SOCIAL MEDIA

search

Tuesday, July 19, 2016

Have a Happy Polka 5th Birthday, Ganesha!


Ganesh itu lahirnya di Bulan Juni, tepatnya 24 Juni 2011… Sejak awal, kami selalu berpikir, anak ini akan kesulitan jika ingin merayakan hari kelahirannya di sekolah, karena kan biasanya tanggal segitu adalah liburan pergantian tahun ajaran. Tapi, sampai dengan ulang-tahun yang keempat, hal itu sih belum menjadi masalah, karena anaknya belum sekolah dan perayaan di rumah pun hanya sekedar kumpul-kumpul dengan teman sekitar. Atau bahkan kadang hanya bagi-bagi goody bag saja ke teman-temannya.

Tanpa ribet, dan tanpa persiapan berarti… Tapi tidak untuk perayaan tahun kelimanya tahun ini…

Tahun ini, setelah berunding santai, akhirnya kami memutuskan untuk merayakan ulang-tahun Ganesh di sekolahnya. Dengan pertimbangan bahwa, kasian anaknya jika tidak dirayakan di sekolah, mengingat setiap kali temannya ulang-tahun, dia selalu bersemangat memamerkan undangannya ke kami. Pasti dia akan senang sekali jika akhirnya dia ada di posisi ‘the birthday boy’; yang bisa bagiin undangan ke teman-temannya, dapat ucapan ulang-tahun, tiup lilin dan sebagainya. Meskipun, akhirnya ulang-tahun itu harus dimajukan hampir 1 bulan karena tanggal 24 Juni 2016 sekolahnya sudah libur. Dan ditambah lagi tanggal 6 Juni 2016 sudah memasuki Bulan Puasa… Sedang jika perayaannya dimundurkan setelah liburan, Ganesh sudah pindah ke TK B, dengan teman-teman yang baru… Dan tentunya merayakan ulang-tahun dengan teman akrab akan lebih asyik daripada dengan teman-teman yang baru kenal kan.

Hingga akhirnya, setelah minta pendapat guru kelasnya, perayaan ulang-tahun Ganesh pun dijadwalkan pada tanggal 1 Juni 2016… Karena tanggal 2 Juni 2016 kelas Ganesh libur, dan dikhawatirkan pada tanggal 3 Juni 2016, teman-temannya banyak yang tidak masuk. 

OK, fixed! Kami pun mulai bersiap-siap mencari pernak-pernik yang dibutuhkan untuk acara ini. Yang sebenarnya simpel saja sih; cuma kue, undangan, pernak-pernik dekorasi yang cuma balon-balon dan semacam umbul-umbul kertas. Ga pake ribet… Tapi karena kami berdua sama-sama kerja, akhirnya hampir semua diselesaikan secara online shop… Kecuali undangan yang sudah disiapin papanya sejak jauh-jauh hari, waktu sedang jalan-jalan ke toko buku.

Just arrived! Pernak-pernik pesta Ganesh
dari Ourdreamparty

So, hunting-lah saya ke Bukalapak dan menemukan sebuah lapak (Ourdreamparty) yang menyediakan perlengkapan pesta lucu-lucu. Disanalah saya menemukan pernak-pernik pesta Ganesh dengan nuansa pink dan biru, motif polkadot dan hewan-hewan. Sehingga sebut saja, ulang-tahun Ganesh kali ini bertema ‘animal parade in polkadot’. Ditambah dengan kue ulang tahun dengan nuansa biru dan coklat, dengan gambar karakter gajah… Pas dengan nama Ganesh dan juga tema (kecelakaan) ulang-tahunnya. Oh ya, kuenya juga pesan secara online lho, di Monique’s Cakery yang ternyata juga alumni dari sekolah Ganesh…


Kue ultah Ganesh… Super cute! 



Goody bag-nya cup cakes, pesan di Monique’s Cakery juga ;) 

Dan dengan segala pernak pernik ini, jadilah pesta ulang-tahun kecil-kecilan Ganesh di sekolahnya seperti ini…

Liat senyum sumringahnya Ganesh deh ;) 
Suapin Mama :D 
Giliran Papa :D

Yang lain heboh, Ganesh-nya malah ngadep belakang :D
Makan kue bersama! Pesannya Miss, jangan banyak-banyak ya, soalnya habis ini masih makan siang :)

Yuhu, kelihatannya ceria sekali ya… Tapi asal tahu saja, ada beberapa kehebohan yang terjadi sebelumnya –mulai dari kerepotan membawa puluhan balon, sampai kebingungan menaruh kue karena tampak akan meleleh padahal acara masih beberapa jam lagi. Yah, jarak rumah dan sekolah Ganesh memang cukup jauh, sekitar 30 km, jadi pada saat hari H, kami benar-benar datang berbondong-bondong dengan segala perlengkapan yang akan digunakan, tidak bisa dicicil sedikit demi sedikit :D. Ya, kalau balon dibawa sehari sebelumnya takut kempes, apalagi kue, lebih tidak memungkinkan lagi :D.

Cukup ribet dan menegangkan (pada bagian mencari ruangan dingin untuk menaruh kue supaya tidak leleh), tapi benar-benar terbayar lunas dengan senyum sumringahnya Ganesh selama acara. Juga dengan antusiasme teman-temannya dengan performance yang lucu-lucu, dengan bingkisan-bingkisan yang disiapkan dari rumah dan ucapan selamat ulang-tahun yang polos. Ah, pokoknya saya puas banget lah…

Dan semua itu tentu tidak lepas dari bantuan banyak pihak… Mulai dari Miss Mira dan Miss Bertha yang sudah meluangkan waktu untuk menata dekorasi ulang-tahunnya. Seorang teman yang bersedia mengantarkan kami ke sekolah Ganesh dengan puluhan balon, goody bag dan perlengkapan lainnya. Mbak Monik yang sudah mewujudkan kue ultah impian kami -saya sih sebenarnya :D. Ourdreamparty yang cepat kilat kirim paket pernak-perniknya –kebayang kan kalau mereka kirimnya ga tepat waktu, pasti kami kebingungan. Dan tentu saja, semua teman-teman Ganesh yang sudah meluangkan waktu dan tenaga untuk memeriahkan pesta kecil-kecilan Ganesh…

Oh ya, dan spesialnya untuk suami dan papa tercinta yang sudah meluangkan waktu, menempuh jarak 30 km dari kantor di tengah segala kesibukannya untuk bersama-sama mendampingi pesta ulang-tahun si sulung. Thanks ya… We love you so much :*

