SOCIAL MEDIA

search

Friday, May 23, 2014

The Origin of Liebster (Blog) Award

And the story was… beberapa hari yang lalu, mendadak teman-teman blogger banyak yang membuat tulisan dalam rangka ‘Liebster Award’. “Apa sih Liebster Blog Award, rasanya kok populer sekali”, rasa penasaran sempat terlintas dalam pikiran saya dan semakin kuat saat dua teman, Kania Ningsih dan Pipit Widya menominasikan saya. Apa saya yang masih terlalu gagap dunia per-blogger-an ya, sampai kurang nyambung diajak ngomongin soal ‘Liebster Blog Award’ ini :D. Karena penasaran, jadilah saya browsing kesana-kesini. Saya pikir sih akan ada banyak sumber valid yang menjelaskan mengenai asal-usul ‘Liebster Award’, tapi ternyata saya salah! Melalui bantuan google, saya hanya menemukan berbagai blog yang menerima ‘Liebster Award’ dari rekan sesama blogger. Nah, jadi apakah sebenarnya ‘Liebster Award’ ini? Semacam misteri saja :D.

Jujur, saya tidak menemukan sumber referensi yang benar-benar valid, tapi rasanya penjelasan di blog ini cukup menjelaskan apa itu ‘Liebster Award’. Sama halnya dengan saya, pemiliki blog wordingwell.com pun mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai blog dan menemukan fakta mengenai ‘Liebster Award’ sebagai berikut:
  1. Award ini hanya ada di internet dan diberikan kepada seorang blogger kepada blogger yang lain.
  2. ‘Liebster’ sendiri berasal dari Bahasa Jerman yang memiliki beberapa definisi, yaitu: tersayang, termanis, paling ramah, paling baik, tercinta, indah, baik, berharga, lucu, menawan, diterima, kekasih.
  3. Prinsipnya seperti surat berantai, dimana award ini harus diteruskan kepada sejumlah orang tertentu.
  4. Sebagai penerima, kita bisa memilih untuk menerima atau menolak dan tidak meneruskan award ini.
  5. Selain ‘Liebster Award’ terdapat beberapa award serupa, seperti ‘One Lovely Blog Award’, ‘Sunshine Blog Award’ dan ‘Versatile Writer Award’.
Itulah informasi yang saya dapatkan melalui internet. Nah, selanjutnya apakah kita akan berpartisipasi pada ‘Liebster Award’ ini atau tidak tergantung masing-masing blogger. Kalau saya pribadi sih, award ini terasa seperti rekognisi blogger lain akan blog kita. Seperti sebuah medali persahabatan yang perlu diteruskan kepada blogger lain untuk menjalin persahabatan yang lebih erat dan luas (pendapat pribadi :D). Jadi, ya… saya terima award-nya, terima-kasih untuk Kania Ningsih dan Pipit Widya yang sudah memberikan award ini pada saya. Benar-benar tidak menyangka, karena kita bahkan belum pernah bertemu sebelumnya, interaksi juga sebatas komentar-komentar melalui Facebook dan blog, tapi beliau ini mau meneruskan estafet award ini pada saya :). 

Dan berikut adalah peraturan untuk mengikuti ‘Liebster Award’ ini:
  1. Membuat postingan tentang award ini di blog (done!)
  2. Mengucapkan terima-kasih kepada blogger yang memberikan award ini dan menyertakan backlink ke blognya (done!).
  3. Share 11 hal tentang diri kita (right after this).
  4. Menjawab 11 pertanyaan yang diberikan kepada kita (right after this).
  5. Memilih 11 blogger untuk menerima award ini dan memberikan 11 pertanyaan tentang hal yang ingin kita ketahui dari mereka (right after this).

