SOCIAL MEDIA

search

Tuesday, November 23, 2021

Belajar Membaca Ala Montessori: Kapan Sebaiknya Mengajari Anak Membaca?

Versi video disini: 

"Calistung alias Baca Tulis Hitung itu tidak boleh diajarkan pada anak sebelum usia 7 tahun!"

Hmm, jujur, pada awalnya saya mengamini statement ini begitu saja. Saya merasa bahwa di usia kurang dari 7 tahun, ada banyak hal lain yang lebih penting untuk diajarkan pada anak selain calistung. Saya pun merasa bahwa calistung sendiri tidak termasuk dalam tugas perkembangan anak-anak di bawah usia 7 tahun.

Yang sebenarnya tidak sepenuhnya salah sih, tapi perlu dikaji lebih dalam tentang beberapa hal, terutama  mengenai definisi mengajarkan calistung yang dimaksud itu seperti apa. Simpelnya, kalo ngajak anak nyanyi 'Satu Satu Aku Sayang Ibu' aja masa iya ga boleh? Padahal jelas disitu juga ada muatan hitungannya lho... Iya apa iya?

Ini yang saya rasakan pada saat si Ganesh mulai masuk TK di sebuah sekolah yang menggunakan Metode Montessori. Disana saya melihat bagaimana anak-anak mulai dikenalkan pada bunyi dan huruf dengan metode bermain, misalnya main tebak huruf sebelum masuk kelas. Juga menyiapkan anak-anak untuk belajar menulis dengan kegiatan meremas, mewarnai, dan sebagainya.

Yes, ternyata belajar baca-tulis-hitung itu bisa banget dikemas dalam bentuk permainan yang jauh dari kata stressing (atau membuat stress), dan bahkan sangat menyenangkan untuk anak-anak. Well, dengan metode seperti ini sangat tidak ada salahnya untuk 'mengajarkan' calistung pada anak dari usia dini pun kan?

Jadi, dulu pun saya santuy aja dan sepakat pada saat Ganesh mulai diajarkan calistung sejak TK dengan Metode Montessori tersebut. Dan meskipun pada saat masuk SD dia belum lancar baca, tidak lama kemudian dia sudah bisa baca.

Tapi, kemudian pandemi pun melanda saat adiknya, Mahesh, duduk di bangku TK A... kegiatan belajar online membuat peran saya sebagai orang-tua dan pendidik menjadi jauh lebih besar dari sebelumnya. Kalau dulu, ya cukup antar jemput anak sekolah sambil sedikit-sedikit mengamati perkembangannya. Setelah pandemi, saya merasa punya beban untuk memastikan Mahesh bisa membaca, sehingga tidak kesulitan pada saat masuk SD nanti.

Dari sana kemudian saya mencari lebih banyak mengenai pengajaran baca tulis melalui Metode Montessori yang minim stress. Karena yang saya tahu belajar membaca itu yang dengan mengeja, saya tidak tahu bagaimana cara mengajarkan anak membaca dan menulis dengan Metode Montessori ini.

Dan gayung bersambut, saat itu kemudian saya menemukan Buku 'Montessori: Keajaiban Membaca Tanpa Mengeja' karya Ibu Vidya Dwina Paramita.

BACA TULIS DALAM METODE MONTESSORI

Dalam Metode Montessori, anak dikategorikan mampu membaca jika mampu mengorelasikan rangkaian huruf yang dia 'baca' (bunyikan) dengan maknanya.

Jadi, jika seorang anak mampu 'membaca' sebuah kata atau kalimat misalnya, tapi tidak memahami makna dari kata atau kalimat yang baru saja dibacanya itu, maka dia baru masuk pada tahap 'membunyikan huruf'.

Karena itu, mengajarkan anak bahwa membaca itu adalah kegiatan yang menyenangkan kemudian menjadi hal yang sangat penting. Karena dari rasa menyenangkan itu, anak akan lebih mudah untuk memahami makna dari rangkaian huruf yang dia baca. Bukan sekedar buru-buru membunyikan huruf dan skip proses memaknainya.

So, belajar membaca harus jauh-jauh dari aktivitas yang justru membuat anak merasa tertekan.

TAHAP PRA-MEMBACA

Yup, dalam Metode Montessori ada dua tahapan pengajaran baca dan tulis pada anak, yaitu tahap pra-membaca dan teknis membaca.

Pada tahap pra-membaca, anak belum dikenalkan dengan huruf, namun lebih ke kegiatan yang membuat anak tertarik untuk membaca juga kegiatan mengenal bunyi, kata, kalimat, serta makna. Misalnya dengan berbincang, membacakan cerita, maupun bernyanyi. Kegiatan ini bisa dimulai pada usia yang sangat dini, bahkan sejak dalam kandungan.

Selanjutnya anak-anak juga perlu diajak mengenal bentuk, tekstur, ukuran, berat dan arah benda, yang akan berguna nantinya untuk mengenali huruf. Termasuk juga kegiatan fisik seperti makan sendiri, menuang, memasukkan benda ke wadah, meronce, memukulkan palu pada paku, dan sebagainya yang akan melatih koordinasi tangan serta matanya.

