SOCIAL MEDIA

search

Friday, May 31, 2019

Traumatisnya Tembakau bagi Saya

Rokok atau tembakau mungkin adalah hal yang sangat biasa kita temui di Indonesia… Pada saat berbelanja di minimarket, deretan rokok yang dipajang rapi ada di hadapan kita saat membayar di kasir, bahkan dengan gambar-gambar mengerikan yang sudah menghiasi kemasannya sejak beberapa tahun lalu…

Karenanya pula, dampak rokok bagi kesehatan bukan lagi rahasia, jadi silakan googling aja kalau mau tau bahayanya rokok bagi kesehatan. Atau, cukup nongkrong di depan kasir minimarket, udah keliatan kok… Saking biasanya, mungkin orang menganggap semua itu sepele saja…


But no! Saya tidak pernah menganggap rokok sesepele itu… Bahkan bagi saya, dia adalah satu karakteristik yang krusial dalam menentukan pasangan hidup di masa lajang saya. 

Yup, saya benci rokok! Dan saya tidak ingin suami saya adalah perokok! Sounds judgmental sekali ya… Tapi ya ini adalah perasaan pribadi saya… Toh saya juga tidak memaksa kok, dan saya pun tahu tidak bisa memaksa seseorang berhenti merokok, karena itulah, daripada saya makan hati seumur hidup hidup bersama perokok, ya sudah lah ya… better I'm looking for someone who's not

***

Kenapa sih saya benci rokok?

Baik… sejak kecil, sesungguhnya saya sudah cukup akrab dengan yang namanya rokok, bapak saya seorang perokok berat. Tidak jarang bahkan beliau menyuruh saya ke warung membeli rokok. Sampai sekarang, saya masih ingat betul kok rokok favoritnya, tapi ga usah disebutin lah ya… 

Ya, sejak kecil saya biasa melihat bapak saya atau pun orang di sekitar saya merokok… Saya kecil kala itu, ya tidak tahu apa sih sebenarnya rokok itu? Sampai akhirnya saya beranjak remaja dan merasa bahwa rokok itu adalah benda jahat yang mengukuhkan arogansi dan keegoisan seseorang yang saya kenal. Ya siapa lagi kalau bukan Bapak saya…

Tapi, ini bukan berarti saya benci dengan bapak saya ya… kami memiliki hubungan baik kok… meskipun benda bernama rokok itu tetap meninggalkan jejak di hati saya…

OK, sepertinya cerita selanjutnya akan jadi melankolis ya…

Rokok dan Adiksi

Beberapa orang mungkin berdalih bahwa rokok itu tidak menimbulkan ketergantungan sebagaimana zat-zat psikotropika, namun harus tetap diakui bahwa berhenti merokok itu adalah hal yang sangat sulit dilakukan.

Keluarga kami bukan lah keluarga berada dan saya happy-happy saja sih dengan segala keterbatasan itu… Bahkan saya bangga tuh tidak kalah berprestasi dengan teman-teman lainnya yang notabene memiliki kelonggaran finansial lebih dari saya. Saya juga sangat bangga dengan ibu saya yang jualan di pasar dan bapak saya yang pinter banget ngebengkelnya…

Tapi, saya tidak suka bagaimana bapak tetap merokok meskipun dengan segala keterbatasan kami… Bahkan dengan arogannya berkata, supaya saya tidak usah mengurusi kebiasaannya merokok. Sakit lho rasanya…

Bayangkan kata-kata seperti itu diucapkan pada anak yang baru duduk di akhir bangku SD dan berlanjut hingga SMP, SMA dan seterusnya. Masa-masa dimana anak sudah mulai bisa berpikir tentang baik, buruk dan moralitas… Dari saat itulah saya berpendapat bahwa rokok itu jahat! Karena demi dia, seorang kepala keluarga terkadang memangkas kebutuhan keluarganya yang lebih penting. Bukan sekedar kebutuhan finansial, tapi juga kebutuhan akan perhatian, merasa dihargai dan disayangi…

Rokok dan Stroke

Tahun 2005 bapak saya terserang stroke! Saat itu, saya masih kuliah di semester lima… benar-benar di tengah masa kuliah saya. Dan segalanya berubah menjadi lebih berat lagi sejak saat itu… bukan hanya karena permasalahan finansial, tapi juga psikologis.

Kondisi bapak yang lumpuh pada tubuh bagian kiri praktis membuatnya tidak mampu bekerja membantu memenuhi kebutuhan kami. Beruntung kami masih memiliki keluarga besar yang turut meringnkan beban kami, namun besarnya biaya berobat bapak, biaya sekolah kami bertiga, dan biaya sehari-hari; semua tetap terasa berat di pundak Ibu seorang diri.

Belum lagi kondisi psikis bapak yang menjadi jauh lebih temperamental akibat gangguan pada otaknya. bapak saya yang dulu sudah cukup keras kepala dan pemarah, karena stroke yang pada otak kanannya membuatnya berlipat lebih temperamental. Kami anak-anaknya dan juga Ibu tentu saja seringkali menjadi sasaran amarahnya dan juga kesedihannya.

