|
Ganesh Sibuk Mencari Mulut Si Sepeda
|
Pada suatu hari, seperti biasa
ada saja hal unik yang dilakukan Ganesh. Kali ini dia sengaja memasukkan sepeda
roda tiganya ke saluran air di belakang rumah, sehingga terjadilah percakapan ini:
Saya
|
:
|
“Ganesh, kok sepedanya dimasukin ke parit? Nanti rusak lho…”
|
Ganesh
|
:
|
“Biarin aja…”
|
Saya
|
:
|
“Nanti kalau sakit gimana sepedanya? Nanti nangis lho sepedanya… Kakak
Anesh, sepeda sakit nih, gimana ini masuk ke parit kaya gini…” (berpura-pura
menjadi sepeda).
|
Ganesh
|
:
|
“Mana mulutnya yang nangis?”
|
Saya
|
:
|
“Ada, coba cari di depan deh…” (Tidak menyangka Ganesh akan bertanya
seperti itu)
|
Fiuhh, anak-anak memang seringkali mengejutkan. Rasanya
kemarin-kemarin Ganesh masih percaya-percaya saja apa yang kami katakan.
Misalnya saat memintanya minum air putih setelah makan:
Saya
|
:
|
“Ganesh, minum air putih dulu yuk…”
|
Ganesh
|
:
|
“Nggak jadi!” (Nggak jadi = nggak mau)
|
Saya
|
:
|
“Nanti kalau habis makan ga minum air putih, bisa batuk-batuk lho…”
|
Ganesh
|
:
|
“Uhuk… uhuk… tuh kan, batuk beneran…” (Katanya sambil pura-pura batuk
dan akhirnya meminum air putihnya)
|
Tak terasa, Ganesh memang sudah besar. Usianya sudah 2 tahun
6 bulan pada Desember 2013 ini. Sekarang, semua tidak pernah semudah itu lagi.
Sekarang kami harus lebih sabar menjelaskan segala sesuatu dengan lebih detail
dan masuk akal supaya Ganesh bisa terima dan ‘takluk’. Atau bahkan, terkadang
kami harus bernegosiasi dengan memberikan timbal balik yang diinginkannya agar
dia mau melakukan sesuatu. Atau berbagai cara lain agar kata-kata ngeyel dan kritis seperti, “Biarin aja!”
atau “Coba dulu Mama!” bisa berakhir dengan ‘perdamaian’. Rasanya, sekarang dia
lebih menuntut penjelasan jika seseorang memintanya melakukan sesuatu. Jika
penjelasan itu bisa diterima, maka dia akan melakukannya. Jika tidak, maka “Aku
lakukan yang aku mau dengan cara yang kuinginkan!” Sesuatu yang cukup memeras
otak dan emosi ternyata, karena memberikan penjelasan yang bisa diterima akal
anak seusia Ganesh memang seringkali bukan sesuatu yang mudah.
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Seiring bertambahnya usia dan makin
dewasa seorang
anak karakter dan kepribadiannya pun tampak semakin
nyata. Saya jadi ingat, dulu semasa berumur kurang dari
sebulan, suami saya bilang kalau Ganesh kelihatannya cool alias anteng dan tidak banyak tingkah. Iya, memang begitulah
Ganesh waktu itu, sangat tenang. Tidurnya teratur, tanpa rewel sebelumnya,
apalagi nangis tengah malam seperti yang selalu saya lakukan semasa bayi dulu.
Tapi lama kelamaan, ucapan suami itu benar-benar hanya menjadi kenangan lucu,
karena perlahan Ganesh berubah menjadi anak yang begitu banyak tingkah dan banyak bicara. Nah dari sini sudah kentara sekali kalau anak ini adalah seorang ekstravert
sejati, sama sekali berbeda dengan mamanya yang seorang introvert sejati :D
Istilah ekstravert
dan introvert (ekstraversion dan introversion) sesungguhnya menunjuk pada
suatu kontinum, seperti halnya ‘panas’ dan ‘dingin’ yang menunjuk pada satu
karakteristik, yaitu ‘suhu’. Istilah ‘panas’ digunakan untuk menunjuk suhu yang
tinggi dan sebaliknya, istilah ‘dingin’ digunakan untuk menunjuk suhu yang
rendah. Menurut seorang Cattell melalui alat tes yang dikenal dengan 16PF, ekstravert
dan introvert adalah kecenderungan seseorang untuk mendekati interaksi dengan
orang lain atau sebaliknya menjauhinya. Bahasa simpel dan ekstrimnya sih, senang berinteraksi dengan orang
lain (ekstravert) atau justru menjauhi dan lebih senang menyendiri (introvert)1.
