SOCIAL MEDIA

search

Tuesday, November 3, 2020

For Our Mental Health

It's been a while, sejak terakhir post di blog ini, dan itu pun seingat saya sponsored post. Rasanya kangen juga nulis sesuatu yang mengalir begitu aja, tanpa rencana... so, here it is...

Tahun 2020 tak terasa sudah berada di ujung perpisahan. Tampaknya rencana banyak berbelok dan resolusi pun tak sempat direvisi. Walau sebenarnya jika kita lebih banyak berkontemplasi, maka akan ada banyak pelajaran akan pendewasaan di tahun ini.

Salah satu hal yang mewarnai 2020 ini adalah pertemuan dengan seorang gadis, sebut saja Saras...

Saras anak yang baik dan jujur. Selama tinggal di rumah dan membantu saya menyelesaikan pekerjaan rumah, mau ada duit ketinggalan di kantong berapa pun, selalu diserahkan pada saya. Hanya saja, ada beberapa hal yang akhirnya membuat saya menyerah dan memilih move on...

Saras memiliki masa lalu dan masa kecil yang (mungkin) membentuknya menjadi pribadi yang sulit tersentuh. Hal ini sudah saya ketahui dari awal, dan justru hal ini lah yang akhirnya membuat saya sedih saat harus melepasnya. 

Sejak awal mendengar kisahnya, dalam hati saya tumbuh sebuah keinginan untuk membantunya keluar dari tempurungnya, 'menjadi seorang yang lebih adaptif'. Namun, setelah tujuh bulan bersama, berusaha memahaminya, termasuk memaklumi kekurangannya, berusaha membantunya menemukan insight agar menemukan tujuan hidup yang menguatkan hatinya... akhirnya saya harus mengakui jika saya gagal demi kesehatan mental saya.

Tujuh bulan memaklumi cara kerjanya yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ekspektasi saya, ketidakpeduliannya pada anak-anak, dan juga kekerasan hatinya untuk menerima masukan; cukup membuat saya merasa lelah. Saya tidak akan mengatakan bahwa Saras tidak mengerjakan tugasnya karena dia memang melakukannya, hanya saja sesuai keinginannya sendiri.

Setrikaan rapi kok dikerjakan, tapi setelah ditumpuk seminggu lebih, bahkan saat saya sampai sudah kehabisan pakaian dalam dan berkali-kali minta padanya. Pada saat saya akhirnya lelah menegur dan bilang, "Ini terakhir kali saya negur soal setrikaan ya... tolong dong, maksimal tiga hari sudah diberesin..."

Cucian piring diberesin kok, tapi mostly hanya sekali sehari, yaitu pagi... Saya ga ngerti kenapa sore tidak dicuci piringnya? Kenapa harus ditumpuk? Padahal saya pun sudah pernah menegurnya...

Dan banyak lagi... Namun yang membuat saya sangat kecewa adalah pada saat saya meninggalkan anak-anak ke Jogja bersamanya dan nenek pengasuh kami dulu. Kemudian saya mendapati bahwa dia seringkali meninggalkan tugasnya, tenggelam dalam dunia maya. Boro-boro nyamperin anak-anak, pekerjaan rutin pun banyak terlewatkan... Saya kecewa sekali.

Kemudian pada saat akhirnya merasa harus melanjutkan hidup dengan ritme yang seharusnya - karena saya merasa banyak ngerem untuk mengikuti ritmenya. Ya gimana, selain 'makan ati' secara psikologis, beberapa pekerjaan masih saya kerjakan sendiri, seperti membersihkan kamar mandi, buang sampah, dan sebagainya. Bukannya ga dikerjain, tapi daripada ngomel terus, nyuruh terus - ya mendingan saya kerjain sendiri. 

Dalam pikiran saya, jika dia tidak berinisiatif mengerjakan setelah pernah saya sampaikan, berarti dia sedang sibuk. Saya ingin memberinya waktu untuk banyak berkontemplasi dan berpikir. Mungkin juga untuk belajar, karena dia pernah cerita sedang belajar bahasa asing. Tapi, pada saat tahu bahwa keleluasaan waktu yang dimilikinya itu ya untuk bermain game, duh, benar-benar kesal campur kecewa ga sih?

So, finally saya memilih move on. Yang saya yakini untuk kebaikan saya dan kebaikannya. Untuk kesehatan mental kami berdua...

Saya merasa lingkungan yang saya berikan padanya tidak cukup kondusif untuk membuatnya 'menyembuhkan diri'. Mungkin saya terlalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan saya. Sementara saya, pun harus melanjutkan hidup, kembali berlari setelah beberapa saat melambatkan gerak untuk mengikuti ritmenya.

Sedih rasanya saat melepas Saras terakhir kali hari ini, tapi saya rasa itu lah yang terbaik. Semoga Saras dapat memetik hikmah dari waktu tujuh bulan bersama kami. Juga kemudian menemukan lingkungan yang lebih baik untuk pengembangan kepribadiannya.

Demikian juga dengan saya, semoga kemudian merasa lebih tenang setelah mengambil keputusan ini. Semoga segera dipertemukan dengan asisten yang sayang dan perhatian pada anak-anak dan bisa saya ajak 'lari'.

Kejadian ini pun... kemudian mengingatkan saya pada beberapa orang terdekat yang meskipun saya sudah berusaha dengan begitu keras, tetap tidak bisa membantunya menjadi sosok yang lebih 'sehat' secara psikologis. Bahwa kunci dari merubah diri adalah hati kita sendiri. Sehingga sekeras apapun orang lain berusaha membantumu, jika hatimu bukan yang menginginkannya, maka semua akan percuma saja

Itu yang pertama... dan yang kedua adalah manusia hanya bisa berencana, namun Tuhan yang menentukan. "When we busy making our plans, God laughs."

But, at least I try. Dan meskipun saya gagal, paling tidak ada hal yang mendewasakan saya atas kejadian ini.

Dan untuk Saras, doa dari hatiku yang terdalam untukmu. "Kamu seorang gadis yang cerdas. Jangan sampai kecerdasanmu menjadi boomerang bagi dirimu sendiri. Membuatmu sulit menerima pendapat orang lain yang sesungguhnya baik untukmu. Hanya karena kamu merasa dirimu yang paling benar."

"Semoga kamu menyadari bahwa setiap kepala sesungguhnya memiliki 'kebenaran' menurut versi mereka masing-masing. Dan karena itu, kadang kebenaran itu bukanlah hal yang terpenting, namun perasaan orang lain. Jadi, sebelum begitu keukeuh dengan versi kebenaran yang kamu percayai, pikirkan perasaan orang lain. Terkadang kita tidak perlu begitu keras mempertahankan atau memaksa orang lain memiliki pendapat yang sama dengan kita."

Saat kita hidup bersama orang lain, kita harus saling memahami satu sama lain... percayalah...

Yah, kurang lebih seperti itulah cerita hari ini 

5 comments :

Hai! Terima-kasih sudah membaca..
Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan disini atau silakan DM IG @nianastiningrum for fastest response ya ;)