Wednesday, May 21, 2014

Berdamai dengan Si Berlian yang ‘Keras Hati’ dan ‘Keras Kepala'

Malam itu, saya duduk terdiam di kursi depan kamar tidur Ganesh… Bukan tanpa sebab, hari itu saya kembali merasa gagal sebagai seorang ibu, karena ini adalah kesekian kalinya kerasnya kepala saya beradu dengan kerasnya kepala Ganesh. Umurnya baru akan menginjak 3 tahun pada 24 Juni 2014 ini, tapi cetak biru kekerasan hati dan kepalanya sudah terasa begitu nyata. Sifat yang beberapa kali sukses membuat saya kehilangan segala macam rencana sikap dan teori pengasuhan yang sudah saya niatkan. Hingga akhirnya, perpecahan pun tidak dapat dielakkan; Ganesh ngotot dengan apa yang diinginkan dan dipercayainya, sementara saya merasa frustrasi karena gagal menjelaskan dan membujuknya hingga akhirnya berkata dengan tidak kalah keras, “Ya udah, kalau Ganesh maunya begitu, Mama ga mau ikut main!” Duh, please, jangan ditiru ibu-ibu semua, ini benar-benar sesuatu yang bukan hanya tidak benar untuk dilakukan, tapi juga tidak efektif! Karena nyatanya, Ganesh tetap kukuh dengan pendiriannya tuh, sementara saya hanya makin frustrasi karena tidak berhasil membujuk disertai rasa sesal dan gagal :(.

Tapi, merasa gagal saja tentu sama sekali bukan solusi! Daripada saya hanya larut dalam kesedihan, rasanya lebih bermanfaat bagi saya (dan juga teman-teman yang membaca) untuk kembali merumuskan bagaimana cara berdamai dengan anak-anak yang cukup ‘keras kepala’ (stubborn) dan juga dengan gengsi yang mengaduk-aduk emosi kita. Karena, katanya kan sesuatu yang lebih nyata akan lebih memberikan motivasi, jadi harapannya dengan saya menuliskan semua ini, saya akan lebih termotivasi untuk berusaha lebih keras! Berusaha lebih keras tidak terpancing untuk beradu ‘keras kepala’ dengan Ganesh dan bisa melakukan respon yang lebih baik untuk kami berdua. Amin :).

Ganesha si ‘berlian ceria’ kami :D
Alasan kami menyebutnya seperti itu di bawah ini :P

***

Ganesh itu, memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi, setiap kali menemukan fenomena yang menarik, pasti dia ingin mengetahui seluk-beluknya sampai dia benar-benar paham. Misalnya nih, dia melihat kupu-kupu terbang, maka dia akan bertanya, “Kok bisa terbang?” Nah, kalau pertanyaan seperti ini sih penjelasannya cukup mudah, “Kan dia punya sayap, Anesh…”, selesai kan :D. Tapi beda lagi kalau tanyanya seperti ini:

Ganesh
:
“Kok hujan Mama?”
Saya
:
“Iya, kan di awan ada airnya”
Ganesh
:
“Kok ada airnya Mama?”
Saya
:
(Mulai mengkerutkan dahi) “Iya, kan di tanah itu ada macem-macem air Ganesh, nah, air itu kalau kepanasan kena sinar matahari akan jadi asap, terus naik ke atas, ngumpul deh di awan…” (Berharap dia cukup puas dengan jawaban ini).
Ganesh
:
“Kok jadi aseeeepppp?!!” (Duh, ini tanda-tanda jawaban saya kurang memuaskan dan dia masih butuh penjelasan).
Saya
:
(Baiklah Ganesh, mari kita memasak air dengan panci untuk membuktikannya :D)

Nah, kalau setting-nya seperti itu, keliatan kan ‘keras kepala’-nya si Ganesh? Alias ngotot ingin dijelaskan sampai dia benar-benar mengerti. Rasa ingin tahu memang sesuatu yang positif, dan saya pun berusaha keras untuk memuaskannya. Kadang memang cukup membuat dahi berkerut dan tidak sabar, tapi ini tipe keras kepala paling ringannya.

