SOCIAL MEDIA

search

Tuesday, June 30, 2015

Belajar Menyetir Mobil Itu…


“Apa sih susahnya nyetir itu… gampangan nyetir mobil daripada motor tauk…”

Mungkin apa yang dibilang suami saya itu benar baginya, atau sebagian besar orang, tapi bukan saya :(. Bagi saya, mobil adalah sebuah kendaraan yang sulit dikendalikan; dengan ukuran dan tenaganya yang besar, serta (jangan lupakan) tuas-tuas kemudi yang kompleks (baca: setir, kopling, rem tangan, dkk.). Dan itu sebabnya, saya selalu menolak untuk belajar menyetir, selain karena memang belum ada urgensinya. Saat itu, kemampuan saya bermotor sudah lebih dari memadai untuk memfasilitasi kebutuhan mobilisasi saya; karena saat itu memang kantor, bank, pasar, midi market dan sejenisnya jaraknya tidak lebih dari 4 km. Namun, all good things come to and end (meminjam lirik lagu Nelly Furtado dan Mandy Moore), akhirnya semua kemudahan itu berakhir…

Setelah mutasi ke Lampung, jarak ke kantor melar sampai 30 km (1 jam perjalanan) dan jalanan-jalanan kampung yang sangat bersahabat dengan pengendara motor berubah menjadi jalan lintas propinsi yang dipenuhi kendaraan-kendaraan raksasa. Beberapa saat setelah pindah ke Lampung juga, kami harus mencari pengasuh yang baik dan sayang pada Ganesh dan Mahesh, yang alhamdulillah kami temukan, namun tidak bersedia untuk menginap ataupun bekerja terlalu jauh dari tempat tinggal mereka (rumah kami saat ini), sehingga opsi pindah rumah mendekati kantor saya pun kami coret. Dua hal itulah yang akhirnya membuat saya (terpaksa) harus belajar menyetir! Karena jika tidak; itu sama artinya membuat suami saya terus terlambat ke kantor karena harus mengantar saya dulu dan juga harus meninggalkan Ganesh dan Mahesh lebih lama karena untuk pulang saya harus menunggu jemputan suami. Dan ini stressfull, karena pada saat sampai di rumah kadangkala Mahesh sudah rewel ingin tidur dan Ganesh jadi terabaikan. Padahal setiap pulang, Ganesh sudah menunggu-nunggu kedatangan saya.

Lupa pernah baca quote ini dimana,
tapi saya setuju bahwa rasa takut terkadang hanyalah ilusi yang tampak nyata