Karakteristik
ekstravert ditandai dengan serangkaian sifat hangat, suka berteman, mengungkapkan
pikiran dan pendapat pada dunia luar, menyukai aktivitas, menyukai hal-hal yang
menimbulkan semangat dan didominasi oleh emosi yang positif2. Kalau
menurut saya, karakter ekstravert ini adalah modal besar bagi seorang anak
untuk terlihat ngeyel, banyak
bertanya dan banyak tingkah. Yaitu karena anak-anak ini modelnya ceplas-ceplos, apa yang dipikirkan ya
diungkapkan. Tidak seperti anak-anak introvert, yang mungkin sebenarnya
memiliki pemikiran sama, tetapi tidak diungkapkan. Ini juga salah satu penyebab
mengapa anak yang ekstravert kemampuan bahasanya lebih berkembang.
PERKEMBANGAN KOGNISI
|
Ganesh dan Menara Buatannya
|
Selain
disebabkan karena aspek kepribadian, perilaku Ganesh yang ngeyel dan kritis juga didukung oleh perkembangan penalarannya.
Ganesh yang semakin bertambah usia tentu semakin dewasa dan semakin bertambah
pemahamannya akan segala sesuatu. Perilaku yang menunjukkan kemampuan
penalarannya misalnya sebagai berikut:
- Pada suatu hari, dia
sedang membangun menara dengan bekas kemasan Pring*es, dimana ada beberapa
kemasan yang sudah hilang tutupnya dan lebih sulit untuk disusun. Saya jelaskan
padanya (dengan peragaan), “Ganesh, lihat deh… Ganesh pilihnya yang ada
tutupnya, kalau ga ada susah susunnya.” Dan dia pun percaya setelah mencoba.
Setelah itu, dia selalu memilih kemasan yang ada tutupnya untuk membangun
menaranya.
- Masih pada saat membangun menara, karena sudah terlalu tinggi
dan dia kesulitan meletakkan kemasan berikutnya, dia pun minta diambilkan
kursi. Selain itu, dia pun minta saya untuk memegang bagian bawah menaranya
supaya tidak goyang-goyang.
- Saat menaranya telah berdiri tinggi, dia melihat bahwa menaranya
bergoyang-goyang tertiup kipas angin, dan dia pun berkata, “Cerobongnya
goyang-goyang, kena angin sih…” Meskipun dia tidak diberitahu secara langsung
penyebab menaranya bergoyang, tapi dia mengingat pengetahuan yang dimilikinya
bahwa angin membuat daun-daun dan pohon bergoyang-goyang.
- Saat melihat ayam mencari makan pada saat hujan dia berkata,
“Ayam, hujan… nanti sakit lho, masuk dulu sini…”
- Saat seorang teman mengajaknya bermain ‘kepiting’ (seperti
gambar), Ganesh pun mengamati dan kemudian berkata pada saya, “Mama ajarin!
Ganesh ga bisa…”
|
Ganesh minta diajarin kepiting model ini nih :D
|
Berdasarkan
perilaku-perilaku yang ditunjukkan Ganesh saat ini, tampak bahwa anak lanang ini sudah mampu menggunakan
pengetahuan yang didapatkannya di masa lalu untuk diterapkan di kejadian saat
ini. Kalau menurut Piaget (seorang ahli
yang meneliti perkembangan kognitif pada anak) sih
ini disebut kemampuan menggunakan pemikiran simbolik, yang rata-rata dikuasai oleh anak sejak umur 2 tahun. Dimana kemampuan ini memungkin seorang anak untuk mampu menggunakan
bahasa untuk menunjuk pada kejadian, orang atau benda yang ada di masa lalu
atau di masa depan. Menggunakan pengetahuan di masa lalu dan membandingkannya
dengan kejadian di masa kini atau masa depan, sehingga mencapai pengetahuan
baru. Hal ini pula yang menyebabkan anak mampu berimajinasi dan mendapatkan
kesimpulan yang terkadang terdengar lucu menurut logika kita. Misalnya pada
saat Ganesh melihat mobil yang berkedip-kedip lampu sign-nya dan berkomentar, “Mobilnya ngantuk Mama… matanya
kelip-kelip tuh…”. Pada saat itu Ganesh membandingkan pengetahuan yang dimiliki
bahwa setiap kali mengantuk dia akan merasa metanya pedih dan kemudian
berkedip-kedip atau mengucek matanya. Selain itu, masih banyak lagi kesimpulan
lucu yang sebenarnya logis menurut versinya; seperti pada saat melihat seekor
kucing mengeong-ngeong dia berkomentar, “Kucing jangan nangis, Mamanya kan lagi
kerja, sebentar lagi pulang kok”, dan banyak lagi.
