SOCIAL MEDIA

search

Thursday, August 20, 2020

The Whole Brain #6: Mengajarkan Empati Pada Anak

Yeay! Finally kita sampai pada penghujung review buku The Whole-Brain Child yang fenomenal itu. Well, di bukunya ini bukan chapter terakhir, tapi chapter terakhir cuma konklusi, so kayaknya kita skip saja dan move to the next project setelah ini.

Setelah banyak membahas tentang memahami diri sendiri (mengintegrasikan berbagai fungsi otak kita), di chapter 6 ini, buku ini membahas tentang bagaimana kita berhubungan dengan dunia luar. Yes, memahami diri kita sendiri adalah hal yang penting untuk menjadi individu yang optimal secara mental; tapi membangun hubungan yang baik dengan orang lain adalah hal yang tidak kalah penting.

Tentu kita tidak ingin anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri kan? Tentu kita ingin anak-anak kita menjadi individu yang empatik dan mampu bersikap baik pada orang dan lingkungan sekitarnya. Dan hal ini bukan lah hal yang otomatis akan dikuasai anak, tapi dipengaruhi juga oleh lingkungan dan pengasuhan.

Yes, saat seorang anak lahir, dia siap untuk menerima pengalaman-pengalaman yang membentuk karakternya bersama dengan materi genetis yang dibawanya sejak proses konsepsi. Itu mengapa anak-anak pada dasarnya memiliki (kecenderungan) karakter bawaan. Ada yang sangat sosial, ada pula yang sulit bersosialisasi, sehingga tujuan pengasuhan sesungguhnya adalah mengoptimalkan potensi anak-anak serta mendidik mereka menjadi manusia yang adaptif.

***

Egosentrisme adalah hal yang wajar pada anak-anak, meski levelnya pun berbeda-beda. Ada anak yang memiliki empati yang sangat besar sejak dini, namun ada pula yang secara sosial dinilai cukup egois karena terlalu berpusat pada kepentingan dirinya. Dan dengan menyadari adanya pengaruh genetis dan juga kematangan usia, tentu tujuan kita bukan membuat anak-anak ini mampu bersikap empatik selayaknya orang dewasa, namun mendidik mereka supaya dapat mengoptimalkan ketrampilan ini untuk dapat menjalani kehidupan yang bahagia nantinya.

Berikut adalah tips dari buku The Whole-Brain Child untuk mengasah ketrampilan anak untuk bersikap empatik:

#11: Menciptakan Suasana dalam Keluarga yang Menyenangkan

Bercanda dan bermain bersama adalah hal yang penting dalam menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak-anak. Sehingga akan sangat bermanfaat jika disamping sibuk mendisiplinkan anak, kita juga meluangkan waktu untuk bermain dan bercanda bersama mereka.

Semakin menyenangkan suasana rumah (keluarga), maka anak akan melihat hubungan dengan orang lain sebagai sesuatu yang positif.

Kegiatan yang menyenangkan bersama keluarga akan mengajarkan pada anak bahwa hubungan adalah sesuatu yang saling menghargai, memberi dan memenuhi kebutuhan satu sama lain (saling melengkapi). Sehingga, anak akan lebih terbuka dan berani mengambil risiko dalam menjalin hubungan dengan orang lain. **Yes, 'mengambil risiko' karena saat menjalin hubungan yang empatik tentu melibatkan sikap mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan orang lain**

Sebaliknya, jika suasana rumah tidak menyenangkan, maka anak akan cenderung melihat hubungan dengan orang lain sebagai sesuatu yang negatif; sehingga akan menghindar secara fisik atau psikis, maupun kemudian bersikap egois dan tidak memikirkan kepentingan dan perasaan orang lain.

#12: Mengajarkan Anak Memaknai Konflik

Konflik adalah hal yang tidak bisa dihindari dalam sebuah hubungan, maka dari itu, kita perlu mengajarkan anak ketrampilan untuk mengelola konflik secara sehat dan produktif.

✿ Bantu anak menyadari sudut pandang orang lain

Hal ini sangat penting supaya anak dapat melihat alasan seseorang melakukan sesuatu yang (mungkin) tidak disukainya dari sudut pandang orang lain. Caranya adalah dengan mengajak anak berbicara dan membantunya mendapatkan insight tentang hal tersebut. Tekniknya tentu dengan connect dan redirect, berempati terlebih dahulu akan apa yang dialami anak, baru kemudian memberikan penjelasan yang realistis tentang kejadian tersebut.

