SOCIAL MEDIA

search

Monday, January 27, 2014

Berkenalan dengan TORCH & Rumah Ramah Rubella

ToRCH memang sepertinya bukan kata yang familiar bagi banyak orang, termasuk saya sekitar 3,5 tahun yang lalu. Sebelumnya, saya hanya mengenal Toxoplasma yang seringkali diceritakan oleh orang-orang sebagai penyebab infertilitas, keguguran dan cacat pada janin. Bahkan, menurut mereka, sekali kita terkena virus ini, maka akan menetap selamanya. Hmm, OK… then and let me introduce myself, seorang gadis muda yang pada masa kanak-kanak sampai dengan remaja bersahabat baik dengan makhluk kecil, lucu dan berbulu bernama ‘kucing’, yang nota bene adalah pembawa virus ini. Wew, artinya jika saya memang sudah terkena virus ini, berarti saya seterusnya akan memiliki kemungkinan yang besar untuk mendapatkan dampak negatif darinya ya… Duh :(. Dan saat itulah, saya pun bertekad bahwa sebelum menikah harus memeriksakan diri ke dokter tentang keberadaan virus ini!

Dan kemudian, akhir bulan Juni 2010 akhirnya saya benar-benar mendatangi sebuah laboratorium klinik di Yogyakarta untuk memeriksakan adanya virus Toxo dalam tubuh saya. Hanya beberapa hari sebelum saya melaksanakan akad nikah pada tanggal 5 Juli 2010. Hari itu, saya datang ditemani adik saya dan dengan kalem saya berkata pada petugas, “Mbak saya ingin test Toxo…”. Iya, saat itu saya belum mengerti istilah ToRCH dan bahwa Toxoplasma hanyalah satu dari empat virus yang berpengaruh fatal bagi kehamilan. Baru setelah mbak petugas itu menjelaskan mengenai paket Test ToRCH yang merupakan singkatan dari Toxoplasmosis (Toxoplasma gondii), Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes simplex virus1, saya mengerti dan akhirnya mengambil paket test tersebut. Harganya? Mahal itu memang relatif, tapi bagi saya menerima lamaran mendadak dan mempersiapkan pernikahan dalam waktu singkat, uang satu juta lebih sedikit itu terasa cukup membuat keuangan semakin mepet. Dan sukses menghabiskan sisa limit kartu kredit yang sudah menipis untuk membeli keperluan lain ×_×. Tapi, sekali lagi, tanpa bermaksud hitung-hitungan, uang itu sungguh tidak sebanding dengan akibat pada janin jika kita benar-benar memiliki virus ToRCH aktif bukan?

Beberapa hari kemudian, sebagaimana waktu yang dijanjikan pihak laboratorium klinik untuk mengambil hasil test, saya pun datang kembali. Walau sudah meyakinkan diri bahwa jika pun positif terinfeksi, pasti ada cara untuk menanggulanginya, namun tidak bisa menghilangkan kegundahan hati saya. Waktu itu memang saya belum mencari informasi lebih jauh tentang ToRCH. Tahun 2010, seingat saya koneksi internet belum semudah sekarang, dimana kita tinggal memanfaatkan gadget untuk mencari informasi (atau saya yang masih belum melek teknologi ya :D).

Dan ternyata, hasil test itu menunjukkan beberapa nilai positif pada IgG Toxoplasmosis, Rubella dan Cytomegalovirus, sedangkan IgM-nya negatif. Duh, apa maksudnya ini? Baru kemarin sedikit mengetahui apa itu ToRCH, sekarang ada IgG dan IgM. Saya pun berkonsultasi dengan dokter jaga laboratorium untuk mendapatkan penjelasan mengenai hasil test saya. Dan dia pun menjelaskan bahwa IgG2 itu menandakan adanya infeksi yang pernah terjadi, tapi dia tidak bisa menjelaskan apakah ini kondisi yang aman jika saya hamil. Dia menganjurkan saya untuk berkonsultasi lebih lanjut dengan dokter kandungan.

Hasil Laboratorium Tes TORCH Saya
Diterima tiga hari sebelum akad nikah :D

Monday, January 13, 2014

Nagasari ‘Pudding Monster’

Game Pudding Monster
© ZeptoLab UK Limited
Gambar diambil disini

Pertama kali melihat game ini berasa aneh saja dengan bentuknya yang menurut saya sama sekali tidak lucu dan ditambah suaranya yang sangar. Tapi gara-gara suami penasaran, akhirnya ter-instal-lah si Pudding Monster ini di hape saya dan menjadi salah satu games kesukaan Ganesh. Baiklah, selanjutnya saya tidak akan bercerita tentang bagaimana trik supaya Ganesh tidak terpaku dengan games di hape yang memang harus diakui sangat adiktif. Tapi saya ingin bercerita tentang Nagasari, makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari tepung beras dan pisang yang saya modifikasi sedikit untuk menu sarapan Ganesh.