Di satu sisi, saya begitu iba pada bapak yang kemudian tidak mampu melakukan begitu banyak hal secara mandiri dan harus tergantung pada orang lain. Namun, itu tidak menghilangkan marahnya hati saya saat kemudian menjadi sasaran temperamen bapak dan harus memaksa diri saya sendiri untuk mengalah.

Itu adalah situasi yang sangat berat bagi kami semua… Dan dari segala kebiasaan hidup tidak sehat  yang bapak jalani, saya semakin benci dengan benda bernama rokok!

Saya tidak akan bilang bahwa rokok adalah satu-satunya penyebab bapak mengalami stroke, karena bapak pun memiliki kebiasaan makan yang kurang sehat. Tapi, sepanjang pengetahuan saya dari berbagai literatur dan penelitian yang saya baca, kebiasaan merokok adalah satu hal yang akan meningkatkan risiko kejadian stroke.

Jadi, tidak salah bukan, jika kemudian saya sebegitu bencinya dengan rokok? Apalagi melihat kenyataan bahwa bahkan setelah mengalami stroke pun, beberapa tahun kemudian bapak masih kembali kepada rokok, meski dengan intensitas yang jauh berkurang.

Rokok itu jahat! Jangan mendebat itu dengan saya…

***

Yah, begitulah cerita saya teman-teman… Setelah semua pengalaman saya, rokok itu begitu identik dengan sikap egois, mau menang sendiri dan arogan.

Egois dan mau menang sendiri, karena demi rokok tidak jarang penikmatnya menomorduakan kebutuhan yang lebih utama dan penting dalam keluarganya. Padahal, rokok sendiri sesungguhnya bukanlah kebutuhan hidup…

Serta arogan, karena meskipun dengan berbagai fakta dan hasil penelitian yang menunjukkan bahaya rokok bagi kesehatan, penikmatnya masih menantang kenyataan itu. Dengan berkata, "Ah, yang merokok umurnya panjang juga banyak…" Padahal, oh man, ini bukan masalah umur panjang, tapi kualitas kesehatan kita yang tidak bisa selalu dibandingkan satu sama lain. Jika pun ingin membandingkan, bandingkan kesehatan kita sebagai perokok dan tanpa rokok, bandingkan diri kita sendiri, ga usah  cari pembenaran dari seupil kejadian langka diantara lautan fakta.

Bagi saya, memilih untuk menjadi perokok adalah keputusan yang kurang smart… karena sama dengan mengumpankan diri kepada monster jahat. Rokok akan membelenggumu, meskipun tidak sekuat narkoba. Dia akan membuatmu kesulitan untuk lepas, meskipun dihadapkan dengan berbagai kondisi yang tidak mendukung lagi, baik secara finansial atau secara kesehatan.

Jadi, jika kamu bukan perokok, better never try lah…

Dan jika kamu adalah perokok, please lihat orang-orang yang kamu cintai, jangan sampai mereka merasa dinomorduakan, diperlakukan egois, dipaksa mengerti sesuatu yang salah… hanya karena rokok…

Kadang saya menangis sambil menulis diari masa kecil saya dalam kondisi itu. Dan lebih buruk saat merasa bahwa dia (rokok) adalah penyebab bapak saya jatuh stroke, sehingga memperberat kehidupan kami, baik dari sisi finansial maupun psikologis. Tidak salah bukan jika hati saya jadi sekeras ini mengenai rokok…

Dan percayalah, kalian tidak ingin orang-orang yang kalian cintai merasakan apa yang saya rasakan…

Jadi, dengarkan lah pada saat mereka mengeluh atau menasehati tentang kebiasaan merokokmu… Singkirkan jauh-jauh, perasaan bahwa apa yang mereka bicarakan hanyalah omong kosong yang sudah kamu ketahui semuanya. Bukan, bukan tentang itu… Mungkin mereka bukan hanya sekedar memberitahumu, tapi mereka sedang mencari kasih-sayangmu untuk mereka…

Kamu mencintai mereka bukan?

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Wednesday, May 29, 2019

Mengatasi Anak yang Takut ke Dokter Gigi

Teman-teman ada yang anaknya takut ke dokter gigi? Kalau iya, samaan kita…

Sungguh, ke dokter gigi itu bagaikan sinetron yang bikin gemes ending-nya. Anaknya sih seneng-seneng aja diajak ke dokter gigi, pas disuruh duduk di meja tindakan juga masih OK. Tapi, begitu disuruh mangap, dioles anastesi dan dokter pegang tang untuk mengambil giginya… mulai lah Ganesh nanya macem-macem begini begitu dalam rangka membuat dokter menunda mencabut giginya.


