SOCIAL MEDIA

search

Tuesday, December 10, 2019

The Whole Brain Child #4: Mengintegrasikan Memori Implisit dan Eksplisit

Halo teman-teman… It's been a while banget ya dari tulisan terakhir review dari buku 'The Whole-Brain Child' yang saya niatkan akan dipost di blog ini. Huhu, maafkan lah ya, ternyata menjadi 'self-employeed' itu banyak tantangannya, apalagi kalau punya banyak keinginan kaya saya. Oh ya, saya baru saja relaunching Youtube Channel saya lho, akan sangat senang sekali kalo teman-teman subscribe DISINI ya…


OK, sebelum jadinya curhat, kita langsung aja ke bab tiga buku 'The Whole-Brain Child' ini ya…

Nah, setelah di dua bab sebelumnya kita membahas tentang otak bagian depan, belakang, atas, dan bawah; maka pada bab ini dibahas mengenai memori dan hipocampus sebagai 'PIC'-nya.

Mitos Tentang Memori

Selama ini, mungkin pemahaman kita mengenai memori adalah sesederhana bahwa memori adalah semacam file mental yang tersimpan rapi dalam otak kita atau bahkan memori itu adalah hasil foto copy dari keadaan atau situasi yang kita alami.

Namun, ternyata memori adalah hal yang lebih kompleks dari itu…
  • Memori adalah asosiasi dimana otak memproses sesuatu saat ini dan menghubungkannya dengan pengalaman serupa di masa lalu. Atau singkatnya, memori adalah keadaan dimana suatu kejadian di masa lalu mempengaruhi kita di masa kini.
  • Memori terdistorsi baik sedikit atau banyak (bukan sebuah gambaran identik seperti foto copy), dimana keadaan pada saat kita menyimpan atau me-recall memori akan mempengaruhi bagaimana gambaran memori tersebut.

Memori Implisit dan Eksplisit

Bayangkan memori tentang bagaimana kita mengganti popok anak kita. Jika kita adalah seorang ibu yang sebelumnya sudah terbiasa menggantikan popok anak-anak kita, kemudian langkah-langkah mengganti popok tentu adalah hal yang otomatis. Kita bahkan tidak sadar proses me-recall memori ini. Inilah yang disebut sebagai memori implisit.

Namun, bayangkan jika anak-anak kita sudah dewasa. Saat kemudian kita mengganti popok anak kerabat kita, langkah-langkahnya mungkin otomatis; namun mungkin ada saat dimana kita tercenung mengingat bagaimana kita begitu gugup pada saat mengganti popok pertama kali dulu. Inilah yang disebut dengan memori eksplisit.
Sederhananya sih saya menyebut memori implisit itu adalah memori yang tidak kita sadari, sedangkan memori eksplisit adalah memori yang kita sadari.
Dan kenyataannya hingga 18 bulan pertama hidup kita hanya memori implisit lah yang terbentuk, baru kemudian selanjutnya otak kita mampu membentuk memori eksplisit.

Itu kenapa kita ga bisa ingat bagaimana rasanya hidup di dalam rahim ibu kita, atau sewaktu dilahirkan, bagaimana nyamannya digendong sampai tidur oleh ibu kita, dan sebagainya. Tapi, saya percaya bahwa pengalaman-pengalaman itu sesungguhnya ada tanpa bisa kita sadari.

Priming

Memori implisit, namun demikian (tidak kita sadari) membentuk ekspektasi kita tentang bagaimana sesuatu harus berjalan berdasarkan pengalaman kita sebelumnya.

Misalnya nih, kaya anak saya Mahesh yang sejak kecil setiap kali saya akan berangkat kerja selalu 'da-da' dulu. Nah, suatu kali dia saya tinggal sedang tidur siang, bangun-bangun langsung anaknya nangis kejer karena saya ga ada dan dia belum 'da-da'. Sampai-sampai, ya kalau memang dia mau tidur siang dan saya mau pergi, sebelum terlelap tidur, kami 'da-da' dulu…

Kondisi ini (memori implisit) ini juga yang membuat otak bersiap-siap melakukan respon tertentu sesuai kebiasaan, dan inilah yang dinamakan 'priming'.