Misalnya, pada suatu hari seorang anak mengadukan temannya yang menyebutnya 'bodoh' dan terjadilah pembicaraan di bawah ini dengan ibunya:

Anak: "Mama! Masa Tio ngomongin aku bodoh!"

Mama: "Menurut Kakak, kenapa Tio ngomong seperti itu?"

Anak: "Kayaknya karena aku becanda kalo gambar buatannya jelek sih Mama..."

Mama: "Apa itu lukisan yang Tio buat berhari-hari untuk lomba itu ya? Mungkin karena itu, Tio jadi marah banget..."

✿ Mengajarkan anak mengenai bahasa non-verbal

Hal ini penting, supaya anak bisa ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain dengan melihat bahasa tubuhnya. Karena bukankah seringkali kita menyembunyikan perasaan tidak nyaman kita dari orang lain? Sehingga kemampuan untuk mengenali bahasa non-verbal ini sangat penting supaya anak mampu berempati pada perasaan orang lain, meskipun orang tersebut tidak menyampaikannya secara verbal.

Hal ini dapat dilakukan dengan memaknai kejadian sehari-hari. Misalnya pada suatu hari anak berhasil menjadi juara dalam pertandingan bola, kemudian kita ajak anak untuk berpikir, bahwa mungkin temannya yang berada di tim lain sedang merasa sedih karena kalah, meskipun mereka bilang bahwa mereka tidak sedih.

Kita bisa menjelaskannya dari bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang mungkin ditunjukkan seperti pundak yang merendah, wajah yang menunduk dan bibir yang datar.

✿ Mengajarkan anak menghadapi konflik

Sebagai langkah pertama, kita ajarkan mengenai meminta maaf dan menyampaikan penyesalan jika melakukan tindakan yang membuat orang lain merasa sedih. Dan menyadarkannya bahwa meminta maaf hanyalah awal, selanjutnya mungkin kita perlu melakukan tindakan seperti, mengganti, memperbaiki, atau membantu membangun sesuatu yang rusak.

***

Nah, di akhir chapter ini dijelaskan juga peran orang-tua dalam memberikan contoh pada anak mengenai membangun hubungan yang baik.

Bagaimana pun juga referensi pertama anak akan hubungan dengan orang lain adalah melalui bagaimana orang-tua memperlakukan mereka. Apakah orang-tua bersikap hangat, menerima, lembut, atau bahkan galak dan sering menyalahkan.

Sementara kita sebagai orang-tua pun tidak lepas dari pengasuhan yang kita alami di masa kecil dahulu, kita adalah produk dari bagaimana orang-tua kita memperlakukan kita. Sehingga seringkali hal ini bagaikan mata rantai yang saling berkaitan; bagaimana orang-tua memperlakukan kita adalah bagaimana kita memperlakukan anak kita, dan juga bagaimana anak kita akan memperlakukan anaknya nantinya.

So, tidak ada kata lain, selain kita harus memutus rantai tersebut...

Caranya adalah dengan menyadari sepenuhnya apa yang terjadi pada kita di masa lalu, menyadari bahwa hal tersebut sangat mungkin mempengaruhi sikap kita pada anak, menyadari bahwa anak akan terpengaruh dengan sikap kita, dan selanjutnya dengan kesadaran penuh berusaha untuk tidak melakukan hal yang sama pada anak-anak kita.

Ini jelas tidak semudah penjelasannya, tapi, pada saat kita menyadari semua itu, kita akan merasa lebih powerful untuk mengelola emosi dan perasaan kita, sehingga mampu bersikap adaptif terhadap anak-anak kita.

***

Fiuh, that's it apa yang disampaikan pada chapter ini. Semoga saya sampaikan cukup jelas ya... Namun, jika penasaran, silakan membaca bukunya ya...

Sekian, dan semoga bermanfaat ya... 

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

No comments :

Post a Comment

Hai! Terima-kasih sudah membaca..
Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan disini atau silakan DM IG @nianastiningrum for fastest response ya ;)