Ganesh itu, ingin melakukan semua SENDIRIAN! Misalnya nih, pada saat dia membongkar rak bagian bawah dispenser dan mencoba memasangnya sendiri. Dia kelihatan kesulitan dan saya pun melihat bahwa permasalahannya adalah dia memasang rak terbalik! Saya coba jelaskan dengan lembut, “Ganesh, coba deh dibalik…” Masih tetep dia ngotot dan berkata, “Enggaaakkk!” Lagi dia coba, sampai dinding rak yang terbuat dari plastik itu sedikit ringsek, sementara saya masih mengamati dengan penampakan se-cool mungkin walau hati mulai menyesalkan kekerasan kepalanya. Lagi saya coba, “Mama bantu ya Anesh, kalo seperti itu tidak bisa…” (sambil mencoba mengarahkan tangannya, yang ditolaknya mentah-mentah). “BISAAAA!!!” teriaknya, sambil memaksakan si rak masuk '_'.

Posisi rak yang saya maksud

Nah, kalau yang seperti ini nih, level lebih tinggi keras kepalanya Ganesh, lumayan menguras hati, apalagi kalau kita sedang dalam kondisi fisik dan psikis yang kurang mendukung (lapar, kurang tidur atau menjelang datang bulan misalnya :D). Dan selain itu, tentu ada setting-setting lain yang lebih menantang dan menguras perasaan, misalnya di tangga eskalator minta naik sendiri dan berkali-kali, disertai dengan tangisan bila dipaksakan tidak dituruti. Terbayang kan tension-nya, di keramaian anak ngotot mau naik eskalator sendiri, dilemanya antara malu dilihat orang membuat menangis anak, sementara jika dituruti itu sangat-sangat berbahaya! Duh Gusti, paringono sabar sing akeh banget (ya Allah, berikanlah kesabaran yang banyak) '_'.

***

Sifat keras kepala anak tentu adalah ujian tersendiri bagi setiap orang-tua, tapi berita baiknya, di balik sifat ini sesungguhnya tersimpan ‘berlian’. Sifat keras kepala atau penolakan anak untuk melakukan hal tertentu yang kita ajukan, merupakan pertanda adanya ‘kearifan’ (wisdom) dalam diri anak. Sesuatu yang membuatnya tidak mudah mengikuti kemauan orang lain yang tidak sejalan dengan ‘kearifan’ tersebut. Maureen Hayley, penulis buku ‘Growing Happy Kids’ sendiri menyebut ‘kearifan’ ini sebagai intuitive intelligence yang seringkali menghasilkan konflik dan gesekan pada saat seseorang (otoritas dari luar) berusaha mematahkannya.


Tuesday, May 13, 2014

Pisang Gulung Roti Tawar

Beberapa hari yang lalu, sebuah iklan di Facebook oleh sebuah brand margarine terkenal memamerkan sebuah foto makanan dengan bahan pisang dan roti tawar dengan nama ‘Roti Gulung Pisang’. Meskipun saya tidak browsing lebih lanjut resepnya hari itu, tapi gambaran tentang si pisang gulung ini terekam dalam memori saya dan langsung memberikan pagi kemarin, saat melihat roti tawar yang dibeli suami malamnya. Hmm, ada Pisang Mas, ada roti tawar, waktu yang tepat untuk mengeksekusi resep baru itu :D.

Dan kemudian saya pun browsing untuk memastikan resep dan langkah pembuatannya disini. Tapi, tentunya sedikit modifikasi, karena keterbatasan bahan (tidak ada persediaan selai kacang atau coklat). Selain perbedaan bahan itu, awalnya saya buat semua sesuai resep, tapi ternyata percobaan pertama gagal :(. Saya kurang rapat menekan si roti tawar dan juga merekatkannya dengan telur, alhasil Pisang Gulung Roti Tawar pertama terbuka gulungannya. Kemudian, setelah saya lihat-lihat, kok rasanya ada banyak minyak yang tertinggal, jadi saya coba dengan langkah yang sedikit berbeda, kali ini saya oleskan margarine ke bagian luar Pisang Gulung Roti Tawar dan kemudian saya panaskan di wajan teflon. Hasilnya jadi mirip-mirip roti bakar di bagian luar, hanya saja bedanya, di dalamnya ada pisang dan keju.