Sebagai wanita yang lumayan awam soal masak-memasak, saya pun mengadopsi resep Nagasari hasil googling dari justtryandtaste.com. Hanya saja saya skip beberapa bahan,(yaitu vanila dan tepung tapioka) karena tidak punya persediaan. Selain itu saya juga tidak menggunakan garam maupun gula pasir, namun diganti dengan keju dan pisang yang lebih banyak. Oh ya, untuk santan juga saya ganti dengan susu UHT, supaya lebih praktis dan sehat. Untuk kemasan sendiri saya menggunakan mangkuk stainles, karena kesulitan mencari daun pisang (apalagi pagi-pagi ya…:D). Dan keseluruhan resep Nagasari ala Mama Ganesh ini menjadi seperti ini:

Thursday, January 9, 2014

Bukan Anak Bawang (Lagi)

Ganesh Sibuk Mencari Mulut Si Sepeda

Pada suatu hari, seperti biasa ada saja hal unik yang dilakukan Ganesh. Kali ini dia sengaja memasukkan sepeda roda tiganya ke saluran air di belakang rumah, sehingga terjadilah percakapan ini:
Saya
:
“Ganesh, kok sepedanya dimasukin ke parit? Nanti rusak lho…”
Ganesh
:
“Biarin aja…”
Saya
:
“Nanti kalau sakit gimana sepedanya? Nanti nangis lho sepedanya… Kakak Anesh, sepeda sakit nih, gimana ini masuk ke parit kaya gini…” (berpura-pura menjadi sepeda).
Ganesh
:
“Mana mulutnya yang nangis?”
Saya
:
“Ada, coba cari di depan deh…” (Tidak menyangka Ganesh akan bertanya seperti itu)

Fiuhh, anak-anak memang seringkali mengejutkan. Rasanya kemarin-kemarin Ganesh masih percaya-percaya saja apa yang kami katakan. Misalnya saat memintanya minum air putih setelah makan:
Saya
:
“Ganesh, minum air putih dulu yuk…”
Ganesh
:
“Nggak jadi!” (Nggak jadi = nggak mau)
Saya
:
“Nanti kalau habis makan ga minum air putih, bisa batuk-batuk lho…”
Ganesh
:
“Uhuk… uhuk… tuh kan, batuk beneran…” (Katanya sambil pura-pura batuk dan akhirnya meminum air putihnya)

Tak terasa, Ganesh memang sudah besar. Usianya sudah 2 tahun 6 bulan pada Desember 2013 ini. Sekarang, semua tidak pernah semudah itu lagi. Sekarang kami harus lebih sabar menjelaskan segala sesuatu dengan lebih detail dan masuk akal supaya Ganesh bisa terima dan ‘takluk’. Atau bahkan, terkadang kami harus bernegosiasi dengan memberikan timbal balik yang diinginkannya agar dia mau melakukan sesuatu. Atau berbagai cara lain agar kata-kata ngeyel dan kritis seperti, “Biarin aja!” atau “Coba dulu Mama!” bisa berakhir dengan ‘perdamaian’. Rasanya, sekarang dia lebih menuntut penjelasan jika seseorang memintanya melakukan sesuatu. Jika penjelasan itu bisa diterima, maka dia akan melakukannya. Jika tidak, maka “Aku lakukan yang aku mau dengan cara yang kuinginkan!” Sesuatu yang cukup memeras otak dan emosi ternyata, karena memberikan penjelasan yang bisa diterima akal anak seusia Ganesh memang seringkali bukan sesuatu yang mudah.

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Seiring bertambahnya usia dan makin dewasa seorang anak karakter dan kepribadiannya pun tampak semakin nyata. Saya jadi ingat, dulu semasa berumur kurang dari sebulan, suami saya bilang kalau Ganesh kelihatannya cool alias anteng dan tidak banyak tingkah. Iya, memang begitulah Ganesh waktu itu, sangat tenang. Tidurnya teratur, tanpa rewel sebelumnya, apalagi nangis tengah malam seperti yang selalu saya lakukan semasa bayi dulu. Tapi lama kelamaan, ucapan suami itu benar-benar hanya menjadi kenangan lucu, karena perlahan Ganesh berubah menjadi anak yang begitu banyak tingkah dan banyak bicara. Nah dari sini sudah kentara sekali kalau anak ini adalah seorang ekstravert sejati, sama sekali berbeda dengan mamanya yang seorang introvert sejati :D

Istilah ekstravert dan introvert (ekstraversion dan introversion) sesungguhnya menunjuk pada suatu kontinum, seperti halnya ‘panas’ dan ‘dingin’ yang menunjuk pada satu karakteristik, yaitu ‘suhu’. Istilah ‘panas’ digunakan untuk menunjuk suhu yang tinggi dan sebaliknya, istilah ‘dingin’ digunakan untuk menunjuk suhu yang rendah. Menurut seorang Cattell melalui alat tes yang dikenal dengan 16PF, ekstravert dan introvert adalah kecenderungan seseorang untuk mendekati interaksi dengan orang lain atau sebaliknya menjauhinya. Bahasa simpel dan ekstrimnya sih, senang berinteraksi dengan orang lain (ekstravert) atau justru menjauhi dan lebih senang menyendiri (introvert)1.

Karakteristik ekstravert ditandai dengan serangkaian sifat hangat, suka berteman, mengungkapkan pikiran dan pendapat pada dunia luar, menyukai aktivitas, menyukai hal-hal yang menimbulkan semangat dan didominasi oleh emosi yang positif2. Kalau menurut saya, karakter ekstravert ini adalah modal besar bagi seorang anak untuk terlihat ngeyel, banyak bertanya dan banyak tingkah. Yaitu karena anak-anak ini modelnya ceplas-ceplos, apa yang dipikirkan ya diungkapkan. Tidak seperti anak-anak introvert, yang mungkin sebenarnya memiliki pemikiran sama, tetapi tidak diungkapkan. Ini juga salah satu penyebab mengapa anak yang ekstravert kemampuan bahasanya lebih berkembang.