So Ganesh, kamu happy dengan ulang-tahun ke-lima mu ini kan ;). Keliatan lho dari senyum-senyum jaim-mu sepanjang acara :D. And so are we, Papa dan Mama… Sekarang Ganesh sudah semakin gede ya… -sudah semakin pinter dan banyak maunya, hehe :D. Harapan Mama sih, kamu juga bisa semakin dewasa dan sabar, karena kadang maunya kamu ga selalu Mama Papa turutin. Kadang Papa Mama memang sengaja untuk mengajarkanmu sesuatu, dan kadang juga karena Papa Mama tidak bisa menurutinya –kami tidak bisa selalu sabar dengan kemauanmu, maaf ya… :) Doakan Papa Mama juga ya, supaya bisa menjadi orang-tua yang baik untukmu dan adek…

Once again, happy birthday Ganesh! We love you so much ;)

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Wednesday, June 15, 2016

Perkedel Tahu Kukus

Dulu seringkali saya mendengar ibu mengeluh, “Bingung, mau masak apalagi hari ini…” dan saya yang kala itu masih remaja mengabaikannya. Pikir saya yang masih bau kencur waktu itu, “Hal seperti kan ga perlu dipikirkan secara berlebihan, masak aja apa yang ada, gitu aja kok repot…” Aah, benar-benar pemikiran yang naif sekali kan, dan sekarang setelah menikah dan punya anak, baru saya mengerti apa yang ibu rasakan waktu itu. Urusan mengolah bahan makanan yang bergizi dan bervariasi agar suami dan anak tidak bosan itu memang cukup tricky. Apalagi bagi saya yang memang tidak jago masak dan setiap kali harus browsing resep di internet, terkadang tidur malam saja kepikiran besok pagi musti masak apa…


Seperti halnya yang terjadi kemarin, malam-malam saya kepikiran mesti masak apa untuk makan siang dan sore anak-anak yang saya tinggal ke kantor. Saking lamanya mikir dan ga juga dapat ide, saya pun ketiduran sewaktu ngelonin bocah-bocah sampai pagi. Dan alhasil, sukseslah pagi itu saya bangun kemudian langsung memutar otak, apa yang bisa saya masak dengan cepat dan anak-anak suka. Hmm, masakan ajaib apakah itu… Aha, kemudian saya teringat beberapa waktu yang lalu pernah mengolah tahu menjadi perkedel, yang tidak terlalu sukses karena sulit digoreng. Sewaktu digoreng si adonan tahu sedikit hancur dan bentuknya pun menjadi kurang enak diliat. Waktu itu, si Ganesh cukup suka dibawain bekal perkedel tahu dan si Mahesh pun tidak ada komplain dengan lauk itu. So, let’s try again, apalagi kemarin habis beli wadah-wadah aluminium foil kecil, jadi terpikir si adonan tahu dikukus dulu sebelum digoreng, sehingga bentuknya lebih solid… Yeay!

Tuesday, May 24, 2016

Tips Agar Skripsimu Cepat Selesai

Skripsi, pada hakikatnya hanyalah sebuah karya tulis. Tapi, menurut pengamatan saya, dia seringkali menjadi momok bagi seorang mahasiswa, bagaikan sebuah ujian berat sebelum seseorang dinyatakan lulus. Hmm, apakah kamu termasuk yang berpendapat demikian? Jika ‘ya’, maka kamu punya pemikiran yang sama dengan saya sekitar 8 tahun yang lalu, saat menginjak semester ke-7 kuliah, 1 semester sebelum mengambil mata kuliah penulisan skripsi. Dan karena itu, saya pun mengambil ancang-ancang sebelum benar-benar mengambil mata kuliah penulisan skripsi pada semester ke 8. Dan kamu percaya atau tidak, saya berhasil menyelesaikan skripsi saya dalam waktu sekitar 6 bulan saja. Atau mungkin kurang dari itu, karena saya mengerjakannya sembari mengambil mata kuliah KKN yang mengharuskan saya menginap di daerah KKN (yang cukup pelosok) selama 2 bulan, sampai akhirnya bisa fokus mengerjakan skripsi sekembali dari sana.


Dimana skripsi saya walaupun mungkin tidak terlalu spesial insyaallah tidak ‘abal-abal’ kok. Saya kuliah di sebuah PTN terakreditasi A (Jurusan Psikologi UGM), yang katanya waktu itu 1:40 peminat dan mahasiswa yang diterima. Dosen pembimbing saya pun seorang guru besar dengan berderet karya ilmiah yang sudah diterbitkan secara nasional dan internasional (Johana E. Prawitasari, Ph.D.). Jadi, insyaallah benar-benar sebuah skripsi yang cukup layak, bahkan untuk diterbitkan dalam Jurnal Psikologi UGM pada tahun 2007.

Eh, tapi kata ‘singkat’ ini relatif ya… Untuk sebuah skripsi yang membutuhkan penelitian sosial secara kualitatif, bisa jadi memang memerlukan waktu penelitian yang lebih lama. Atau skripsi-skripsi untuk jurusan exact yang misalnya kita harus melakukan uji coba penanaman yang harus ditunggu hingga benih tumbuh hingga usia tertentu (pengalaman adik yang kuliah di fakultas pertanian), mungkin waktu 6 bulan adalah waktu yang tidak mungkin.

Iya, mungkin tips ini paling pas untuk teman-teman yang kuliah di jurusan sosial seperti saya; walaupun tidak menutup kemungkinan bisa juga diterapkan bagi teman-teman yang kuliah di jurusan exact. Who knows? Let’s see…

Pilih topik skripsi sesuai minat kita. Klasik memang kedengarannya, tapi memilih topik skripsi sesuai minat kita pada suatu hal akan membuat kita lebih bersemangat mengerjakannya. Waktu itu, saya memilih topik mengenai ekspresi wajah sebagai pertanda emosi; karena menurut saya itu adalah hal yang ‘keren’, menarik serta belum banyak diteliti di Indonesia. Yes, saya merasa lebih tertantang dan bersemangat dengan hal-hal yang baru dan unik.