TAHAP TEKNIS MEMBACA

Nah, lalu kapan saatnya anak diajarkan untuk mengenal huruf (mengorelasikan huruf, bunyi, dan makna)?

Berikut adalah checklist untuk menilai kesiapan anak memasuki tahap teknis membaca yang dapat digunakan sebagai pedoman:

  1. Anak memahami minimal 100 kata,
  2. Anak dapat berkomunikasi dua arah,
  3. Anak dapat memahami jalan cerita dalam kisah pendek yang dibacakan,
  4. Anak dapat membedakan bentuk segitiga, persegi, dan lingkaran,
  5. Anak dapat mengklasifikasikan objek berdasarkan kesamaan dan perbedaannya serta menyebutkan alasan pengelompokan,
  6. Anak dapat memahami konsep sebab akibat sederhana.
Anak dinilai siap untuk mulai memasuki tahapan teknis membaca pada saat menguasai minimal empat dari kemampuan pada checklist tersebut. Dimana yang perlu diingat, menurut Metode Montessori ini bukan artinya memberikan tugas anak untuk menghapal huruf dan mengeja secara kaku. Namun tetap mengedepankan proses yang menyenangkan supaya anak mencintai kegiatan membaca.

So, menjawab pertanyaan, 'kapan sebaiknya mengajari anak membaca', jika maksudnya adalah tahap teknis membaca, maka jawabannya bukanlah usia ataupun jenjang pendidikan, tapi kesiapan anak. Dimana kesiapan anak ini akan berbeda-beda satu sama lain, ada yang bahkan di usia empat tahun sudah bisa membaca dengan sendirinya, ada juga yang mulai siap pada usia pra-sekolah (TK).

Potensi anak berkaitan dengan literasi tentu berbeda-beda yang juga mempengaruhi kapan kesiapan ini muncul. Dan tugas pendidik maupun orang-tua adalah mengoptimalkan potensi ini, yaitu menyiapkan anak pada tahap pra-membaca. Sebuah tahap yang sangat krusial supaya anak mencintai kegiatan belajar dan membaca.

Begitu kira-kira teman-teman jawabannya dari berbagai sumber yang saya baca.

***

Nah, selanjutnya gimana gambaran tahapan pra-membaca dan teknis membaca ini? Hmm, ini juga lumayan seru dan rada bikin bingung awalnya. Dalam Metode Montessori ada istilah 'writing before reading' atau 'menulis sebelum membaca'. Nah loh, gimana tuh ceritanya? Kita bahas di post dan video berikutnya ya teman-teman.

Stay tuned dan tetap semangat!

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Monday, November 15, 2021

IBU BERHENTI BEKERJA DARI BUMN [PERNAH MERASA MENYESAL?]

Video version is here:

Jadi, semenjak resign dari PLN di bulan Agustus 2019 lalu, beberapa teman yang sedang menimbang untuk mengambil keputusan yang sama pun banyak bertanya pada saya seputar hal ini. Salah satunya yang paling banyak ditanyakan adalah, "Pernah ga merasa menyesal setelah resign?"

Hmm, pernah ga ya? Baiklah, so, saya akan mendedikasikan tulisan untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi, sebelum membahas lebih lanjut, kita samakan persepsi tentang definisi 'menyesal' ya...

Secara psikologis 'menyesal' atau 'regret' dapat diartikan sebagai kondisi kognitif dan emosional yang negatif yang meliputi perasaan menyalahkan diri sendiri akan hasil yang tidak baik (sesuai harapan), perasaan kehilangan atau sedih atas sesuatu yang terjadi, atau berharap kita bisa mengulang waktu dan mengganti pilihan yang pernah kita ambil (dari PsychologyToday).
Artinya pada saat merasa 'menyesal' ada perasaan menyalahkan keputusan yang pernah diambil. Kita membandingkan kondisi sebelum dan sesudah resign, kemudian merasa bahwa kondisi sebelum resign lebih baik, sehingga kita ingin kembali ke posisi tersebut.

Jadi, apakah saya pernah merasa menyesal setelah resign?

OK, dalam setiap mengambil keputusan, sesungguhnya pasti ada sebuah ekspektasi. Baik suatu kondisi yang ingin dicapai, maupun sebuah kondisi yang ingin dihindari atau diperbaiki; dengan mempertimbangkan risiko atau kondisi tidak nyaman yang menyertainya. Dimana dalam perjalanannya, bisa jadi ekspektasi tersebut terpenuhi ataupun sebaliknya.

KONDISI YANG INGIN DIPERBAIKI

Sebelum resign saya adalah seorang pekerja full time yang bekerja dari Senin hingga Jumat dari jam 7.30 hingga 16.00. Kondisi tersebut menuntut saya untuk banyak mendelegasikan peran saya menjaga anak-anak kepada pengasuh, serta mengesampingkan hal-hal terkait hobi dan aktualisasi diri untuk melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung-jawab saya.