PERKEMBANGAN KOGNISI
Ganesh dan Menara Buatannya

Selain disebabkan karena aspek kepribadian, perilaku Ganesh yang ngeyel dan kritis juga didukung oleh perkembangan penalarannya. Ganesh yang semakin bertambah usia tentu semakin dewasa dan semakin bertambah pemahamannya akan segala sesuatu. Perilaku yang menunjukkan kemampuan penalarannya misalnya sebagai berikut:
  1. Pada suatu hari, dia sedang membangun menara dengan bekas kemasan Pring*es, dimana ada beberapa kemasan yang sudah hilang tutupnya dan lebih sulit untuk disusun. Saya jelaskan padanya (dengan peragaan), “Ganesh, lihat deh… Ganesh pilihnya yang ada tutupnya, kalau ga ada susah susunnya.” Dan dia pun percaya setelah mencoba. Setelah itu, dia selalu memilih kemasan yang ada tutupnya untuk membangun menaranya.
  2. Masih pada saat membangun menara, karena sudah terlalu tinggi dan dia kesulitan meletakkan kemasan berikutnya, dia pun minta diambilkan kursi. Selain itu, dia pun minta saya untuk memegang bagian bawah menaranya supaya tidak goyang-goyang.
  3. Saat menaranya telah berdiri tinggi, dia melihat bahwa menaranya bergoyang-goyang tertiup kipas angin, dan dia pun berkata, “Cerobongnya goyang-goyang, kena angin sih…” Meskipun dia tidak diberitahu secara langsung penyebab menaranya bergoyang, tapi dia mengingat pengetahuan yang dimilikinya bahwa angin membuat daun-daun dan pohon bergoyang-goyang.
  4. Saat melihat ayam mencari makan pada saat hujan dia berkata, “Ayam, hujan… nanti sakit lho, masuk dulu sini…”
  5. Saat seorang teman mengajaknya bermain ‘kepiting’ (seperti gambar), Ganesh pun mengamati dan kemudian berkata pada saya, “Mama ajarin! Ganesh ga bisa…”
Ganesh minta diajarin kepiting model ini nih :D

Berdasarkan perilaku-perilaku yang ditunjukkan Ganesh saat ini, tampak bahwa anak lanang ini sudah mampu menggunakan pengetahuan yang didapatkannya di masa lalu untuk diterapkan di kejadian saat ini. Kalau menurut Piaget (seorang ahli yang meneliti perkembangan kognitif pada anak) sih ini disebut kemampuan menggunakan pemikiran simbolik, yang rata-rata dikuasai oleh anak sejak umur 2 tahun. Dimana kemampuan ini memungkin seorang anak untuk mampu menggunakan bahasa untuk menunjuk pada kejadian, orang atau benda yang ada di masa lalu atau di masa depan. Menggunakan pengetahuan di masa lalu dan membandingkannya dengan kejadian di masa kini atau masa depan, sehingga mencapai pengetahuan baru. Hal ini pula yang menyebabkan anak mampu berimajinasi dan mendapatkan kesimpulan yang terkadang terdengar lucu menurut logika kita. Misalnya pada saat Ganesh melihat mobil yang berkedip-kedip lampu sign-nya dan berkomentar, “Mobilnya ngantuk Mama… matanya kelip-kelip tuh…”. Pada saat itu Ganesh membandingkan pengetahuan yang dimiliki bahwa setiap kali mengantuk dia akan merasa metanya pedih dan kemudian berkedip-kedip atau mengucek matanya. Selain itu, masih banyak lagi kesimpulan lucu yang sebenarnya logis menurut versinya; seperti pada saat melihat seekor kucing mengeong-ngeong dia berkomentar, “Kucing jangan nangis, Mamanya kan lagi kerja, sebentar lagi pulang kok”, dan banyak lagi.

Meskipun, kemampuan penalaran ini belum bisa disebut sebagai logika oleh Piaget, namun saya lebih suka menyebutnya ‘logika sederhana.’ Karena kenyataannya Ganesh mulai bisa diajak memikirkan sebab akibat dan diarahkan pada perilaku yang kami inginkan, meskipun harus dengan penjelasan yang sesederhana dan sekonkret mungkin. Misalnya pada saat memintanya untuk menggosok gigi dan dia kukuh untuk tidak mau, kami pun menjelaskan mulai dari sisa makanan yang bisa tertinggal di gigi dan bisa membuat ‘cacing kecil’ datang untuk memakannya dan akhirnya membuat giginya berlubang. Masih belum berhasil, kami ajak dia ke cermin dan menunjukkan giginya yang kuning-kuning karena bekas makanan. Dan belum berhasil lagi, kami pun mencari foto anak yang giginya ompong. Baru setelah itu dia mau disikat giginya, meskipun seringkali dia masih kukuh dan berkata, “Bialin aja!” pada saat kami beritahu bahwa jika tidak gosok gigi, maka giginya akan ompong. Memang sulit, karena walaupun kami sudah berusaha menunjukkan gambaran sekonkret mungkin, toh dia belum benar-benar merasakannya ×_×. Tidak ada cara lain, kecuali terus terus dan terus menjelaskan dan terkadang yah dengan jurus negosiasi supaya dia mau disikat giginya. Don’t give up! :D