Rancang penelitian yang membuat kita bersemangat! Ukur dan kenali kemampuanmu sendiri. Kalau kamu suka penelitian kualitatif, ya pakai metode itu. Tapi sebaliknya, kalau kamu cenderung tidak sabar dan telaten, ya jangan paksakan menggunakan metode itu. Atau lebih spesifik, kamu bisa memilih penelitian yang menggunakan metode spesifik; seperti wawancara, observasi, kuesioner, eksperimen di laboratorium dkk., yang membuat kita bersemangat untuk mengerjakannya; tapi tentu saja, ini harus disesuaikan juga dengan topiknya ya… Dan berkaitan dengan hal ini, saya sendiri memilih untuk menggunakan kuesioner, yang salah satunya secara spesifik menggunakan potongan-potongan gambar ekspresi wajah pada Komik Jepang alias Manga. Karena apa? Tentu saja karena waktu itu saya suka sekali dengan Manga, sampai-sampai menjadi anggota beberapa taman bacaan yang banyak ditemui di Kota Jogja. Dan masalah memantengi gambar-gambar Manga,memilih gambar-gambar ekspresi wajah yang dibutuhkan, menggunting-guntingnya, memilah-milah berdasarkan jenis emosi yang ditampilkan sampai berinteraksi dengan teman-teman yang ahli membuat Manga untuk menjadi rater kuesioner yang terdiri dari potongan-potongan gambar Manga itu adalah sesuatu yang menyenangkan!

Pilih dosen pembimbing skripsi yang ‘pro’. Dosen pembimbing skripsi itu boleh milih kan? Karena dulu di fakultas kami, ya, kami boleh hunting dosen pembimbing skripsi kami sendiri. Dan menurut pengalaman saya, dosen yang pembimbing ini memiliki andil yang sangat besar dalam proses pengerjaan skripsi saya. Kesimpulan ini juga saya dapatkan saat melihat skripsi adik saya yang tak kunjung sudah karena dosen pembimbing skripsinya yang kurang berdedikasi :(. Dan dosen pembimbing skripsi yang baik menurut saya adalah: cerdas, berpengalaman dan memiliki minat pada bidang yang akan kita teliti, tepat waktu dan tepat janji; pokoknya kesannya profesional dan helpful. 

Dulu, saat memutuskan dosen pembimbing skripsi, pada awalnya saya merasa tidak percaya diri karena beliau adalah dosen yang benar-benar terlihat pintar, cool dan profesional. Beliau banyak mengampu mata kuliah untuk mahasiswa S2, dan itu membuat saya bimbang apakah beliau akan menuntut hal yang sulit dicapai oleh mahasiswa S1 yang biasa-biasa saja seperti saya, atau sebaliknya bisa memberikan pencerahan-pencerahan yang justru memudahkan. Dan alhamdulillah, ternyata 

Buat jadwal visual tentang apa yang harus kita kerjakan day by day! Ya! Apalagi jika kamu punya saya punya kecenderungan sifat obsesif-kompulsif seperti saya, yaitu menunda-nunda waktu. Maka membuat jadwal sehari-hari dalam sebuah kertas A0 yang ditempel di dinding kamar itu sangat membantu saya tetap on track pada target yang saya buat. Kenapa? Karena saya bisa melihat dengan jelas, berapa waktu yang masih saya punya untuk mengerjakan hal-hal yang harus saya selesaikan; dan sifat kompulsif saya justru malah berbalik; dari menunda-nunda waktu menjadi sebuah keinginan untuk menyelesaikan daftar tugas yang sudah saya buat sendiri dalam jadwal tersebut.

Siapkan diri dan strategi sebelum berkonsultasi dengan dosen pembimbing! Waktu bertemu dengan dosen itu sesuatu yang benar-benar berharga bukan? Pada beberapa kasus, bahkan seringkali saya mendengar cerita bahwa untuk menemui dosen pembimbing skripsi, seorang mahasiswa harus membuat janji berkali-kali atau bahkan ‘mengejar-ngejarnya’… Jadi, manfaatkan waktu bimbingan semaksimal mungkin! Caranya:
  • Dengan mengerjakan tugas yang harus kita tunjukkan ke dosen sebaik mungkin, sehingga kita tidak perlu mengulang-ulang membuat janji konsultasi untuk hal yang sama. 
  • Buat daftar pertanyaan dan kendala, sehingga kita mendapatkan sebanyak mungkin pencerahan agar setelahnya kita bisa mengerjakan banyak hal dan skripsi kita cepat selesai. Pokoknya, jangan sampai ada yang terlewat, karena jika demikian maka akan menghambat saya mengerjakan ‘tugas’ selanjutnya. 

Kerja keras! Push yourself to your limit! Itu adalah hal selanjutnya yang harus mengikuti perjalanan pengerjaan skripsi kita. Kerja keras itu seperti apa? Jika saya waktu itu adalah: dengan membuat jadwal yang rapat (no santai-santai); duduk di perpustakaan berjam-jam setiap harinya untuk mencari literatur dan keluar masuk untuk fotocopy bagian yang dibutuhkan (karena waktu itu belum punya laptop); begadang mengetik studi pustaka, analisis data dan sebagainya yang kemudian dilanjutkan paginya segera ke kampus untuk mencari pustaka lain atau berkonsultasi dengan dosen pembimbing; dan seterusnya. Kerja keras adalah bekerja, bekerja, bekerja!

Berdoa kepada Sang Pencipta… Yah, memohon bantuan dan kemudahan-Nya adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan. Di satu sisi, saya merasa ada banyak kebetulan yang sengaja diciptakan-Nya untuk membantu saya pada proses ini; seperti bagaimana menemukan dosen pembimbing skripsi yang baik dan bertemu dengan teman-teman yang membantu proses pengerjaan skripsi. Dan di sisi lain, dengan keyakinan pada bantuan-Nya membuat saya lebih percaya diri dan tenang bahwa akan selalu ada penyelesaian atas segala rintangan yang mungkin timbul. Itulah yang terjadi pada saya! Seperti pada saat kemudian dosen pembimbing saya mengembalikan draft skripsi saya dan menyatakannya sudah siap uji. Lalu saya berhasil membuat janji dengan dosen penguji lainnya dan bagian penyusun jadwal ujian skripsi untuk benar-benar menjalani ujian pendadaran skripsi… Hanya 1 minggu setelah draft skripsi saya dinyatakan layak uji! Dimana itu adalah waktu yang benar-benar mendekati limit saya bisa mengejar segala persyaratan untuk ikut pada wisuda pada periode Agustus 2008! Yang waktu itu saja, saya sudah ancang-ancang untuk wisuda pada periode selanjutnya, yaitu November 2008, karena lebih realistis. Tapi, itulah, ternyata ada begitu banyak kemudahan, hingga akhirnya saya bisa diwisuda pada Agustus 2008. Alhamdulillah…

***

Dan begitulah tips bagaimana saya menyelesaikan skripsi dalam waktu kurang lebih 6 bulan saja. Waktu yang menurut saya relatif cukup singkat di tengah banyaknya cerita mahasiswa yang stuck atau bahkan merasa horror sebelum benar-benar mengerjakan skripsinya. Dan untuk mereka saya ingin berkata, “Hei, skripsi itu cuma salah satu jenis karya tulis kok, just do it dengan segala daya dan upayamu, maka dia akan selesai seperti seharusnya.” Tapi ya itu tadi, kuncinya ‘do it!’, jangan bersantai-santai, jangan terlena karena tidak ada lagi tuntutan pergi ke kampus, apalagi berusaha lari darinya. ‘Main-main’ bisa nanti lagi kok, jika gelar sarjana sudah di tangan. Atau nanti saat kita sudah benar-benar berhasil meraih kemandirian.