Work-life balance benar-benar menjadi isu saat itu, terlebih saat saya mulai merasa tidak puas dengan pekerjaan yang saya lakukan. Typical saya yang perfeksionis dan idealis, yang begitu passionate, yang ingin menghasilkan sesuatu yang bisa dibanggakan sebagai 'karya' tidak terpenuhi melalui pekerjaan saya. Hal ini membuat upaya menciptakan keseimbangan antara 'kerja' dan 'kehidupan pribadi' menjadi lebih sulit dicapai. Karena di samping perlu menyeimbangkannya dengan keluarga, saya masih harus struggle untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri yang tidak terpenuhi dari dunia kerja.

Singkat cerita, kemudian saya tiba di tahap dimana kondisi tersebut cukup mengganggu kesehatan mental saya. Seringkali merasa terburu-buru, merasa ada begitu banyak hal yang ingin saya kerjakan tapi tidak selesai atau harus selesai di bawah standard pribadi saya, merasa tidak bisa menjalankan peran saya dengan baik, tidak punya waktu untuk diri sendiri, dan sebagainya.

Well, mungkin ini untuk beberapa teman sulit dipahami ya... Tapi, percayalah bahwa ini bukan sesederhana tentang kurang bersyukur. Cukup pahami bahwa setiap individu memiliki karakter dan kepribadian yang berbeda, sehingga ini pun termanifestasi pada perasaan, pandangan, harapan, dan juga apa yang membahagiakannya.

KENYAMANAN YANG MENJADI KONSEKUENSI

Menjadi pekerja pada titik itu menciptakan ketidaknyamanan, tapi tentu saja tidak memunafikkan kenyamanan yang menyertainya. Gaji bulanan yang relatif tinggi dan stabil beserta segala tunjangannya, status yang prestise dimata masyarakat, aktivitas yang menghidupkan hari hari-hari saya, dan circle pertemanan. Semua itu adalah zona nyaman yang akan berganti pada saat memutuskan untuk resign.

Perubahan ini adalah hal yang pasti terjadi, sehingga sudah diperhitungkan dan diantisipasi, meskipun sifatnya tentu adalah prediksi. Sebaik apapun persiapan, sesungguhnya semua adalah sebatas angan-angan yang kita bayangkan, kita tidak benar-benar menjalani masa depan di masa kini. So,  sebenarnya kita tidak benar-benar tahu apakah segala rencana dan persiapan kita itu sesuai dengan harapan atau sebaliknya.

MASA TRANSISI

Semakin mengkerucut pada pertanyaan, 'pernah ga merasa menyesal setelah resign', menurut pengalaman saya ada ada dua masa yang rawan bagi kita untuk merasa menyesal. Yang pertama adalah masa transisi, yaitu masa tepat setelah kita resign.

Bagi banyak orang termasuk saya, masa transisi adalah kondisi yang tidak nyaman. Bagi saya, masa transisi itu masih kental dengan kenangan akan kondisi yang ditinggalkan, sekaligus antisipasi akan risiko-risiko yang kita pikirkan. Jadi, rasanya itu tidak santai, lebih was-was, dan juga sensitif. Dalam intensitas yang ekstrim masa ini pun bisa menerbitkan rasa sesal, yang untungnya tidak terjadi pada saya.

Semua yang disebutkan di atas, itu saya rasakan. Bagai habis putus cinta, kenangan akan hari-hari yang dilewati bersama itu masih begitu nyata diingatan. Tapi, semua masih pada batas yang masih logis saya terima dari bagian dari proses adaptasi. Saya bisa bilang di masa rawan pertama ini saya tidak merasakan menyesal.

MASA DEPAN SIAPA YANG TAHU...

Kemudian, masa kedua adalah saat kita mulai terbiasa dan beradaptasi dengan kondisi setelah resign. Masa dimana kita melihat dan merasakan apakah ekspektasi kita terpenuhi atau tidak...

Sebelum resign saya bersama suami pun sudah mempersiapkan beberapa hal. Saat itu, kami membuka sebuah usaha akan menjadi aktivitas baru yang produktif bagi saya. Dimana semua berjalan baik-baik saja sejak saya resign di Bulan Agustus 2019, hingga akhirnya April 2020 semuanya berubah. Kondisi pandemi memaksa begitu banyak usaha untuk berhenti beroperasi, termasuk usaha kami yang mengandalkan pengunjung mall sebagai customer. Sehingga di bulan yang sama (April 2020) saat kontrak sewa habis, kami pun memutuskan untuk tidak melanjutkan dulu usaha ini.

Hal ini praktis itu merubah semua hal, zona nyaman baru yang saya rencanakan tidak berjalan sesuai rencana. Pandemi, adalah sebuah kondisi yang tidak terbayangkan akan terjadi bagi kami saat itu, dan siapa pun. So, yes, kondisi itu membuat saya kehilangan aktivitas sehari-hari, sumber penghasilan, dan juga lingkaran pergaulan saya. Ditambah lagi dengan kondisi pandemi yang menciptakan tekanan lainnya, diantaranya Long Distance Marriage yang sangat panjang, tidak bisa kemana-mana, dan juga kesibukan baru bernama belajar online, membuat saya benar-benar merasa powerless.

