitu pagi... Saya ga ngerti kenapa sore tidak dicuci piringnya? Kenapa harus ditumpuk? Padahal saya pun sudah pernah menegurnya...

Dan banyak lagi... Namun yang membuat saya sangat kecewa adalah pada saat saya meninggalkan anak-anak ke Jogja bersamanya dan nenek pengasuh kami dulu. Kemudian saya mendapati bahwa dia seringkali meninggalkan tugasnya, tenggelam dalam dunia maya. Boro-boro nyamperin anak-anak, pekerjaan rutin pun banyak terlewatkan... Saya kecewa sekali.

Kemudian pada saat akhirnya merasa harus melanjutkan hidup dengan ritme yang seharusnya - karena saya merasa banyak ngerem untuk mengikuti ritmenya. Ya gimana, selain 'makan ati' secara psikologis, beberapa pekerjaan masih saya kerjakan sendiri, seperti membersihkan kamar mandi, buang sampah, dan sebagainya. Bukannya ga dikerjain, tapi daripada ngomel terus, nyuruh terus - ya mendingan saya kerjain sendiri. 

Dalam pikiran saya, jika dia tidak berinisiatif mengerjakan setelah pernah saya sampaikan, berarti dia sedang sibuk. Saya ingin memberinya waktu untuk banyak berkontemplasi dan berpikir. Mungkin juga untuk belajar, karena dia pernah cerita sedang belajar bahasa asing. Tapi, pada saat tahu bahwa keleluasaan waktu yang dimilikinya itu ya untuk bermain game, duh, benar-benar kesal campur kecewa ga sih?

So, finally saya memilih move on. Yang saya yakini untuk kebaikan saya dan kebaikannya. Untuk kesehatan mental kami berdua...

Saya merasa lingkungan yang saya berikan padanya tidak cukup kondusif untuk membuatnya 'menyembuhkan diri'. Mungkin saya terlalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan saya. Sementara saya, pun harus melanjutkan hidup, kembali berlari setelah beberapa saat melambatkan gerak untuk mengikuti ritmenya.

Sedih rasanya saat melepas Saras terakhir kali hari ini, tapi saya rasa itu lah yang terbaik. Semoga Saras dapat memetik hikmah dari waktu tujuh bulan bersama kami. Juga kemudian menemukan lingkungan yang lebih baik untuk pengembangan kepribadiannya.

Demikian juga dengan saya, semoga kemudian merasa lebih tenang setelah mengambil keputusan ini. Semoga segera dipertemukan dengan asisten yang sayang dan perhatian pada anak-anak dan bisa saya ajak 'lari'.

Kejadian ini pun... kemudian mengingatkan saya pada beberapa orang terdekat yang meskipun saya sudah berusaha dengan begitu keras, tetap tidak bisa membantunya menjadi sosok yang lebih 'sehat' secara psikologis. Bahwa kunci dari merubah diri adalah hati kita sendiri. Sehingga sekeras apapun orang lain berusaha membantumu, jika hatimu bukan yang menginginkannya, maka semua akan percuma saja

Itu yang pertama... dan yang kedua adalah manusia hanya bisa berencana, namun Tuhan yang menentukan. "When we busy making our plans, God laughs."

But, at least I try. Dan meskipun saya gagal, paling tidak ada hal yang mendewasakan saya atas kejadian ini.

Dan untuk Saras, doa dari hatiku yang terdalam untukmu. "Kamu seorang gadis yang cerdas. Jangan sampai kecerdasanmu menjadi boomerang bagi dirimu sendiri. Membuatmu sulit menerima pendapat orang lain yang sesungguhnya baik untukmu. Hanya karena kamu merasa dirimu yang paling benar."

"Semoga kamu menyadari bahwa setiap kepala sesungguhnya memiliki 'kebenaran' menurut versi mereka masing-masing. Dan karena itu, kadang kebenaran itu bukanlah hal yang terpenting, namun perasaan orang lain. Jadi, sebelum begitu keukeuh dengan versi kebenaran yang kamu percayai, pikirkan perasaan orang lain. Terkadang kita tidak perlu begitu keras mempertahankan atau memaksa orang lain memiliki pendapat yang sama dengan kita."

Saat kita hidup bersama orang lain, kita harus saling memahami satu sama lain... percayalah...

Yah, kurang lebih seperti itulah cerita hari ini 

Thursday, August 20, 2020

The Whole Brain #6: Mengajarkan Empati Pada Anak

Yeay! Finally kita sampai pada penghujung review buku The Whole-Brain Child yang fenomenal itu. Well, di bukunya ini bukan chapter terakhir, tapi chapter terakhir cuma konklusi, so kayaknya kita skip saja dan move to the next project setelah ini.

Setelah banyak membahas tentang memahami diri sendiri (mengintegrasikan berbagai fungsi otak kita), di chapter 6 ini, buku ini membahas tentang bagaimana kita berhubungan dengan dunia luar. Yes, memahami diri kita sendiri adalah hal yang penting untuk menjadi individu yang optimal secara mental; tapi membangun hubungan yang baik dengan orang lain adalah hal yang tidak kalah penting.

Tentu kita tidak ingin anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri kan? Tentu kita ingin anak-anak kita menjadi individu yang empatik dan mampu bersikap baik pada orang dan lingkungan sekitarnya. Dan hal ini bukan lah hal yang otomatis akan dikuasai anak, tapi dipengaruhi juga oleh lingkungan dan pengasuhan.

Yes, saat seorang anak lahir, dia siap untuk menerima pengalaman-pengalaman yang membentuk karakternya bersama dengan materi genetis yang dibawanya sejak proses konsepsi. Itu mengapa anak-anak pada dasarnya memiliki (kecenderungan) karakter bawaan. Ada yang sangat sosial, ada pula yang sulit bersosialisasi, sehingga tujuan pengasuhan sesungguhnya adalah mengoptimalkan potensi anak-anak serta mendidik mereka menjadi manusia yang adaptif.

***

Egosentrisme adalah hal yang wajar pada anak-anak, meski levelnya pun berbeda-beda. Ada anak yang memiliki empati yang sangat besar sejak dini, namun ada pula yang secara sosial dinilai cukup egois karena terlalu berpusat pada kepentingan dirinya. Dan dengan menyadari adanya pengaruh genetis dan juga kematangan usia, tentu tujuan kita bukan membuat anak-anak ini mampu bersikap empatik selayaknya orang dewasa, namun mendidik mereka supaya dapat mengoptimalkan ketrampilan ini untuk dapat menjalani kehidupan yang bahagia nantinya.

Berikut adalah tips dari buku The Whole-Brain Child untuk mengasah ketrampilan anak untuk bersikap empatik:

#11: Menciptakan Suasana dalam Keluarga yang Menyenangkan

Bercanda dan bermain bersama adalah hal yang penting dalam menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak-anak. Sehingga akan sangat bermanfaat jika disamping sibuk mendisiplinkan anak, kita juga meluangkan waktu untuk bermain dan bercanda bersama mereka.

Semakin menyenangkan suasana rumah (keluarga), maka anak akan melihat hubungan dengan orang lain sebagai sesuatu yang positif.

Kegiatan yang menyenangkan bersama keluarga akan mengajarkan pada anak bahwa hubungan adalah sesuatu yang saling menghargai, memberi dan memenuhi kebutuhan satu sama lain (saling melengkapi). Sehingga, anak akan lebih terbuka dan berani mengambil risiko dalam menjalin hubungan dengan orang lain. **Yes, 'mengambil risiko' karena saat menjalin hubungan yang empatik tentu melibatkan sikap mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan orang lain**

Sebaliknya, jika suasana rumah tidak menyenangkan, maka anak akan cenderung melihat hubungan dengan orang lain sebagai sesuatu yang negatif; sehingga akan menghindar secara fisik atau psikis, maupun kemudian bersikap egois dan tidak memikirkan kepentingan dan perasaan orang lain.

#12: Mengajarkan Anak Memaknai Konflik

Konflik adalah hal yang tidak bisa dihindari dalam sebuah hubungan, maka dari itu, kita perlu mengajarkan anak ketrampilan untuk mengelola konflik secara sehat dan produktif.

✿ Bantu anak menyadari sudut pandang orang lain

Hal ini sangat penting supaya anak dapat melihat alasan seseorang melakukan sesuatu yang (mungkin) tidak disukainya dari sudut pandang orang lain. Caranya adalah dengan mengajak anak berbicara dan membantunya mendapatkan insight tentang hal tersebut. Tekniknya tentu dengan connect dan redirect, berempati terlebih dahulu akan apa yang dialami anak, baru kemudian memberikan penjelasan yang realistis tentang kejadian tersebut.

Misalnya, pada suatu hari seorang anak mengadukan temannya yang menyebutnya 'bodoh' dan terjadilah pembicaraan di bawah ini dengan ibunya:

Anak: "Mama! Masa Tio ngomongin aku bodoh!"

Mama: "Menurut Kakak, kenapa Tio ngomong seperti itu?"

Anak: "Kayaknya karena aku becanda kalo gambar buatannya jelek sih Mama..."

Mama: "Apa itu lukisan yang Tio buat berhari-hari untuk lomba itu ya? Mungkin karena itu, Tio jadi marah banget..."

✿ Mengajarkan anak mengenai bahasa non-verbal

Hal ini penting, supaya anak bisa ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain dengan melihat bahasa tubuhnya. Karena bukankah seringkali kita menyembunyikan perasaan tidak nyaman kita dari orang lain? Sehingga kemampuan untuk mengenali bahasa non-verbal ini sangat penting supaya anak mampu berempati pada perasaan orang lain, meskipun orang tersebut tidak menyampaikannya secara verbal.

Hal ini dapat dilakukan dengan memaknai kejadian sehari-hari. Misalnya pada suatu hari anak berhasil menjadi juara dalam pertandingan bola, kemudian kita ajak anak untuk berpikir, bahwa mungkin temannya yang berada di tim lain sedang merasa sedih karena kalah, meskipun mereka bilang bahwa mereka tidak sedih.

Kita bisa menjelaskannya dari bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang mungkin ditunjukkan seperti pundak yang merendah, wajah yang menunduk dan bibir yang datar.

✿ Mengajarkan anak menghadapi konflik

Sebagai langkah pertama, kita ajarkan mengenai meminta maaf dan menyampaikan penyesalan jika melakukan tindakan yang membuat orang lain merasa sedih. Dan menyadarkannya bahwa meminta maaf hanyalah awal, selanjutnya mungkin kita perlu melakukan tindakan seperti, mengganti, memperbaiki, atau membantu membangun sesuatu yang rusak.

***

Nah, di akhir chapter ini dijelaskan juga peran orang-tua dalam memberikan contoh pada anak mengenai membangun hubungan yang baik.

Bagaimana pun juga referensi pertama anak akan hubungan dengan orang lain adalah melalui bagaimana orang-tua memperlakukan mereka. Apakah orang-tua bersikap hangat, menerima, lembut, atau bahkan galak dan sering menyalahkan.