“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.”

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Tuesday, May 3, 2016

Memilih Sekolah yang Baik untuk Anak

Setiap anak adalah unik! Mereka memiliki karakter dan potensinya masing-masing, dimana hal ini menjadi alasan mengapa suatu treatment memiliki efek yang berbeda bagi setiap anak. Dan itu juga alasan mengapa suatu sistem pembelajaran belum tentu sesuai untuk semua anak. Apalagi pada usia dini, dimana anak-anak belum mampu menyiasati sistem pembelajaran yang diterima hingga terasa menyenangkan bagi mereka. 

Teringat dulu semasa kuliah ada teman yang sampai merekam kuliah dosen di kelas, sedang saya lebih asyik membuat catatan dengan corat-coret dan gambar-gambar. Sementara teman saya lebih suka mendengarkan, sampai-sampai merekam kuliah dosen di kelas. Bagi saya, mendengarkan saja itu selalu membuat ngantuk, walaupun selalu duduk di barisan paling depan sekalipun :D

Dan kembali ke pendidikan untuk anak usia dini… Anak-anak pasti belum bisa melakukan semua itu… Mereka baru mampu menerima dan mengikuti metode pembelajaran yang diberikan. Jika cocok, maka mereka akan belajar dengan gembira. Namun jika tidak, proses pembelajaran pun tidak akan optimal dan suasana hati (mood)-nya pun akan memburuk karena harus mengikuti rutinitas yang tidak menyenangkan baginya.

***


Sekolah Formal untuk Anak Usia Dini. Membicarakan mengenai pendidikan bagi anak usia dini (sebelum usia Sekolah Dasar), sebenarnya tidak melulu pada pendidikan formal dengan jenjang tertentu yang diberikan sebuah lembaga pendidikan, seperti Taman Kanak-Kanak. Tapi, juga termasuk di dalamnya pendidikan yang diberikan di rumah oleh orang-tua atau pun pengasuh lainnya dan juga lingkungan. Misalnya untuk pendidikan nonformal adalah Kelompok Bermain atau Taman Penitipan Anak, sedang untuk pendidikan informal adalah pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan (berdasarkan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003).

Saya pribadi pada awalnya tidak terlalu sependapat bahwa anak perlu masuk ke sekolah formal sedini mungkin (usia 2 atau 3 tahun). Alasannya sederhana saja, karena menurut saya anak seusia itu belum selayaknya menjalani rutinitas yang begitu formal setiap harinya dan kehilangan waktu bermainnya. Tapi, saya juga kurang setuju jika anak didaftarkan sekolah namun sepenuhnya dibebaskan untuk tidak masuk sekolah. Menurut saya seakan memberikan pemahaman bahwa sekolah itu boleh sesuka hati, mau berangkat atau tidak. Selain tidak mendidik, tentu saja tidak ekonomis, karena bayarnya jalan terus… :D

Namun demikian, saya juga bukannya antipati dengan sekolah formal/nonformal pada usia dini. Jika anak ternyata sudah memiliki keinginan untuk masuk TK atau bahkan Nursery Class atau Kelompok Bermain (Kober) pada usia yang lebih dini. Selama itu murni keinginan anak dan tanpa paksaan, tidak masalah… Karena kami percaya bahwa setiap anak memiliki karakter dan potensinya masing-masing, sekaligus kami juga tidak menutup mata bahwa pendidikan yang kami berikan di rumah dan lingkungan sudah mencukupi kebutuhannya. Misalnya anak ternyata sudah merasa bosan dengan kegiatan yang kami berikan selama bersamanya setiap harinya, ya salah satu solusinya adalah mengenalkannya pada sekolah formal. Karena selain memberikan tantangan yang lebih, tentu juga bisa menjadi pemecah rutinitasnya sehari-hari. Jika sebelum sekolah, dari siang hingga sore kegiatannya hanya bermain (baik sendiri atau bersama teman-temannya) dan melihat kesibukan orang-tua atau pengasuhnya membereskan rumah dan mengurusi adiknya; dengan sekolah waktu 2,5 jam untuk bernyanyi bersama teman-temannya, mewarnai dan aktivitas-aktivitas lainnya; itu akan sangat-sangat mengurangi kebosanannya. Dan itulah yang terjadi pada anak kami…

Saat itu, Bulan Februari 2015, beberapa hari setelah adiknya lahir, Ganesh pun bersikukuh ingin bersekolah. Hal yang sangat kami pahami alasannya, yaitu karena dia merasa bosan di rumah, lebih terabaikan karena kami semua sibuk mengurusi adiknya, sedang mau bermain keluar pun dia belum memiliki teman karena kami baru saja pindah rumah. Sangat terbayang betapa berat situasinya saat itu :(. Dan karena memang keadaan sedang begitu hectic sehingga kami tidak bisa memfasilitasi kebutuhannya akan kegiatan yang menyenangkan di rumah, kami pun setuju untuk mengenalkannya dengan sekolah pertamanya (waktu itu di kelas Kober). Dan selama satu tahun (6 bulan di kelas Kober dan 6 bulan di kelas Satuan PAUD Sejenis/SPS) dia pun dia pun menikmati hari-harinya di sekolah pertamanya, sampai akhirnya dia mogok sekolah…

Ya, Ganesh mogok sekolah setelah 6 bulan masuk kelas SPS… Ada apa? Dan kami pun sesungguhnya tidak tahu pasti, tapi dugaan kami adalah karena dia tidak lagi menikmati sekolahnya. Karena menurut guru-gurunya, tidak ada kejadian spesifik tertentu (misal sering diusilin temannya) dan Ganesh memang terlihat bosan di kelasnya; dia seringkali pindah ke kelas lain sesuka hati dan tidak mengikuti kegiatan yang diberikan. Sepertinya dia membutuhkan suasana yang berbeda untuk membuatnya betah dan terhibur di kelas. Sampai akhirnya setelah kurang lebih dua bulan diam di rumah saja dan terlihat semakin bad mood, akhirnya saya pun mengambil cuti untuk mengenalkannya pada sekolah baru. Yang sekolah kami pilih dengan segala pertimbangan dan kehati-hatian, agar tidak hanya memberikan pendidikan yang baik, tapi juga supaya Ganesh senang dan mood-nya sehari-hari terjaga.