Di sini saya ingin menyampaikan bahwa kemungkinan jika rencana dan langkah antisipasi yang kita siapkan itu tidak berjalan sesuai rencana bisa saja terjadi. Meski tidak menutup kemungkinan, jika hal sebaliknyalah yang terjadi. Misalnya bisnis yang kita siapkan berjalan lebih baik setelah kita resign.

Prediksi adalah prediksi, semua hal bisa terjadi, yang lebih buruk ataupun justru yang lebih baik...

LALU APAKAH MENYESAL?

Dalam kasus saya, pada satu titik bisa dibilang bahwa rencana berjalan di bawah ekspektasi. Dan saya pun merasakan struggle untuk beradaptasi dengan keadaan ini. Tapi, jujur, saya tidak pernah merasa menyesal dengan keputusan saya untuk resign.

Mungkin hal ini akan terjadi sebaliknya, jika saya adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Tapi, karena saya memiliki privilege itu, meskipun saat itu merasa tidak nyaman dengan keadaan, tapi rasa sesal itu tidak hadir.

Tidak ada keinginan sedikit pun dalam diri untuk menukar kondisi powerless yang saya rasakan dengan situasi powerful saat masih bekerja. Sekali lagi setiap individu itu unik ya, dan saya kebetulan adalah seorang yang sangat membutuhkan kebebasan, idealisme, dan kompetisi fair yang membuat seseorang merasa dapat meraih prestasi. 

Lagi pula saya melihat kondisi tidak sesuai ekspektasi ini sekedar sebagai tertutupnya satu pintu, sementara pintu yang lain masih banyak. Sementara rejeki dari berjualan bisa dibilang sedang sulit untuk semua orang, ya saya tetap berusaha melakukan hal yang saya bisa. Mengembangkan media yang saya punya (Instagram, YouTube, dan lainnya), melakukan hobi-hobi seperti menyanyi, menggambar, apa aja yang saya suka.

Kehidupan pasca resign saya pada satu titik memang terasa di bawah ekspektasi, tapi siapa disangka kemudian hobi-hobi ini pun bisa menghasilkan income, meski tentu tidak se-stabil saat bekerja full time. Ada kalanya lebih banyak, sering juga dibawahnya. Tapi, kebahagiaan dan ketenangan hati yang saya dapatkan karena keleluasaan membersamai anak-anak dan kesempatan mengembangkan diri itu selalu stabil di atas, dibandingkan pada saat bekerja.

Hidup adalah pilihan, saya memiliki privilege untuk mengambil pilihan resign dan saya tidak pernah menyesal mengambil keputusan itu. Bagi saya, kepurusan untuk resign adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya.

Jadi, jika ingin digeneralisasi, mungkin menyesal dan tidak menyesalnya seseorang setelah resign itu tergantung pada:

PERTIMBANGAN. Pastikan jika itu bukanlah keputusan emosional semata, bukan sekedar pelarian untuk menghindari hal yang tidak kita inginkan, tapi lebih ke usaha untuk mencapai situasi yang kita inginkan. Sehingga kita tetap bisa menghargai mensyukuri situasi setelah resign. Dan jika ternyata sebagian rencana tidak berjalan sesuai ekspektasi, kita tidak merasa kehilangan tempat berpijak.

LEGOWO DAN RESILIANCE. Selain itu, yang perlu disadari dan disikapi legowo adalah bahwa kehidupan setelah resign itu secara finansial sudah pasti tidak se-stabil saat bekerja. Kamu bisa mendapatkan lebih, tapi juga bisa dibawahnya, jadi jangan baperan, keep on going pokoknya.

***

Kira-kira begitu penjelasan saya menjawab pertanyaan, "Pernah ga merasa menyesal setelah resign?" yang jawabannya adalah 'tidak'.

Struggle-nya saya ya di bagian merasa powerless itu, dan ini mungkin sangat berbeda bagai orang lain. So, jika teman-teman pun memiliki keinginan untuk resign, sekali lagi pertimbangkan segala sisi positif dan negatif dari bekerja full time dan resign.

Resign akan membuat teman-teman kehilangan sesuatu, so pastikan kan is it OK? Resign juga akan membawa kita untuk mendapatkan sesuatu, so pastikan juga jika teman-teman benar-benar menginginkan hal itu. Serta satu lagi, sadari bahwa selalu ada kemungkinan jika rencana yang telah disusun tidak berjalan sesuai harapan kita, is it also OK

Hidup adalah tentang pilihan, termasuk memilih risiko yang akan ikhlas kita jalani.

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Saturday, November 6, 2021

Pengalaman Menurunkan Berat Badan dengan Suplemen Kesehatan (?)