Sementara kita sebagai orang-tua pun tidak lepas dari pengasuhan yang kita alami di masa kecil dahulu, kita adalah produk dari bagaimana orang-tua kita memperlakukan kita. Sehingga seringkali hal ini bagaikan mata rantai yang saling berkaitan; bagaimana orang-tua memperlakukan kita adalah bagaimana kita memperlakukan anak kita, dan juga bagaimana anak kita akan memperlakukan anaknya nantinya.

So, tidak ada kata lain, selain kita harus memutus rantai tersebut...

Caranya adalah dengan menyadari sepenuhnya apa yang terjadi pada kita di masa lalu, menyadari bahwa hal tersebut sangat mungkin mempengaruhi sikap kita pada anak, menyadari bahwa anak akan terpengaruh dengan sikap kita, dan selanjutnya dengan kesadaran penuh berusaha untuk tidak melakukan hal yang sama pada anak-anak kita.

Ini jelas tidak semudah penjelasannya, tapi, pada saat kita menyadari semua itu, kita akan merasa lebih powerful untuk mengelola emosi dan perasaan kita, sehingga mampu bersikap adaptif terhadap anak-anak kita.

***

Fiuh, that's it apa yang disampaikan pada chapter ini. Semoga saya sampaikan cukup jelas ya... Namun, jika penasaran, silakan membaca bukunya ya...

Sekian, dan semoga bermanfaat ya... 

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Monday, May 18, 2020

The Whole Brain Child #5: Mengintegrasikan Banyak Bagian dari Diri

Woohoo! Akhirnya sampai juga di bagian kelima buku ini! Yang sebenarnya sih udah beberapa bulan lalu sih selesai bacanya, tapi sungguh, belum sempat bikin review-nya sampai hari ini. Dan please jangan bilang ini good thing karena pandemi covid-19 ya… Karena sejatinya kegiatan jadi jauh lebih riuh karena anak-anak belajar di rumah. Hmm, atau lebih tepatnya lebih riuh dan stressfull sih…

OK, intronya segitu aja… sekarang kita kembali ke topik bab 5 Buku The Whole-Brain Child berjudul 'The United States of Me: Integrating Many Parts of The Self'…

***

Untuk memahami chapter ini, saya akan bercerita tentang seorang gadis bernama Asti yang sesungguhnya memiliki begitu banyak potensi; namun, alih-alih mampu mengembangkan potensinya itu, dia justru merasa dirinya tidak mampu karena takut gagal.

Asti memiliki suara yang cukup bagus sehingga guru keseniannya kala duduk di bangku SD memasukkannya untuk seleksi Porseni pada cabang bernyanyi. Namun, Asti sengaja bernyanyi dengan tidak maksimal pada saat seleksi sehingga tidak dipilih mewakili sekolahnya. Kala itu, yang ada dalam kepalanya adalah ketakutan jika dibilang orang 'jelek', jadi dia pura-pura saja memang tidak bisa.

Asti pandai dalam pelajaran Bahasa Indonesia, pada saat duduk di bangku SMP tidak jarang dia mendapat nilai sempurna pada saat ujian. Pun dia adalah satu-satunya siswa kelas 1 di SMA-nya yang lolos seleksi untuk masuk ekskul jurnalistik. Namun, dia sengaja mencari alasan untuk tidak aktif di kegiatan jurnalistiknya, karena takut jika dia tidak akan mampu, bahwa kemampuan menulisnya tidak terlalu bagus, dan sebagainya. Jadi, dia pun berdalih diminta untuk fokus pada sekolah oleh orang-tuanya dan tidak diijinkan ikut kegiatan ekskul.

Asti pun pandai dalam pelajaran matematika… Pada satu caturwulan gurunya pernah mengatakan pada orang-tuanya bahwa nilai raportnya seharusnya adalah 10, karena angkanya 9 dengan koma tinggi. Namun karena angka 10 itu adalah angka sempurna, maka di raport hanya ditulis 9. Dan apa yang terjadi selanjutnya, kemudian justru Asti berkeringat dingin dan gagal pada saat mengerjakan ulangan-ulangan matematikanya… dia dipenuhi ketakutan bahwa sesungguhnya dia tidak mampu.

Orang-orang melihat Asti sebagai seorang yang cerdas dan berbakat, namun justru dia merasa dirinya tidak cukup bagus dan takut gagal…

Jadi, apa yang terjadi sebenarnya dengan Asti?

Dan, setelah ditelusuri ternyata dalam kesehariannya Asti seringkali diinterupsi dan dikritik bahwa apa yang dilakukannya tidak benar oleh orang-tuanya. Hal ini terjadi sejak kecil, sehingga Asti pun merasa tidak percaya diri akan kemampuannya sendiri. Dia merasa tidak cukup baik, tidak pintar, dan tidak bisa karena sehari-hari ide-idenya selalu membuahkan interupsi dan kritik dari orang-tuanya.
Asti terlalu fokus pada satu aspek dalam dirinya, yaitu 'ketakutan bahwa dirinya tidak cukup baik'. Dia lupa bahwa dirinya sesungguhnya terdiri dari banyak aspek, dan ketakutan itu hanya lah satu dari banyak aspek itu.
***

Untuk itu, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membantu kasus-kasus seperti ini, kita bisa membantu mereka untuk memetakan pemikiran pribadi dan pemikiran orang lain (mindsight).  Dimana dalam chapter ini dibahas mengenai memahami pemikiran pribadi dengan menggunakan konsep lingkaran sebagai berikut:


Bagian luar lingkaran ini menggambarkan hal apa saja yang menjadi perhatian dan kita sadari; baik pemikiran atau perasaan, mimpi dan keinginan, ingatan, persepsi akan lingkungan, dan sensasi pada tubuh kita. Sementara pusat dari lingkaran adalah pikiran kita yang menyadari apa yang terjadi di sekitar. Dimana ini merupakan peran dari prefrontal cortex.


Pada kasus Asti, dia terlalu fokus pada kekhawatiran bahwa dirinya tidak cukup baik, sehingga menimbulkan ketakutan dan kegelisahan setiap kali melakukan hal-hal yang sesungguhnya dia mampu. Dan melalui lingkaran ini, diharapkan Asti dapat melihat lebih banyak aspek dalam dirinya dan memahami bahwa ketakutan itu sesungguhnya hanyalah satu bagian kecil dari dirinya… SAMA SEKALI BUKAN DIRINYA!

Yup, ketakutan itu adalah satu hal dari dirinya, namun bukan berarti keseluruhan dirinya, sehingga semestinya Asti mampu memberikan perhatian yang proporsional pada keseluruhan aspek dirinya tersebut.
Atau bahasa sederhananya, "Dirimu itu terdiri dari begitu banyak aspek, dan ketakutan itu hanya satu darinya. It's OK untuk merasa takut, tapi sungguh dia hanya sebagian kecil dari dirimu, jadi jangan terlalu terpaku padanya."
Kesadaran akan hal ini selanjutnya akan menciptakan insight yang secara biologis diwujudkan dengan firings dan wirings baru pada neuron otaknya. Hal ini akan membuatnya tidak terlalu powerless menghadapi ketakutan-ketakutan dan obsesinya, bukan hanya saat ini, namun juga di masa depan. Karena menyadari bahwa sesungguhnya dirinya lah pengendali dari semua aspek dari diri tersebut.

Nah, selanjutnya hal ini bisa kita lakukan untuk mengenalkan mindsight ini pada anak-anak (oh ya, nomornya melanjutkan tips dari The Whole-Brain Child chapter sebelumnya):

#8 Mengajarkan pada Anak Bahwa Emosi Itu Datang dan Pergi

Sebagaimana yang dijelaskan pada chapter sebelumnya bahwa adalah hal yang sangat penting bagi anak-anak untuk mengenali perasaan dan emosinya. Namun, di disamping itu, pun adalah hal yang penting bagi anak untuk menyadari bahwa perasaan dan emosi tersebut adalah hal temporer dan berubah-ubah.
Perasaan dan emosi adalah 'kondisi' bukan 'sifat'. "Aku bukan bodoh, aku hanya merasa bodoh saat ini…" 
So, hal yang pertama kita lakukan adalah membantu anak mengenali emosinya dan kemudian membantunya mencapai insight bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang temporer serta datang dan pergi.

#9 SIFT: Menyadari Apa yang Terjadi dalam Dirinya

Untuk memahami perasaan dan emosi yang mempengaruhi dirinya, maka anak perlu diajarkan untuk mengenalinya melalui SIFT: Sensation, Images, Feeling, dan Thought (sensasi, gambaran, perasaan dan pemikiran).

Yup, setiap emosi sesungguhnya pun mempengaruhi berbagai aspek dalam diri kita, baik fisik maupun psikis. Misalnya jantung yang berdegup kencang dan sakit perut yang menyertai kegelisahan, keinginan untuk memukul yang menyertai kemarahan atau frustrasi, dan sebagainya.

Selanjutnya, dengan cara ini diharapkan anak dapat mengenali emosinya lebih mendalam, bukan hanya merasa baik-baik saja atau merasa buruk, tapi lebih detail seperti 'kecewa', 'gelisah', 'cemburu', atau 'exciting'.

Dengan mengenali emosi secara lebih mendalam ini kita akan mendapatkan pemahaman bagaimana sensasi tubuh kita membentuk suatu emosi dan emosi kita membentuk pemikiran kita, sebagaimana gambaran dalam pemikiran kita. Sehingga dengan demikian kita mampu memisahkan antara emosi dengan diri kita, bahwa "Aku hanya merasa bodoh saat ini, bukan bodoh…"

#10 Melatih Konsep Mindsight: Kembali ke Pusat Kendali

Selanjutnya, setelah memahami bahwa dirinya terdiri dari banyak aspek, kita perlu mengarahkan anak untuk mampu kembali kepada dirinya sebagai pengendali, tidak terpaku pada satu aspek dalam dirinya saja. Dan ini adalah ketrampilan yang perlu diajarkan pada anak… 

Misalnya pada kasus Asti yang merasa gelisah dan nervous karena harus tampil di hadapan teman-teman dan orang-tua murid lainnya.

Menyadari hal ini, mamanya pun berusaha membantunya lebih menyadari apa yang terjadi dalam dirinya dengan latihan sebagai berikut:

OK Asti, sementara kamu berbaring, gerakkan pandangamu dalam ruangan ini. Tanpa menggerakkan kepalamu, kamu bisa melihat lampu di atas meja. Sekarang lihat fotomu yang tergantung di dinding… kelihatan bukan? Sekarang lihat rak buku di sudut ruangan ini? Apakah kami bisa melihat buku Harry Potter yang ada disana?

Nah, kamu bisa memahami bukan, bahwa kita bisa mengarahkan perhatian kita pada hal-hal di sekitar kita? Sekarang mari kita coba pada hal-hal yang terjadi dalam diri kita…"
"Sekarang tutup matamu, dan mari kita fokus pada pemikiran, perasaan, dan pengindraanmu… Mari kita mulai dengan apa yang kamu dengar… Mari kita hening sejenak dan mendengar apa yang ada di sekitar kita.