Karakter Anak dan Sekolah yang Pas Untuknya. Dan proses memilih ini pun dimulai dengan berusaha menyelami karakter Ganesh sedalam-dalamnya (sedikit lebay karena tidak menemukan diksi yang lebih pas :D). Kembali lagi, karena setiap anak adalah unik, sehingga perlu disesuaikan dengan tipe pembelajaran yang akan diberikan. Apalagi untuk anak-anak yang cukup kritis dan sedikit ‘rebel’ seperti Ganesh, dimana mereka cenderung tidak ingin mengikuti suatu kegiatan yang menurutnya tidak ‘menyenangkan’. Dengan membandingkannya dengan diri saya sendiri yang cenderung mengikuti standard lingkungan yang ada sejak kecil, anak seperti Ganesh membutuhkan alasan yang lebih dari sekedar ‘dia memang harus bersekolah’. Atau pemikiran bahwa di sekolah dia harus mengikuti kegiatan yang ada, mendengarkan nasehat guru, bla-bla-bla… Jika, semua itu tidak menyenangkan atau memberikan manfaat (menurutnya), kenapa harus?

Itu sih bayangan saya saja atas pola pikir Ganesh dengan memperhatikan perilakunya yang sejak kecil selalu bertanya, “Soalnya apa?” jika disuruh melakukan sesuatu…


Kembali ke Ganesh… Ya, menurut saya dia anak yang cukup kritis. Sejauh ini, dia menunjukkan karakter kepribadian ‘merah’ yang sangat kental. Dia seorang anak yang visioner, penuntut dan desicive plus sangat menyukai aktivitas fisik. Sehingga, kami berpikir bahwa dia memerlukan tipe pembelajaran yang bisa mengakomodir sisi ini. Sekolah dengan kelas yang cukup kecil dan pengajar yang memadai, sehingga bisa memberikan perhatian yang lebih dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ‘printilan’ yang mungkin diajukannya. Plus juga untuk mengakomodir sifat suka iseng, suka usil dan suka aktivitas fisik. 

Sempat terpikirkan untuk mengenalkan Ganesh dengan sekolah dengan aktivitas fisik yang dominan (bayangan kami seperti sekolah alam), namun kami urungkan. Kami sependapat bahwa Ganesh akan mampu mengendalikan dirinya asalkan menemukan alasan yang bisa diterimanya. Dengan demikian Ganesh bisa berlatih untuk lebih tenang, mendengarkan orang lain dan mengikuti norma lingkungan yang (mungkin) tidak sesuai dengan keinginannya. Sehingga kami pun sepakat untuk mencari sekolah dengan karakteristik: kelas kecil, pengajar memadai, seimbang antara aktivitas fisik dan non-fisik, kegiatan variatif dan menyenangkan untuk anak-anak dan pengajar mampu memberikan jawaban yang logis atas pertanyaan anak.

Mencari Sekolah Sesuai Kriteria. Kriteria sekolah yang kami inginkan sudah ada, kemudian tugas selanjutnya adalah mencari daftar sekolah sesuai kriteria itu di luar sana. Sesuatu yang awalnya terdengar sulit, tapi ternyata tidak karena kemudahan akses saat ini. Hanya dengan bertanya pada beberapa teman, browsing dan membaca selebaran yang sengaja disebar untuk tujuan promosi; daftar pun tersusun. Selanjutnya tinggal memperkecil daftar itu sampai akhirnya mendapatkan satu sekolah yang akan menjadi tempat belajar Ganesh berikutnya.

Selanjutnya, setelah daftar menjadi semakin sedikit dengan mempertimbangkan berbagai faktor (termasuk keterjangkauan lokasi dan biaya), kami pun datang ke sekolah untuk melihat sendiri fasilitas yang ada dan bertanya lebih lanjut tentang proses pembelajaran. Total, ada tiga sekolah yang kami datangi, dua cuma mengintip dari luar karena libur dan satu lagi benar-benar datang, melihat ruang kelas dan bertanya dengan staff marketing tentang teknik pembelajarannya. Termasuk bertanya, “Kalau anaknya belum bisa diam mengikuti kegiatan gimana ya?” untuk memastikan :D. Dan alhmadulillah jawabannya cukup membuat tenang, sehingga saya cukup optimis Ganesh akan senang dengan sekolah barunya. So, saya pun mendaftarkan Ganesh untuk kelas trial selama dua hari untuk memastikan…

Ganesh di Mulai Sekolah. Cukup deg-degan juga pada saat mengantar dan menunggui Ganesh ikut kelas trial; khawatir kalau Ganesh tidak merasa senang, kemudian menolak ikut kegiatan hingga tantrum. Iya, hari pertama dan kedua trial saya meminta ijin untuk menunggu di depan kelas. Memastikan Ganesh happy-happy di dalam sana, sambil beberapa kali mewek saat melihat Ganesh mengikuti kegiatan dengan gembira. Alhamdulillah, dia terlihat senang dan bersemangat dengan sekolah barunya, sampai-sampai dia yang tidak sabar menunggu kabar dari sekolah mengenai hasil observasi apakah dia sudah boleh bergabung atau belum. Bagian ini saya ikut-ikutan gelisah semacam menunggu pengumuman SPMB semasa akan kuliah dulu, khawatir Ganesh belum bisa masuk ke sekolah impiannya, padahal dia sudah begitu bersemangat…

Yang untungnya kekhawatiran saya tidak terwujud… dua hari kemudian kami dihubungi pihak sekolah bahwa Ganesh bisa bergabung, meskipun saat itu adalah tengah tahun ajaran. Dan tanpa ba-bi-bu, siang itu juga kami datang ke sekolah untuk menyelesaikan proses administrasi, fitting baju dan paginya langsung datang sebagai siswa. Alhamdulillah, dia akhirnya menemukan sekolah yang membuatnya gembira dan bersemangat; selain juga tentu saja menambah pengetahuan dan ketrampilannya :). Walaupun, ini sebenarnya belum happy end sih, karena butuh waktu selama sekitar dua minggu hingga akhirnya Ganesh bisa beradaptasi sepenuhnya dengan kegiatan di dalam kelas (berdasarkan laporan gurunya setiap hari).