Selain, itu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada usia ini, memang ternyata anak masih sangat egosentris, dalam artian dia berpikir bahwa orang lain memiliki merasakan dan mengetahui apa yang dirasakan, diinginkan dan diketahuinya. Kalau kami, merasakan ini dalam berbagai kejadian ngotot dan ngeyelnya Ganesh untuk melakukan sesuatu, meskipun sudah dijelaskan tentang akibatnya pada orang lain. Misalnya saja saat Ganesh sedang mengamati air yang mengalir dari selang yang disebutnya sebagai air mancur, kemudian karena ember penampungan sudah penuh, dan dia ngotot agar air tidak boleh dimatikan, sehingga terjadilah percakapan ini:
Saya
:
“Ganesh, nanti kalo airnya dibuang-buang lama-lama habis lho… Kalo habis gimana? Ganesh ga bisa mandi lho, nanti badannya gatel-gatel…”
Ganesh
:
“Ga papa, bialin aja…” (So, it’s OK for him, karena memang dia berpikir kalau tidak terlalu suka mandi haha :D)
Saya
:
“Nanti kalo Dek Sakha ga bisa mandi gimana? Gatel-gatel badannya… Ganesh ga kasian ya?”
Ganesh
:
“Ga papa! Bialin aja…” (Well, dia berpikir bahwa Dek Sakha pun tidak masalah dengan tidak mandi dan gatel-gatel… wakakak :D)

Selain kejadian di atas, tentu banyak prahara-prahara lain karena pemikiran yang egosentris ini. Sebut saja, “Mama ga boleh ke kantor!” atau “Papa, matanya dibukak, ayo main!” (padahal yang diajak main sedang ngantuk berat) atau tiba-tiba menangis karena mainannya dirapiin oleh ART, dimana dia berpikir bahwa semua orang sebagaimana yang dia tahu bahwa mainannya belum boleh dirapikan, jadi tidak perlu ngomong, langsung saja nangis :D.

WHAT SHOULD WE DO
Yah, usia 2+ memang dipenuhi dengan pendapat-pendapat dan celetukan-celetukan lucu yang sangat menghibur, hihi :D. Tapi meskipun terdengar konyol dan lucu, kita harus memastikan bahwa reaksi yang kita berikan menunjukkan penghargaan pada pendapat itu, karena ini akan berpengaruh pada ‘penghargaan akan diri’ (self-esteem) yang dibentuk anak. Dimana self-esteem ini berhubungan dengan rasa percaya diri dan aspek psikologis positif lainnya, yang secara konkret akan termanifestasi dalam bentuk prestasi dan juga perasaan bahagia. Oh ya, prestasi itu bukan dibandingkan dengan anak lain ya… Tapi lebih ke optimalisasi dari bakat yang dimiliki, yaitu sang anak bisa menampilkan prestasi sebagaimana bakat yang dimilikinya.

Namun demikian, kita juga harus mengkoreksi pendapat-pendapat anak yang tidak tepat. Kalau soal mobil yang lampu sign-nya kedip-kedip dan disebutnya sedang mengantuk sih saya rasa tidak masalah, dan nantinya akan terkoreksi sendiri seiring bertambahnya pemahaman. Tapi mengenai empati yang harus terus ditanamkan dengan terus dan terus menjelaskan sudut pandang orang-lain, itu yang harus diutamakan. Katakanlah menjelaskan bahwa suatu tindakan bisa berakibat buruk untuk orang lain dan berusaha membuatnya memahami dengan membantunya berpikir bagaimana jika hal buruk itu terjadi pada dirinya. Saya lupa baca dari buku yang mana, dan saya setuju dengan pendapat bahwa empati harus dilatih sejak dini, supaya anak menjadi pribadi yang sensitif (dalam artian positif) nantinya.

Dan tentu saja semua itu harus dijelaskan dengan cara yang sesederhana dan sekonkret mungkin, mempertimbangkan kemampuan penalarannya pada usia ini. Bukan hanya untuk mengkoreksi atau memancing empati anak, tapi juga untuk memperkaya pengetahuan anak. Yaitu dengan membantunya mengerti pengetahuan-pengetahuan baru seperti nama benda, cara kerja benda atau sebab akibat. Misalnya benda berbentuk persegi panjang dengan tuts berwarna hitam dan putih yang dilihatnya bernama keyboard, tunjukkan cara bermainnya, bahwa jika tutsnya dipencet akan mengeluarkan suara. Selain itu, perkaya pengetahuan anak dengan membantu membangun korelasi antara pengetahuan-pengetahuan yang sudah dimilikinya; misalnya warna hitam dan putih, awan, air serta hujan:
Ganesh
:
“Kok hujan? Dari mana airnya?”
Saya
:
“Dari langit Ganesh… Jadi di langit sana ada awan, nah kalo awannya item itu artinya ada airnya…”
Ganesh
:
“Mama, kok hujannya berhenti? Anesh mau liat lagi…”
Saya
:
“Iya, ga bisa Ganesh… Kan airnya yang di langit sudah habis… Lihat awannya ga item lagi kan? Liat, awannya putih kan sekarang, itu artinya ga ada airnya lagi…”

Percakapan diatas sih sekedar contoh mudah untuk membangun logika anak. Kenyataannya, terkadang cukup ribet dan butuh kesabaran. Ada kalanya kita kehabisan ide dan kata-kata untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spontan terlontar dari mulutnya dengan logis. Saya jadi teringat dulu semasa kecil ibu saya seringkali ‘membohongi’ saya supaya menurut. Misalnya, yang masih terekam sampai sekarang adalah pada saat kami melintasi jembatan kecil terbuat dari bambu dan hanya diperuntukkan untuk pejalan kaki. Kemudian karena saya berjalan dengan melompat-lompat (terbayang kan horornya kalau jatuh), Ibu pun berkata, “Nian, jalannya pelan-pelan, jangan lompat-lompat, dipohon besar itu ada harimau lho… nanti dia bangun!” Duh, dasar saya anaknya suka berfantasi, langsung saja terbayang kalau di pohon itu benar-benar ada harimaunya dan saya pun jalan pelan-pelan sambil takut-takut, haha :D. Ini sih contoh saja, dan mungkin memang perlu dilakukan dalam keadaan darurat yang tidak memungkinkan untuk menjelaskan panjang lebar. Tapi poinnya adalah bahwa dalam kejadian-kejadian seperti itu, sebenarnya kita memiliki kesempatan untuk menambah pengetahuan dan merangsang kemampuan anak berlogika, jadi manfaatkan dan jangan tergoda untuk ‘berbohong’ karena malas ribet.