Penampakan ‘Pisang Gulung Roti Tawar’

Resep ini, sangat sederhana pengerjaannya, tapi rasanya sangat lumayan, sampai jadi makanan favorit Ganesh yang seharian kemarin sedang demam karena flu. Disaat dia benar-benar malas makan nasi dan makanan berat lainnya, alhamdulillah dia menyukai si Pisang Gulung Roti Tawar ini, yang nota bene kaya akan karbohidrat, protein dan nutrisi lainnya dari pisang (vitamin A, Calcium, Vitamin D, Vitamin B-12 dan sebagainya). Pokonya sesuai dengan tag line memasak saya, ‘simple, cepat dan bernutrisi’, karena memang tidak jago masak sama sekali :D.

Berikut bahan dan langkah pembuatannya…

Bahan dan Cara Membuat


Thursday, May 8, 2014

Merancang Cita Rasa Anak (Menghindari/Mengatasi GTM)

Ganesh itu kecil, di usianya yang hampir 3 tahun, beratnya baru 10 kg saja. Berbeda dengan seorang temannya yang baru berusia 2.5 tahun tapi beratnya sudah 18 kg (sebut saja Riko). Duh, kadang kalau mereka berdua bermain bersama, ada perasaan iri juga dalam diri saya, hehe :D. Yah, tapi tidak terlalu berlebihan juga, karena kami (saya dan suami) sadar sepenuhnya kalau kami juga tidak terlalu tinggi besar (baca: mungil), tinggi saya hanya 153 cm dan suami 156 cm, hihi:D. Dan kenyataan betapa Ganesh sangat doyan makan (4 sehat), diimbangi dengan perkembangan kognitif yang baik dan aktifitas yang bejubel, itu cukup membuat kami tenang.

Lain lagi dengan Riko, ternyata papa-mamanya pun merasa iri dengan pola dan nafsu makan Ganesh. Riko memang tumbuh tinggi besar, karena faktor genetis (papa-mamanya tinggi besar :D) yang didukung dengan nutrisi yang memadai, namun nutrisi ini sebagian besar didapatkan dari susu dan makanan sampingan. Ya, Riko tidak terlalu suka makan makanan sehari-hari seperti nasi, sayur dan lauk, sehingga praktis minum susunya sangat kuat. Kadang saya berpikir lucu juga ya… membayangkan bagaimana kami iri dengan pertumbuhan Riko dan bagaimana papa-mama Riko iri dengan pola makan Ganesh. Ternyata memang benar istilah Jawa bahwa orang itu selalu sawang sinawang alias saling melihat satu sama lain. Apa yang orang miliki atau alami seringkali terlihat lebih baik atau nyaman daripada apa yang kita miliki atau alami.

Ganesh bahkan suka wortel mentah sebagai camilan!

Preferensi rasa dan pola makan itu tidak hanya penting untuk memastikan bahwa anak tumbuh dan berkembang dengan optimal, tapi juga untuk menjaga kesehatannya di masa depan. Kita pasti sudah banyak membaca berbagai artikel yang menyebutkan bahwa pola makan pada masa kecil dapat berlanjut hingga masa dewasanya. Misalnya saja menurut penelitian yang menyebutkan bahwa obesitas pada bayi dan anak, sekitar 26,5% akan berlanjut pada 20 tahun berikutnya, dan 80% obesitas pada remaja akan berlanjut hingga dewasa. Demikian juga dengan ‘susah makan’, ‘kecenderungan minat makan’ dan kebiasaan makan lainnya, hal ini saya rasakan sendiri cukup sulit dihilangkan hingga dewasa. Misalnya saja, kebiasaan sulit makan saya yang baru berhenti pada kelas 4 SD karena waktu itu saya mengalami sakit herpes dan ibu berinisiatif membohongi bahwa penyakit itu muncul karena saya susah makan :D. Atau hobi saya pada makanan manis, ahh, sampai sekarang saya masih sulit berhenti ngemil bila dihadapkan dengan kue-kue, coklat dan makanan manis lainnya. Padahal kita tahu sendiri, kebiasaan makan manis yang berlebihan bisa memicu berbagai masalah kesehatan, seperti obesitas dan tingginya kadar glukosa. Demikian juga dengan rasa asin yang berasal dari garam akan memicu kenaikan tekanan darah, makanan berlemak yang dapat meningkatkan kolesterol dan banyak lagi. Sehingga kesimpulannya adalah membentuk preferensi rasa dan pola makan sehat pada anak itu penting, dan itulah yang kami usahakan pada Ganesh. 