***

Bagaimana Ibu-Ibu? Dari cerita kami, rasanya cukup panjang ya… Tapi, sebenarnya ga juga kok. Jika diringkas, untuk menentukan sekolah yang cocok untuk anak kita perlu melakukan langkah sebagai berikut:
  • Memperhatikan karakter dan potensi anak. Amati perilaku dan respon anak pada lingkungan untuk mendapat informasi ini. 
  • Menentukan karakteristik sekolah yang diperkirakan sesuai untuk anak. Misalnya tentang teknik pembelajaran yang sesuai, intensifitas pengajar yang dibutuhkan (ada anak yang perlu perhatian ekstra sehingga lebih cocok dengan kelas dengan sedikit murid). 
  • Membuat list sekolah yang diperkirakan sesuai dengan karakteristik anak melalui media yang ada (website, dari mulut ke mulut dan sebagainya) 
  • Perdalam informasi mengenai sekolah-sekolah ini bisa dengan berkunjung dan melihat sendiri ruangan kelas dan fasilitas; serta jangan lupa cari tahu dari pengajar atau bagian marketing sekolah mengenai kurikulum, teknik mengajar, dan sebagainya. 
  • Meminta ijin untuk coba langsung (trial) proses pembelajaran pada anak. 
Hanya lima langkah mudah untuk mendapatkan keceriaan dan semangat anak kita untuk berangkat sekolah dan belajar setiap harinya. Serta mood-nya yang terjaga karena dia tidak lagi bosan dengan aktivitas hari-harinya. Benar-benar membawa kelegaan tersendiri… :)


So, that is our story, parents… Semoga bermanfaat :)

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Friday, April 15, 2016

Orak Arik Kuah Sehat

Masak itu susah! Itu bayangan saya dulu, hingga akhirnya paling malas diajak Ibu belajar masak. “Percuma ah, itu butuh waktu lama, sekarang lagi ribet dengan tugas-tugas sekolah dan main, nanti ajalah,” itu pikir saya dulu… Dan kemudian, setelah akhirnya merantau dan terpaksa harus survive, ternyata masak itu tidak perlu (selalu) dibuat ribet. Masak itu susah! Itu hanya untuk masakan-masakan tertentu (sebut saja rendang, steak dan sebangsanya). Namun, kenyataannya ada begitu banyak resep-resep masakan sederhana yang mudah diolah dan bergizi tinggi yang tidak memerlukan ketrampilan tingkat tinggi (sebut saja sop sayuran, cap cay dan sejenisnya). 

Jadi… Masak, bukan masalah lagi ;). Apalagi dengan kemudahan browsing berbagai resep masakan saat ini. Yang susah saja bisa dilibas dengan tambahan niat dan ketelatenan. Apalagi yang mudah dan sederhana… bisa banget! ;)


Nah, membicarakan tentang masakan-masakan sederhana, beberapa resep pernah saya tulis disini. Dan sekarang, lagi-lagi saya ingin share resep masakan sederhana yang benar-benar sederhana. Cepat, bisa ditinggal-tinggal dan tidak perlu mengeluarkan tenaga yang terlalu besar (untuk mengulek bumbu misalnya). Sebut saja nama resep ini ‘Orak Arik Kuah Sehat’, resep yang baru beberapa kali saya coba dan selalu sukses membuat Ganesh mendapat ‘bintang’ atau ‘fish’ alias stiker-stiker reward yang diberikan gurunya saat seorang anak berhasil menghabiskan makanannya sendiri. Yang mana itu membuat saya merasa berhasil mencapai salah satu target kinerja saya sebagai seorang ibu :D.

Mau coba? Berikut resepnya:

Bahan:

1 buah
Wortel ukurang sedang
1 rumpun Brokoli ukuran sedang
1 genggam Kacang kapri (atau buncis atau sayuran apa saja yang sekiranya cocok)
1 butir Telur
8 butir Bakso
5 butir Bawang putih
¼ butir Bawang bombai ukuran sedang
Merica Secukupnya
Garam Secukupnya
Minyak Secukupnya (untuk menumis)

Cara Membuat:
1. Kupas dan potong-potong wortel sesuai selera (saya suka bentuk dadu karena mudah dimakan anak-anak yang sedang belajar makan)
2. Siangi dan potong-potong brokoli dan kacang kapri (atau buncis) sesuai selera
3. Kocok satu butir telur
4. Iris-iris tipis bakso sesuai kebutuhan
5. Geprek dan cincang bawang putih
6. Iris bawang bombay memanjang
7. Panaskan minyak, tumis bawang putih dan bawang bombay hingga harum kemudian beri air
8. Masukkan telur, aduk-aduk hingga mengental
9. Masukkan wortel, tambahkan air hingga wortel terendam, masak hingga setengah matang
10. Masukkan bakso dan kacang kapri atau buncis, masak hingga seluruh sayur matang dan empuk
11. Tambahkan garam dan merica secukupnya


Tuh, benar-benar sederhana kan… Masaknya bisa sambil ditinggal-tinggal! Misalnya, sambil menunggu wortel setengah matang kita tinggal mandi atau menyuapi anak sarapan. Tapi, yang terpenting nutrisinya insyaallah cukup kaya dan rasanya yang gurih membuat anak bersemangat menghabiskannya. Win-win! ;)


So, meskipun dengan keterbatasan keterampilan dan waktu, sama sekali bukan halangan kita untuk menyiapkan masakan bergizi yang disukai anak ya… Karena nyatanya, ada banyak sekali resep-resep masakan sederhana yang tidak membutuhkan keterampilan tingkat tinggi dan waktu yang banyak. Dan lagi, resep-resep ini, bisa jadi lebih bervariasi lagi macamnya dengan modifikasi bahan secukupnya (terkadang ini disesuaikan dengan persediaan logistik yang masih tersedia di rumah). Pokoknya, semua pasti bisa! *Optimis :)

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Wednesday, March 30, 2016

Obat Alami yang Bersahabat untuk Bayi

Anak-anak sakit, memang adalah hal yang wajar. Bahkan para dokter (membaca dari artikel di internet) menyebutkan bahwa hingga usia 1 tahun, rata-rata anak akan mengalami sakit 8 – 12 kali pertahun dan baru kemudian turun menjadi 6-8 kali pertahun memasuki tahun kedua hidupnya. Jadi ya begitulah adanya, benar-benar sesuatu yang wajar jika anak kecil kita sering sakit sebanyak itu (karena kalau lebih mungkin ada indikasi lain). Semua itu adalah hal yang alami, yaitu karena daya tahan bayi dan anak-anak memang lebih lemah dibandingkan orang dewasa. Baiklah, berarti kita tidak perlu terlalu khawatir ya, jika anak-anak kita mengalami sakit ringan seperti batuk pilek dan diare.