Meskipun,
kemampuan penalaran ini belum bisa disebut sebagai logika oleh Piaget, namun
saya lebih suka menyebutnya ‘logika
sederhana.’ Karena kenyataannya Ganesh mulai bisa diajak memikirkan sebab
akibat dan diarahkan pada perilaku yang kami inginkan, meskipun harus dengan
penjelasan yang sesederhana dan sekonkret mungkin. Misalnya pada saat
memintanya untuk menggosok gigi dan dia kukuh untuk tidak mau, kami pun
menjelaskan mulai dari sisa makanan yang bisa tertinggal di gigi dan bisa
membuat ‘cacing kecil’ datang untuk memakannya dan akhirnya membuat giginya
berlubang. Masih belum berhasil, kami ajak dia ke cermin dan menunjukkan
giginya yang kuning-kuning karena bekas makanan. Dan belum berhasil lagi, kami
pun mencari foto anak yang giginya ompong. Baru setelah itu dia mau disikat
giginya, meskipun seringkali dia masih kukuh dan berkata, “Bialin aja!” pada saat
kami beritahu bahwa jika tidak gosok gigi, maka giginya akan ompong. Memang
sulit, karena walaupun kami sudah berusaha menunjukkan gambaran sekonkret
mungkin, toh dia belum
benar-benar merasakannya ×_×. Tidak ada cara lain, kecuali terus terus dan
terus menjelaskan dan terkadang yah
dengan jurus negosiasi supaya dia mau disikat giginya. Don’t give up! :D
Selain, itu
hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada usia ini, memang ternyata anak
masih sangat egosentris, dalam
artian dia berpikir bahwa orang lain memiliki merasakan dan mengetahui apa yang
dirasakan, diinginkan dan diketahuinya. Kalau kami, merasakan ini dalam
berbagai kejadian ngotot dan ngeyelnya Ganesh untuk melakukan sesuatu, meskipun
sudah dijelaskan tentang akibatnya pada orang lain. Misalnya saja saat Ganesh
sedang mengamati air yang mengalir dari selang yang disebutnya sebagai air
mancur, kemudian karena ember penampungan sudah penuh, dan dia ngotot agar air
tidak boleh dimatikan, sehingga terjadilah percakapan ini:
Saya
|
:
|
“Ganesh, nanti kalo airnya
dibuang-buang lama-lama habis lho… Kalo habis gimana? Ganesh ga bisa mandi
lho, nanti badannya gatel-gatel…”
|
Ganesh
|
:
|
“Ga papa, bialin aja…” (So,
it’s OK for him, karena memang dia berpikir kalau tidak terlalu suka
mandi haha :D)
|
Saya
|
:
|
“Nanti kalo Dek Sakha ga bisa mandi
gimana? Gatel-gatel badannya… Ganesh ga kasian ya?”
|
Ganesh
|
:
|
“Ga papa! Bialin aja…” (Well,
dia berpikir bahwa Dek Sakha pun tidak masalah dengan tidak mandi dan
gatel-gatel… wakakak :D)
|
Selain
kejadian di atas, tentu banyak prahara-prahara lain karena pemikiran yang
egosentris ini. Sebut saja, “Mama ga boleh ke kantor!” atau “Papa, matanya
dibukak, ayo main!” (padahal yang diajak main sedang ngantuk berat) atau tiba-tiba menangis karena mainannya dirapiin oleh ART, dimana
dia berpikir bahwa semua orang sebagaimana yang dia tahu bahwa mainannya belum
boleh dirapikan, jadi tidak perlu ngomong, langsung saja nangis :D.
WHAT SHOULD WE DO
Yah, usia 2+ memang dipenuhi dengan pendapat-pendapat dan
celetukan-celetukan lucu yang sangat menghibur, hihi :D. Tapi meskipun
terdengar konyol dan lucu, kita harus memastikan bahwa reaksi yang kita berikan menunjukkan penghargaan pada pendapat itu,
karena ini akan berpengaruh pada ‘penghargaan akan diri’ (self-esteem) yang dibentuk anak. Dimana self-esteem ini berhubungan dengan rasa percaya diri dan aspek
psikologis positif lainnya, yang secara konkret akan termanifestasi dalam
bentuk prestasi dan juga perasaan bahagia. Oh ya, prestasi itu
bukan dibandingkan dengan anak lain ya… Tapi lebih ke optimalisasi dari bakat
yang dimiliki, yaitu sang anak bisa menampilkan prestasi sebagaimana bakat yang
dimilikinya.
