“Apa sih perbedaan antara ‘berdamai’ dan ‘mengalahkan’?
“Wo, ya jelas beda dong… Dari sisi manapun jelas ga ada persamaan. Kata kerja ‘mengalahkan’ dan ‘berdamai’ (mungkin) memang sama-sama diawali dengan suatu pertandingan, kompetisi atau bahkan peperangan, namun dengan ending yang berbeda. Kata kerja ‘mengalahkan’ didapatkan setelah seseorang dinyatakan lebih kuat, lebih baik dan sebagainya. Sedangkan ‘berdamai’ adalah kata kerja yang digunakan saat kedua belah pihak kemudian berusaha saling memahami dan mengerti kepentingan masing-masing, kemudian menurunkan ego masing-masing dan kemudian memutuskan untuk berjalan bersama tanpa predikat ‘menang’ dan ‘kalah’.
Yes, keduanya memang beda… Tapi, dalam kasus yang lebih abstrak, perbedaan keduanya menjadi samar.
Misalnya seperti ini: pada suatu hari, saya share cerita saya tentang belajar menyetir ini di Facebook. Dan kemudian, ada seorang teman yang berkomentar, bahwa dia belum bisa menyetir karena belum bisa MENGALAHKAN rasa takutnya. Dan saya jawab, bahwa rasa takut itu bukan untuk dikalahkan tapi diajak BERDAMAI. Yes, I know hal ini tidak mudah dijelaskan dengan singkat semacam berbalas komentar di Facebook. Komen di Facebook sebenarnya bisa panjang juga sih, tapi kalau saya yang seringnya pakai hape untuk akses Facebook, males ngetiknya :D. Jadi, mari kita bikin jadi blog post saja, sekalian update blog :D.
Back again, jadi, setelah komentar saya itu, teman saya kemudian menjawab, “…iya, intinya di rasa takut kan…” Hmm, yes she’s right, tapi saya merasa dia tidak memahami maksud saya. So, here what I mean perbedaan antara ‘MENGALAHKAN’ dan ‘BERDAMAI’…
Saya adalah seorang perfeksionis, mungkin itu ada pada gen saya, karena sedari kecil, saya adalah seorang perfeksionis. Saat kecil, saya ingat sekali bagaimana saya selalu berusaha melakukan semua hal sesempurna mungkin; mulai dari menulis, menggambar (melukis), cara berpakaian dan banyak hal lainnya. Saya selalu berusaha menulis dengan sangat rapi, melukis dengan sesuai bayangan saya dan selalu meminta baju saya dimasukkan ke dalam celana atau rok yang saya pakai. Hal yang tampaknya baik-baik saja atau bahkan terdengar bagus, namun saya menemukan banyak benturan dengan sifat ini.
Saya sulit menerima adanya tulisan yang tidak rapi, coretan dan sebagainya dalam buku catatan saya. Saya sulit mentolerir hal yang semacam itu, dan jika hal itu terjadi, maka saya akan berusaha mengganti bukunya, karena saya maunya buku itu rapi! No stroke, no mistakes, no flaws, no compromise! Kebayang ya boros dan ribetnya… Lalu jika terpaksa harus berada dalam situasi tidak sempurna seperti keinginan saya, efeknya adalah rasa malas, tidak bersemangat dan sedikit (atau banyak tergantung kasusnya) merasa stress. Melihat atau berada dalam posisi yang tidak sesuai ekspektasi itu, sangat menyiksa* kaum perfeksionis seperti kami. Iya kan? (bertanya pada para perfeksionis).
Dan juga cukup fatal dalam beberapa kasus… Sewaktu SD, saya pernah tidak mengumpulkan tugas kerajinan tangan, karena berkali-kali berusaha membuat, tapi tidak berhasil seperti keinginan saya. Saya juga pernah menyobek lembar tes saya menjadi dua, karena merasa tulisan saya tidak rapi –saya menyobeknya untuk menghilangkan tulisan saya yang tidak rapi, saya menyalin jawabannya di sebelah kertas itu. Awkward, yes! Extreem, yes! Tapi bukan hal yang ter-ekstrim dan ter-fatal yang terjadi pada diri saya.
Hal paling ekstrim yang terjadi pada saya sebagai seorang perfeksionis adalah kemudian saya menjadi seorang PENAKUT sejati. Takut dalam begitu banyak hal; takut tampil, takut berkompetisi dan bahkan takut bergaul. Semua karena saya tidak bisa menerima ketidaksempurnaan. Saya takut terlihat konyol, terlihat bodoh… saya TAKUT UNTUK GAGAL.
Semua itu menyiksa saya, karena somehow seperti kebanyakan orang, saya pun membutuhkan apresiasi. Saya memiliki keinginan untuk menunjukkan kemampuan saya, karena saya merasa mampu. Dan walaupun saya seorang introvert, saya pun ingin bergaul dengan ‘bebas’ bersama teman-teman saya, tanpa terkungkung dan tergagu oleh perasaan takut terlihat konyol. Iya, dalam hal bergaul saja, saya terhambat karena sifat perfeksionis, just like I said, saya takut terlihat atau terdengar konyol, dan memilih diam adalah pelarian yang sempurna.