Bisakah kamu mendengar suara mobil yang baru melintas? Suara kucing mengeong di luar sana? Kamu menyadari suara-suara itu karena kamu diam dan memusatkan perhatianmu untuk mendengar mereka.

Sekarang, aku ingin kamu memusatkan perhatianmu pada pernafasanmu. Pertama, sadari bagaimana udara masuk dan keluar dari hidungmu… Sekarang rasakan bagaimana dadamu bergerdak naik dan turun… Sekarang sadari bagaimana perutmu bergerak setiap kali kamu menarik dan menghembuskan napas.

Sekarang, aku akan diam kembali sejenak. Asti tetap fokus pada nafasmu. Mungkin pemikiran tertentu akan datang dalampikiranmu, termasuk tentang pertunjukan yang akan dilakukan Asti. Tidak masalah. Saat kamu menyadari bahwa kamu memikirkan sesuatu atau mulai merasa khawatir, kembali lah fokus pada nafasmu. Ikuti gelombang tarikan dan hembusan nafasmu.

Selanjutnya setelah sekitar satu menit, Mama Asti meminta Asti membuka matanya dan duduk. Disini, kemudian dia menjelaskan bahwa teknik yang baru dilakukan tersebut adalah salah satu hal yang manjur untuk menenangkan pikiran dan tubuh. Dan selanjutnya, memintanya mengulang bagaimana dia memusatkan perhatian pada tarikan dan hembusan nafasnya pada saat jantungnya berdebar karena akan tampil.
Saat mamanya membantu Asti fokus pada tarikan dan hembusan nafasnya, itu bukan semata bertujuan untuk meredakan kegelisahannya, tapi juga membantunya kembali ke pusat lingkaran dirinya, sehingga dia bisa menyadari aspek lain dari dirinya.
***

Yup, kurang lebih itulah inti dari chapter kelima Buku 'The Whole-Brain Child' ini… Yang jika saya rangkum secara singkat, lagi-lagi adalah mengenai betapa pentingnya kita mengajarkan anak untuk mengenali pemikiran, emosi, dan perasaannya. Serta betapa sesungguhnya dirinya terdiri dari begitu banyak aspek dan membantunya supaya tidak sekedar terpaku pada satu aspek, sehingga dapat memegang kendali akan dirinya.

Iya, kalau dirangkum memang simpel ya… Tapi secara autodidak, konsep ini begitu sulit saya rumuskan meski sudah menyadarinya sejak di bangku SMA. Saat itu saya selalu di penuhi dengan rasa takut dan khawatir akan banyak hal. Dan di saat yang sama selalu merasa bahwa apa yang saya rasakan itu identik dengan rasa di saat kita tersesat di kerumunan banyak orang hingga tidak tahu harus berjalan ke mana. Sehingga apa yang sebenarnya harus dilakukan adalah mencari tempat yang lebih tinggi sehingga saya bisa memetakan apa yang terjadi di sekitar kita.

Insight semacam ini memang cukup rumit bagi seorang anak-anak atau bahkan remaja, karena itu akan sangat bermanfaat bagi kita, orang-tua, untuk mengajarkan anak tentangnya.

And yes, Asti is me in the past

With Love,
Nian Astiningrum
 

Tuesday, December 10, 2019

The Whole Brain Child #4: Mengintegrasikan Memori Implisit dan Eksplisit

Halo teman-teman… It's been a while banget ya dari tulisan terakhir review dari buku 'The Whole-Brain Child' yang saya niatkan akan dipost di blog ini. Huhu, maafkan lah ya, ternyata menjadi 'self-employeed' itu banyak tantangannya, apalagi kalau punya banyak keinginan kaya saya. Oh ya, saya baru saja relaunching Youtube Channel saya lho, akan sangat senang sekali kalo teman-teman subscribe DISINI ya…


OK, sebelum jadinya curhat, kita langsung aja ke bab tiga buku 'The Whole-Brain Child' ini ya…

Nah, setelah di dua bab sebelumnya kita membahas tentang otak bagian depan, belakang, atas, dan bawah; maka pada bab ini dibahas mengenai memori dan hipocampus sebagai 'PIC'-nya.

Mitos Tentang Memori

Selama ini, mungkin pemahaman kita mengenai memori adalah sesederhana bahwa memori adalah semacam file mental yang tersimpan rapi dalam otak kita atau bahkan memori itu adalah hasil foto copy dari keadaan atau situasi yang kita alami.

Namun, ternyata memori adalah hal yang lebih kompleks dari itu…
  • Memori adalah asosiasi dimana otak memproses sesuatu saat ini dan menghubungkannya dengan pengalaman serupa di masa lalu. Atau singkatnya, memori adalah keadaan dimana suatu kejadian di masa lalu mempengaruhi kita di masa kini.
  • Memori terdistorsi baik sedikit atau banyak (bukan sebuah gambaran identik seperti foto copy), dimana keadaan pada saat kita menyimpan atau me-recall memori akan mempengaruhi bagaimana gambaran memori tersebut.

Memori Implisit dan Eksplisit

Bayangkan memori tentang bagaimana kita mengganti popok anak kita. Jika kita adalah seorang ibu yang sebelumnya sudah terbiasa menggantikan popok anak-anak kita, kemudian langkah-langkah mengganti popok tentu adalah hal yang otomatis. Kita bahkan tidak sadar proses me-recall memori ini. Inilah yang disebut sebagai memori implisit.

Namun, bayangkan jika anak-anak kita sudah dewasa. Saat kemudian kita mengganti popok anak kerabat kita, langkah-langkahnya mungkin otomatis; namun mungkin ada saat dimana kita tercenung mengingat bagaimana kita begitu gugup pada saat mengganti popok pertama kali dulu. Inilah yang disebut dengan memori eksplisit.
Sederhananya sih saya menyebut memori implisit itu adalah memori yang tidak kita sadari, sedangkan memori eksplisit adalah memori yang kita sadari.
Dan kenyataannya hingga 18 bulan pertama hidup kita hanya memori implisit lah yang terbentuk, baru kemudian selanjutnya otak kita mampu membentuk memori eksplisit.

Itu kenapa kita ga bisa ingat bagaimana rasanya hidup di dalam rahim ibu kita, atau sewaktu dilahirkan, bagaimana nyamannya digendong sampai tidur oleh ibu kita, dan sebagainya. Tapi, saya percaya bahwa pengalaman-pengalaman itu sesungguhnya ada tanpa bisa kita sadari.

Priming

Memori implisit, namun demikian (tidak kita sadari) membentuk ekspektasi kita tentang bagaimana sesuatu harus berjalan berdasarkan pengalaman kita sebelumnya.

Misalnya nih, kaya anak saya Mahesh yang sejak kecil setiap kali saya akan berangkat kerja selalu 'da-da' dulu. Nah, suatu kali dia saya tinggal sedang tidur siang, bangun-bangun langsung anaknya nangis kejer karena saya ga ada dan dia belum 'da-da'. Sampai-sampai, ya kalau memang dia mau tidur siang dan saya mau pergi, sebelum terlelap tidur, kami 'da-da' dulu…

Kondisi ini (memori implisit) ini juga yang membuat otak bersiap-siap melakukan respon tertentu sesuai kebiasaan, dan inilah yang dinamakan 'priming'.


Misalnya pada saat seorang anak dikritik pada saat bermain piano, kemudian dia menjadi tidak nyaman; jika hal ini sering dilakukan, maka selanjutnya otak pun akan merasa tidak nyaman untuk bermain piano. Dan akhirnya si anak pun tidak suka bermain piano, karena otaknya terbiasa dengan pola bahwa bermain piano akan menimbulkan kritik dan perasaan yang tidak nyaman.

Mengintegrasikan Memori Implisit dan Eksplisit

Yup, demikianlah permasalahan dari memri implisit, terutama pada pengalaman yang tidak nyaman atau bahkan menyakitkan; yaitu pada saat kita tidak menyadarinya, maka dia akan tertimbun dan membatasi atau melemahkan kita secara signifikan.
Kejadian negatif, meskipun tidak kita sadari bisa menimbulkan ketakutan, kesedihan, penolakan dan emosi negatif serta sensasi pada tubuh.
Hal ini misalnya terjadi pada saat Ganesh takut untuk dicabut giginya beberapa waktu lalu. Waktu itu, beberapa kali Ganesh selalu kesulitan mengendalikan reaksinya pada saat dokter gigi akan mencabut giginya. Dia jelas paham bahwa dicabut gigi itu tidak akan terlalu sakit, dia pun sudah duduk dengan kemauannya sendiri di meja tindakan. Namun, begitu dokter hendak mengambil giginya, langsung tangannya bergerak menahan tangan si dokter.

Disitu jelas ada sesuatu pengalaman yang membuatnya ketakutan meskipun tidak disadarinya.

Baca juga:

Nah, bagaimana membantu anak dengan masalah ini adalah dengan membuatnya meyadari memori implisit ini dan membuatnya menjadi eksplisit. Jadi, jangan dilupakan, tapi diintegrasikan…

Menyadari suatu pengalaman akan membuat kita memahami apa yang terjadi, sehingga mampu mengendalikan peikiran dan perilaku kita.

Dalam kasus di atas, karena Ganesh pun tidak meyadari kejadian apa yang membuatnya takut cabut gigi, akhirnya saya pun mengajaknya membayangkan langkah-langkah cabut gigi yang harus dihadapinya. Mulai dari menunggu, masuk ke ruang dokter, bau ruangan dokter, ngobrol dengan dokter, duduk di meja tindakan, dan seterusnya. Hingga akhirnya Ganesh pun berani dicabut giginya kembali…

Oh ya, tapi sebelum kita over analisa ketika anak menunjukkan gejala semacam priming, kita perlu melakukan kroscek tentang kondisi anak. Apakah anak sedang lapar, marah, kesepian atau lelah (HALT = Hungry Angry Lonely or Tired). Dan jika memang demikian, maka kita perlu menunggu hingga kondisi anak siap untuk kita ajak mengobrol tentang kondisinya.

Teknik Mengintegrasikan Memori Implisit dan Eksplisit

Sebelumnya kita telah membahas strategi dari Buku The Whole-Brain Child ini sampai dengan strategi kelima, dan berikut adalah dua strategi berikutnya:

#6: Replaying memories atau mengajak anak menceritakan apa yang dialaminya

Mengajak anak bercerita sesungguhnya adalah cara untuk membantu anak menyadari pengalaman atau memori implisit yang tidak disadarinya, terutama pengalaman negatif… karena adanya kecenderungan kita untuk melupakan atau mengabaikan ingatan yang membuat kita merasa tidak nyaman. Padahal, ingatan (negatif) itu ibarat kepingan puzzle yang tetap harus disadari agar kita bisa memahami keseluruhan cerita.