Asli gemes kalau udah kaya gini! Beberapa kali saya sampai memilih membawa Ganesh keluar dari ruang praktek dulu untuk membujuknya, supaya tidak menghambat antrian…

Sebenarnya kenapa Ganesh jadi susah dieksekusi masalah gigi ini juga ada andil kesalahan kami sih… Jadi, dulu pada saat giginya pertama kali goyang, kami mengajaknya ke dokter gigi yang sedikit kurang friendly gitu deh… juga kok kayaknya wejangannya menyesatkan kami. Jadi, waktu itu, sang dokter bilang kalau gigi anak ya memang kalau sudah saatnya walaupun belum goyang harus dicabut biar giginya rapi. Well, ini membuat kami sedikit obsessed dan buru-buru mengajak Ganesh ke dokter gigi begitu giginya goyang sedikit…

Padahal, kemudian pada saat kami pindah dokter gigi, sang dokter tidak menyarankan mencabut gigi anak yang baru goyang sedikit, karena takut trauma… Terus, saya setuju dengan pendapatnya, dan lumayan nyesel sih kenapa dulu anak Ganesh ke dokter gigi itu.

Di dokter gigi lama itu, memang Ganesh sempat mengalami insiden yang membuatnya (mungkin) trauma.

Jadi, waktu itu, Ganesh mau cabut gigi di dokter lama ini… Bukan yang pertama sebenarnya, tapi hari itu mendadak dia ga mau pas sudah di meja tindakan. Nah, kok ya kami ga sabar dan pulang dulu saja, tapi malah tetap mencabut giginya. Alhasil tangan sang dokter digigit…

Sejak itulah, drama maju mundur di meja tindakan terjadi dan berulang sampai beberapa kali…

Ya akhirnya anaknya tetap dicabut juga sih… tapi effort-nya itu lho… Sampai beberapa kali keluar masuk ruang praktek karena pas mau dicabut, anaknya ada aja alasannya untuk ga dicabut. Bahkan yang terakhir, saking lamanya akhirnya keluar juga gratifikasi berupa janji mau beliin mainan kalau mau dicabut gigi. Juga ancaman, kalo ga mau juga dicabut giginya, nanti akan ditinggal pulang…

Yes, dua yang terakhir sangat tidak mendidik saya akui… tapi, kondisi terjepit… udah hampir satu jam di dokter gigi anaknya masih aja maju mundur dan jika pun mau pulang dan kembali lagi lain hari, takutnya malahan anaknya semakin menjadi, berpikir kalo dia bisa menunda sampai hari beriutnya. Jadi, ya sudahlah…

Hingga akhirnya, Selasa kemarin kami sukses mengakhiri drama yang menguras kesabaran itu… Tanpa drama sama sekali, anaknya akhirnya duduk di meja tindakan dan membiarkan giginya dieksekusi begitu saja.

Ya, tetep sih, dia sempat menjerit kesakitan pada saat giginya diambil… Pun pada saat diambil, tangannya ikut memegangi tangan sang dokter, tapi tidak menghalangi. Doesn't matter lah ya…

Penasaran kok bisa begitu? Begini ceritanya…

#1: Empati, kemudian menjelaskan mengapa harus, bagaimana caranya, dan siapa yang akan mencabut giginya

Pada saat anak-sanak mengalami emosi tertentu, dalam hal ini ketakutan, empati adalah kunci untuk dapat membuatnya lebih tenang, mengendalikan emosinya, dan kemudian lebih siap untuk berpikir rasional.

So, proses ini dimulai dengan

"Anesh, Mama tau Anesh takut… Mama dulu juga takut sih pas pertama cabut gigi. Tapi, meskipun takut, ya itu harus dilakukan… Kalo giginya ga dicabut, gigi kita jadi ada dua lho… Apa enak punya gigi dua? Udah gitu kalo giginya ga rapi kaya gitu, kotoran susah diilangin dan jadinya gampang berlubang lho Kak… Jadi, walaupun Anesh takut, ya tetap harus kita cabut…"

"Lagian, itu sakitnya ga banget lho Kak… Cuma sedikit aja, karena kan Tante Dokter pake gel yang diolesin ke gusi Kakak dan bikin saraf Kakak bobok sebentar…"

"Nanti Tante Dokter itu pake tang cabutnya, jadi ga meleset-meleset tangannya dan cepet cabutnya… Paling sakitnya satu detik aja…"

"Anesh tau enggak? Tante Dokter itu udah sekolah lama banget biar bisa jadi dokter gigi lho… Dia udah diajarin gimana caranya cabut gigi yang ga sakit, arahnya harus kemana, pake alat apa… banyak… Makanya, Anesh percaya ya sama Tante Dokter…"

#2: Mengulang-ulang prosesi mencabut gigi di dokter gigi sesering mungkin, juga maksud dan tujuan dari mencabut gigi

Selama seminggu menunggu waktu mencabut gigi berikutnya yang sudah mulai goyang, setiap hari saya selalu mengajak Ganesh membayangkan prosesi mencabut gigi yang dihadapinya selama ini…

"Anesh, ayo kita bayangin gimana sih kalo ke Tante Dokter mau cabut gigi itu… biar Anesh tau banget apa yang Anesh takutin itu…"

"Pertama Anesh, kita dateng tuh ke rumah sakit, terus daftar sama tante di bawah… Habis itu, kita naik ke atas, terus Anesh ditimbang sama diukur badannya. Habis itu, kita disuruh nunggu lagi sampe giliran kita."

