SOCIAL MEDIA

search

Thursday, October 6, 2016

Speak Good or Remain Silence

Pernah ga sih teman-teman liat gosip di acara infotainment? Kalau jaman saya dulu ada Cek n Ricek, Kabar Kabari, Silet dan sebagainya… Nah, kalau sekarang ga tau lagi nih apa acara infotainment yang nge-hits, secara kami ga punya TV lagi di rumah. Dan jawabannya, pasti pernah lah ya… Atau, jika pun tidak melalui televisi, pasti berita seputar gosip selebritas banyak kita akses lewat internet. Saya juga begitu, meski ga sampai follow akun @lambe_turah kaya beberapa teman sih, hihi :D.

Jadi, ini mau ngomongin apa sih? Gosip artis?

Bukan… hmm, somehow saya sedang memikirkan tentang ‘membicarakan orang lain dan kemudian memberikan komentar sebagai sebuah hiburan’. Hmm, menghibur diri maksudnya, ngomongin orang lain itu seru kan?

Dan somehow, saya jadi berpikir bagaimana rasanya saat kita berada dalam posisi sebagai objek gosip/pembicaraan orang lain. Yah, tentu tidak sampai seperti artis yang dibicarakan ratusan ribu orang sih, tapi sekedar lingkaran kecil di lingkungan kita. Pernahkah kamu berpikir kesana? Bagaimana perasaan orang lain yang sedang kita bicarakan, entah secara langsung ataupun tidak langsung…


Dulu pada saat usia saya masih 24 tahunan; baru merantau ke seberang, masih lajang dan bebas, atau kalau bahasa kerennya ‘young and carefree’… Itulah kali pertama saya merasakan berada dalam posisi para artis itu. Digosipin. Bukan cuma ibu-ibu komplek, tapi juga bapak-bapak yang suka nongkrong di pos satpam gerbang komplek. Yang tiap hari liat saya keluar bersama teman-teman. Kadang saya dibonceng si A, kadang si B… terus mendadak intens sama si D, lalu digosipin pacaran sama si D, padahal dulu si D dekat dengan si A. Yah, kurang lebih seperti itu… Teman-teman pernah mengalaminya? Bagaimana rasanya?

Yah, kalau dulu sih ‘have fun go mad’ aja, tidak terlalu saya ambil pusing. Malahan saya bikin statement, ‘semakin diomongin orang, semakin terkenal, semakin seru’! And that is so true! Saya tidak terlalu peduli dengan apa yang orang bicarakan tentang diri saya, selama itu tidak mencemarkan nama baik saya. Catet, ‘ga sampai mencemarkan nama baik’! Dan mereka memang tidak pernah sampai ke ranah itu kok, they’re all good person, niat mereka sama sekali bukan untuk menjelekkan atau menyakiti orang lain. 

Nah, tapi ada saatnya dimana omongan orang mulai mengganggu ketentraman saya waktu itu. Bukan karena mencemarkan nama baik, tapi karena omongan itu membuat saya merasa semakin terpuruk, di saat saya butuh dukungan untuk bangkit. Atau dalam bahasa kerennya, ‘tidak empatik.’ 

Waktu itu saya sedang putus dengan si D, sedang sensitif-sensitifnya dan mengharu-biru. Lalu ada yang berkomentar, “Duh, sakitnya…” saat seorang teman cerita bahwa liat si D jalan sama si X… ngomongnya di depan saya dan banyak orang, bayangkan rasanya… Hati saya nyut-nyutan rasanya, saya sangat terganggu dengan komentarnya, dan disaat yang sama saya harus terlihat strong di depan banyak orang. Bukan cuma annoying, itu hurting! Itu menyakiti hati saya…

Pernah juga, saya hanya manggut-manggut tanda paham sesuatu, saat seseorang bilang, “Yah, orang sih mungkin mikirnya gengsi ya beli mobil baru… Bla-bla-bla…” Padahal waktu itu, dia tahu teman di sebelah kami baru saja beli mobil baru. Hmm, beberapa kali hal seperti ini terjadi juga pada saya, tapi ya saya manggut-manggut saja dan tidak berkomentar, sembari berpikir, bahwa bagaimana (sebut saja) si C berbicara menunjukkan bahwa betapa pendek cara berpikirnya. Dia berpikir bahwa alasan seseorang beli mobil baru itu ya seperti dia, sekedar untuk gengsi-gengsian. Dia tidak berpikir, bahwa kadang cara berpikir orang sama sekali tidak seperti itu. Beli mobil itu ya karena butuh; kenapa baru, ya beberapa orang lebih memilih seperti itu karena tidak terlalu mengerti mesin mobil dan perawatan mobil baru itu lebih mudah… Dan sebagainya…

Bahasa kerennya, egosentris, alias berpikir bahwa jalan pikiran orang lain sama dengan jalan pikiran kita. Yah, beberapa kali berada dalam posisi yang sama, dan ya rasanya sedikit tidak nyaman sih, tapi tidak terlalu mengganggu jadi saya diam saja tanpa komentar. Tapi, menurut pengalaman saya, ada beberapa orang yang benar-benar merasa iritated alias terganggu dengan komentar-komentar egosentris semacam ini. So, better you avoid that…