Namun demikian, kita juga harus mengkoreksi pendapat-pendapat anak yang tidak tepat. Kalau soal
mobil yang lampu sign-nya kedip-kedip
dan disebutnya sedang mengantuk sih
saya rasa tidak masalah, dan nantinya akan terkoreksi sendiri seiring
bertambahnya pemahaman. Tapi mengenai empati yang harus terus ditanamkan dengan
terus dan terus menjelaskan sudut pandang orang-lain, itu yang harus
diutamakan. Katakanlah menjelaskan bahwa suatu tindakan bisa berakibat buruk
untuk orang lain dan berusaha membuatnya memahami dengan membantunya berpikir
bagaimana jika hal buruk itu terjadi pada dirinya. Saya lupa baca dari buku yang
mana, dan saya setuju dengan pendapat bahwa empati harus dilatih sejak dini,
supaya anak menjadi pribadi yang sensitif (dalam artian positif) nantinya.
Dan tentu saja semua itu harus dijelaskan dengan cara yang
sesederhana dan sekonkret mungkin, mempertimbangkan kemampuan penalarannya pada
usia ini. Bukan hanya untuk mengkoreksi atau memancing empati anak, tapi juga
untuk memperkaya pengetahuan anak. Yaitu
dengan membantunya mengerti pengetahuan-pengetahuan baru seperti nama benda,
cara kerja benda atau sebab akibat. Misalnya benda berbentuk persegi panjang
dengan tuts berwarna hitam dan putih yang dilihatnya bernama keyboard,
tunjukkan cara bermainnya, bahwa jika tutsnya dipencet akan mengeluarkan suara.
Selain itu, perkaya pengetahuan anak dengan membantu membangun korelasi antara
pengetahuan-pengetahuan yang sudah dimilikinya; misalnya warna hitam dan putih,
awan, air serta hujan:
Ganesh
|
:
|
“Kok hujan? Dari mana airnya?”
|
Saya
|
:
|
“Dari langit Ganesh… Jadi di langit sana ada awan, nah kalo awannya item
itu artinya ada airnya…”
|
Ganesh
|
:
|
“Mama, kok hujannya berhenti? Anesh mau liat lagi…”
|
Saya
|
:
|
“Iya, ga bisa Ganesh… Kan airnya yang di langit sudah habis… Lihat
awannya ga item lagi kan? Liat, awannya putih kan sekarang, itu artinya ga
ada airnya lagi…”
|
Percakapan diatas sih
sekedar contoh mudah untuk membangun logika anak. Kenyataannya, terkadang cukup
ribet dan butuh kesabaran. Ada kalanya kita kehabisan ide dan kata-kata untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spontan terlontar dari mulutnya dengan
logis. Saya jadi teringat dulu semasa kecil ibu saya seringkali ‘membohongi’
saya supaya menurut. Misalnya, yang masih terekam sampai sekarang adalah pada
saat kami melintasi jembatan kecil terbuat dari bambu dan hanya diperuntukkan untuk
pejalan kaki. Kemudian karena saya berjalan dengan melompat-lompat (terbayang
kan horornya kalau jatuh), Ibu pun berkata, “Nian, jalannya pelan-pelan, jangan
lompat-lompat, dipohon besar itu ada harimau lho… nanti dia bangun!” Duh, dasar saya anaknya suka berfantasi,
langsung saja terbayang kalau di pohon itu benar-benar ada harimaunya dan saya
pun jalan pelan-pelan sambil takut-takut, haha :D. Ini sih contoh saja, dan mungkin memang perlu dilakukan dalam keadaan
darurat yang tidak memungkinkan untuk menjelaskan panjang lebar. Tapi poinnya
adalah bahwa dalam kejadian-kejadian seperti itu, sebenarnya kita memiliki
kesempatan untuk menambah pengetahuan dan merangsang kemampuan anak berlogika,
jadi manfaatkan dan jangan tergoda
untuk ‘berbohong’ karena malas ribet.