Iya, mungkin seharusnya seperti itu ya, dan saya pun rasanya bukan orang yang terlalu khawatir saat anak-anak mengalami sakit ringan semacam itu. Tapi, terlepas dari kewajaran itu Bukan semata merawat anak sakit itu melelahkan. Bukan semata menggendong seharian dan semalaman yang membuat kita ingin rasa sakit itu pergi dari tubuh anak kita. Tapi, melihat dan membayangkan seorang anak kecil yang belum bisa mengeluh dan berkompromi dengan rasa sakit; yang termanifestasi dalam perilaku susah tidur, susah makan, rewel dan sejenisnya itu, tentu menerbitkan rasa iba. Kita saja, orang dewasa yang bisa batuk-batuk atau ‘sisi’ (bahasa Jawa: buang ingus) untuk mengeluarkan dahak, masih merasa batuk pilek itu sangat membuat tidak nyaman. Apalagi anak-anak, yang belum menguasai dua keterampilan itu… pasti rasanya benar-benar tidak nyaman, sementara dia belum bisa mengeluh, hingga akhirnya hanya bisa kebingungan merasakan semua itu.

Nah, lalu solusinya apa? Hmm, paling praktis tentu dibawa ke dokter dan mengkonsumsi obat yang diberikannya untuk meringankan gejala-gejala flu. Hanya meringankan, karena katanya penyebab penyakit ini adalah virus, jadi hanya imun/sistem kekebalan tubuh kitalah yang bisa melawannya. Obat, sifatnya hanya meringankan gejala-gejala yang menimbulkan rasa tidak nyaman; dimana hal ini berefek juga pada kualitas istirahat yang lebih baik, sehingga berpeluang meningkatkan ketahanan tubuh.

Thursday, March 17, 2016

Sepatu, Kejadian dan Kepribadian...

‘Sepatu’, seperti halnya jenis pakaian lainnya, pada awalnya dia hanyalah sebuah benda yang dipakai untuk menutup atau melindungi bagian tubuh tertentu; supaya tidak sakit jika berjalan dan sebagainya. Tapi, seperti halnya jenis pakaian lainnya, sepatu pun mengalami transformasi menjadi sebuah benda fashion; yang tidak hanya dipilih karena kemampuannya melindungi, tapi juga kemampuannya mempercantik sepasang kaki. Dan transformasi itu tidak berhenti sampai disitu, seperti halnya benda-benda lainnya, sepatu pun kemudian bertransformasi lebih lanjut menjadi benda yang dipilih karena ‘gengsi’; sehingga lahirlah sepatu-sepatu bermerek ‘wah’ dengan harga yang ‘aduhai’…

Hehe, stop sampai situ sajalah… Saya belum sampai ke ranah sepatu atau pakaian sebagai barang yang membawa gengsi. Asal sepatu pas, nyaman dan cantik dipakai, itu sangat cukup… apalagi kalau harganya miring, lebih bagus lagi menurut saya.


Membicarakan mengenai sepatu, seperti halnya transformasi pada diri saya, ternyata preferensi pada sebuah sepatu pun berubah, seiring pertambahan usia dan perubahan pola pikir. Dulu, semasa SD, mungkin adalah masa tersulit menemukan sepatu atau barang lainnya bagi saya. Tuntutan saya akan ‘keunikan’ itu begitu tinggi! Saat itu, saya menolak mentah-mentah sebagus apapun sepatu jika itu sama dengan milik teman saya si A, si B dan seterusnya. Ibu saya saja sampai malas mengantar saya beli sepatu. “Kowe ki mending gawe pabrik sepatu dewe kok Nian…” ujarnya. Yang artinya, “Kamu tuh mendingan bikin pabrik sepatu sendiri Nian…”, saking dongkolnya beliau saya ajak muter-muter toko, haha :D.

Wednesday, March 9, 2016

Take a Break to See the Truth and what Really Matter is

Tidur sekitar pukul 23.00 agar sebelumnya bisa menyiapkan makanan untuk dua jagoan setiap harinya. Bangun setiap pukul 05.00 untuk minimal memasak 2 menu; makanan Mahesh (13 bulan), sarapan dan bekal sekolah Ganesh (4.5 tahun). Proses masaknya sendiri, fiuh, cukup menguras fisik dan psikis karena seringkali membutuhkan ketrampilan multitasking yang luar biasa; sambil gendong Mahesh atau lirak-lirik karena dia dibiarkan mengacak-acak isi kulkas agar mau diturunkan. Iya, saya tidak punya ART yang menginap, dan membangunkan suami yang terkadang pulang tengah malam untuk saat terjadi gangguan itu, mana tega saya lakukan. Jadi, selama masih ter-handle; masak 3 menu makanan (sederhana saja), menyuapi sarapan si Kakak, memandikan 2 bocah, menyiapkan keperluan sekolah Kakak dan bersiap-siap ke kantor; itu saya lakukan sendiri. Sehingga bisa dimaklumi walau bukan pembenaran jika saya kemudian berangkat terlambat ke kantor, yang jaraknya 30 Km dan memakan waktu 1 jam perjalanan itu. Dimana itu pun menguras hati, karena rasa bersalah…

Dan kemudian, di kantor pun karena banyaknya waktu yang terpotong karena terlambat dan untuk pumping; pekerjaan harus dilakukan dengan secepat mungkin. Lupakan makan siang di luar, cukup menitip makan pada OB dan makan kilat di kantor untuk mempersingkat waktu. Agar pukul 16.00 tepat bisa segera pulang dan bertemu dengan anak-anak. Oh ya, jangan lupa, setelah menempuh perjalanan 1 jam lagi ya…

Ah, mungkin juga saya terlalu berlebihan, karena teman-teman di ibukota pasti merasakan ke-hectic-an yang berlipat. Tapi dengan ke-cemen-an saya itu, rutinitas ternyata membuat saya merasa begitu terburu-buru dan lelah; hingga kadangkala tidak cukup sabar untuk melayani pertanyaan dan kebutuhan si Kakak yang sangat kritis dan penuntut… Dan inilah bagian kedua dari ‘When Our Good Boy Gone Bad’; cerita usaha kami mengembalikan anak baik kami yang sedang bad mood berkepanjangan. Yaitu, mengambil cuti panjang :)


14 Januari 2016, akhirnya resolusi pertama di tahun 2016 terlaksana! Setelah sesungguhnya di acc sekian lama, namun tidak kunjung dilaksanakan karena beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditunda, cuti akhirnya terealisasi! Sehingga untuk 15 hari kedepan sejak saat itu, saya bisa beristirahat sejenak dari rutinitas kerja kantoran untuk mengalihkan fokus pada hal-hal yang selama ini tidak mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Ya, saya berbicara tentang Ganesha yang mood-nya benar-benar buruk saat itu. Saya berharap dengan cuti dan berkurangnya traffic kegiatan sehari-hari akan membuat saya melihat hal-hal yang selama ini terlewat dan mendapatkan insight tentang masalah penting ini. Dimana alhamdulillah hal ini terbukti benar…