Whoa! So, ini adalah post menindaklanjuti, video yang pernah saya buat tentang Herbilogy Slimming Kit yang saya konsumsi dalam rangka berusaha menurunkan berat badan. 

Penggunaan Slimming Kit Herbilogy ini sendiri terdiri dari dua langkah, yaitu proses detoksifikasi dengan menggunakan Laxa Tea selama 14 hari. Baru kemudian dilanjutkan dengan konsumsi Green Tea dan Slimming Capsule-nya.

Nah, di YouTube Channel, saya baru upload dua video, yaitu video part 1 unboxing si Herbilogy Slimming Kit dan part 2 testimoni setelah menggunakan Laxa Tea. Sementara part 3-nya alias testimoni setelah memakai Green Tea dan Slimming Capsule-nya belum saya bikin juga. Bukan apa-apa, tapi saya memang gagal untuk disiplin dalam program ini dan tidak bisa memberikan testimoni teman-teman :D

Jadi begini... Di video pertama kan saya sampaikan bahwa si Slimming Kit ini adalah pelengkap dari program diet yang saya rencanakan meliputi: memperbaiki pola makan (mengurangi asupan kalori) dan olah-raga. Tapi kenyataannya, kesibukan yang luar biasa membuat saya tidak bisa disiplin seperti seharusnya.

Jam tidur yang jauh dari ideal (baca: seringkali tidur jam 3.00 pagi, bangun pagi sekitar jam 7, baru nanti siang tidur lagi) itu membuat saya kesulitan mengatur waktu makan dan juga olah-raga. Rutinitas yang cukup menyita waktu dari menemani belajar online anak-anak, masak, beberes rumah, setrika, belanja, dll itu pun sangat menguras waktu dan energi. Sehingga kedisiplinan yang mutlak diperlukan dalam program diet ini tidak bisa saya lakukan.

Olah-raga banyak sekali ke-skip karena sudah kecapekan. Makan camilan pun seringkali masih dilakukan demi mengurangi ngantuk, dan bahkan minum si Green Tea dan Slimming Capsule pun suka lupa. So, disini lah saya merasa tidak bisa menilai seberapa besar andil si Slimming Kit ini dalam perubahan berat badan saya.

Oh ya, kalo ditanya berapa perubahan berat badan saya, hoho, malahan naik 0,7 kg teman-teman. Dimana, tentu saja ini bukan akibat dari Slimming Kit ya, tapi karena ketidakdisiplinan saya. Nah, disini (sekali lagi) kemudian saya tidak bisa menilai efektivitas dari Slimming Kit ini. Gitu teman-teman...

Dan membicarakan tentang diet, dari kegagalan ini kemudian saya semakin tersadar bahwa kunci dari penurunan berat badan adalah kedisiplinan dan konsistensi.

Jadi begini, pada dasarnya untuk menurunkan berat badan, kita harus membakar cadangan makanan (dalam bentuk lemak) yang ada dalam tubuh, artinya kita harus melakukan program defisit kalori. Dimana ini dilakukan dengan mengurangi asupan kalori dan juga meningkatkan aktivitas yang membakar kalori. Sementara suplemen, sifatnya adalah untuk membantu saja

Intinya tetap di kedisiplinan kita untuk melakukan program defisit kalori.

Metabolisme tubuh saya memang cenderung lambat alias mudah naik berat badan. Udah gitu cenderung obsesive compulsive yang termanifestasi juga dalam perilaku suka ngemil. Kondisi ini diperburuk karena saat ini hari-hari saya yang serba melelahkan sebagai single fighter (baca: Long Distance Marriage plus ga ada ART), boro-boro mau olah-raga, kontrol diri pun melemah.

Tapi, itu bukan berarti menyerah dan membiarkan semua benar-benar tak terkendali ya... Saya tetap berusaha melakukan hal-hal untuk menerapkan pola hidup sehat yang efeknya juga ke menjaga berat badan. Dan yang saya lakukan saat ini, kembali ke cara lama, yaitu menjaga makanan (meminimalkan karbohidrat dan memperbanyak sayur), serta memakai korset.

Yap, bukan salah ketik, it's memakai korset... ini ngefek banget untuk saya. Mari kita bahas satu persatu ya... 


Versi videonya kalau males bacanya :D

MENJAGA MAKANAN!

So, sejak kurang lebih 6 tahun lalu saya mulai menerapkan pola makan food combining meski bukan yang saklek banget. Jadi, setiap pagi dimulai dengan minum segelas air jeruk nipis hangat, kemudian beberapa saat kemudian sarapan buah, dan baru makan siang pada pukul 11.30. Menu makan siang atau malam pun sebisa mungkin tidak menggabungkan antara karbohidrat dan protein hewani. 

Jadi biasanya saya mengganti nasi dengan sayuran yang banyak kalau ingin makan ayam, ikan, dan protein hewani lainnya. Sementara kalau lagi makan tahu atau tempe (protein nabati), ya makan nasi tidak apa-apa. Meski saya emang pada dasarnya pun ga terlalu suka nasi, jadi sehari-hari jarang sekali makan nasi, bisa seminggu penuh tanpa nasi atau bahkan sebulan penuh, tergantung mood.

