Dulu, untuk menyemangati saya, Bapak selalu bilang, “Nian, tau ga? Bedanya kamu sama gurumu itu cuma semalem saja… malam ini gurumu belajar materi, dan besok pagi dia ajarkan materi itu padamu. Jadi, kamu sama sekali tidak kalah pintar dibandingkan gurumu, dia hanya lebih dulu belajar daripada kamu…” Dan waktu itu saya sangat setuju dengan pendapat Bapak, meskipun tidak sampai membuat saya benar-benar semangat untuk belajar, karena saya selalu kesulitan untuk ‘belajar’ dengan cara konvensional. Saat itu saya belum menemukan cara membuat informasi yang ada di dalam buku teks pelajaran terserap dalam otak, membaca buku pelajaran itu hanya membuat saya mengantuk. Begitulah, waktu itu, bagi saya dan banyak orang dekat saya berpendapat bahwa sekolah dan guru adalah untuk menambah pengetahuan tentang matematika, ilmu sosial, ilmu alam dan sebagainya. Itu saja…
Tapi, pengalaman saya selanjutnya mengatakan lain, peran guru jauh lebih besar dari sekedar melakukan transfer pengetahuan kepada siswa-siswa. Tanpa sosok seorang guru semasa duduk di bangku SMP dan SMA yang kerap mengatakan secara langsung atau tidak langsung bahwa saya memiliki kelebihan dalam bidang bahasa, saya tidak akan termotivasi untuk mendalami dunia tulis menulis lebih dalam. Begitu juga seorang dosen dimasa kuliah yang tanpa disadarinya memberikan apresiasi atas penulisan skripsi yang dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu semester dengan revisi yang relatif sedikit, serta topik yang unik menurutnya, saya tidak akan sadar bahwa memiliki kelebihan dalam hal penulisan ilmiah. Sehingga saya pun merasa semakin merasa mampu dan berminat untuk menulis ide-ide dalam bentuk apapun, dan berani berkompetisi hingga berhasil menjadi juara III even XL Awards tahun 2013.
Tanpa komentar seorang guru di masa SMA pada suatu hari pada orang-tua saya pada saat penerimaan raport, “Anak Ibu ini sebenarnya pintar, cuma suka ngantuk di kelas…”, saya akan terus merasa bodoh dan tidak mampu. Berkat sang ibu guru tersebutlah yang menyadarkan, bahwa saya sama sekali tidak bodoh (bahkan menurut beliau saya tergolong pintar) dan berusaha mencari cara untuk mengatasi kekurangan tersebut sehingga bisa mencapai prestasi optimal saya. Jika tidak karena komentar guru saya tersebut, saya tidak akan berusaha mencari buku-buku psikologi self help, dimana akhirnya saya memahami bahwa adalah seorang pembelajar kinestetik dan sama sekali lemah untuk menyerap pelajaran secara auditori. Sehingga akhirnya, saya berusaha mencari cara belajar yang membuat saya memahami pelajaran dengan nyaman dan tidak mengantuk, yaitu dengan membuat corat-coret mengenai materi yang sedang saya pelajari. Dan bahkan, karena komentar ibu guru saya tersebut, saya menjadi lebih tertarik dengan disiplin ilmu psikologi dan akhirnya benar-benar melanjutkan kuliah disana.
Dan selanjutnya, yang sungguh berkesan adalah guru-guru yang saya temui semasa kuliah di Jurusan Psikologi yang membuat saya ‘menemukan siapa diri saya’. Dari seorang yang terlihat pemalu, pendiam, canggung dan tidak percaya diri, hingga akhirnya mampu berdamai dengannya dan menjadi pribadi yang lebih baik. Waktu itu, seorang dosen saya berkali-kali menegaskan bahwa kami akan dididik menjadi praktisi psikologi yang akan membantu orang lain keluar dari masalah psikologisnya. Dan untuk itu, maka sebelumnya kami harus menyehatkan psikologis kami sendiri. “Kalian ga mungkin bisa membantu orang lain keluar dari masalah psikologisnya, kalau kalian tidak sehat secara psikologis,” demikian kata beliau. Kata-kata yang membuat saya gelisah dan akhirnya bertekad bulat menyelesaikan masalah yang ada dalam diri saya. Dimana percayalah, segala hal berhubungan dengan merubah diri sendiri menjadi diri yang berbeda dan lebih baik selalu merupakan hal yang tidak mudah. Merubah cara pandang, menyelesaikan tekanan dalam diri dan kemudian bertindak dengan lebih ‘baik’ itu sebuah proses yang cukup berat, karena pada dasarnya ‘musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri’. Karena di satu sisi diri kita harus melawan 'hal negatif' dari diri kita, sementara diri kita yang lain ingin melakukan 'hal negatif' tersebut. Tapi, dengan tekad dan bantuan guru-guru saya semasa kuliah yang mungkin tak mereka sadari, dengan memberikan apresiasi, empati dan juga pengetahuan, saya bisa melewatinya.