Saturday, February 20, 2016

Pizza Makaroni

Sebenarnya sudah setahunan Ganesh mulai masuk ‘sekolah’, sejak Bulan Februari 2015, di kelas Kelompok Bermain kala itu. Sejak itulah ada tugas baru bagi saya, yaitu menyiapkan bekal, karena memang ada waktu makan bersama di ‘sekolah’-nya. Sudah hampir setahunan ternyata… hmm, tapi baru akhir-akhir ini saya dibuat pusing dengan urusan perbekalan ini. Karena, jika dulu saya bisa asal saja dengan menu-menu kilat seperti nasi dan telur dadar atau roti tawar dengan selai coklat; maka sekarang saya harus benar-benar berpikir bagaimana menyiapkan bekal yang mudah disantap dan peluang habisnya besar. Kenapa demikian? Hmm, agak panjang nih penjelasannya…

Jadi, pasca pindah sekolah sebulan yang lalu, Ganesh harus berangkat sejak pagi dan transit dulu di kantor saya untuk kemudian masuk siang dari pukul 10:30 hingga pukul 13:00. Lalu, sepulang sekolah pun dia harus transit lagi di kantor saya hingga pukul 16:00 saat saya pulang kantor. Nah, disitu berarti bekal Ganesh akan dimakan pada saat makan siang (sekitar pukul 12:30), maka bekal Ganesh harus cukup mengenyangkan dan bernutrisi, serta untuk efisiensi waktu maka harus bisa dihabiskannya sendiri tanpa bantuan orang dewasa lainnya. Karena jika tidak dan saya harus menyuapinya lagi, berarti waktu kerja saya kembali berkurang dan pulangnya bisa lebih sore lagi… :(

Nah, karena kerumitan itu, sejauh ini baru ada tiga menu yang memenuhi syarat di atas dan rutin menjadi bekal Ganesh (4 tahun 6 bulan) ke sekolah. Pertama adalah (tentu saja) nasi goreng kesukaannya, pasta dan yang terbaru adalah pizza makaroni.


Pizza makaroni ini sebenarnya terinspirasi dari resep bakwan makaroni yang saya temukan di internet. Tapi, karena pada percobaan pertama ternyata banyak memakan waktu untuk menggoreng satu per satu, maka saya tuang saja semua adonan ke dalam teflon kecil dan kemudian diiris-iris seperti pizza setelah matang, hehe :D. Jelas lebih hemat waktu dan bentuknya malahan lebih menarik (semoga bukan pembelaan :D). Dan berikut adalah langkah-langkah membuatnya…

Thursday, January 28, 2016

When Our Good Boy Gone Bad…

Tidak terasa, ternyata hampir setahun tidak membuat tulisan tentang Ganesha si Kakak yang sekarang berumur 4 tahun 6 bulan (terakhir menulis tentangnya di Ganesha The Big Brother). Padahal, dulu rajin sekali menulis tentang tingkah dan perkembangannya, hiks, sekarang baru tahu rasanya punya dua anak laki-laki yang aktif bukan main (we call it ‘usreg’, ‘tengil’, ‘pecicilan’, etc in a good way of course). Oh ya, dan tentu saja juga karena load pekerjaan yang sedang tidak bersahabat sehingga nyaris tidak ada waktu untuk mengerjakan hal selain ‘pekerjaan’ di kantor :(. Tapi, malam ini, spesial saya ingin menulis tentang dia, sebagaimana saya sengaja cuti 2 minggu untuknya… karena dia memang spesial… Hey boy, you’re so special for us, we love you so much… :).

OK, let’s start the story

[Disclaimer: ini cerita yang panjang (1885 kata), if you don’t have much time, bisa langsung skip ke bagian akhir untuk kesimpulannya. Happy reading :)]


Ganesha… tidak terbayang sebelumnya bahwa si bayi kecil yang lucu dan imut ini akhirnya tumbuh menjadi seorang anak berusia 4 tahun 6 bulan yang sangat lincah, penuh rasa ingin tahu, perfeksionis and so determine with what he want (baca: ngotot dengan kemauannya). Dulu, mungkin cukup mudah untuk mengarahkannya pada hal yang menurut kami benar; tapi sekarang, kami harus berusaha sangat keras untuk memberikan alasan hingga hati dan pikirannya bisa menerima dan menuruti perkataan kami… Hingga jujur, kadang kami kewalahan dan akhirnya pertengkaran pun tidak dapat dielakkan; seolah-olah Ganesha yang berusia 4 tahun 6 bulan itu adalah lawan debat yang sepadan dengan kami. Kepandaiannya berkata-kata dan berpikir seringkali mengelabui, hingga kami berbuat bodoh seperti itu. Ganesha kecil kami yang lucu, kini terlihat suka membangkang, sampai semakin sering berteriak dan menangis jika marah. Hingga bagi beberapa orang, sepertinya cukup mudah untuk melabelinya ‘nakal’. Dan kemudian menunjuk bahwa semua itu karena kurangnya perhatian kami (kedua orang-tuanya) yang sama-sama bekerja.

Yah, bisa jadi poin kedua itu benar; ada banyak kekurangan kami sebagai orang-tua yang perlu dikoreksi. Tapi, bahwa Ganesh adalah anak ‘nakal’, we don’t think so… Let me explain why, sekaligus mencari solusi permasalahan kami…

Seems like our good boy just gone bad, literallyBut really? Ah, tentu saja kami (orang-tuanya) tidak sependapat…

[SETIAP INDIVIDU ADALAH UNIK]. Menurut kami dia hanya mengalami (semacam) burnout alias kelelahan secara mental yang diwujudkannya dalam bentuk pemberontakan. Hal seperti ini memang tidak selalu ditandai dengan pemberontakan dan pembangkangan, ada juga anak yang kemudian menjadi pemurung atau mencari pelampiasan pada hal lain. Tapi, begitulah cara Ganesh sesuai dengan kepribadiannya…

Faktanya memang individual differences (keragaman individu) itu nyata adanya. Menghadapi suatu keadaan yang tidak ideal, seseorang bisa merespon dengan ketenangan tanpa terlalu mempermasalahkannya, ada juga yang kemudian justru menarik diri (bersedih)… Tapi ada juga yang berpikiran bahwa hal itu harus diubah sesuai keinginannya. Dimana pada saat tertentu (mungkin) dia masih bisa mengendalikan dan menahan keinginan itu, tapi saat dia harus menerima keadaan seperti itu terus-menerus, ada ambang dimana dia akan marah dan melakukan perlawanan.