Misalnya pada saat seorang anak dikritik pada saat bermain piano, kemudian dia menjadi tidak nyaman; jika hal ini sering dilakukan, maka selanjutnya otak pun akan merasa tidak nyaman untuk bermain piano. Dan akhirnya si anak pun tidak suka bermain piano, karena otaknya terbiasa dengan pola bahwa bermain piano akan menimbulkan kritik dan perasaan yang tidak nyaman.

Mengintegrasikan Memori Implisit dan Eksplisit

Yup, demikianlah permasalahan dari memri implisit, terutama pada pengalaman yang tidak nyaman atau bahkan menyakitkan; yaitu pada saat kita tidak menyadarinya, maka dia akan tertimbun dan membatasi atau melemahkan kita secara signifikan.
Kejadian negatif, meskipun tidak kita sadari bisa menimbulkan ketakutan, kesedihan, penolakan dan emosi negatif serta sensasi pada tubuh.
Hal ini misalnya terjadi pada saat Ganesh takut untuk dicabut giginya beberapa waktu lalu. Waktu itu, beberapa kali Ganesh selalu kesulitan mengendalikan reaksinya pada saat dokter gigi akan mencabut giginya. Dia jelas paham bahwa dicabut gigi itu tidak akan terlalu sakit, dia pun sudah duduk dengan kemauannya sendiri di meja tindakan. Namun, begitu dokter hendak mengambil giginya, langsung tangannya bergerak menahan tangan si dokter.

Disitu jelas ada sesuatu pengalaman yang membuatnya ketakutan meskipun tidak disadarinya.

Baca juga:

Nah, bagaimana membantu anak dengan masalah ini adalah dengan membuatnya meyadari memori implisit ini dan membuatnya menjadi eksplisit. Jadi, jangan dilupakan, tapi diintegrasikan…

Menyadari suatu pengalaman akan membuat kita memahami apa yang terjadi, sehingga mampu mengendalikan peikiran dan perilaku kita.

Dalam kasus di atas, karena Ganesh pun tidak meyadari kejadian apa yang membuatnya takut cabut gigi, akhirnya saya pun mengajaknya membayangkan langkah-langkah cabut gigi yang harus dihadapinya. Mulai dari menunggu, masuk ke ruang dokter, bau ruangan dokter, ngobrol dengan dokter, duduk di meja tindakan, dan seterusnya. Hingga akhirnya Ganesh pun berani dicabut giginya kembali…

Oh ya, tapi sebelum kita over analisa ketika anak menunjukkan gejala semacam priming, kita perlu melakukan kroscek tentang kondisi anak. Apakah anak sedang lapar, marah, kesepian atau lelah (HALT = Hungry Angry Lonely or Tired). Dan jika memang demikian, maka kita perlu menunggu hingga kondisi anak siap untuk kita ajak mengobrol tentang kondisinya.

Teknik Mengintegrasikan Memori Implisit dan Eksplisit

Sebelumnya kita telah membahas strategi dari Buku The Whole-Brain Child ini sampai dengan strategi kelima, dan berikut adalah dua strategi berikutnya:

#6: Replaying memories atau mengajak anak menceritakan apa yang dialaminya

Mengajak anak bercerita sesungguhnya adalah cara untuk membantu anak menyadari pengalaman atau memori implisit yang tidak disadarinya, terutama pengalaman negatif… karena adanya kecenderungan kita untuk melupakan atau mengabaikan ingatan yang membuat kita merasa tidak nyaman. Padahal, ingatan (negatif) itu ibarat kepingan puzzle yang tetap harus disadari agar kita bisa memahami keseluruhan cerita.