***
Dulu mungkin, saya setuju dengan pendapat Bapak bahwa seorang guru hanya lebih dulu belajar daripada saya, sehingga terlihat lebih pintar. Dan ya, saya masih mempercayai itu, tapi dengan catatan bahwa bukan hanya disitulah kelebihan seorang guru. Karena bayangkan jika saya tidak bertemu guru-guru hebat ini… Jika tidak ada seorang guru yang memberikan apresiasi akan kemampuan saya, maka saya tidak menjadi begitu bersemangat untuk mengasahnya hingga menjadi sebuah prestasi. Tanpa seorang guru yang menyeletuk bahwa saya adalah seorang anak yang pintar tapi mudah mengantuk, saya mungkin akan terus merasa bodoh karena tidak bisa menyerap pengetahuan seperti teman lainnya. Dan tentu saja tidak akan menemukan cara belajar yang tepat untuk diri saya sendiri, sehingga akhirnya bisa berprestasi secara optimal. Dan mungkin saja, hari ini saya masih seorang yang pemalu, pendiam, canggung dan tidak percaya diri. Sehingga tidak bisa lolos dalam ujian skripsi kuliah atau tidak pernah lolos test wawancara kerja yang membahwa saya mampu hidup mandiri, jika tanpa seorang guru yang membuat saya bertekad harus berubah menjadi lebih baik.
***
Beberapa orang mungkin masih belum terusik dari paradigma bahwa guru adalah pengajar pengetahuan teknis (hard skill) saja. Beberapa orang belum menyadari bahwa peran guru jauh lebih besar dari itu. Tatap muka seorang siswa dengan guru mungkin hanya berlangsung selama sekitar 43 jam dalam seminggu (sesuai Kurikulum 2013 SMA kelas XI dan XII), atau rata-rata 7 jam setiap harinya, tapi menurut saya guru memiliki peran yang cukup besar dalam pembentukan kepribadian siswa. Pengetahuan mengenai bidang yang mereka ampu dan juga teknik mengajar yang baik merupakan keharusan bagi seseorang untuk dapat menjadi pengajar atau guru untuk mengemban amanat mencerdaskan anak bangsa secara teknis. Sehingga anak-anak ini bisa tumbuh menjadi jiwa-jiwa yang mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi secara ilmiah dan berprestasi dalam bidang ilmu pengetahuan.
Tapi, lebih dari itu, demi mencerdaskan anak bangsa secara holistik, mencakup kesehatan psikologis mereka, guru pun memiliki peran yang besar. Kepedulian dan empati seorang guru kepada siswanya akan memberikan sentuhan tersendiri bagi jiwa mereka, yang membantu menemukan motivasi dan insight (pencerahan) dalam hidup mereka. Dan prinsip, karakter serta moralitas seorang guru yang tercermin dalam sikap dan keputusan mereka selama berinteraksi dengan siswa pun akan menjadi rujukan bagi mereka (siswa) yang berpengaruh pada prinsip, karakter dan moralitasnya sendiri. Jadi, guru benar-benar sebuah profesi yang memiliki peran luar biasa dalam masa depan anak-anak kita dan juga masa depan bangsa ini bukan? Karena mereka mengemban sebuah tugas penting untuk membentuk jiwa-jiwa yang akan membangun masa depan.
Demikianlah pengalaman memberikan arti seorang guru dalam hidup saya, mereka adalah orang-orang yang dengan tekun mengajarkan berbagai ilmu pada saya. Dan beberapa diantaranya adalah orang-orang yang memberikan inspirasi dalam hidup saya. Memberikan semangat dan tekad untuk memperbaiki diri, serta pencerahan dalam dangkalnya pemahaman muda saya. Pada guru-guru ini, mungkin hanya terima-kasih dan kisah ini yang bisa saya berikan. Supaya mereka tahu, bahwa apa yang mereka berikan dan bagaimana mereka bersikap telah merubah kehidupan seorang anak muda menjadi lebih dewasa dan bermakna. Dan saya tahu pasti, bahwa tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi para guru sejati, selain melihat anak didiknya berhasil menjadi ‘seseorang’ dalam hidupnya.
Selanjutnya, mungkin saya akan memberikan nasehat yang sama pada anak saya kelak, bahwa dia sama sekali tidak kalah pandai daripada gurunya. Persis seperti yang dikatakan ayah saya, bahwa seorang guru hanya lebih dulu mempelajari bidang yang mereka ampu sehingga lebih dulu paham. Namun tentu saja, saya pun akan berdoa supaya dia dipertemukan dengan guru-guru yang mampu menginspirasinya menjadi sosok yang lebih baik di masa depan.
Dua guru hebat yang saya temui di bangku kuliah
Ibu Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S. dan Ibu Prof. Johana Endang Prawitasari, PhD.
Foto diambil dari www.psikologi.ugm.ac.id
Dan terakhir, tentu saja, terima-kasih guru-guruku, karena tanpa kalian, aku mungkin tidak akan bisa melihat dunia dengan cara yang seindah ini.
With Love,
Nian Astiningrum
-end-