"Terus, kita nunggu… Tante Dokternya dateng deh, terus kita dipanggil, "Anak Ganesha…" Terus kita masuk ke ruangan tante dokter…"

"Kita duduk di kursi depan tante dokter… baunya coba diinget-inget Nesh, kan Anesh katanya ga suka baunya ruangan tante dokter ya…"

"Habis itu, tante dokter nanya, "Kenapa Anesh?" Terus Anesh jawab, "Mau cabut gigi tante…" Terus Anesh disuruh duduk di kursi buat cabut gigi deh…"

""Buka mulutnya Nesh…" katanya Tante Dokter. Terus Anesh diolesin gel yang bikin ga sakit pas dicabut giginya… Habis itu, Tante Dokternya ngeliatin tangnya yang buat cabut gigi Anesh, terus ditempelin di gigi Anesh, terus nanya, "Sakit enggak Nesh?" Terus Anesh jawab, "Egghaak… soalnya Anesh kan jawabnya sambil mangap…" *Kasih joke dikit biar anaknya ketawa

"Terus, Tante Dokter nanya, "Giginya Tante ambil ya…" 

"Nah, udah Anesh bayangin kan… bagian mana nih yang bikin Anesh takut?"

Iya, sedetail itu… setiap hari… bahkan sehari bisa lebih dari sekali… untuk membantu Ganesh memvisualisasikan ketakutannya dengan sedetail mungkin. Yang tak lain semua ini bertujuan untuk mengidentifikasikan emosinya, sehingga kemudian akan membuatnya lebih mudah meng-handle emosinya tersebut.

Baca juga: 

Di sela-sela sesi visualisasi ini, juga saya menyisipkan alasan dari beberapa hal. Misalnya, pada saat dia bilang baunya ruangan dokter gigi yang membuatnya takut, kemudian saya jelaskan, "Anesh, jadi alat-alatnya Tante Dokter itu kan perlu diilangin kumannya, jadi dia pakai cairan khusus untuk nyeterilin alat-alatnya itu… nah inilah yg bikin baunya kaya gitu. Juga obat pelnya lho Kak, itu beda anti kuman…"

#3: Membuat perjanjian mengenai konsekuensi jika masih berlama-lama cabut giginya

Yak, selain poin satu dan dua, mendekati hari H, saya pun membuat kesepakatan dengan Ganesh seperti ini, "Kakak, besok Mama ga mau lagi ya Kakak lama-lama cabut giginya… Kalau besok lama, Mama ga mau anterin lagi… Anesh sama Papa aja cabut giginya!"

Hwahaha… saya galak banget ya… Tapi, ini ada tujuannya…

Jadi, si Ganesh ini anaknya tipe yang suka nawar… jadi selama masih dia tawar, ya dia akan nawar sampai dapat mendekati yang dia mau. So, I just need to make it clear kalau dia ga bisa nawar dalam hal ini. Dia harus segera mencabut giginya begitu kami memutuskan ke dokter gigi. Titik. Tidak ada tawar menawar lagi.

***

Daaan… tada… alhamdulillah… eksekusi gigi Ganesh kemudian benar-benar tanpa drama. Wow!

Jadi, hari itu di jalan pun saya ulang lagi memvisualisasikan prosesi pencabutan giginya pada poin dua. Lalu bertanya, "Bagian mana yang Anesh takut? Kira-kira Anesh berani enggak?" Dan dia menjawab, "Anesh enggak takut…"

Lalu saya ingatkan juga tentang kesepakatan pada poin tiga… dan saya tekankan bahwa tidak ada tawar-menawar setelah kesepakatan. Jadi, jika dia hari itu pake acara drama lagi cabut giginya, dipastikan kalau saya tidak akan mengantarnya lagi ke dokter gigi.

Daan… tumben, begitu duduk di meja tindakan, semua berjalan lancar… Diminta buka mulut, ya buka mulut… Diolesin gel anastesi ya anteng aja… Begitu waktunya cabut gigi juga ga ada apa-apa, cuma dia ikut pegangin tangan dokter giginya, terus "Aaak…" tau-tau giginya sudah dicabut gitu aja…

Asliii… kaya menang lomba blog aja rasanya, seneng banget…

Anaknya juga super happy berhasil mencabut giginya tanpa drama, sepanjang jalan dia tak henti-henti bercerita tentang kemenangannya. "Mama, I'm so proud of my self," katanya… dilanjutkan dengan, "Mama, do you proud of me?"

"Ooh Anesh, yes! Tentu saja yesss…" Tuh 'S' nya sampe banyak banget saking bangganya… "You do great!"

Lalu dia bilang lagi, "Mama, kapan Anesh cabut gigi lagi? Anesh pengen liatin Papa kalau Anesh udah berani…" Hahaha… Anesh… Anesh…

***

Iya… gitu deh ceritanya kami mengakhiri drama maju mundur waktu cabut gigi… Semoga habis ini, beneran ga ada drama lagi ya… Dan semoga juga cerita ini bisa bermanfaat untuk teman-teman semua ya… Amiin…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Sunday, May 19, 2019

Tentang Aktualisasi Diri, Hierarki Kebutuhan Maslow dan Konformitas

Di mata banyak orang, Lani adalah seorang wanita yang beruntung. Selepas menamatkan pendidikannya di sebuah universitas terkemuka, kemudian dia mendapatkan pekerjaan yang cukup prestise di sebuah perusahaan BUMN.