Nah, salah satu trik supaya anak-anak merasa lebih nyaman bercerita adalah dengan menganalogikakan proses bercerita ini sebagai DVD Player, dimana mereka bisa play, pause, fast forward (saat ada cerita yang membuat kurang nyaman) dan rewind untuk cerita yang perlu diperjelas detailnya.

Cara ini bukan sekedar bertujuan agar kita mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang dialami anak, tapi juga untuk membantu mereka menyadari permasalahan yang dialaminya. Karena itulah, anak perlu bercerita sedetail mungkin hingga mendapatkan insight mengenai hal yang membuatnya merasa tidak nyaman.

#7: Mengingat untuk mengingat

Faktanya, setiap kejadian yang kita alami sesungguhnya akan menjadi memori, baik memori yang disadari (eksplisit) maupun memori yang tidak disadari (implisit). Dan untuk menjadi pribadi yang sehat secara mental, sebisa mungkin kita harus menyadari memori yang ada dalam diri kita. Itu kenapa, mengingat apa saja kejadian yang telah kita alami menjadi hal yang sangat bermanfaat.

Untuk itu, kita bisa membantu anak-anak kita untuk membiasakan hal ini dengan merangsang anak-anak untuk menceritakan pengalamannya. Bukan sekedar bertanya, "Bagaimana sekolahnya hari ini Kak?" tapi lebih spesifik, seperti pertanyaan "Apa hal menyenangkan yang terjadi hari ini?" dan "Apa hal yang menyebalkan hari ini?" Sehingga akan merangsang mereka untuk mengingat pengalamannya secara detail.

Atau, bisa juga dengan mengajarkan mereka menulis diari atau jurnaling… Yaitu menuliskan pengalaman dan perasaannya secara rutin.

Yup, tips terakhir ini saya sudah praktekkan pada diri saya sendiri kala remaja. Menulis diari itu somehow membuat saya lebih menyadari dan memahami kejadian dan apa yang saya rasakan karenanya. Juga membantu saya mendapatkan berbagai insight akan kejadian-kejadian itu…

Untuk Para Orang-Tua

Fiuh, membaca chapter ini sebenarnya mengingatkan saya pada banyak hal, seperti istilah 'inner child', juga pengalaman survive Dave Pelzer yang abused di masa kecilnya bahwa kebencian seringkali membuat kita menjadi persis sama seperti orang yang kita benci…

Yup, sebagai orang-tua pun kita harus menyadari bahwa perilaku kita tidak lepas dari memori kita, puzzle yang mungkin belum lengkap pada masa lalu kita. Kenapa kita mudah marah dan emosional pada kejadian tertentu dalam pengasuhan anak, sangat mungkin itu adalah bagian dari memori implisit kita yang belum kita sadari… Mungkin itu adalah mekanisme priming yang timbul akibat pengalaman negatif kita di masa lalu…

Itu kenapa, sebagai orang-tua, jika kita menyadari ada sesuatu yang salah dengan perilaku atau kondisi emosional kita, kita pun perlu berusaha menggali pengalaman-pengalaman negatif yang pernah kita alami… mengangkatnya ke alam sadar dan berdamai dengannya, sehingga tidak mempengaruhi kita secara negatif.
Bahkan jika kita pun dulu mengalami pengasuhan yang meninggalkan memori negatif, kita pun bisa memutus rantai itu supaya tidak berlanjut pada anak kita nantinya.
Don't worry, ini hal yang manusiawi kok… Bukan artinya kita lemah, tapi justru kekuatan itu berasal dari penerimaan akan hal buruk yang pernah kita alami. Well, you can relate when you ever in a bad childhood before

***

Yash, kurang lebih seperti isi dari buku ini… alhamdulillah masih bisa konsisten ya meskipun lambat progressnya.

Dan penutup akhir… semoga tulisan ini bermanfaat bagi teman-teman semua ya…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-


Sunday, October 13, 2019

My Pay It Forward Project #2: PAUD STAR

Seperti namanya 'My Pay It Forward Project' yang saya maksud sebenarnya adalah sebuah proyek meneruskan kebaikan yang pernah saya terima kepada orang lain. Dan dalam hal ini adalah spesifik mengenai kesempatan saya dapatkan untuk menjadi seorang individu yang lebih baik secara psikologis.


Yah, seperti yang seringkali saya ungkapkan, saya ini memiliki masalah psikologis pada masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa awal. Sesuatu yang tampak dari luar sebagai sikap pemalu dan tidak percaya diri yang akut. Sementara saya sendiri merasa sebagai seorang yang takut melakukan banyak hal, sulit berinteraksi dan bergaul dengan orang lain, dan juga merasa tertekan dengan lingkungan dan juga diri saya sendiri.
Sadar sepenuhnya ada sesuatu yang salah pada diri saya, namun tidak bisa memperbaikinya; juga lingkungan keluarga yang 'tidak kondusif'… itulah akar dari stress dan depresinya saya kala itu.
Dan… singkat cerita kemudian perjalanan hidup membawa saya kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003. Yang sebenarnya membuat saya semakin tertekan pada awalnya, karena sejak awal merasa tidak cocok dengan karir yang menuntut banyak interaksi dengan orang lain.

Ya kan waktu itu milih jurusan Psikologi semata sebagai pilihan dari rumpun IPS karena saya memilih mengambil jalur IPC dengan alasan peluang masuk lebih tinggi karena pilihannya tiga kan. Yah, kalo dipikir pelajaran IPS aja antipati banget jaman dulu, sebenarnya meski pilihan lebih banyak juga kan… Tapi, ya mungkin jalan nasib tadi, kok ya malah keterimanya di jurusan itu…

Dan singkat cerita yang sebenarnya berdarah-darah… hal di luar rencana itu akhirnya mempertemukan saya dengan banyak ilmu, kesempatan, dan orang-orang untuk mengenal diri saya lebih dalam… berdamai dengannya dan menjadi pribadi yang lebih sehat. Disitu kemudian terbersit keinginan saya untuk meneruskan kebaikan Tuhan itu pada orang lain yang mungkin tidak memiliki kesempatan seperti saya. 
Saya ingin meneruskan insight yang saya dapatkan pada orang-orang di sekitar yang tidak punya kesempatan itu. 
Kemudian… proyek ini pun terealisasi pertama kali pada tahun 2015 saat saya mendapat kesempatan mengisi acara arisan istri karyawan suami. And it's been a while… sejak kali pertama itu dan niatan saya tersimpan menjadi harapan karena tidak memiliki waktu untuk merealisasikannya kembali. Hingga akhirnya selepas resign pada Agustus 2019 lalu, kesempatan itu hadir kembali.

Sebenarnya rencana untuk mengisi acara pertemuan orang-tua di sebuah PAUD STAR CSR dari PT PLN (Persero) UPK Tarahan ini adalah wacana lama. Tapi, karena kesibukan kemudian mengalami delay panjang hingga kurang lebih 4 tahun.

Baca juga:

Ga ada kata terlambat kan ya… jadi meski ter-delay sekian lama, sungguh tidak mengurangi rasa syukur saya akhirnya bisa kembali berbagi pada banyak orang-tua dengan harapan mereka mampu memberikan lingkungan yang lebih kondusif untuk perkembangan anaknya.

Singkat cerita, saya berharap anak-anak ini tidak perlu mengalami kondisi seperti yang saya alami…

Mini Parenting Seminar di PAUD STAR

Setelah malamnya begadang nyiapin booklet untuk seminar, pagi jadi lumayan berat. Udah bangun pagi masih ngantuk, eh persiapan juga jadi ga smooth karena efek sambel hari sebelumnya yang membuat bolak-balik ke kamar mandi. Saya pun terlambat datang ke acara sekitar 15 menit, yang untungnya sih disiasati dengan menukar rapat wali murid di depan sebelum acara saya. Syippp…


Dan, karena udah telat… ya udah ga pake ba-bi-bu begitu masuk, pembawa acara langsung mempersilakan saya memulai sharing. Wokee… siapp…

Begitu materi diberikan, saya pun meminta para peserta mengisi kuesioner yang ada untuk mendapatkan gambaran kepribadian mereka. Sengaja ga pake teori-teori yang ribet, saya pakai aja teori yang sebenarnya kurang populer bernama The Color Code, yang menurut saya mirip-mirip dengan Personality Plus. Baik dari strukturnya yang membagi kepribadian menjadi empat golongan dan juga kesederhanaannya untuk dipahami.



Selanjutnya, kami membahas masing-masing tipe kepribadian, meliputi karakteristik dan juga bagaimana cara yang tepat untuk memperlakukan mereka… The dos and the donts… Dan secara khusus bagi anak-anak, bagaimana perlakuan yang tidak tepat akan membuatnya tidak dapat berkembang dengan optimal secara psikis dan juga mengembangkan potensinya.

Dan yang menyenangkan itu, bagaimana antusiasnya peserta yang kebetulan semua ibu-ibu ini dalam sesi diskusi dan sharing. Bagaimana mereka menanggapi penjelasan saya, dengan bersemangat berceletuk karena merasa sesuai dengan kondisi yang sering mereka alami, sampai bertanya mengenai permasalahan-permasalahan mereka.

Bagi saya, ini benar-benar membahagiakan… Saya mungkin bukan seorang expert, namun bagi mereka yang mungkin tidak memiliki akses untuk mendapatkan informasi terkait psikologi dan berdiskusi langsung, dari antusiasme mereka, saya tahu apa yang saya berikan insyaallah bermanfaat untuk mereka.

Sejak awal, saya resign saya pun pernah mengungkapkan pada suami kalau saya ingin kembali melanjutkan program charity seperti ini. Sebagaimana janji saya dulu sekali bahwa saya ingin meneruskan insight dan kebaikan yang saya terima kepada orang lain. Pada orang-orang yang mungkin tidak mendapatkan akses yang cukup luas untuk pengetahuan mengenai psikologi, terutama mengenai psikologi anak. Seperti halnya kedua orang-tua saya dulu, yang tidak menyadari keunikan kepribadian saya sehingga pada akhirnya tumbuh menjadi remaja yang kurang sehat secara psikologis.

Makanya, saya terharu sekali saat para pengajar di sana memberikan saya bingkisan padahal sejak awal sudah saya tegaskan bahwa ini gratis. Saya emang pengen kok dan merasa bahagia dengan membantu orang-orang yang membutuhkan. So, jika ada sekolah atau komunitas lain yang notabene tidak memiliki akses karena kendala biaya dan sebagainya memang membutuhkan informasi semacam ini, saya welcome sekali untuk diundang jika waktu memungkinkan.

Hihi, tuh sampai di bold ya… soalnya bagi saya ini memang adalah kebahagiaan tersendiri untuk bisa memberikan sesuatu pada masyarakat yang membutuhkan.


And at last… semoga apa yang saya sampaikan benar-benar membawa manfaat bagi ibu-ibu orang tua murid di PAUD STAR ya… Juga untuk anak-anak yang masih belia ini, semoga kemudian bisa mendapatkan ruang tumbuh yang lebih baik dan kondusif untuk mengembangkan potensi-potensi mereka. Amiiin.