Jadi, meskipun pesimis akan hasilnya, saya pun ‘menutup mata’ dan berusaha, seperti ini…
  1. Diajarin suami. Beberapa minggu sebelum cuti melahirkan habis beberapa kali suami mengajari saya menyetir. Tapi usaha ini mandeg sampai usaha menjalankan mobil dan saya semakin percaya bahwa mobil itu memang kendaraaan yang sulit dikendalikan. Kopling itu adalah benda yang menyusahkan sekali dan setir adalah alat kendali yang abstrak karena tidak jelas berapa derajat diputar akan membuat mobil belok sekian derajat. Alhasil, mau jalan saja mati mesin berkali-kali. Dan kalau pun berhasil jalan, pada saat panik merasa akan menabrak, reaksi saya adalah menginjak rem sekuat tenaga (tanpa injak kopling), sehingga (lagi-lagi) mati mesin dan mobil melompat! Stress? Iya! Hopeless? Juga iya… Sampai suami pun ikut-ikutan hopeless :'(. 
  2. Belajar di tempat kursus setir profesional. Ternyata beda lho instruksi orang yang memang biasa ngajarin nyetir! Lebih mudah dipahami dan dipraktekkan… Selain itu, karena kopling dan remnya diparalel (ada dua), tekanan mentalnya juga lebih ringan. “Ga mungkin nabrak…” paling tidak itu membuat proses belajar lebih santai daripada diajarin suami :D. Karena itu, disini saya akhirnya bisa menjalankan mobil, mengarahkan mobil dengan setir dan berhenti tanpa mati mesin! Yeay! Tapi, tetap saja sih, saat mencoba mobil sendiri masih kocar-kacir dan tidak semudah mengemudi mobil latihan, jadi artinya tetap harus membiasakan diri dengan mobil sendiri… 
  3. Belajar didampingi suami (lagi). Setelah pengetahuan tentang dasar-dasar menyetir; menjalankan mobil, pindah gigi, berhenti, jalan di jalan tanjakan, berbatu dan berkelok-kelok; sudah ada di kepala. Maka untuk membiasakan diri dan berani menyetir mobil sendiri, saya harus sering-sering membawa mobil sendiri. Nah, ini mah tugas suami, mau siapa lagi? And I called it, uji mental! Karena sepanjang jalan saya harus tahan diberi instruksi-instruksi yang kadang bagi saya membuat stress! Please note, instruktur itu sudah terlatih dan berpengalaman, jadi tidak bisa disamakan dengan suami atau siapa pun yang mengajari kita. Kalaupun ada kata-kata yang ‘gimana-gimana’, jangan dimasukkan ke hati, cukup masukkan ke otak saja. Dan tetap ingat pada tujuan utama untuk bisa menyetir. Jadi, kalaupun harus nangis saking stress-nya, ya cukup menepi dulu, setelahnya, ya jalan lagi… :D. 
  4. Ke kantor didampingi driver kantor. Suatu hari muncullah ide, mengajak driver kantor yang tinggal di dekat rumah untuk mendampingi pulang-pergi rumah – kantor setiap hari, dan ternyata dia bersedia. Jadilah selama 5 hari, saya menyetir pulang-pergi kantor bersamanya sambil belajar. Mulus? Tentu tidak semudah itu :D. Hari pertama, mobil sempat lompat karena nervous karena mobil mundur saat harus berjalan setelah berhenti di tanjakan. Lalu dag-dig-dug saat menyeberang jalan, mengambil u-turn atau berjalan lagi di lampu merah adalah makanan sehari-hari. Kopling, masih benda yang sulit saya pahami dan mati mesin itu bagaikan rutinitas. Dan setelah 5 hari, saya akhirnya menghentikan usaha ini karena mas driver ini ditugaskan dinas keluar kota. 
  5. (Finally) memberanikan diri membawa sendiri! Setelah 5 hari itu, saya pun meminta suami saya mendampingi ke kantor untuk menilai kelayakan saya membawa mobil sendiri, meskipun sebenarnya masih dag-dig-dug juga. Dan hasilnya adalah yes! Meskipun masih mati mesin beberapa kali, kecepatan maksimal 50 km/jam dan belum berani menyalip di jalan dua arah; hari berikutnya saya diijinkan berangkat sendiri. Dan rasanya perdana menyetir sendiri ke kantor itu adalah dag-dig-dug sepanjang jalan, setir basah oleh keringat, sakit perut sebelum berangkat, stress saat berhenti di tanjakan atau macet atau diklakson orang di lampu merah dkk. Tapi berbekal usaha maksimal, doa dan tekad perjalanan demi perjalanan pun saya lalui dengan selamat :). Alhamdulillah… 
Dan akhirnya, setelah 3 minggu, dag-dig-dug membawa mobil sendiri ke kantor, tulisan ‘belajar’ yang tertempel di belakang pun di lepas. Bukan karena sepenuhnya sudah ‘jago’ di segala kondisi (karena nyatanya untuk kondisi-kondisi sulit, seperti berhenti dan berjalan lagi di tanjakan masih belum lancar), tapi rasanya secara mental dan kemampuan sudah cukup memadai untuk tidak selalu minta dimaklumi oleh pengendara lain.