And then, last note dari pengalaman pribadi; dengan kemampuan penalaran anak usia 2+ yang sangat kritis namun terbatas dalam hal logika, kita harus mulai memperhitungkan kehadirannya dalam percakapan. Terkadang saya masih lupa bahwa Ganesh bukan lagi anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan enak saja membicarakannya dengan suami, seolah dia tidak hadir disana. Misalnya, “Papa, Ganesh nih kayaknya udah waktunya dikurangin minum susu UHT deh, kan udah 2,5 tahun ya… Harus kita ajarin minum air putih nih… bla-bla-bla…” tanpa mengingat bahwa Ganesh yang sedang main di samping saya saat itu bisa menangkap percakapan itu sesuai kemampuannya. Akibat konkretnya sih bisa saja anak justru ancang-ancang (mengantisipasi) untuk menolak kalau diberi air putih atau dampak psikologisnya tentu saja dia merasa tidak dilibatkan dan dianggap keberadaannya. Kasihan kan? dia sudah besar kok, sudah bisa diajak bercakap-cakap, sudah saatnya kita menganggapnya ‘ada’ dan melibatkannya secara aktif. Dengan kata lain, jika kita ingin membicarakannya seperti contoh di atas, lakukan pada saat anak tidak ada atau sudah tidur, sehingga tidak bisa mendengar pembicaraan itu.

Hal ini juga berarti kita harus menjaga sikap di depan anak ya… Kalau dulu dia tidak akan bertanya sewaktu kita berganti pakaian di sampingnya, maka sekarang kita harus berhati-hati, karena bisa saja dia tiba-tiba menyeletuk, “Mama mana ‘titit’-nya?” (Maaf contohnya agak vulgar :D). Ini pengalaman sekitar enam bulan lalu pada saat Ganesh berusia dua tahun, dan menyadarkan saya bahwa dia bukan lagi anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan sejak itu, walaupun masih sering lupa, saya berusaha menjaga sikap di depannya. Termasuk interaksi saya dengan suami; jangan berdebat di depannya atau bercanda yang ‘ambigu’, seperti saling mencubit (contoh yang lain silakan cari sendiri :D). Selain takut dia salah persepsi, saya rasa menjelaskan ‘duduk perkara’ tentang apa yang dilihatnya seringkali sulit atau memang belum mungkin dilakukan. Bayangkan saja, kita menjelaskan, “Ganesh, Mama tadi cubit Papa karena sayang, cubitnya juga pelan-pelan…” Akankah dia sepenuhnya mengerti? Lalu bagaimana jika suatu hari dia melakukan hal yang sama pada temannya dengan minus di pelan-pelan? Cukup fatal kan…

***

Semakin dewasa, kepribadian anak memang semakin terlihat. Menurut saya sendiri, kepribadian tidak bisa dikategorikan menjadi ‘baik’ atau ‘buruk’, karena semuanya bisa optimal dengan treatment yang tepat, meskipun karakteristik ekstravert memang memfasilitasi anak untuk terlihat lebih cepat menguasai ketrampilan sosial. It’s OK, segala sesuatu kan memang ada sisi positif dan negatifnya. Begitu juga dengan seorang yang cenderung introvert, yang memiliki kelebihan lebih peka dengan perasaan pribadi dan orang lain. 

Memang saat anak memasuki tahap ini (rata-rata dimulai usia 2 tahun), ada tantangan baru yang akan kita hadapi. Yaitu bagaimana menjelaskan ‘dunia’ kepada anak dengan kapasitas penalarannya, dimana disatu sisi sangat kritis, namun disisi lain memiliki keterbatasan untuk berlogika. Seringkali memang merepotkan dan memerlukan kesabaran, tapi itu harus dilakukan agar anak kita bisa berkembang dengan optimal. Dan tentu saja, selalu ingat untuk memperhitungkan keberadaan mereka bersama kita; hati-hati dalam bersikap dan berperilaku serta libatkan mereka dalam percakapan. Jangan anggap mereka tidak ada, karena tak terasa anak kita benar-benar sudah besar dan dia bukan anak bawang lagi :)

With Love,
Nian Astiningrum

Readings:
  1. Wikipedia.org. (2014). 16PF Questionnaire. http://en.wikipedia.org/wiki/16_personality_factors. Diakses tanggal 06 Januari 2014.
  2. Sigelman, C.K. & rider, E.A. (2009). Life-Span Human Development Seventh Edition. Belmont: Wadsworth.
  3. Westman, J.C. & Costello, V. (2011). The Complete Idiots Guide to Child & Adolescent Psychology. New York: Penguin Group.