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Sunday, July 21, 2019

Tips Lolos Wawancara Kerja

Throw back time, waktu saya baru lulus kuliah di tahun 2007 lalu... di Bulan Agustus, sejak dinyatakan lulus dari Fakultas Psikologi setelah masa kuliah empat tahun lamanya, belum terima ijazah pun saya sudah mulai gencar mencari pekerjaan.

Waktu itu, berbekal surat keterangan yudisium, saya mulai melamar ke berbagai perusahaan untuk segera menyudahi status 'pengangguran'. Status yang sangat berat ditanggung mengingat saya adalah anak pertama, ibu mencari nafkah sendiri sejak bapak jatuh stroke dua tahun sebelumnya, dan adik-adik pun masih duduk di bangku sekolah.

Kebayang kan rasanya... mau minta uang saku untuk keperluan melamar kerja aja berat rasanya karena status saya yang bukan lagi mahasiswa.

Waktu itu, paling lambat pukul 06:00 setiap Senin dan Kamis, saya sudah nongkrong di warnet (warung internet) demi menikmati tarif happy hours untuk mencari info lowongan pekerjaan. Juga Sabtu dan Minggu, tidak pernah absen beli koran Kompas untuk menelisik iklan lowongan pekerjaan yang janjian ketemuan disana.


And guess what? Hingga akhirnya diterima di PLN pada tahun 2008, saya sudah menjalani sepuluh kali wawancara kerja, mulai dari perusahaan BUMN maupun swasta yang cukup dikenal di Indonesia, yang kesepuluh-sepuluhnya gagal! Yes, PLN adalah wawancara kerja saya yang kesebelas, orang-tua sampai nasehatin saya supaya ke 'orang pinter' agar dibuka auranya, karena berpendapat saya ini ga kelihatan meyakinkan buat orang lain karena auranya tertutup. Yang memang benar sih mungkin, tapi saya kurang sreg saja dengan caranya...

OK, poin yang ingin saya garisbawahi disini adalah bahwa secara objektif, sesungguhnya saya cukup memiliki potensi, karena kenyataannya bisa lolos serangkaian penyaringan mulai dari seleksi administrasi, tes potensi akademik, Bahasa Inggris, dan sebagainya... tapi kenapa selalu gagal di wawancara... Apa yang salah?

Dan untungnya sih, karena waktu itu saya tidak mengikuti saran orang-tua untuk ke 'orang pinter' supaya dibuka auranya, sekarang saya bisa sedikit berbagi pada teman-teman tentang pengalaman saya. Hal-hal yang saya pelajari dan terapkan hingga akhirnya bisa lolos pada sesi wawancara di sebuah perusahaan BUMN di Indonesia ini. Yang mana, mungkin banyak orang semacam saya, yang merasa ini prestasi setelah berkali-kali (tepatnya sepuluh kali) gagal di sesi wawancara... 😅

Siapkan Diri secara Psikologis

Percaya diri itu harus! Nah, tapi bagaimana kalau kita sadar punya banyak kekurangan dibandingkan peserta wawancara lain? Ini nih masalah saya dulu...

Dulu, seusai lulus ujian skripsi, saya sempat curhat pada dosen penguji, "Bu, saya ini merasa belum siap untuk terjun ke dunia kerja... Saya merasa belum punya bekal pengalaman nyata di masyarakat, soalnya selama kuliah saya cuma kuliah saja, ga aktif di organisasi sama sekali..."

Well, aktif di organisasi selama kuliah itu jelas adalah sarana untuk mengembangkan kepribadian kita teman-teman, saya sadar sekali hal itu, tapi apa daya... saya yang dulu itu punya pergolakan psikologis sendiri hingga boro-boro aktif berorganisasi, berinteraksi dengan banyak orang saja sungguh menguras energi.

Aktif berorganisasi will a plus point, tapi jika kurang pun bukan akhir dari segalanya... Dan kenapa saya gagal dalam berbagai wawancara itu justru lebih karena terlalu fokus pada kekurangan saya. Ya kalau kita sendiri tidak percaya kita mampu, bagaimana kita bisa meyakinkan orang lain coba?

So, menyiapkan diri secara psikologis ini saya artikan sebagai kita memahami diri kita, segala kekurangan dan kelebihannya, menerimanya dan juga menghargainya...

Dalam kasus saya, kemudian alih-alih hanya fokus dengan kekurangan... kemudian saya pun menyadari bahwa saya pun memiliki banyak kelebihan disamping satu kekurangan tidak aktif berorganisasi. Saat itulah saya mulai bisa melihat diri dan pengalaman yang saya alami dan menghargainya. Termasuk soal pengalaman organisasi yang mungkin satu-satunya, yaitu semasa KKN...

Ya mohon maaf, emang nothing special sih dengan kegiatan KKN, semua mahasiswa kala itu ya harus KKN untuk lulus. Tapi, dalam KKN itu pun saya mendapatkan pengalaman yang luar biasa mengenai organisasi dan berhubungan dengan masyarakat. Jadi, salah besar jika saya merasa tidak tahu apa-apa soal dunia organisasi, ini cuma masalah cara pandang saja.

Nah, kalau kita sudah mengenal diri sendiri, bisa menghargai diri kita sendiri dan percaya diri, maka selanjutnya kita akan mampu menampilkan siapa diri kita yang sesungguhnya. Dan saya rasa, ini lah yang namanya membuka aura secara psikologis itu...

Siapkan Materi

Psikis sudah siap... selanjutnya, kita pun harus meyakinkan interviewer bahwa kita memiliki pengetahuan mengenai bidang yang kita apply, tantangan dan juga visi misi kita terkait hal itu.

Untuk itu, kita bisa mulai dengan membuka informasi perusahaan yang ada di websitenya, apa visi dan misi perusahaan, sejarahnya, dan informasi lainnya. Kemudian, juga mencari berita terkait perusahaan tersebut dan lebih spesifik terkait posisi yang kita lamar.

Kala itu, dengan background Psikologi, saya melamar posisi HR Officer... maka saya pun secara spesifik mencari tahu kebijakan SDM mereka, tantangan, perkembangan, dan sebagainya.

Semakin kita memahami seluk beluk organisasi, posisi yang kita lamar dan peran serta tantangannya untuk mencapai visi misi perusahaan, itu adalah nilai yang luar biasa plus. Ini tidak hanya akan menunjukkan kapasitas intelektual kita, tapi juga keinginan kita belajar dan juga kesungguhan kita.

Dan dalam kasus saya, kalau itu saya mendapatkan topik yang sangat kuat dengan mengetahui bahwa PLN telah menerapkan Manajemen SDM Berbasis Kompetensi sejak tahun 2004. Dan saat saya diwawancarai pada tahun 2008, itu masih adalah isu pengelolaan SDM yang hangat karena kenyataan bahwa implementasinya tidak lah mudah, mengingat cakupan perusahaan yang sangat luas dari Sabang hingga Merauke, dengan berbagai latar belakang pekerja dan juga adanya gap generation serta resistansi pada perubahan.

Penampilan

Soal penampilan ini bukan persoalan sulit, tapi tidak boleh dianggap enteng karena ya ini yang akan dilihat pertama kali oleh interviewer. Dan yap, disini pada awalnya saya sudah failed...

Wawancara pertama saya, itu benar-benar masih culun banget. Baru pegang surat keterangan yudisium, iseng-iseng lamar kerja yang ternyata proses seleksinya seharian gitu. Begitu lolos seleksi administrasi, lalu semacam tes potensi akademik dan lanjut ke wawancara.

Posisinya, saya tanpa ekspektasi sama sekali sih, tapi kok ndilalah di saat teman-teman sejurusan pada berguguran, saya masih lanjut sampai wawancara. Jadi, beneran tanpa persiapan, saya cuma pakai kaos dan celana jeans pun bukan jeans yang feminin gitu, tapi model gombrong. Ya sudahlah, bye-bye... Kemudian saya yakin bahwa dari situ saja saya sudah gagal merebut hati para interviewer, dan selanjutnya ya mereka sudah tidak terlalu berminat untuk mengeksplore kemampuan saya.

Dan hal ini pun berulang pada wawancara-wawancara setelahnya, yang mana saya kurang memperhatikan masalah penampilan, sampai dengan pada akhirnya bude saya menyadarkan saya, "Kamu ini kan ngelamarnya jadi pegawai kantoran... bajunya, dandanannya harus mencerminkan kerjaanmu dong..." dan kemudian mulai lah saya lebih memperhatikan perihal penampilan ini...

Intinya sih mengenai penampilan, kita harus berpakaian sopan, enak dilihat dan profesional... Dimana bagi saya ini berarti:

Jangan pake jeans, kaos oblong dan pakaian casual lainnya... Jangan terlalu menor, tapi juga jangan kelihatan pucat... Yes, pada saat wawancara kita harus terlihat profesional dan menarik secara tidak berlebihan.

Nah, kalau saya sih mendefinisikan paragraf di atas misalnya dengan memakai kemeja dengan celana panjang atau rok bahan yang tidak terlalu ketat tapi tidak terlalu longgar, dengan motif yang cukup simpel atau untuk amannya polos saja.

Lalu, untuk make up... yah, kalo saya sih karena ga bisa dandan, cukup pakai lipstik aja dengan warna bibir kala itu. Tapi, kalau teman-teman bisa dandan sih bisa lebih bagus dandan, asal tetap natural ya... sekali lagi, jangan menor...

Perhatikan Hal-Hal Teknis Lainnya

Hal-hal teknis yang saya maksud disini misalnya adalah bagaimana untuk datang tepat waktu, bagaimana mensiasati supaya tidak dalam kondisi lapar saat diwawancarai, jangan tidur terlalu malam supaya kondisi tubuh prima, dan sebagainya.

Berdoa dan Minta Doa Restu dari Orang-Tua

Last but not least, berdoa dan minta doa restu dari orang-tua itu adalah hal kunci yang tidak boleh ditinggalkan.

Ga perlu dijelasin panjang lebar lah ya...

Yang jelas hal ini selain berkaitan dengan hal spiritual, juga akan menimbulkan ketenangan batin bagi kita, seorang anak manusia.

Agak bingung deh jelasin part ini... Gitu deh pokoknya... Teman-teman sepakat lah ya kalo ini hal yang sangat-sangat penting...

***

Nah, kira-kira itu saja sih beberapa hal yang menurut saya penting diperhatikan dalam menghadapi sebuah wawancara kerja.

Yang paling sulit dan butuh proses sesungguhnya adalah mempersiapkan diri secara psikologis... Karena untuk mencapainya kita perlu menemukan insight itu sendiri dalam diri kita, no technical step seperti poin-poin lainnya.

Untuk beberapa orang sih tapinya ini bukan masalah sama sekali... Yes, tipe kepribadian dan juga pengalaman hidup sangat menentukan. Mereka dengan tipe kepribadian merah atau cholerics akan cenderung tidak bermasalah. Dan sebaliknya orang-orang dengan tipe kepribadian biru atau melancholy akan lebih rawan memiliki permasalahan ini.