Jadi, pola makan ini masih saya lanjutkan, hanya saja yang berbeda adalah saya mengurangi ngemil atau porsi makan snack saja. Dan bagian ini cukup challenging sih, karena ya itu tadi, kadang untuk mengurangi ngantuk akibat jam tidur yang rada kacau, godaan ngemil itu lebih sulit ditahan.

Tapi, tetep berusaha kontrol... jangan dilosin aja...

MEMAKAI KORSET!

Ini juga kebiasaan lama sejak melahirkan anak pertama lebih dari 10 tahun lalu, yaitu memakai korset.

Secara fisik sih dengan memakai korset perut akan tertekan dan terbentuk lebih slim, tapi efek yang paling bermanfaat untuk saya itu sebenarnya adalah untuk mengontrol nafsu makan.

Yes, karena pakai korset, perut tuh rasanya cenderung lebih cepat kenyang dan kenyangnya lebih tahan lama, jadi sangat membantu mengontrol keinginan untuk makan.

So, yes, siang saya pakai korset yang sebelumnya pakai Mustika Ratu Slimming Gel dulu. Dimana untuk saya, krim ini lebih untuk menjaga kulit lembab dan jika pun kulit kembali mengkerut karena menjadi lebih langsing, kulit tetap kencang. Efeknya ke membakar lemak di perut tidak terlalu saya rasakan. 

Lagi-lagi ya... menurut saya yang namanya suplemen itu sifatnya hanya membantu secara minimal, inti dari penurunan berat badan tetap di menjaga asupan kalori dan membakarnya.

AKTIFIN CALORY COUNTER

Ini barusan banget sih gara-gara ada diskon 50% untuk aplikasi calory counter favorit saya, Lifesum! Tapi aplikasi calory counter lain banyak ya... so, kalau mau pakai juga, silakan cari yang pas...

Aplikasi ini sendiri sifatnya lebih untuk mengontrol keseimbangan antara kalori yang masuk ke dalam tubuh dan yang kita bakar. Melalui aplikasi Lifesum ini, kita bisa menentukan target; apakah untuk menurunkan berat badang, menjaga berat badan, atau bahkan meningkatkan berat badan. Kita juga bisa memilih jenis diet yang paling pas, me-record perkembangan berat badan kita, dan banyak lagi.

Lebih dari sekedar concern tentang berat badan, Lifesum ini tujuannya sebenarnya lebih ke membantu kita me-maintain kebiasaan hidup sehat. Karena itu, selain calory counter, Lifesum juga memiliki water tracker, dan juga memberikan saran untuk menjaga keseimbangan nutrisi kita (karbohidrat, protein, dan lemak).

Oh ya, satu lagi... ini aplikasi beneran bermanfaat untuk saya yang rada obsesive compulsive ini, supaya lebih sadar diri.

***

Untuk sementara, itu yang rutin saya lakukan... Olah-raga akan sangat membantu, dan saya pun masih mencari celah dalam hari-hari saya untuk bisa olah-raga secara rutin lagi.

Dan kembali ke judul post kali ini, jika ingin disimpulkan seberapa efektif suplemen Herbilogy Slimming Kit dalam penurunan berat badan saya, hmm, saya tidak bisa tidak tahu. Tapi, satu hal yang pasti adalah bahwa peran suplemen dalam penurunan berat badan hanyalah membantu, dan tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak melakukan upaya mengurangi kalori dalam tubuh.

So, jangan berharap terlalu banyak bisa menurunkan berat badan sekedar bergantung pada suplemen tertentu, tanpa mengurangi asupan kalori dan membakar kalori dalam tubuh ya...

Kurang lebih begitu teman-teman... Semangat sehat ya!

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Monday, November 1, 2021

KREATIVITAS: INVESTASI UNTUK ANAK-ANAK KITA DI ERA DIGITAL

"Udah lah, kalau masih ada anak kecil, jangan harap rumah bisa rapi..." demikian curhatan para ibu yang bersliweran di dunia maya maupun nyata yang kemudian saya amini setelah menjadi seorang ibu. Sikap selow dan lapang dada saat melihat rumah berantakan memang kemudian menjadi satu kapasitas yang mutlak diperlukan seorang ibu untuk mempertahankan kesehatan mentalnya menghadapi anak-anak yang belum beranjak dewasa.

Demikian juga dengan si Ganesh yang kini berusia 10 tahun. Sejak kecil dia adalah anak yang 'ada-ada aja..." Hampir semua bisa dia jadikan mainan! Anaknya selalu penasaran untuk mencoba apa yang dilihatnya, utak-atik barang, dan bikin sesuatu dari barang bekas (atau yang sebenarnya masih terpakai). Dan bisa dibayangkan, kemudian rumah pun bisa dipastikan selalu dalam keadaan berantakan kecuali malam saat dia tertidur hingga pagi sebelum dia terbangun.