And then,
last note dari pengalaman pribadi; dengan
kemampuan penalaran anak usia 2+ yang sangat kritis namun terbatas dalam hal
logika, kita harus mulai memperhitungkan
kehadirannya dalam percakapan. Terkadang saya masih lupa bahwa Ganesh bukan
lagi anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan enak saja membicarakannya dengan
suami, seolah dia tidak hadir disana. Misalnya, “Papa, Ganesh nih kayaknya udah
waktunya dikurangin minum susu UHT deh, kan udah 2,5 tahun ya… Harus kita
ajarin minum air putih nih… bla-bla-bla…” tanpa mengingat bahwa Ganesh yang
sedang main di samping saya saat itu bisa menangkap percakapan itu sesuai
kemampuannya. Akibat konkretnya sih
bisa saja anak justru ancang-ancang
(mengantisipasi) untuk menolak kalau diberi air putih atau dampak psikologisnya
tentu saja dia merasa tidak dilibatkan dan dianggap keberadaannya. Kasihan kan?
dia sudah besar kok, sudah bisa
diajak bercakap-cakap, sudah saatnya kita menganggapnya ‘ada’ dan melibatkannya
secara aktif. Dengan kata lain, jika kita ingin membicarakannya seperti contoh
di atas, lakukan pada saat anak tidak ada atau sudah tidur, sehingga tidak bisa
mendengar pembicaraan itu.
Hal ini juga berarti kita harus menjaga sikap di depan anak ya… Kalau dulu dia tidak akan bertanya
sewaktu kita berganti pakaian di sampingnya, maka sekarang kita harus
berhati-hati, karena bisa saja dia tiba-tiba menyeletuk, “Mama mana ‘titit’-nya?”
(Maaf contohnya agak vulgar :D). Ini pengalaman sekitar enam bulan lalu pada
saat Ganesh berusia dua tahun, dan menyadarkan saya bahwa dia bukan lagi anak
kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan sejak itu, walaupun masih sering lupa, saya
berusaha menjaga sikap di depannya. Termasuk interaksi saya dengan suami;
jangan berdebat di depannya atau bercanda yang ‘ambigu’, seperti saling
mencubit (contoh yang lain silakan cari sendiri :D). Selain takut dia salah
persepsi, saya rasa menjelaskan ‘duduk perkara’ tentang apa yang dilihatnya seringkali
sulit atau memang belum mungkin dilakukan. Bayangkan saja, kita menjelaskan, “Ganesh,
Mama tadi cubit Papa karena sayang, cubitnya juga pelan-pelan…” Akankah dia
sepenuhnya mengerti? Lalu bagaimana jika suatu hari dia melakukan hal yang sama
pada temannya dengan minus di pelan-pelan? Cukup fatal kan…
***
Semakin dewasa, kepribadian anak memang semakin terlihat. Menurut
saya sendiri, kepribadian tidak bisa dikategorikan menjadi ‘baik’ atau ‘buruk’,
karena semuanya bisa optimal dengan treatment yang tepat, meskipun karakteristik
ekstravert memang memfasilitasi anak
untuk terlihat lebih cepat menguasai ketrampilan sosial. It’s OK, segala
sesuatu kan memang ada sisi positif dan negatifnya. Begitu juga dengan seorang yang cenderung introvert, yang memiliki kelebihan lebih peka dengan perasaan pribadi dan orang lain.
Memang saat anak memasuki tahap ini (rata-rata dimulai usia 2
tahun), ada tantangan baru yang akan kita hadapi. Yaitu bagaimana menjelaskan ‘dunia’
kepada anak dengan kapasitas penalarannya, dimana disatu sisi sangat kritis,
namun disisi lain memiliki keterbatasan untuk berlogika. Seringkali memang
merepotkan dan memerlukan kesabaran, tapi itu harus dilakukan agar anak kita
bisa berkembang dengan optimal. Dan tentu saja, selalu ingat untuk memperhitungkan
keberadaan mereka bersama kita; hati-hati dalam bersikap dan berperilaku serta
libatkan mereka dalam percakapan. Jangan anggap mereka tidak ada, karena tak
terasa anak kita benar-benar sudah besar dan dia bukan anak bawang lagi :)
With Love,
Nian Astiningrum
Readings:
- Wikipedia.org. (2014). 16PF
Questionnaire. http://en.wikipedia.org/wiki/16_personality_factors. Diakses tanggal 06 Januari 2014.
- Sigelman, C.K. & rider, E.A. (2009). Life-Span Human Development Seventh Edition.
Belmont: Wadsworth.
- Westman, J.C. & Costello, V. (2011). The Complete Idiots
Guide to Child & Adolescent Psychology. New York: Penguin Group.