Yes, there are 3 things yang menurut pengalaman saya adalah konten-konten yang buruk dan berpotensi mengganggu kenyamanan orang lain. Yang menurut hemat saya sebaiknya dihindari. Tapi, yah, jika pun perlu diucapkan, berikut beberapa hal yang harus diperhatikan untuk meminimalisir dampak buruk dari kata-kata itu kepada orang lain:

1. Pilih audience-mu! Well, kamu bukan sedang konferensi pers kan? Jadi, pilih audience yang benar-benar sesuai dengan bahan pembicaraanmu. Terutama jika itu adalah pembicaraan yang sensitif, berpotensi menimbulkan konflik, atau menyakiti hati orang.

Misalnya; “Si C itu habis beli mobil baru lho… Cash! Padahal dia cuma sekretaris… duit darimana coba kalau bukan seseran alias tips tamu-tamu yang mau nemuin bosnya. Atau malah dia ada affair sama bosnya…” Ish, ini benar-benar serangkaian kata-kata yang sensitif, tidak empatik, bagaikan dalil yang tidak disertai landasan fakta dan menunjukkan betapa pendek pemikiranmu… Karena bisa jadi si C habis dapet undian, atau dapet warisan, atau habis jual tanah, dll… ada begitu banyak kemungkinan. 

So chose your audience wisely. Atau kamu akan membuat seseorang marah besar karena pendapatmu itu bocor ke telinganya…

2. Perhatikan nada bicara, kekuatan suara dan bahasa tubuh (aspek nonverbal). “Ih kamu, sok cantik banget sih…” Coba bayangkan kalimat itu diucapkan dengan suara keras dan nada tinggi plus berkacak pinggan dan mata mendelik, pasti semua orang akan menilai itu adalah sebuah cemoohan untuk menjatuhkan harga diri seseorang. Berbeda saat ucapan itu diucapkan nada rendah yang genit, disertai colekan lembut, senyum dan mata yang genit; pasti orang akan mengartikan kalimat ini sebagai candaan, godaan atau rayuan.

3. Perhatikan situasi dan kondisi. “Ah, kalo aku sih enggak lah anak di taruh di day care, mendingan bayar pengasuh aja… Di day care kita enggak bisa kontrol dia makan apa… bla-bla-bla…” Dan itu kamu ucapkan saat seorang di sebelahmu gundah gulana karena akhirnya menitipkan anaknya di day care sebagai pilihan terakhir. Bukan karena tidak bisa bayar pengasuh lho, tapi karena dia tidak juga mendapatkan pengasuh setelah beberapa lama mencari. Hingga akhirnya, life must go on, dan dia memilih menitipkan anaknya ke day care tadi…

Nah, keliatan kan, kalau situasi yang salah akan membuat kalimatmu menyakiti orang lain. Termasuk misalnya saat kamu menegur seseorang, pastikan itu dilakukan secara pribadi, bukan di depan banyak orang…

Ada 3 hal yang menurut saya perlu bisa dilakukan agar ucapan kita tidak mengganggu atau menyakiti orang lain. Tapi, bagaimana pun juga, pertanyaan besar yang sesungguhnya harus kita jawab berkaitan dengan pola berbicara kita adalah, apa sih sebenarnya tujuan kita berbicara sesuatu? Apakah untuk nge-judge seseorang? Apakah untuk menjelekkan orang lain? Sekedar omong kosong untuk mengisi waktu luang? Atau untuk katarsis melampiaskan kekesalan?

Hmm…

Sebenarnya, jika sebuah pembicaraan sungguh hanya mengandung hal yang buruk, kita bisa kok memilih untuk diam. Toh, melampiaskan kekesalan, bercanda dan sejenisnya tidak musti dengan mengeluarkan kata-kata buruk, tidak benar atau menyakiti orang lain. Bisa lho dengan ngomel-ngomel sendiri di kamar mandi, bisa lho dengan curhat di buku harian, dan sebagainya. Tapi jangan di social media ya, karena ini sih sama saja :D.

Saya tahu, kadang ada dorongan yang kuat dalam hati kita untuk berbicara sesuatu yang buruk; yang kesannya sinis, menjatuhkan orang lain, menyakiti orang lain dan sebagainya. Saya pun terkadang merasakannya. Ini hal yang manusiawi. Tapi, janganlah diumbar begitu saja keinginan seperti ini, tapi belajar untuk mengendalikannya. Paling tidak, jika memang harus ‘dikeluarkan’ (baca: dibicarakan) lakukan 3 trik di atas (pilih audience, jaga aspek nonverbal dan perhatikan situasi dan kondisi). Sekali lagi, agar perkataan kita tidak mengganggu atau menyakiti hati orang lain…

But still, in this case, the best quality of a speaker is to ‘speak good or remain silence’… Kualitas terbaik dari seorang dalam hal berbicara adalah untuk membicarakan sesuatu yang baik dan dengan cara yang baik dan tujuan yang baik, atau lebih baik kita diam…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-