Dari social media-nya pun tampak dia cukup menikmati pekerjaannya, meskipun memang dia jarang posting hal berkaitan dengan pekerjaannya.

Pekerjaannya adalah idaman banyak orang… Gaji relatif besar, tunjangan kesehatan memberikan jaminan yang cukup untuknya dan keluarga, dan beban kerjanya pun tidak terlalu berat. Wow! Apalagi yang dicari coba?

Karena itu, saat dirinya mengungkapkan keinginannya untuk resign, kemudian beberapa orang berujar, "Sayang lho… pikir bener-bener deh…" Dan dia pun menuruti nasehat itu, dia bertahan hingga beberapa tahun, berusaha meyakinkan dirinya akan nasehat orang-orang padanya… Namun, anehnya keinginan itu bukannya surut, dan justru semakin menjadi-jadi…

***

Fiksi ya ini ya teman-teman… alias bukan kisah nyata… Tapi, kejadian seperti ini tidak jarang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, meskipun tidak bisa dibilang sering.

Dan somehow, kemudian insting suka menganalisa hal-hal macam ini muncul dan dilanjutkan dengan pemikiran, "Lumayan juga buat update blog…" Sampai akhirnya, niat pun bulat untuk buat tulisan tentang 'gejolak' pikiran saya ini…

Here it is

***

Dalam sebuah teori, bernama Hierarki Kebutuhan Maslow, dikisahkan bahwa motivasi seseorang untuk melakukan berbagai hal itu dapat dikategorikan dalam lima golongan besar dan dijelaskan dalam konsep hierarki.

Biar kebayang, kita liat gambarnya dulu…


Jadi, menurut teori ini, hal pertama yang akan menjadi motivasi seseorang adalah kebutuhan fisiologis… Dan baru setelah kebutuhan tersebut terpenuhi dalam batas tertentu, kemudian motivasi akan naik ke level di atasnya, yaitu kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta… Begitu seterusnya…

Ya, menurut Maslow, motivasi kita bersumber dari belum terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu; kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta, kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta, kebutuhan harga diri, serta aktualisasi diri.

Dimana untuk empat level pertama, motivasi akan menurun semakin kebutuhan tersebut terpenuhi. Sementara untuk kebutuhan teratas yaitu aktualisasi diri, justru kebutuhan akan semakin meningkat semakin kebutuhan tersebut terpenuhi.

Gampangnya gini… saat seseorang lapar, maka mencari makan adalah motivasi utamanya. Dia mungkin akan mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan dasar ini. Kemudian, setelah kebutuhan ini terpenuhi pada taraf tertentu, maka dia tidak akan lagi menjadi motivasi bagi orang tersebut. Kemudian, orang tersebut akan berusaha memenuhi kebutuhannya akan rasa aman, mungkin dengan berusaha mencari pekerjaan dengan status pegawai tetap yang lebih memberikan kepastian, maupun risiko kecelakaan kerja lebih kecil.

Begitu… seterusnya… sampai akhirnya terpenuhi kebutuhannya akan harga diri, aktualisasi diri pun kemudian akan menjadi motivasinya.

Tapi, perjalanan motivasi ini pun tidak mulus alias menapak ke atas terus… Bisa naik, bisa turun, bisa juga stuck alias diam di tempat, tergantung kondisi lingkungan dan juga kepribadian serta preferensi seseorang. Ya akan ada juga orang yang motivasinya all about the money, ga perlu tuh yang namanya harga diri, para koruptor misalnya kan…

Lalu, berbicara mengenai level motivasi tertinggi, yaitu 'aktualisasi diri', sesungguhnya hal ini lah yang mendorong Lani kemudian memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya.
Menurut Maslow, 'aktualisasi diri' adalah istilah untuk menyebut keinginan seseorang akan self-fulfillment (pemenuhan diri), yaitu kecenderungannya untuk mewujudkan dirinya sesuai potensi yang dimilikinya. 
Di tempat kerjanya saat ini, ternyata Lani merasa tidak merasa bisa mengembangkan potensinya dengan baik. Dia sudah berusaha keras menemukan kenyamanan dengan menampilkan performa terbaiknya, juga berprestasi dalam bidang-bidang sesuai passion-nya. Tapi, apa daya, pada satu titik dia benar-benar merasa tidak nyaman dan memilih untuk berhenti dari pekerjaannya.
Karena uniknya setiap individu, motivasi untuk mengaktualisasikan diri kemudian mendorong orang ke arah yang berbeda-beda. Ada yang mencapainya melalui seni atau literatur, dan bisa juga dalam bidang olah-raga, menjadi guru, atau dalam dalam setting perusahaan (Kenrick et. al., 2010).
Aktualisasi diri bukan tentang banyaknya materi, tapi sebuah kesempatan seseorang bisa menjadi sebesar potensi yang dimilikinya. Dan juga bukan berarti jika seseorang siap tinggal landas menuju level aktualisasi diri kemudian kebutuhan-kebutuhan lain yang telah dipenuhi akan selamanya aman… Tentu tidak…

Ada kalanya peluang mengaktualisasikan diri itu berisiko mengganggu stabilitas kebutuhan yang telah dipenuhinya. Contoh sederhananya adalah saat Lani ingin berhenti dari pekerjaannya untuk mengembangkan diri dengan risiko bahwa pekerjaan barunya tidaklah mampu menghasilkan sebesar penghasilan lamanya.