Yeah, tebakan Anda benar... saya ini tipe melancholy yang cukup ekstrim, makanya perlu waktu untuk menyelesaikan permasalahan kepercayaan diri ini.

Tapi, jangan khawatir teman-teman, setiap kepribadian itu tidak ada yang baik atau buruk... it's just it... Mau kepribadian seperti apa, ya bisa juga sehat, bisa juga tidak sehat secara psikologis. Dalam perjalanan, bimbingan orang terdekat dan juga lingkungan akan membentuk pengalaman kita memandang hal tersebut. Namun, yang terpenting pada akhirnya tetap lah diri kita sendiri, saat kita tumbuh dewasa, bagaimana kita memandang diri dan lingkungan adalah tanggung-jawab kita sendiri.

Kurang lebih begitu...

Well, kok jadinya malah semi curhat ya... Maaf ya teman-teman... 😅

With Love,
Nian Astiningrum
-end- 

Monday, June 17, 2019

The Whole-Brain Child #3: Melatih Anak untuk Membuat Keputusan yang Baik

Whoa… akhirnya… meski lambat, saya bisa juga menyelesaikan bab tiga Buku 'The Whole-Brain Child' yang keren ini!

Boleh dong, sedikit berbangga diri pada komitmen saya sejauh ini… Karena jujur saja, kecuali novel dan artikel di internet yang secuil, membaca adalah sesuatu yang cukup effortfull bagi saya. Haha…


OK, back to this chapter sebelum bleber kemana-mana… Now let's get a little bit serious and talk about this book

***

Jadi, pada bab sebelumnya kita sudah membahas tentang integrasi antara otak kanan dan otak kiri, maka pada bab tiga ini kita akan membahas tentang integrasi antara otak bagian bawah dan otak bagian bawah… Yang dianalogikan sebagai upaya untuk membangun tangga penghubung otak bagian bawah dan otak bagian atas.
Otak bagian bawah meliputi batang otak dan area limbik (yang bertanggung-jawab pada fungsi dasar (seperti bernapas dan berkedip), pada rekasi dan impuls (seperti berkelahi atau berlari), dan untuk emosi yang kuat (seperti marah dan takut).
Yup, otak bagian bawah lebih bertugas meng-handle reaksi-reaksi spontan yang diperlukan cepat untuk menyelamatkan diri. Misalnya, lari pada saat liat ular. Jadi tanpa berpikir panjang, "Oh itu ular, bisa menggigit dan mengeluarkan racun, kita bisa sekarat dibuatnya, jadi harus lari nih!" Kalau kaya gini sih, mau lari jangan-jangan sudah terlambat.

Yess, tidak terbantahkan kalau peran otak bagian bawah ini begitu penting dalam mempertahankan kehidupan manusia. Akan tetapi, akan jadi beda ceritanya kalau settingnya juga berbeda… Coba bayangkan kejadian ini: Suatu hari seseorang tidak sengaja menyerempet mobil kita yang sedang parkir di pinggir jalan, terus langsung deh otak bagian bawah bereaksi dan kita langsung memukul orang itu… itu kan ga bener.

Dalam kasus seperti itu, sudah selayaknya kita berpikir panjang terlebih dahulu… Apakah kita yang salah karena parkir tidak pada tempatnya? Bisakah dibicarakan dan diselesaikan secara kekeluargaan? Atau bahkan memang harus dibawa ke jalur hukum jika tidak menemukan jalan keluar.

Nah, inilah fungsi dari otak bagian yang terdiri dari cerebral cortex dan komponen-komponen lainnya…
Otak bagian atas lebih berkembang dan canggih, sehingga bisa memberikan kita perspektif yang lebih lengkap. Otak bagian atas bertanggung-jawab dalam pengambilan keputusan dan perencanaan, pengendalian emosi dan tubuh, pemahaman diri, empati, serta moralitas.
Itu kenapa, kita perlu mengintegrasikan otak bagian bawah dan otak bagian atas… Terutama bagi anak-anak, karena disaat otak bagian bawah manusia telah berkembang dengan baik sejak lahir, maka otak bagian atas baru benar-benar matang pada pertengahan usia dua puluhan.

Karena itulah, bukan untuk tujuan supaya anak-anak mampu bersikap dewasa melebihi usianya, kita perlu melatih kemampuan otak bagian atas agar anak-anak mampu mengambil keputusan yang lebih baik.

Dalam keadaan bahaya, kita perlu bertindak sebelum berpikir… Namun, jika kondisi tidak mengancam jiwa, kita perlu berpikir sebelum mengambil keputusan…

Tantrum

Mengenai tantrum, sesungguhnya pun terdapat dua jenis; yaitu tantrum otak bagian bawah dan tantrum otak bagian atas.

Tantrum sebagai hasil pemrosesan otak bagian atas, berarti bahwa anak sepenuhnya menyadari apa yang dilakukannya. Tantrumnya memiliki tujuan tertentu, yaitu untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan untuk menghadapi tantrum semacam ini, kita harus tegas dan teguh pendirian untuk tidak memberikan apa yang diinginkannya.

Sementara, tantrum sebagai hasil pemrosesan otak bagian bawah, anak menjadi kecewa dan marah karena tidak mendapatkan hal yang diinginkannya. Ya, tipe tantrum ini sangat kuat muatan emosinya, karena itu respon yang menenangkan akan lebih efektif dan selanjutnya mengarahkan kepada pemahaman yang 'benar'.

Baca juga:

Dan selanjutnya, meneruskan tips dari chapter sebelumnya, berikut adalah beberapa hal yang bisa kita lakukan berkaitan dengan integrasi otak bagian bawah dan otak bagian atas:

#3: Membujuk, Jangan Membuat Marah

Maksudnya adalah dalam memberikan respon terhadap anak, kita jangan terpancing untuk membuat marah otak bagian bawah, tapi sebisa mungkin membujuk otak bagian atas.

Contoh respon yang disebut membuat marah otak bagian bawah: Pada saat anak kita bilang, "Mama, aku ga mau sekolah!" Kemudian kita jawab, "Kamu harus sekolah supaya pintar! Jangan mikir aneh-aneh deh!"

Contoh respon yang membujuk otak bagian atas: Pada saat anak kita berkata, "Mama, aku ga mau sekolah!" Kemudian kita jawab, "Kenapa? Apa Kakak capek ngerjain PR-nya? Kita bisa kok cari cara supaya ngerjain PR-nya ga terasa terlalu banyak…"

Pada contoh yang kedua, kita mengajak otak bagian atas anak untuk berdiskusi mengenai cara supaya sekolah tidak terasa melelahkan karena mengerjakan PR. Selanjutnya, dalam diskusi kita bisa mengajak anak untuk berpikir logis untuk menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya. Dimana hal ini akan secara langsung melatih ketrampilan penyelesaian masalah (problem solving) dan pengambilan keputusan (decision making).

#4: Melatih Kemampuan Otak Bagian Atas

Jadi, otak bagian atas itu seperti otot, yang semakin dilatih akan menjadi semakin berkembang, semakin kuat dan dapat berfungsi dengan baik. Dimana hal ini dibutuhkan untuk mengimbangi otak bagian bawah, dan krusial untuk kecerdasaan emosi dan sosial.

Berikut adalah beberapa ketrampilan otak bagian atas yang perlu kita latih…

Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan membutuhkan sesuatu yang disebut fungsi eksekutif, yang terjadi pada saat otak bagian atas menimbang beberapa opsi. Dan untuk melatih kemampuan ini, maka kita perlu memberikan berbagai opsi kepada anak sesuai dengan kapasitasnya.

Misalnya, saat anak masih pra-sekolah diberikan kesempatan untuk memilih akan memakai kaos kaki warna apa. Atau pada saat anak mulai beranjak besar, diberikan kesempatan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan pada situasi yang lebih kompleks. Seperti pada saat ulang-tahun temannya memiliki waktu yang bersamaan dengan jadwal pertandingan berenangnya.

Pada dasarnya, melatih kemampuan pengambilan keputusan ini adalah mengajarkan anak kita untuk bergulat dengan keputusannya dan menerima konsekuensi dari keputusan itu.

Mengendalikan Emosi dan Tubuh

Seringkali terjadi, pada saat anak kecewa, maka dia akan melakukan hal-hal fisik yang tidak baik; seperti memukul, menendang, dan sebagainya.

Untuk itu, kita perlu melatih anak untuk mengendalikan emosi dan tubuhnya, yaitu dengan mengajarkan anak untuk berpikir sejenak sebelum melakukan tindakan yang tidak baik. Misalnya dengan mengajarkan mereka untuk menarik napas panjang, atau memukul bantal pada saat merasa marah.

Pemahaman Diri

Salah satu cara untuk mendorong anak memahami dirinya lebih dalam adalah dengan menanyakan hal yang mereka pahami secara mendalam, seperti, "Kenapa Kakak memilih untuk pergi bertanding berenang daripada datang ke ulang-tahun Dio? Kenapa Kakak berpikir kalau tidak bisa mengerjakan soal final test tadi?" dan sebagainya.

Selanjutnya, pada saat anak telah lebih besar dan bisa menulis atau menggambar… Kita pun dapat memberikannya jurnal dan mendorongnya untuk membuat tulisan harian untuk meningkatkan kemampuannya memahami apa yang terjadi dalam dirinya.

Empati

Untuk membantu menumbuhkan empati pada anak, kita dapat melakukannya dengan mengajaknya berpikir dan berdiskusi mengenai hal-hal yang dialami atau dirasakan orang lain.

Misalnya, pada saat berada di pusat perbelanjaan dan melihat seorang anak menangis, "Menurut Kakak… kenapa anak tadi nangis?" Atau pada saat seorang temannya pindah sekolah, "Menurut Kakak, bagaimana perasaan Rena ya… harus pindah sekolah karena Papanya pindah tempat kerja?" dan sebagainya.

Moralitas

Moralitas merupakan muara dari ketiga atribut sebelumnya, yaitu pengambilan keputusan, pemahaman diri dan empati; yaitu perasaan bukan hanya mengenai benar dan salah, tapi juga sesuatu untuk hal yang lebih baik daripada kebutuhan pribadi mereka.

Dan untuk melatihnya, kita bisa melakukannya dengan mengajaknya berpikir mengenai suatu situasi. Misalnya, "Menurut Kakak, pada saat sebuah mobil menerobos lampu merah karena sedang membawa orang sakit itu boleh atau enggak?" dan sebagainya.

Serta tentu saja, kita pun sebagai orang-tua perlu menjadi model bagi anak-anak kita untuk mengajarkan kebaikan, kejujuran, sikap dermawan, dan bagaimana menghormati orang lain.

#5: Menggerakkan Tubuh untuk Meningkatkan Kendali Pikiran

Nah, membaca bagian ini… saya jadi teringat waktunya lagi males mau ngapa-ngapain padahal kerjaan lagi numpuk, dan solusinya itu kadang adalah jalan-jalan bentar, ngulet (menggeliat) dan sejenisnya. Yang somehow itu bisa memecah rasa malas dan lebih bersemangat melakukan hal yang harus dilakukan.