Rasa geregetan itu pasti ada kalanya datang, tapi ya udah lah... Masa kanak-kanak memang masanya bereksplorasi. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang begitu tinggi dan ingin mencoba semua hal yang dia bisa.

Ganesh sendiri dari kecil memang punya hobi spesifik membuat sesuatu dengan bahan kardus dan bahan bekas lainnya. Hal ini secara konsisten dia lakukan hingga saat ini. Dan sampai sekarang pun, saya masih amazed setiap kali dia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya dan berkata, "Mama, boleh enggak kardusnya buat Anesh?" Geli sendiri melihat binar-binar matanya mengharap suatu barang bekas untuk boleh dia ubah entah jadi apa.

Saat itu, saya berpikir, "Yah, tiap anak tentu memiliki potensinya masing-masing..." Jadi ya saya berusaha fasilitasi saja semampunya karena merasa ini adalah hal yang positif, tapi belum terlalu memahami bahwa kreativitas ini hal yang sangat penting untuk masa depannya. Sampai akhirnya saya mendapat kesempatan mengikuti sebuah webinar yang diadakan oleh Faber-Castell dengan tajuk 'Soft Skill Apa yang Diperlukan di Abad Digital?"

KREATIVITAS DI ERA DIGITAL

Di banyak film futuristik, kita sering disuguhi bagaimana robot menjadi bagian dari keseharian manusia. Saat ini, robotisasi sudah dimulai, berbagai pekerjaan repetitif 'sederhana' telah digantikan oleh robot yang notabene lebih mudah maintenance-nya. Robot tidak kenal capek, emosi (marah atau sedih), dan akurasi pekerjaannya pun lebih tinggi daripada manusia. Dimana hal ini akan semakin berkembang, dan di masa depan akan lebih banyak aktivitas yang digantikan oleh robot.

Berbagai aktivitas memang akan menjadi lebih efisien dengan bantuan robot, tapi tidak semuanya. Manusia memiliki kelebihan yang tidak bisa digantikan oleh robot, salah satunya adalah kreativitas, yaitu kemampuan untuk memproduksi atau mengembangkan suatu karya asli, ide, teknik, atau pemikiran.

Robot bekerja berdasarkan formula atau program yang diberikan manusia sehingga memiliki keterbatasan. Sementara manusia memiliki kreativitas yang membuatnya mampu menciptakan sesuatu hal yang sifatnya original dan cenderung tidak terbatas.

Itu mengapa, kreativitas kemudian menjadi kompetensi yang sangat dibutuhkan anak-anak kita di masa depan. Supaya dia mampu bersaing dan tidak tergantikan oleh robot. 

Karenanya kita perlu memfasilitasi anak-anak kita untuk mengembangkan kreativitas ini.

PANDEMI VS KREATIVITAS

Anak-anak membutuhkan media untuk membuatnya melakukan berbagai aktivitas untuk mengembangkan kreativitasnya. Dimana hal ini praktis menjadi tantangan tersendiri pada masa pandemi.

Sebelum pandemi, anak-anak bisa berangkat ke sekolah, bermain bersama teman-temannya, berinteraksi dengan gurunya, mengikuti berbagai kegiatan sesuai dengan minat dan bakatnya, bermain di alam terbuka, dan banyak lagi. Sementara sekarang, praktis mereka lebih banyak beraktivitas di rumah. 

Bosan itu pasti. Jadi, apa pengganti dari semua kegiatan ini? Bagaimana menyalurkan energi dan rasa ingin tahu yang begitu besar dari anak-anak ini? Di sinilah kemudian gadget seringkali menjadi musuh terselubung pada situasi ini. 

Anak-anak haus akan kegiatan, kita sebagai orang-tua pun tentu punya keterbatasan untuk memfasilitasinya karena segala kegiatan yang harus dilakukan, sehingga gadget menawarkan solusi supaya anak-anak tenang sementara orang-tua bisa tetap melakukan kegiatannya dengan tenang.

Solusi yang tidak bijak tentu saja, karena gadget akan membuat anak-anak terpaku padanya, melupakan kegiatan yang bermanfaat baginya, dan bahkan berpotensi menimbulkan masalah. Di antaranya adalah masalah kesehatan fisik (karena banyak duduk diam), terlambat berbicara, masalah atensi dan konsentrasi, masalah pada executive functioning, masalah pada perilaku, dan memburuknya kelekatan dengan orang-tua. 

Secara konkret penggunaan gadget yang berlebihan akan membuat anak terlalu terpaku padanya dan kurang melakukan aktivitas yang sesungguhnya bermanfaat. Termasuk juga aktivitas-aktivitas yang mengasah kreativitasnya. Padahal kreativitas ini menjadi hal yang sangat penting untuk masa depannya nanti.