Tuesday, December 31, 2013

Goodbye 2013, Welcome 2014

Wuih, tidak terasa tahun 2013 tinggal sedikit lagi berlalu, dan sebentar lagi kita sampai di tahun 2014. Bagi saya, perjalanan 1 tahun ini terasa begitu cepat, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2013 ini, meskipun tidak semuanya berjalan mulus dan semua harapan terwujud, namun saya cukup bangga dengan pencapaian tahun ini. Berbagai insight dan pemahaman baru telah didapatkan, begitu juga dengan beberapa prestasi yang tidak pernah terbayangkan bisa saya capai sebelumnya. Tahun ini, saya berhasil mendobrak berbagai batasan diri yang ada sebelumnya. Menulis dan bernyanyi, dua hal yang seumur hidup begitu saya cintai dan memuaskan pribadi, ternyata mendapatkan apresiasi di tahun 2013 ini. Maksud saya, lebih dari sebelumnya. Menjadi juara 3 XL Awards 2013 di Bulan November dan mendapatkan apresiasi dari General Manager Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan dan Kepala Divisi Pembangkitan karena performa saya di acara Go Live IMAP di Bulan Desember ini benar-benar terasa sebagai ‘sesuatu’. Bukan karena seberapa besar apresiasi ini, tapi karena saya tidak pernah membayangkan bahwa apa yang saya anggap biasa ternyata dianggap 'sesuatu' oleh orang lain. Dan semua ini tidak akan pernah terjadi tanpa suami saya yang selalu dan selalu mengingatkan, bahwa saya punya sesuatu dan harus menampilkan sesuatu itu.

Itu cerita manis tahun 2013 ini, tapi tentu juga ada cerita asam, asin dan pahitnya juga yang melengkapi. Tahun ini, saya masih gagal dalam beberapa hal. Sebut saja kebiasaan ‘motek’ kuku yang belum juga hilang sampai sekarang, kurang disiplin waktu, beberapa kali merasa terlalu emosional pada Ganesh atau pada suami (OK, it’s humanly, but still I want to be better), suka lupa telpon orang-tua, dan banyak lagi. Bismillah, semoga saya bisa memperbaikinya tahun 2014 nanti… Amiin :)

OK, di penghujung tahun 2013 ini, saya kembali bermain-main dengan warna untuk membuat pengumuman dan undangan acara Malam Pergantian Tahun 2014 di kantor, seperti ini:

Pengumuman Acara Malam Pergantian Tahun 2014
Tanggal 31 Desember 2013
Program yg digunakan: Edraw Max; Colorzilla; Microsoft Publisher
Fonts: Special Elite; Stencil; La Unica; Hornswoggled
Undangan Personal Acara Malam Pergantian Tahun 2014
Tanggal 31 Desember 2013
Program yg digunakan: Edraw Max; Colorzilla; Microsoft Publisher
Fonts: Special Elite; Stencil; La Unica; Hornswoggled

Background desain pengumuman dan undangan ini dibuat dengan program Edraw Max, sedangkan penataannya seperti biasa menggunakan Microsoft Publisher. Untuk paduan warnanya, saya menggunakan dua palet dari design-seeds sebagai berikut:

Ranunculus Hues by design-seeds
Thistle Tones by design-seeds

Saya lagi-lagi merasa puas dengan desain ini, menurut saya terlihat cukup eye-catchy. Meski jujur, saya ingin naik level tahun depan. Selama ini saya hanya bermain-main dengan Microsoft Publisher dan sedikit Edraw. Tahun depan saya ingin benar-benar mempelajari Corel Draw :D. Well, dunia desain memang selalu menarik buat saya, walaupun program-program seperti Corel Draw atau bahkan Edraw pun masih terasa rumit bagi saya. Karena itu, saya tidak punya gambaran jika minat ini bisa menjadi sesuatu yang besar. Harapan saya cuma sebatas kepuasan pribadi, yaitu bisa mewujudkan imajinasi saya menjadi desain nyata. That’s all :D.

So, what do you think? Desain saya kali ini cukup lumayan untuk ukuran seorang amatir kan :D

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Friday, December 27, 2013

Pertamax Moral Education

Membicarakan mengenai Pertamax, sebenarnya saya sudah dikenalkan bahwa bahan bakar ini lebih unggul daripada Premium oleh bapak yang seorang montir. Waktu itu, bapak berpesan untuk sebisa mungkin mengosongkan tangki bahan bakar setiap minggu untuk diisi full dengan Pertamax. Menurut beliau, cara itu akan membantu membersihkan organ-organ yang dilewati bahan bakar, sehingga kondisi motor akan lebih prima. Waktu itu, saya sih percaya saja, karena saya memang tidak terlalu tertarik dengan dunia permesinan dan bapak saya anggap cukup mumpuni dalam dunia ini.

Sekarang, saat menulis artikel ini dan googling ke beberapa situs, saya menemukan bahwa memang Pertamax maupun Pertamax Plus memiliki keunggulan dibandingkan dengan Premium sebagai sesama bahan bakar kendaraan bermesin bensin. Berikut data yang saya sarikan dari PertaminaRetail.com dan Motorku.info:

Perbandingan antara Premium, Pertamax dan Pertamax Plus
Sumber data: PertaminaRetail.com1 dan Motorku.info2

Pertamax dan Pertamax Plus memang memiliki keunggulan dibandingkan Premium. Namun demikian, meskipun lebih irit, ramah pada mesin dan ramah pada lingkungan, kedua bahan bakar ini jauh lebih tidak populer dibandingkan Premium. Sebagai gambaran, kita bisa melihat data yang diungkapkan Sales Representatif Pertamina DIY Fanda Chrismianto kepada HarianJogja.com pada 4 November 2013 lalu. Kala itu, Fanda menyebutkan bahwa market share Pertamax waktu itu hanya 2% dibandingkan Premium. Iya, 2% saja! Dan menurut saya itu jumlah itu sangat kecil dari seharusnya, dengan mengamati berapa banyak mobil-mobil baru yang bersliweran di jalan setiap hari. Para pengemudi mobil-mobil ‘bagus’ itu tentu tahu dong, kalau Premium itu adalah bahan bakar bersubsidi yang diperuntukkan khusus bagi masyarakat yang tidak mampu?