Setiap hari selalu dipenuhi begitu banyak keinginan –bertanya di kelas, berbicara dengan banyak teman, dan sebagainya- tapi selalu dihadapkan dengan ketakutan untuk gagal, sehingga kemudian mengurungkan niat saya. Waktu itu, setiap hari adalah tentang ‘keinginan’ yang kuat, ‘ketakutan’ yang tidak kalah kuat, ‘stress’ berada di antara keduanya, kemudian merasa gagal karena akhirnya tidak mampu mengalahkan rasa takut saya dan memilih untuk ‘diam’ dan tidak melakukan keinginan saya.
Agak abstrak ya? Hmm, but I believe, ada cukup banyak orang yang memiliki perasaan seperti ini, hanya intensitasnya saja yang berbeda.
That time, I was struggling to defeat my fear… Energi saya terkuras untuk berusaha mengalahkan rasa takut saya. Dan meskipun demikian, saya lebih sering gagal daripada akhirnya berhasil melakukan apa yang saya inginkan. Atau, jika pun berhasil, masih ada stress yang saya hadapi karena merasa apa yang saya lakukan tidak sempurna. Berusaha mengalahkan itu melelahkan, dan semu… karena meskipun akhirnya menang, tetap saja tidak mendapatkan apa yang kita inginkan.
And then, thank God… kehidupan membuat saya bertemu dengan banyak orang dan kejadian yang membuat saya mendapatkan pemahaman baru tentang menghadapi rasa takut. In some case, fear is part of ourself that should be accepted. Seperti halnya kita menerima diri kita sendiri. In some case, seperti halnya kasus saya…
Dan setelah itu, saya pun lebih intensif mengajak diri saya sendiri berdialog. Saya berusaha menyadari dan menerima ketakutan-ketakutan yang saya rasakan, karena ketakutan itu adalah bagian dari diri saya. Nah, disinilah bedanya antara ‘mengalahkan’ dan ‘berdamai’ dalam konteks ini. Saat kita berusaha mengalahkan, kita akan berusaha untuk mencari alasan pembanding supaya merasa lebih termotivasi untuk mengabaikan rasa takut itu dan tetap maju. Sedangkan saat kita berusaha berdamai, kita justru berusaha menyadari perasaan takut itu, bukan mengabaikannya. Dan selanjutnya, berdialog dengan diri kita sendiri, untuk kemudian mampu menerima bahwa kita harus tetap maju dengan sepenuh jiwa kita, termasuk rasa takut kita… Itu jauh-jauh lebih melegakan dan menghemat energi.
Nah, sampai di sini, lebih memahami maksud saya kan? Mengalahkan dan berdamai itu adalah dua hal yang sangat berbeda… Atau jika belum, berikut tabel perbedaan dari kata kerja ‘mengalahkan’ dan ‘berdamai’ secara psikologis:
Mengalahkan | Berdamai |
Dilupakan | Digali, diingat-ingat, diangkat ke alam sadar |
Disangkal |
Diterima keberadaannya, diajak bersahabat, diajak berdialog |
“Ah, seperti itu saja, aku pasti bisa!” | “Apa sih yang aku/Anda takutkan? Kenapa takut? Bla-bla-bla… It’s OK, rasa takut itu hal yang wajar, tapi toh kita harus tetap maju walaupun merasa takut.” |
Efeknya membuat merasa tertekan, merasa bersalah, merasa gagal | Efeknya membuat merasa bersemangat, lega dan tahan banting |
Kira-kira seperti itu… sekali lagi menurut pengalaman saya sebagai seorang dengan kepribadian melankolis (menurut teori yang dikenal sebagai Personality Plus) atau biru (menurut teori Color Code). Yang mungkin bagi beberapa orang dengan kepribadian yang berbeda terkesan rumit.
Bagi Anda dengan kepribadian Merah, Putih dan Kuning (Color Code) atau Cholerics, Phlegmatics dan Sanguines (Personality Plus); mungkin tidak terlalu mempedulikan rasa takut atau mudah saja mengabaikannya. Tapi, bagi kami si Biru atau Melancholy, mengelola rasa takut menjadi hal yang krusial untuk bisa menghadapi hari-hari dengan lebih ‘adaptif’. Membuat kita lebih lega, bahagia, dengan lebih sedikit perasaan gagal dan bersalah… membuat kita merasa lebih ringan :).
Bagi Anda yang memahami betul apa yang saya bicarakan, bahkan merasakan hal yang sama, semoga tulisan ini bisa membantu Anda memahami tentang alternatif menghadapi rasa takut yang lebih bersahabat dengan kepribadian kita ya. Sedang bagi Anda yang merasa tidak pernah terlalu bermasalah dengan rasa takut, semoga tulisan ini bisa memberikan referensi untuk memahami perasaan kami para melakolis ini. Haha :D
Dan at last, yang perlu diingat bahwa kepribadian itu bukan tentang baik dan buruk, tapi tentang bagaimana kita menyikapinya, untuk bisa terus maju ke depan dan berinteraksi dengan baik bersama banyak orang di sekitar kita. Jadi, meskipun kita terlahir/tumbuh sebagai pribadi dengan banyak rasa takut, kita pasti bisa menyikapinya dengan bijak dan maju ke depan.
Go deal with your own fear…
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
*Berada dalam posisi tidak sempurna (tidak sesuai ekspektasi) memang adalah hal yang tidak nyaman bagi seorang perfeksionis; dimana tingkat ketidaknyamanan ini tergantung intensitas dan kemampuan berkompromi untuk mengelola sifat tersebut.