Inilah yang kemudian sering digaungkan orang sebagai, "Life's begin at the end of your comfort zone…" Dalam tujuan mencapai diri yang teraktualisasi itu, kita perlu mengambil risiko untuk keluar dari zona nyaman yang sudah kita capai. Karena itu, tidak berlebihan rasanya jika kemudian Maslow memperkirakan bahwa hanya dua persen orang yang mampu mencapai level aktualisasi diri.

Wah, hebat dong orang yang bisa sampai ke level aktualisasi diri?

Hmm, jika menilainya adalah dia bisa mencapai sesuatu yang tidak bisa dicapai orang lain, yup, dia hebat. Atau dari sudut padang psikologis netral, mereka ini adalah golongan orang-orang yang spesial alias unik. Tapi, latar belakang dan kondisi setiap orang itu kan berbeda… Jadi, just follow your heart… and let's embrace whatever our choice… Toh definisi kesuksesan setiap orang itu kan berbeda…

Dan kembali pada hal aktualisasi diri, berdasarkan pengamatan pada 18 orang yang dinilai mencapai level ini (aktualisasi diri), termasuk Abraham Lincoln dan Albert Einstein, Maslow mengidentifikasikan 15 karakteristik dari individu yang mampu mengaktualisasikan dirinya:
  1. Individu yang memahami realitas secara efisien dan dapat mentolerir ketidakpastian
  2. Menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya
  3. Spontan dalam berpikir dan bertindak
  4. Berfokus pada masalah (bukan pada diri sendiri)
  5. Memiliki selera humor yang tidak biasa
  6. Mampu melihat kehidupan secara efektif
  7. Memiliki kreativitas tinggi
  8. Tidak mudah terpengaruh pada enkulturasi
  9. Peduli pada kesejahteraan manusia
  10. Mampu memberikan apreasiasi mendalam terhadap pengalaman hidup dasar
  11. Membangun hubungan interpersonal yang memuaskan dengan sedikit orang
  12. Pengalaman puncak (peak experiences
  13. Kebutuhan akan privasi
  14. Sikap demokratis
  15. Moral dan standar etik yang kuat
Dan kemudian, apa hubungannya antara aktualisasi diri dan konformitas? Eh, by-the-way, udah pada tau belum sih apa itu 'konformitas'?
Konformitas adalah salah satu jenis pengaruh sosial yang meliputi perubahan kepercayaan (sikap mental) atau perilaku untuk menyesuaikan dengan sebuah kelompok. Dimana perubahan ini merupakan respon pada tekanan kelompok yang nyata (misalnya kehadiran fisik orang lain) atau yang dibayangkan (misalnya tekanan dari norma sosial dan ekspektasi).
See… dari kelimabelas karakteristik orang yang mampu mengaktualisasikan diri tersebut jelas mengisyaratkan bagaimana individu tersebut menghargai keunikan diri sendiri dan orang lain, serta tidak mudah terpengaruh pada budaya atau lingkungan… Yes! Tidak salah bukan, jika saya merasa bahwa seseorang yang cenderung tidak konformis itu memiliki dorongan yang lebih tinggi akan aktualisasi diri dan potensi untuk mencapainya.

So, jika suatu saat teman-teman menemui sesosok orang yang tampak tidak sejalan dengan jalan berpikirmu dan banyak orang… No, itu bukan berarti bahwa orang tersebut buruk lho, dia hanya berbeda saja dengan kita, tidak lebih dan tidak kurang.

Sampai disini, cukup bisa dipahami bukan hubungan antara aktualisasi diri, Hierarki Kebutuhan Maslow dan konformitas yang ingin saya sampaikan?
Bahwa aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan pada level tertinggi menurut Hierarki Kebutuhan Maslow. Dan somehow, menurut Maslow, orang-orang yang sampai pada level ini memang minoritas, dan bisa dipahami jika mereka ini adalah orang-orang yang memiliki pemikiran berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Yes, indeed most of of them are nonconformist
Dan kembali pada kasus Lani… Saat dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya yang begitu menjanjikan, yes, dia sedang keluar dari zona amannya. Dia mengambil satu keputusan yang tidak akan diambil oleh sebagian besar orang. Pun semua itu karena dia memiliki keinginan dan mimpi yang berbeda dengan kebanyakan orang.