Sebenarnya ada banyak kemungkinan penyebab belum banyaknya masyarakat yang mampu secara ekonomi untuk menggunakan Pertamax. Bisa jadi, memang mereka belum mengerti mengenai filosofi penggunaan Premium dan Pertamax. Bahwa Premium sebagai bahan bakar bersubsidi diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu saja, sehingga mereka sekedar memilih Premium dengan alasan ekonomis. Dimana nota bene harga Pertamax memang jauh lebih mahal dibandingkan Premium. Jika memang ini permasalahannya, maka satu-satunya solusi adalah mengadakan sosialisasi yang lebih intensif untuk memastikan pesan ini tersampaikan sampai ke lapisan terdalam masyarakat.

Tapi sayangnya, rendahnya kesadaran untuk menggunakan Pertamax ini tampaknya tidak semuanya sekedar didasari oleh ketidaktahuan, namun sedikit banyak berhubungan dengan kepedulian dan moralitas kita. Permasalahan yang sama yang membuat banyaknya pelanggaran di negara kita; mulai dari yang kecil seperti merokok di tempat umum, hingga yang besar dan sangat merugikan, seperti korupsi. Iya, korupsi yang menempatkan Indonesia dalam urutan 114 dari 175 negara terbersih4 itu, bukankah juga merupakan salah satu bentuk dari ketidakpedulian bahwa tindakan tersebut salah dan tidak seharusnya dilakukan? Hanya saja dalam intensitas yang berbeda tentu saja. Sama halnya dengan ketidakpedulian bahwa sebagai orang yang mampu, seharusnya seseorang menggunakan Pertamax dan bukannya justru ikut mengantri Premium bersama masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Infografik: Visualiasi Corruption Perception Index 2013
Didownload dari http://cpi.transparency.org4
Moralitas dapat didefinisikan secara sederhana sebagai ‘prinsip mengenai perbedaan antara tindakan yang benar dan salah atau baik dan buruk’5. Sedangkan, secara psikologis moralitas memiliki definisi yang cukup kompleks yang terdiri dari kemampuan untuk membedakan hal yang benar dan salah, kemampuan untuk bertindak sesuai penalaran benar dan salah tersebut, serta munculnya kebanggaan saat kita melakukan hal yang baik dan rasa bersalah atau malu saat kita melakukan sebaliknya6. Atau dengan kata lain, moralitas sangat mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang. Contohnya pada saat seorang siswa tidak bisa mengerjakan soal ujian, moralitas siswa tersebutlah yang akan menentukan apakah dia akan mencontek temannya atau tetap jujur. Demikian juga, pada saat seorang pejabat membutuhkan uang, apakah dia akan melakukan upaya korupsi atau tidak.

Pembentukan moral terjadi sejak usia yang sangat dini, melalui berbagai pengalaman sosial, terakumulasi selama bertahun-tahun, sehingga anak memahami dan terjadi internalisasi nilai moral dan standard6. Karena itulah, pada masa-masa ini, kita harus mulai mengajarkan nilai-nilai kebaikan melalui interaksi sehari-hari. Misalnya, “Jangan Ganesh, itu kan punya Bina…” Dari interaksi tersebut kita mengajarkan mengenai kepemilikan dan bahwa merampas barang milik orang lain adalah sesuatu yang salah. Selanjutnya, sesuai kemampuan penalaran anak, kita dapat mengajarkan nilai-nilai yang lebih kompleks. Misalnya menghormati orang lain, mencintai sesama, kejujuran, dan sebagainya. Dimana nilai-nilai kebaikan ini dapat diajarkan dalam perilaku sehari-hari; seperti tidak menyerobot antrian, membantu teman yang sedang sakit atau mengaku bila melakukan kesalahan. Selanjutnya, setelah nilai itu tertanam dalam diri anak, maka itulah yang akan digunakannya sebagai referensi untuk bertindak dan mengambil keputusan kelak.

Kenyataan bahwa konsep benar dan salah atau moralitas adalah sesuatu yang dibentuk dari berbagai interaksi sejak usia kanak-kanak membuatnya menjadi sesuatu yang relatif. Yaitu tergantung lingkungan yang mempengaruhi seorang individu. Bisa jadi orang-tua, tetangga, teman-teman, guru, orang dewasa lain sampai dengan media cetak maupun elektronik yang dikonsumsi selama perkembangan individu tersebut. Disinilah yang kemudian membuat nilai moralitas kadangkala berbeda pada berbagai negara dan budaya. Dan itu pulalah yang menjadi tantangan bagi pemerintah untuk merubah paradigma yang sudah tercipta terhadap berbagai hal, khususnya penggunaan bahan bakar. Masyarakat kita selama ini sudah terbiasa menggunakan Premium, dan menganggap bahwa tidak ada yang salah dengan hal itu. Maka dari itu, sesungguhnya tugas kita dan pemerintah adalah bagaimana menciptakan kesadaran akan nilai moral dalam filosofi penggunaan Pertamax.