Dan ternyata… yes, teman-teman…
Gerakan tubuh akan mempengaruhi kimia pada otak dan bisa membantu menghubungkan antara otak bagian bawah dan otak bagian atas.
Hal ini senada dengan penelitian yang menyebutkan bahwa pada saat kita merubah kondisi fisik kita (misalnya melalui gerakan atau relaksasi), maka kondisi emosional kita pun akan berubah.

Jadi, pada saat anak perlu menenangkan atau mengendalikan dirinya, kita dapat membantunya dengan mengajaknya bergerak. Misalnya pada saat anak lesu harus mengerjakan PR-nya, kita bisa mengajaknya untuk bermain lompat-lompat dengan lagu 'If You're Happy and You're Know It…' atau bahkan tepuk tangan, perang jempol dan apa saja lah disesuaikan dengan karakter dan kebiasaan anak. Ga ada pagunya, just be creative

***

Yup, itulah intisari dari chapter tiga Buku 'The Whole-Brain Child' ini yang bisa saya tangkap…

Setelah saya membaca pembahasan empat bagian otak (otak kiri, otak kanan, otak bagian atas dan otak bagian bawah), somehow saya jadi berpikir, bahwa kita harus lebih peka dengan perilaku yang anak kita lakukan untuk dapat memberikan respon yang tepat.

Di chapter dua ini, kita misalnya mengenai tantrum saja, kita perlu menganalisa latar belakang perilaku itu. Dan untuk itu, maka kita perlu selalu mengamati untuk mengenali anak kita. Caranya, tentu saja dengan memanfaatkan waktu bersamanya semaksimal mungkin, banyak mengajaknya mengobrol, mencari tahu perilakunya di sekolah, dan banyak lagi. Itu semua adalah modal kita untuk kemudian menganalisa perilaku anak dan mampu memberikan respon yang tepat.

Seru ya teman-teman… Jujur, saya ga sabar meneruskan membaca chapter empat dan membaginya dengan teman-teman semua. Yang tentunya, sebenarnya dalam rangka saya belajar juga sih, hihi…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Friday, May 31, 2019

Traumatisnya Tembakau bagi Saya

Rokok atau tembakau mungkin adalah hal yang sangat biasa kita temui di Indonesia… Pada saat berbelanja di minimarket, deretan rokok yang dipajang rapi ada di hadapan kita saat membayar di kasir, bahkan dengan gambar-gambar mengerikan yang sudah menghiasi kemasannya sejak beberapa tahun lalu…

Karenanya pula, dampak rokok bagi kesehatan bukan lagi rahasia, jadi silakan googling aja kalau mau tau bahayanya rokok bagi kesehatan. Atau, cukup nongkrong di depan kasir minimarket, udah keliatan kok… Saking biasanya, mungkin orang menganggap semua itu sepele saja…


But no! Saya tidak pernah menganggap rokok sesepele itu… Bahkan bagi saya, dia adalah satu karakteristik yang krusial dalam menentukan pasangan hidup di masa lajang saya. 

Yup, saya benci rokok! Dan saya tidak ingin suami saya adalah perokok! Sounds judgmental sekali ya… Tapi ya ini adalah perasaan pribadi saya… Toh saya juga tidak memaksa kok, dan saya pun tahu tidak bisa memaksa seseorang berhenti merokok, karena itulah, daripada saya makan hati seumur hidup hidup bersama perokok, ya sudah lah ya… better I'm looking for someone who's not

***

Kenapa sih saya benci rokok?

Baik… sejak kecil, sesungguhnya saya sudah cukup akrab dengan yang namanya rokok, bapak saya seorang perokok berat. Tidak jarang bahkan beliau menyuruh saya ke warung membeli rokok. Sampai sekarang, saya masih ingat betul kok rokok favoritnya, tapi ga usah disebutin lah ya… 

Ya, sejak kecil saya biasa melihat bapak saya atau pun orang di sekitar saya merokok… Saya kecil kala itu, ya tidak tahu apa sih sebenarnya rokok itu? Sampai akhirnya saya beranjak remaja dan merasa bahwa rokok itu adalah benda jahat yang mengukuhkan arogansi dan keegoisan seseorang yang saya kenal. Ya siapa lagi kalau bukan Bapak saya…

Tapi, ini bukan berarti saya benci dengan bapak saya ya… kami memiliki hubungan baik kok… meskipun benda bernama rokok itu tetap meninggalkan jejak di hati saya…

OK, sepertinya cerita selanjutnya akan jadi melankolis ya…

Rokok dan Adiksi

Beberapa orang mungkin berdalih bahwa rokok itu tidak menimbulkan ketergantungan sebagaimana zat-zat psikotropika, namun harus tetap diakui bahwa berhenti merokok itu adalah hal yang sangat sulit dilakukan.

Keluarga kami bukan lah keluarga berada dan saya happy-happy saja sih dengan segala keterbatasan itu… Bahkan saya bangga tuh tidak kalah berprestasi dengan teman-teman lainnya yang notabene memiliki kelonggaran finansial lebih dari saya. Saya juga sangat bangga dengan ibu saya yang jualan di pasar dan bapak saya yang pinter banget ngebengkelnya…

Tapi, saya tidak suka bagaimana bapak tetap merokok meskipun dengan segala keterbatasan kami… Bahkan dengan arogannya berkata, supaya saya tidak usah mengurusi kebiasaannya merokok. Sakit lho rasanya…

Bayangkan kata-kata seperti itu diucapkan pada anak yang baru duduk di akhir bangku SD dan berlanjut hingga SMP, SMA dan seterusnya. Masa-masa dimana anak sudah mulai bisa berpikir tentang baik, buruk dan moralitas… Dari saat itulah saya berpendapat bahwa rokok itu jahat! Karena demi dia, seorang kepala keluarga terkadang memangkas kebutuhan keluarganya yang lebih penting. Bukan sekedar kebutuhan finansial, tapi juga kebutuhan akan perhatian, merasa dihargai dan disayangi…

Rokok dan Stroke

Tahun 2005 bapak saya terserang stroke! Saat itu, saya masih kuliah di semester lima… benar-benar di tengah masa kuliah saya. Dan segalanya berubah menjadi lebih berat lagi sejak saat itu… bukan hanya karena permasalahan finansial, tapi juga psikologis.

Kondisi bapak yang lumpuh pada tubuh bagian kiri praktis membuatnya tidak mampu bekerja membantu memenuhi kebutuhan kami. Beruntung kami masih memiliki keluarga besar yang turut meringnkan beban kami, namun besarnya biaya berobat bapak, biaya sekolah kami bertiga, dan biaya sehari-hari; semua tetap terasa berat di pundak Ibu seorang diri.

Belum lagi kondisi psikis bapak yang menjadi jauh lebih temperamental akibat gangguan pada otaknya. bapak saya yang dulu sudah cukup keras kepala dan pemarah, karena stroke yang pada otak kanannya membuatnya berlipat lebih temperamental. Kami anak-anaknya dan juga Ibu tentu saja seringkali menjadi sasaran amarahnya dan juga kesedihannya.

Di satu sisi, saya begitu iba pada bapak yang kemudian tidak mampu melakukan begitu banyak hal secara mandiri dan harus tergantung pada orang lain. Namun, itu tidak menghilangkan marahnya hati saya saat kemudian menjadi sasaran temperamen bapak dan harus memaksa diri saya sendiri untuk mengalah.

Itu adalah situasi yang sangat berat bagi kami semua… Dan dari segala kebiasaan hidup tidak sehat  yang bapak jalani, saya semakin benci dengan benda bernama rokok!

Saya tidak akan bilang bahwa rokok adalah satu-satunya penyebab bapak mengalami stroke, karena bapak pun memiliki kebiasaan makan yang kurang sehat. Tapi, sepanjang pengetahuan saya dari berbagai literatur dan penelitian yang saya baca, kebiasaan merokok adalah satu hal yang akan meningkatkan risiko kejadian stroke.

Jadi, tidak salah bukan, jika kemudian saya sebegitu bencinya dengan rokok? Apalagi melihat kenyataan bahwa bahkan setelah mengalami stroke pun, beberapa tahun kemudian bapak masih kembali kepada rokok, meski dengan intensitas yang jauh berkurang.

Rokok itu jahat! Jangan mendebat itu dengan saya…

***

Yah, begitulah cerita saya teman-teman… Setelah semua pengalaman saya, rokok itu begitu identik dengan sikap egois, mau menang sendiri dan arogan.

Egois dan mau menang sendiri, karena demi rokok tidak jarang penikmatnya menomorduakan kebutuhan yang lebih utama dan penting dalam keluarganya. Padahal, rokok sendiri sesungguhnya bukanlah kebutuhan hidup…

Serta arogan, karena meskipun dengan berbagai fakta dan hasil penelitian yang menunjukkan bahaya rokok bagi kesehatan, penikmatnya masih menantang kenyataan itu. Dengan berkata, "Ah, yang merokok umurnya panjang juga banyak…" Padahal, oh man, ini bukan masalah umur panjang, tapi kualitas kesehatan kita yang tidak bisa selalu dibandingkan satu sama lain. Jika pun ingin membandingkan, bandingkan kesehatan kita sebagai perokok dan tanpa rokok, bandingkan diri kita sendiri, ga usah  cari pembenaran dari seupil kejadian langka diantara lautan fakta.

Bagi saya, memilih untuk menjadi perokok adalah keputusan yang kurang smart… karena sama dengan mengumpankan diri kepada monster jahat. Rokok akan membelenggumu, meskipun tidak sekuat narkoba. Dia akan membuatmu kesulitan untuk lepas, meskipun dihadapkan dengan berbagai kondisi yang tidak mendukung lagi, baik secara finansial atau secara kesehatan.

Jadi, jika kamu bukan perokok, better never try lah…

Dan jika kamu adalah perokok, please lihat orang-orang yang kamu cintai, jangan sampai mereka merasa dinomorduakan, diperlakukan egois, dipaksa mengerti sesuatu yang salah… hanya karena rokok…

Kadang saya menangis sambil menulis diari masa kecil saya dalam kondisi itu. Dan lebih buruk saat merasa bahwa dia (rokok) adalah penyebab bapak saya jatuh stroke, sehingga memperberat kehidupan kami, baik dari sisi finansial maupun psikologis. Tidak salah bukan jika hati saya jadi sekeras ini mengenai rokok…

Dan percayalah, kalian tidak ingin orang-orang yang kalian cintai merasakan apa yang saya rasakan…

Jadi, dengarkan lah pada saat mereka mengeluh atau menasehati tentang kebiasaan merokokmu… Singkirkan jauh-jauh, perasaan bahwa apa yang mereka bicarakan hanyalah omong kosong yang sudah kamu ketahui semuanya. Bukan, bukan tentang itu… Mungkin mereka bukan hanya sekedar memberitahumu, tapi mereka sedang mencari kasih-sayangmu untuk mereka…

Kamu mencintai mereka bukan?