Demikian juga jika pilihannya ini kemudian berbeda dengan kesuksesan yang didefinisikan banyak orang, itupun bukan berarti bahwa dia gagal. Semua itu semata karena kesuksesan di mata Lani berbeda dengan kesuksesan yang didefinisikan banyak orang. Dan berbeda itu sama sekali tidak salah bukan?

***
Kurang lebih begitu teman-teman…

Seribu dua ratusan kata nih by-the-way, terima-kasih sudah membaca ya… Harapannya sih, tulisan ini selain membantu saya mengeluarkan uneg-uneg karena gatel ingin menanggapi sesuatu, juga bermanfaat untuk teman-teman melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Dan selanjutnya, mungkin bisa membantu teman-teman memahami orang-orang di sekitar kita.

That's it

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Monday, May 6, 2019

Fuwa Fuwa… Finally Arrived in Lampung!

Tada! Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu penggemar Japanese Cheesecake seantero Lampung datang juga!

Yes, Fuwa Fuwa dengan tagline-nya 'First Japanese Authenthic Fluffy Cake in Indonesia' hadir di Lampung pada tanggal 2 April 2019! Dan sejak itu, maka resmilah warga Lampung tidak perlu jastip lagi kalo pengen makan Japanese Cheesecake yang sesungguhnya…

Iya lho, ternyata dari beberapa cerita customer Fuwa Fuwa, ternyata dulu mereka harus jastip ke Jakarta kalau pengen makanan satu ini… Alhamdulillah ya, sekarang sudah tidak perlu serempong itu lagi… Yeay!

Eh, tapi… tanggal 2 April 2019 itu sesungguhnya Fuwa Fuwa Lampung baru soft opening saja, alias belum terlalu woro-woro kemana-mana akan eksistensinya… Dan baru deh, pada tanggal 27 April 2019 lalu, dilaksanakan hajatan Grand Opening sebagai bentuk syukuran atas pembukaan sekaligus pengumuman kepada khalayak luas akan kehadiran Fuwa Fuwa Lampung.

Nah, sebagai bagian dari woro-woro tadi, secara mungkin beberapa dari teman-teman belum kenal nih apa sih Fuwa Fuwa… Cekidot ya…

Apa sih Fuwa Fuwa itu?


Yes, 'Fuwa Fuwa' adalah istilah dalam Bahasa Jepang untuk mendeskripsikan suara yang berasal dari sesuatu yang ringan dan lembut. Seperti itulah kira-kira lembutnya cake Fuwa Fuwa… Penasaran? Teman-teman bisa dengarkan dengan cara mendekatkan cake Fuwa Fuwa ke telinga dan menekannya dengan kedua jari. Teman-teman akan dengar suara lirih yang menandakan lembutnya cake Fuwa Fuwa.

Kok bisa selembut itu?

Semua itu dihasilkan dari perpaduan bahan-bahan berkualitas tinggi dan telur segar yang diolah dengan teknik Jepang yang (menurut saya) cukup rumit.

Yup, produk andalan dari Fuwa Fuwa sendiri adalah Japanese Cheesecake alias Cheesecake ala Jepang dengan karakteristik khasnya. Dan basically benang merah dari produk-produk dari Fuwa Fuwa sendiri adalah keju, sehingga mereka memiliki rasa dan aroma keju yang dikemas dengan berbagai bentuk, rasa dan tekstur. 

Here they are

#1 Cheesecake (Japanese style of course


Apa Itu Japanese Cheesecake?

Ini pun yang menjadi pertanyaan saya pertama kali mendengar istilah Japanese Cheesecake… Emang Japanese Cheesecake itu apa, dan apa bedanya dengan cheesecake lainnya? Ya secara selama ini saya kenalnya ya cheesecake gaya Eropa yang ada di gerai-gerai Bre***alk…

Dan ternyata, setelah membaca beberapa artikel, baru saya tahu bedanya…

Jadi, Japanese Cheesecake (atau sering disebut cotton cheesecake atau light cheesecake) adalah jenis chiffon cake yang berasal dari Hakata Jepang pada tahun 1947. Dan seperti halnya chiffon cake, cheesecake ini memiliki tekstur yang sangat lembut atau fluffy

Cheesecake ini memiliki rasa manis yang lebih ringan dan kalori yang lebih rendah daripada cheesecake pada umumnya, karena mengandung lebih sedikit keju dan gula.

Nah, cheesecake seperti inilah signature dishnya Fuwa Fuwa… Bagi saya pribadi sangat layak dimasukkan dalam list dessert favorit karena rasanya yang enak, rendah kalori dibandingkan cheesecake jenis lainnya, dan tanpa pengawet maupun pengembang. Ga salah, jika kemudian disebutkan bahwa sepotong atau dua potong cheesecake ini tidak akan membuat kita merasa bersalah… Totally agree!