Sasaran dari pengubahan paradigma dari menggunakan Premium ke Pertamax memang para konsumen bahan bakar, yaitu masyarakat remaja dan dewasa. Untuk itu dilakukanlah kampanye penggunaan Pertamax yang dilakukan saat ini, seperti sosialisasi melalui media sosial, media cetak maupun elektronik, dan sebagainya sampai dengan kebijakan kewajiban penggunaan Pertamax untuk kendaraan BUMN. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah kampanye pada 'masyarakat kecil' (anak-anak) kita. Karena meskipun dampaknya tidak akan langsung terasa, karena mereka baru akan menjadi konsumen bahan bakar beberapa tahun kedepan; namun pada masa anak-anak inilah kita memiliki kesempatan yang besar untuk membentuk moralitas mereka. Kita memang belum tahu akan seperti apa kebijakan penggunaan bahan bakar di negara kita nantinya, bisa jadi beberapa tahun kedepan subsidi sudah sangat diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Namun, tetap tidak ada salahnya mengedukasi anak-anak sejak dini akan nilai-nilai positif dari filosofi penggunaan Pertamax sebagai berikut:
  1. Mencintai sesama. Dengan menggunakan Pertamax, kita secara tidak langsung sudah membantu supaya dana subsidi hanya diberikan pada masyarakat yang membutuhkan. Disinilah letak nilai mencintai sesama tersebut.
  2. Rela berkorban. Kita semua tentu tahu bahwa harga Pertamax jauh lebih tinggi dari Premium, kurang lebih tiga kali lipatnya. Artinya, orang yang bersedia membayar harga tersebut adalah orang yang rela berkorban untuk sesama dan pembangunan bangsa.
  3. Kecintaan pada negara. Premium yang nota bene merupakan bahan bakar bersubsidi merupakan satu bentuk bantuan pemerintah kepada masyarakat kurang mampu. Bayangkan jika, masyarakat kelas menengah keatas sudah cukup sadar untuk menggunakan Pertamax, tentu anggaran untuk keperluan ini bisa dialihkan ke sektor lain. Misalnya untuk pemerataan fasilitas pendidikan di pelosok negeri.
Lalu bagaimana treatment yang tepat untuk menanamkan nilai kebaikan penggunaan Pertamax pada anak-anak ini? Tentu kita tidak bisa memperlakukan mereka sama dengan masyarakat remaja ataupun dewasa, karena memang tingkat penalaran yang berbeda. Supaya lebih efektif, penanaman nilai kebaikan dalam penggunaan Pertamax dapat dilakukan dengan media yang menyenangkan bagi anak-anak; yaitu:
  1. Cerita pendek, cerita bergambar, komik maupun film dengan muatan nilai-nilai kebaikan dalam penggunaan Pertamax.
  2. Diskusi interaktif di sekolah-sekolah yang dibuat seringan dan semenyenangkan mungkin sehingga anak-anak tertarik dan terhibur. Bisa juga menggunakan media boneka untuk mendongeng dan sebagainya.
  3. Mengadakan lomba menulis sederhana untuk anak, misalnya dengan tema ‘Mengapa Aku Memilih Pertamax’.
Contoh Cerita Pendek untuk Menjelaskan Perbedaan Premium dan Pertamax pada Anak-Anak

Melalui cara-cara di atas, kita akan bisa sedikit demi sedikit menanamkan kesadaran pada anak-anak bahwa menggunakan Pertamax adalah sesuatu yang baik. Dampak keberhasilan penanaman nilai kebaikan dalam menggunakan Pertamax mungkin tidak berpengaruh pada pola konsumsi bahan bakar di Indonesia dalam waktu dekat. Namun hal itu akan menjadi aset yang sangat berharga di masa depan; bersama nilai kebaikan yang tertanam di dalamnya seperti mencintai sesama, rela berkorban dan kecintaan pada negara. Sehingga Indonesia akan menjadi bangsa yang jauh lebih baik dan besar dimasa depan. 

Jadi, mari kita gunakan  Pertamax dan ajarkan kebaikan untuk anak-anak kita. Better Life with Pertamax for Better Indonesia!

*tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #ApaIdemu pada http://pertamina-apaidemu.com/ ; @PertamaxInd dan Facebook Page PertamaxIND

Struk Pembelian Pertamax 15 Liter

With Love,
Nian Astiningrum

Referensi:
  1. PertaminaRetail.com. (2013). Bisnis Fuel Retail PT. Pertamina Retail: Produk. http://web.pertaminaretail.com/Profile/Business/1#tab2. Diakses tanggal 26 Desember 2013.
  2. Motorku.info. (15-02-2013). Apa sih Perbedaan Premium, Pertamax dan Pertamax Plus? http://www.motorku.info/apa-sih-perbedaan-premium-pertamax-dan-pertamax. Diakses tanggal 26 Desember 2013.
  3. HarianJogja.com. (05-11-2013). Jumlah Pengguna Pertamax Naik 20%. http://www.harianjogja.com/baca/2013/11/05/jumlah-pengguna-pertamax-naik-20-462714. Diakses tanggal 23 Desember 2013.
  4. CPI.Transparency.org. 2013. Ideographics: Visualising The Corruption Perceptions Index 2013. http://cpi.transparency.org/cpi2013/infographic/. Diakses tanggal 13 Desember 2013.
  5. OxfordDictionaries.com. 2013. Definition of Morality in English. http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/morality. Diakses tanggal 20 Desember 2013.
  6. Sigelman, C.K. & Rider, E.A. 2012. Life-Span Human Development, Seventh Edition. Canada: Wadsworth.