KEGIATAN UNTUK MENGASAH KREATIVITAS ANAK

Sesungguhnya ada begitu banyak kegiatan yang bisa dilakukan anak-anak untuk mengembangkan kreativitasnya. Melalui berbagai permainan, diskusi, kegiatan seni, dan banyak lagi. Pada dasarnya setiap anak akan terdorong untuk melakukan aktifitas untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Dan kita sebagai orang-tua memiliki peran untuk memfasilitasi dorongan ini; baik dengan memberikan lingkungan yang supportif, memberikan ide kegiatan, dan juga membimbing (aktif mengajak bermain).

Membiarkan anak berkreasi meskipun rumah menjadi berantakan, menyediakan supply bahan-bahan yang dia butuhkan, tidak mudah marah saat anak merusak sesuatu karena sedang mencoba-coba, dalam hal ini termasuk bagian dari upaya kita untuk memberikan lingkungan supportif yang dimaksud.

Ada kalanya, kita sebagai orang-tua juga perlu merangsang anak-anak untuk melakukan kegiatan kreatif di tengah godaan gadget di masa pandemi ini. Bentuk kegiatannya sendiri bisa bermacam-macam, dari kegiatan seni seperti menggambar, kegiatan science seperti melakukan eksperimen sederhana, kegiatan berkaitan dengan logika berpikir seperti diskusi bersama, dan banyak lagi.

Butuh ide? Hmm, saat ini pun ada berbagai kegiatan tematik beserta supply-nya yang sangat memudahkan kita untuk mengajak anak berkreasi. Salah satunya adalah Faber-Castell Creative Art Series...

FABER-CASTELL CREATIVE ART SERIES

Yup, Faber-Castell memiliki serangkaian produk tematik yang merangsang kreativitas anak-anak. Dalam satu paket Faber-Castell Creative Art Series sudah lengkap akan peralatan, bahan, dan juga petunjuk pengerjaannya.

Misalnya seri Glow In The Dark Clock yang kami coba beberapa waktu lalu. Art Series ini mengajak anak-anak membuat jam yang bisa menyala dalam gelap. Adapun kegiatan yang dilakukan di sini meliputi mengecat, merangkai siluet gambar dan bagian-bagian lainnya hingga menjadi jam yang benar-benar bisa digunakan, dan tentu saja menyala dalam gelap!

Faber-Castell Creative Art Series: Glow In The Dark Clock
Foto: Faber-Castell Indonesia

Hoho, jangan tanya ya... sejak paket Glow In The Dark Clock ini datang, si Ganesh sudah ribut pengen bikinnya. Keseruan dia bikin si jam yang menyala di gelap ini bisa dilihat di video berikut ya...

Melakukan kegiatan Faber-Castell Creative Art Series ini, praktis sangat memfasilitasi kreatifitas anak-anak. Tapi bukan cuma itu. Kegiatan ini juga dapat meningkatkan bonding antara anak dan orang tua dengan mengerjakan project ini bersama-sama. Serta meningkatkan rasa percaya diri anak karena perasaan mampu membuat suatu benda yang benar-benar berguna dalam kehidupan sehari-hari. 

Si Ganesh benar-benar bangga akhirnya jamnya selesai, bisa berfungsi dengan baik dan bisa menyala di gelap!

Produk dari Faber-Castell Creative Art Series ini sendiri bermacam-macam, bukan hanya Glow In The Dark Clock saja. Ada juga Finger Printing Art, Basketball Arcade, Air Jet Sport Car, dan sebagainya. Semua bisa didapatkan secara online di marketplace favorit teman-teman (Shopee atau Tokopedia).

Beberapa Serie Faber-Castell Creative Art Series Lainnya

Faber-Castell Creative Arti Series: Basketball Arcade
Foto: Faber-Castell Indonesia

Bagi saya, adanya Faber-Castell Creative Art Series ini sangat membantu menyiapkan kegiatan yang bermanfaat untuk anak-anak. Tidak perlu memikirkan mau bikin apa, bagaimana caranya, dan membeli alat dan bahan secara terpisah, karena semuanya sudah disiapkan dalam satu kotak. Benar-benar praktis bukan?

***

Memang tantangan kita sebagai orang-tua untuk menyiapkan anak-anak menghadapi era digital yang semakin nyata ini tidak mudah. Apalagi di masa pandemi seperti saat ini. 

Sebagai orang dewasa, kita pun memiliki berbagai tanggung-jawab, sehingga memiliki keterbatasan tenaga maupun waktu untuk membimbing anak-anak kita. Namun, sesungguhnya mengajak anak-anak untuk melakukan kegiatan kreatif pun tidak sesulit dan seberat yang kita bayangkan. 

Misalnya dengan mengajak mereka mengobrol, menyediakan bacaan, pensil warna, kertas gambar atau art supply lainnya. Apalagi dengan adanya Faber-Castell Art Supply Series ini, yang benar-benar praktis dan menarik untuk anak-anak. 

Ada banyak kegiatan sederhana yang bisa dilakukan untuk membuat anak-anak tetap aktif dan mengembangkan kreativitasnya, tidak hanya terpaku pada gadget.

Bisa yok bisa... Demi masa depan anak-anak kita kan...

With Love,
Nian Astiningrum
-end-