Cheesecake ini terdiri dari tiga varian; yaitu Signature (original), Choco (coklat) dan Matcha (green tea). Meskipun memiliki rasa yang berbeda, ketiganya memiliki tekstur dan kelembutan yang sama, namun spesial pada varian Choco, terdapat chocochips di tengahnya, sehingga pada kondisi panas/hangat akan lumer. Yumm…

Saking lembutnya, seperti yang suka kita lihat di video, mereka ini pun jiggly-jiggly alias bisa goyang-goyang gitu… Apalagi dalam kondisi panas ya… Kalau dalam kondisi dingin sih, udah ga terlalu heboh lagi goyang-goyangnya, tapi tetap lembuttt…

#2 Pillow Cake



Nah, kalau Pillow Cake ini sesuai namanya emang asli empukkk kaya bantal…

Jadi, kalau Pillow Cake ini teksturnya tidak selembut Cheesecake dan sedikit menyerupai bolu, namun tetap jiggly-jiggly, apalagi dalam kondisi panas.

Rasa manis Pillow Cake tergolong light dan di tengahnya melintang keju slice dengan rasa dominan asin, sehingga menjadi paduan yang sangat pas untuk teman minum kopi atau teh.

#3 Cheese Cup


Nah, kalau Cheese Cup ini rasanya mirip es krim tapi lebih creamy

Cheese Cup terdiri dari tiga lapisan; yaitu creamy cheese filling pada bagian paling atas, kemudian soft sponge cake di bagian tengah, dan crunchy crumbles di bagian paling bawah.

Nyamm… kebayang kan yummy-nya…

Oh ya, Cheese Cup ini ada tiga varian rasa ya… Original, coklat dan strawberry… Warnanya sih mirip-mirip, karena ketiganya tidak memakai pewarna tambahan.

#4 Fuwa Stick


Kebayang ga sih si Cheesecake dibekukan kemudian dilapisi coklat cair dan diberi toping suka-suka? Huh, ini enak banget lho… Macam es krim magnum gitu, tadi di dalemnya cheesecake!

Untuk memesan Fuwa Stick, kita akan diminta untuk memilih cheesecake bagian dalamnya (Signature, Choco, atau Matcha), setelah itu pilih toping yang ada: kacang, choco pearls, oreo, rainbow sprinkle, choco spinkle, dan corn flakes (maksimal tiga toping untuk tiga sisi).

#5 Fuwa Bites


Dan yang terakhir ini, Fuwa Bites adalah cheesecake dalam bentuk biskuit… Ini adalah cheesecake yang dipanggang kering hingga menyerupai biskuit, jadi rasanya tentu saja menyerupai cheesecake tapi renyah. Pas dimakan sebagai camilan sambil kerja atau nonton TV…

Fuwa Bites ini dikemas dalam bentuk pouch yang masing-masing terdiri dari tiga varian rasa (keju, coklat dan matcha).

Grand Opening Fuwa Fuwa Lampung

Setelah kurang lebih empat minggu melayani customer di Lampung, Fuwa Fuwa Lampung pun melaksanakan hajatan grand opening yang digelar pada tanggal 27 April 2019 bertempat di Outlet Fuwa Fuwa Lampung di Mall Boemi Kedaton - Ground Floor.

Pada saat Grand Opening ini, 100 buah Cheesecake Signature normalnya seharga 80K dijual dengan harga prom 30-40K saja, dengan rincian 50 kue pertama  seharga 30K dan 50 kue berikutnya seharga 40K.

Yes! It's a big deallll… Kapan lagi ada promo lebih dari 50% gini kan… Dan para penggemar cheesecake khususnya Fuwa Fuwa di Lampung pun begitu antusias memanfaatkan kesempatan ini dan rela mengantri untuk mendapatkan cake super fluffy ini dengan harga miring.


Syaratnya pun hanya follow akun instagram @fuwafuwalampung dan @fuwafuwa_world… Jadi, setelah Tim Fuwa Fuwa memastikan customer mem-follow kedua akun ini, mereka pun berhak mendapatkan nomor antrian untuk melakukan transaksi dengan harga promo tersebut… Yeay!


And guess what, 100 kue ludes dalam waktu 1 jam 20 menit saja… Amazing! Dan bahkan ada beberapa customer yang terpaksa tidak terlayani karena kuota sudah habis…

Dan suksesnya hajatan Fuwa Fuwa Lampung ini tentu tidak lepas karena kerjasama seluruh kru yang bahu membahu melaksanakan tugas masing-masing agar keramaian ini berjalan lancar dan adil. Serta tentu saja customer yang kooperatif dan tertib untuk mendapatkan antrian dan bertransaksi.

***

Wooh… what a day! Setelah sepagian para baker mempersiapkan 100 buah kue dan seluruh tim membantu packaging, mengelola antrian, dan melakukan transaksi; capek itu pasti… Tapi, semua  pasti terbayar dengan rasa puas yang membuncah melihat antusiasme dari para customer…

Dan akhir kata, sebelum menutup postingan ini, teriring doa semoga Fuwa Fuwa Lampung selalu dapat menghasilkan produk yang berkualitas dari sisi rasa dan juga kesehatan, serta selalu mendapatkan tempat di hati masyarakat Lampung. Aminn…

Sekian reportase saya dan terima-kasih… *Duh, kok jadi kaku gini endingnya ya… 😂

With Love,
Nian Astiningrum
-end-