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Wednesday, May 29, 2019

Mengatasi Anak yang Takut ke Dokter Gigi

Teman-teman ada yang anaknya takut ke dokter gigi? Kalau iya, samaan kita…

Sungguh, ke dokter gigi itu bagaikan sinetron yang bikin gemes ending-nya. Anaknya sih seneng-seneng aja diajak ke dokter gigi, pas disuruh duduk di meja tindakan juga masih OK. Tapi, begitu disuruh mangap, dioles anastesi dan dokter pegang tang untuk mengambil giginya… mulai lah Ganesh nanya macem-macem begini begitu dalam rangka membuat dokter menunda mencabut giginya.


Asli gemes kalau udah kaya gini! Beberapa kali saya sampai memilih membawa Ganesh keluar dari ruang praktek dulu untuk membujuknya, supaya tidak menghambat antrian…

Sebenarnya kenapa Ganesh jadi susah dieksekusi masalah gigi ini juga ada andil kesalahan kami sih… Jadi, dulu pada saat giginya pertama kali goyang, kami mengajaknya ke dokter gigi yang sedikit kurang friendly gitu deh… juga kok kayaknya wejangannya menyesatkan kami. Jadi, waktu itu, sang dokter bilang kalau gigi anak ya memang kalau sudah saatnya walaupun belum goyang harus dicabut biar giginya rapi. Well, ini membuat kami sedikit obsessed dan buru-buru mengajak Ganesh ke dokter gigi begitu giginya goyang sedikit…

Padahal, kemudian pada saat kami pindah dokter gigi, sang dokter tidak menyarankan mencabut gigi anak yang baru goyang sedikit, karena takut trauma… Terus, saya setuju dengan pendapatnya, dan lumayan nyesel sih kenapa dulu anak Ganesh ke dokter gigi itu.

Di dokter gigi lama itu, memang Ganesh sempat mengalami insiden yang membuatnya (mungkin) trauma.

Jadi, waktu itu, Ganesh mau cabut gigi di dokter lama ini… Bukan yang pertama sebenarnya, tapi hari itu mendadak dia ga mau pas sudah di meja tindakan. Nah, kok ya kami ga sabar dan pulang dulu saja, tapi malah tetap mencabut giginya. Alhasil tangan sang dokter digigit…

Sejak itulah, drama maju mundur di meja tindakan terjadi dan berulang sampai beberapa kali…

Ya akhirnya anaknya tetap dicabut juga sih… tapi effort-nya itu lho… Sampai beberapa kali keluar masuk ruang praktek karena pas mau dicabut, anaknya ada aja alasannya untuk ga dicabut. Bahkan yang terakhir, saking lamanya akhirnya keluar juga gratifikasi berupa janji mau beliin mainan kalau mau dicabut gigi. Juga ancaman, kalo ga mau juga dicabut giginya, nanti akan ditinggal pulang…

Yes, dua yang terakhir sangat tidak mendidik saya akui… tapi, kondisi terjepit… udah hampir satu jam di dokter gigi anaknya masih aja maju mundur dan jika pun mau pulang dan kembali lagi lain hari, takutnya malahan anaknya semakin menjadi, berpikir kalo dia bisa menunda sampai hari beriutnya. Jadi, ya sudahlah…

Hingga akhirnya, Selasa kemarin kami sukses mengakhiri drama yang menguras kesabaran itu… Tanpa drama sama sekali, anaknya akhirnya duduk di meja tindakan dan membiarkan giginya dieksekusi begitu saja.

Ya, tetep sih, dia sempat menjerit kesakitan pada saat giginya diambil… Pun pada saat diambil, tangannya ikut memegangi tangan sang dokter, tapi tidak menghalangi. Doesn't matter lah ya…

Penasaran kok bisa begitu? Begini ceritanya…

#1: Empati, kemudian menjelaskan mengapa harus, bagaimana caranya, dan siapa yang akan mencabut giginya

Pada saat anak-sanak mengalami emosi tertentu, dalam hal ini ketakutan, empati adalah kunci untuk dapat membuatnya lebih tenang, mengendalikan emosinya, dan kemudian lebih siap untuk berpikir rasional.

So, proses ini dimulai dengan

"Anesh, Mama tau Anesh takut… Mama dulu juga takut sih pas pertama cabut gigi. Tapi, meskipun takut, ya itu harus dilakukan… Kalo giginya ga dicabut, gigi kita jadi ada dua lho… Apa enak punya gigi dua? Udah gitu kalo giginya ga rapi kaya gitu, kotoran susah diilangin dan jadinya gampang berlubang lho Kak… Jadi, walaupun Anesh takut, ya tetap harus kita cabut…"

"Lagian, itu sakitnya ga banget lho Kak… Cuma sedikit aja, karena kan Tante Dokter pake gel yang diolesin ke gusi Kakak dan bikin saraf Kakak bobok sebentar…"

"Nanti Tante Dokter itu pake tang cabutnya, jadi ga meleset-meleset tangannya dan cepet cabutnya… Paling sakitnya satu detik aja…"

"Anesh tau enggak? Tante Dokter itu udah sekolah lama banget biar bisa jadi dokter gigi lho… Dia udah diajarin gimana caranya cabut gigi yang ga sakit, arahnya harus kemana, pake alat apa… banyak… Makanya, Anesh percaya ya sama Tante Dokter…"

#2: Mengulang-ulang prosesi mencabut gigi di dokter gigi sesering mungkin, juga maksud dan tujuan dari mencabut gigi

Selama seminggu menunggu waktu mencabut gigi berikutnya yang sudah mulai goyang, setiap hari saya selalu mengajak Ganesh membayangkan prosesi mencabut gigi yang dihadapinya selama ini…

"Anesh, ayo kita bayangin gimana sih kalo ke Tante Dokter mau cabut gigi itu… biar Anesh tau banget apa yang Anesh takutin itu…"

"Pertama Anesh, kita dateng tuh ke rumah sakit, terus daftar sama tante di bawah… Habis itu, kita naik ke atas, terus Anesh ditimbang sama diukur badannya. Habis itu, kita disuruh nunggu lagi sampe giliran kita."

"Terus, kita nunggu… Tante Dokternya dateng deh, terus kita dipanggil, "Anak Ganesha…" Terus kita masuk ke ruangan tante dokter…"

"Kita duduk di kursi depan tante dokter… baunya coba diinget-inget Nesh, kan Anesh katanya ga suka baunya ruangan tante dokter ya…"

"Habis itu, tante dokter nanya, "Kenapa Anesh?" Terus Anesh jawab, "Mau cabut gigi tante…" Terus Anesh disuruh duduk di kursi buat cabut gigi deh…"

""Buka mulutnya Nesh…" katanya Tante Dokter. Terus Anesh diolesin gel yang bikin ga sakit pas dicabut giginya… Habis itu, Tante Dokternya ngeliatin tangnya yang buat cabut gigi Anesh, terus ditempelin di gigi Anesh, terus nanya, "Sakit enggak Nesh?" Terus Anesh jawab, "Egghaak… soalnya Anesh kan jawabnya sambil mangap…" *Kasih joke dikit biar anaknya ketawa

"Terus, Tante Dokter nanya, "Giginya Tante ambil ya…" 

"Nah, udah Anesh bayangin kan… bagian mana nih yang bikin Anesh takut?"

Iya, sedetail itu… setiap hari… bahkan sehari bisa lebih dari sekali… untuk membantu Ganesh memvisualisasikan ketakutannya dengan sedetail mungkin. Yang tak lain semua ini bertujuan untuk mengidentifikasikan emosinya, sehingga kemudian akan membuatnya lebih mudah meng-handle emosinya tersebut.

Baca juga: 

Di sela-sela sesi visualisasi ini, juga saya menyisipkan alasan dari beberapa hal. Misalnya, pada saat dia bilang baunya ruangan dokter gigi yang membuatnya takut, kemudian saya jelaskan, "Anesh, jadi alat-alatnya Tante Dokter itu kan perlu diilangin kumannya, jadi dia pakai cairan khusus untuk nyeterilin alat-alatnya itu… nah inilah yg bikin baunya kaya gitu. Juga obat pelnya lho Kak, itu beda anti kuman…"

#3: Membuat perjanjian mengenai konsekuensi jika masih berlama-lama cabut giginya

Yak, selain poin satu dan dua, mendekati hari H, saya pun membuat kesepakatan dengan Ganesh seperti ini, "Kakak, besok Mama ga mau lagi ya Kakak lama-lama cabut giginya… Kalau besok lama, Mama ga mau anterin lagi… Anesh sama Papa aja cabut giginya!"

Hwahaha… saya galak banget ya… Tapi, ini ada tujuannya…

Jadi, si Ganesh ini anaknya tipe yang suka nawar… jadi selama masih dia tawar, ya dia akan nawar sampai dapat mendekati yang dia mau. So, I just need to make it clear kalau dia ga bisa nawar dalam hal ini. Dia harus segera mencabut giginya begitu kami memutuskan ke dokter gigi. Titik. Tidak ada tawar menawar lagi.

***

Daaan… tada… alhamdulillah… eksekusi gigi Ganesh kemudian benar-benar tanpa drama. Wow!

Jadi, hari itu di jalan pun saya ulang lagi memvisualisasikan prosesi pencabutan giginya pada poin dua. Lalu bertanya, "Bagian mana yang Anesh takut? Kira-kira Anesh berani enggak?" Dan dia menjawab, "Anesh enggak takut…"

Lalu saya ingatkan juga tentang kesepakatan pada poin tiga… dan saya tekankan bahwa tidak ada tawar-menawar setelah kesepakatan. Jadi, jika dia hari itu pake acara drama lagi cabut giginya, dipastikan kalau saya tidak akan mengantarnya lagi ke dokter gigi.

Daan… tumben, begitu duduk di meja tindakan, semua berjalan lancar… Diminta buka mulut, ya buka mulut… Diolesin gel anastesi ya anteng aja… Begitu waktunya cabut gigi juga ga ada apa-apa, cuma dia ikut pegangin tangan dokter giginya, terus "Aaak…" tau-tau giginya sudah dicabut gitu aja…

Asliii… kaya menang lomba blog aja rasanya, seneng banget…

Anaknya juga super happy berhasil mencabut giginya tanpa drama, sepanjang jalan dia tak henti-henti bercerita tentang kemenangannya. "Mama, I'm so proud of my self," katanya… dilanjutkan dengan, "Mama, do you proud of me?"

"Ooh Anesh, yes! Tentu saja yesss…" Tuh 'S' nya sampe banyak banget saking bangganya… "You do great!"

Lalu dia bilang lagi, "Mama, kapan Anesh cabut gigi lagi? Anesh pengen liatin Papa kalau Anesh udah berani…" Hahaha… Anesh… Anesh…

***

Iya… gitu deh ceritanya kami mengakhiri drama maju mundur waktu cabut gigi… Semoga habis ini, beneran ga ada drama lagi ya… Dan semoga juga cerita ini bisa bermanfaat untuk teman-teman semua ya… Amiin…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-