Nah, salah satu trik supaya anak-anak merasa lebih nyaman bercerita adalah dengan menganalogikakan proses bercerita ini sebagai DVD Player, dimana mereka bisa play, pause, fast forward (saat ada cerita yang membuat kurang nyaman) dan rewind untuk cerita yang perlu diperjelas detailnya.

Cara ini bukan sekedar bertujuan agar kita mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang dialami anak, tapi juga untuk membantu mereka menyadari permasalahan yang dialaminya. Karena itulah, anak perlu bercerita sedetail mungkin hingga mendapatkan insight mengenai hal yang membuatnya merasa tidak nyaman.

#7: Mengingat untuk mengingat

Faktanya, setiap kejadian yang kita alami sesungguhnya akan menjadi memori, baik memori yang disadari (eksplisit) maupun memori yang tidak disadari (implisit). Dan untuk menjadi pribadi yang sehat secara mental, sebisa mungkin kita harus menyadari memori yang ada dalam diri kita. Itu kenapa, mengingat apa saja kejadian yang telah kita alami menjadi hal yang sangat bermanfaat.

Untuk itu, kita bisa membantu anak-anak kita untuk membiasakan hal ini dengan merangsang anak-anak untuk menceritakan pengalamannya. Bukan sekedar bertanya, "Bagaimana sekolahnya hari ini Kak?" tapi lebih spesifik, seperti pertanyaan "Apa hal menyenangkan yang terjadi hari ini?" dan "Apa hal yang menyebalkan hari ini?" Sehingga akan merangsang mereka untuk mengingat pengalamannya secara detail.

Atau, bisa juga dengan mengajarkan mereka menulis diari atau jurnaling… Yaitu menuliskan pengalaman dan perasaannya secara rutin.

Yup, tips terakhir ini saya sudah praktekkan pada diri saya sendiri kala remaja. Menulis diari itu somehow membuat saya lebih menyadari dan memahami kejadian dan apa yang saya rasakan karenanya. Juga membantu saya mendapatkan berbagai insight akan kejadian-kejadian itu…

Untuk Para Orang-Tua

Fiuh, membaca chapter ini sebenarnya mengingatkan saya pada banyak hal, seperti istilah 'inner child', juga pengalaman survive Dave Pelzer yang abused di masa kecilnya bahwa kebencian seringkali membuat kita menjadi persis sama seperti orang yang kita benci…

Yup, sebagai orang-tua pun kita harus menyadari bahwa perilaku kita tidak lepas dari memori kita, puzzle yang mungkin belum lengkap pada masa lalu kita. Kenapa kita mudah marah dan emosional pada kejadian tertentu dalam pengasuhan anak, sangat mungkin itu adalah bagian dari memori implisit kita yang belum kita sadari… Mungkin itu adalah mekanisme priming yang timbul akibat pengalaman negatif kita di masa lalu…

Itu kenapa, sebagai orang-tua, jika kita menyadari ada sesuatu yang salah dengan perilaku atau kondisi emosional kita, kita pun perlu berusaha menggali pengalaman-pengalaman negatif yang pernah kita alami… mengangkatnya ke alam sadar dan berdamai dengannya, sehingga tidak mempengaruhi kita secara negatif.
Bahkan jika kita pun dulu mengalami pengasuhan yang meninggalkan memori negatif, kita pun bisa memutus rantai itu supaya tidak berlanjut pada anak kita nantinya.
Don't worry, ini hal yang manusiawi kok… Bukan artinya kita lemah, tapi justru kekuatan itu berasal dari penerimaan akan hal buruk yang pernah kita alami. Well, you can relate when you ever in a bad childhood before

***

Yash, kurang lebih seperti isi dari buku ini… alhamdulillah masih bisa konsisten ya meskipun lambat progressnya.

Dan penutup akhir… semoga tulisan ini bermanfaat bagi teman-teman semua ya…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-


No comments :

Post a Comment

Hai! Terima-kasih sudah membaca..
Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan disini atau silakan DM IG @nianastiningrum for fastest response ya ;)