And now, here I am… memiliki kehidupan yang lebih manusiawi setelah bisa berangkat dan pulang sendiri ke kantor. Tidak lagi pontang-panting berangkat pagi-pagi sekali supaya suami tidak terlalu terlambat; tidak lagi tiba di rumah saat matahari terbenam saat anak mulai rewel ingin tidur. Fiuhh, akhirnya, setelah perjuangan panjang yang menegangkan, saya bisa (bukan ahli ya…) juga menyetir :).

Karakter Gator diambil dari sini

And at last… saran saya untuk teman-teman senasib yang merasa belajar menyetir itu sesuatu yang sangat sulit dan bahkan menakutkan; just remember that, fear is in your mind… Dimana sesungguhnya dia tidak perlu ditaklukkan, tapi diajak bersahabat dalam artian kita bersedia menerima rasa takut sebagai konsekuensi dari suatu usaha kita. Kalau katanya Gator dalam film Thomas and Friends: Tale of the Brave, “Being brave isn’t the same as not feeling scared, being brave is about what you do even when you do feel scared.” Jadi, kalau memang ingin bisa, ya go ahead, meskipun dengan rasa takut di hati kita. Percaya deh, pelan-pelan rasa itu akan hilang semakin sering kita bersamanya, meskipun pada awalnya harapan itu terasa kecil sekali.

If you really want something, just take the risk (of being scared) so you got the chance to get it…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

Friday, June 12, 2015

Mahesha’s 4th Month: The Very Sociable Mahesha!

Tanggal 18 Mei 2015 lalu (hampir 2 minggu lalu), Mahesha tepat berusia 4 bulan! Yeay! Senang itu pasti, karena semakin bertambah usianya, berarti semakin bisa diajak jalan-jalan anaknya, hehe :D. Senang, salah satunya juga karena sehari sebelum usianya tepat 4 bulan, akhirnya Mahesh bisa tengkurap. Setelah beberapa hari sebelumnya sempat bertanya-tanya, kenapa si kecil tembem ini belum juga menunjukkan tanda-tanda belajar tengkurap, yang notabene adalah salah satu milestone perkembangan bayi 4 bulan. Iya, tepat sehari sebelum usianya 4 bulan, tanpa ada tanda-tanda belajar, mendadak dia tengkurap begitu saja! Wuah, leganya Le… Kamu ternyata pengen bikin kejutan buat Mama sama Papa ya :*

Mahesha Si Pantang Menyerah :D

Dan selain tengkurap, ada perkembangan lain yang membuat bermain bersama si kecil tembem ini lebih seru! Yes, sejak sebulan ke belakang (3 s/d 4 bulan) rasanya ‘antena’ Mahesh menjadi semakin tinggi sehingga mampu menangkap berbagai ‘sinyal’ yang ada di sekitarnya, sekaligus memberikan respon dengan caranya sendiri… dan ini jelas membuatnya semakin lucu! :D.

Jika sebelumnya paling Mahesh senyum jika ada yang mengajaknya berinteraksi (misal tersenyum dan mengajak ngobrol); tapi sekarang, dia bisa tertawa terkekeh-kekeh bahkan memalingkan wajah (seperti mengajak bercanda). Jika dulu, kosakata bayi Mahesha hanya teriakan ‘ang!’ dan menangis untuk semua maksudnya, maka sekarang dia bisa membuat berbagai bunyi yang lebih variatif, termasuk bermain ludah :P. Dan dengan kemampuan barunya mengekspresikan perasaan dan keinginannya, praktis Mahesha jadi lebih jarang menangis, karena dia punya cara lain untuk ‘berbicara’. Misalnya saja memonyongkan bibir sambil meluruskan kaki dan menegangkan tangannya plus mendengus, itu artinya dia bosan dan ingin segera diangkat. Atau kalau mau minta ‘nenen’ dia akan bergumam pelan (seperti merengek) sambil memandang saya dan menggerakkan kaki dan tangannya. Well, setelah 4 bulan, Mahesha kini sudah mulai beranjak dewasa, lebih sadar akan lingkungannya dan memberikan respon yang lebih ‘berarti’.