Tuesday, May 6, 2014

Pre-Menstrual Syndrome yang 'Mengacaukan' Mood Menjelang Datang Bulan

Dulu, saya tidak sepenuhnya setuju jika seorang wanita bisa menyalahkan datang bulan atas rollercoaster emosi yang dialaminya menjelang kedatangannya setiap bulan. Karena kenyataanya (dulu) saya tidak merasakan perubahan emosi yang berarti saat menjelang datang bulan. Yah, kalau dulu sih hal yang paling saya rasakan menjelang datang bulan adalah sakit perut dan pinggang yang sangat bahkan sampai muntah jika dipaksakan untuk beraktifitas berat. Oh ya, dan jerawat yang mendadak muncul :D, dan khusus yang satu ini sesekali masih terjadi sampai sekarang. Tapi bagaimana masa-masa menjelang datang bulan merubah saya menjadi makhluk yang emosional, hmm, saya tidak menyadarinya sampai akhirnya menikah :D.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa perubahan status membuat emosi saya berubah. Tapi, mungkin dulu saya tidak pernah menyadarinya karena tidak ada orang yang cukup 'dekat' dan terganggu sehingga sangat merasakan imbas dari fluktuasi emosi yang saya alami, yaitu suami dan anak saya tentunya :D. Yah, kalau dulu tinggal dengan Bapak dan Ibu, saya merasa memang sering dikomplain, jadi tidak terlalu saya masukkan dalam hati. (Bapak, Ibu… mohon maafkan anakmu ini ×_×).

So, singkat cerita, selama hampir 4 tahun pernikahan dan hampir 3 tahun Ganesh hadir dalam kehidupan kami, ternyata hampir setiap bulan saya mendapat komplain dari mereka berdua. (Hmm, kalau Ganesh tentu setelah cukup besar dan nalar ya…). Komplain suami tentu saja seputar perangai saya yang mendadak menjadi sangat sensitif; dikit-dikit marah, dikit-dikit nangis… sampai cuma diingetin soal makan coklat saja bisa jadi drama yang mengharu biru, hihi :D. Dan Ganesh pun punya cara komplainnya sendiri, mungkin karena menganggap saya menjadi kurang sabar atau semacamnya, hingga dia langganan lebih memilih main dengan papanya setiap saya akan mendapatkan tamu bulanan ×_×. Dan setelah berkali-kali terjadi, akhirnya saya benar-benar menganggap masalah pre-menstrual syndrome dan fluktuasi emosi menjelang datang bulan ini adalah 'sesuatu' hingga perlu dipahami dan dicatat solusinya. Here it is

Seperti yang sudah kita ketahui, Pre-Menstrual Syndrome (PMS) adalah sekumpulan simtom (gejala) yang muncul menjelang datang bulan seperti mood yang berubah-ubah (mood swings), payudara terasa kencang, keinginan makan yang sangat (food craving), kelelahan, lebih sensitif dan depresi. Yah, tentu saja tidak semua wanita mengalami semua gejala ini, tapi penelitian menyebutkan bahwa 3 dari 4 wanita mengalami satu atau beberapa dari gejala tersebut. Jadi, mungkin karakteristik PMS wanita satu dengan yang lain tidak sama. Ada yang mendadak jadi emosional saja, ada yang hanya merasa payudara mengencang, dan sebagainya. Dan bahkan ada juga wanita yang sama sekali tidak merasakan PMS setiap datang bulan! Hmm, betapa beruntungnya mereka :D. Masih menurut penelitian, ternyata masalah PMS ini secara umum mencapai puncaknya pada saat seorang wanita menginjak usia 20 tahun hingga usia 30 tahun. Hmm, saya jadi berpikir, jangan-jangan faktor ini yang membuat PMS terasa cukup berat bagi saya sejak menikah (25 tahun) hingga sekarang (29 tahun), hihi :D.

Pre-Menstrual Syndrome
Sumber dari sini