SOCIAL MEDIA

search

Monday, February 18, 2019

Dino #1: Pentingnya Mengobrol dengan Anak

Halo teman-teman… Selamat datang di seri fiksi pertama saya… Disini, saya akan bercerita sebuah kisah sehari-hari yang terinspirasi kejadian nyata dengan seedikit didramatisir agar lebih seru tentunya. 

Adapun mengapa saya menulis cerita ini adalah untuk dapat menuliskan pelajaran maupun insight yang terkandung di dalamnya, namun tetap menjaga privasi siapapun.

Happy reading


***

Beberapa waktu yang lalu… (lagi) Indah dipanggil ke sekolah karena ada masalah dengan anaknya, Dino. Bukan dipanggil dengan surat atau gimana untuk datang sih, tapi pas Indah jemput Dino, kemudian dia diminta untuk masuk ke sekolah.


Dipanggil seperti ini untuk kesekian kali, hati Indah sudah tidak karuan rasanya, "Ya Allah ada apa lagi dengan Dino…"

Dan ternyata, (lagi) kali ini Dino melukai temannya, seperti kejadian sebelumnya, dia mencakar temannya. Kali ini, sungguh Indah tidak bisa tenang lagi, hatinya sudah kacau balau rasanya. Apalagi menemukan Dino yang ternyata sedang dalam keadaan marah sekali. Dia hanya diam, menolak untuk bicara, atau pun jika berbicara dia hanya menjawab asal, sama sekali tidak nyambung dengan apa yang ditanyakan Indah atau gurunya.


Ya Tuhan, sedetik kemudian melihatnya, Indah merasa bahwa anaknya sedang menghadapi sesuatu yang besar hingga dia semarah ini. Indah berusaha memeluknya, berbisik, "Dino, Mama ga marah… kita pulang yuk…" Dan dia bahkan menolak pulang…

Dino menolak saat Indah berusaha mendekatinya, dia menghindar dengan berjalan di sepanjang lorong sekolah. Bahkan, beberapa kali, dia berontak saat Indah berusaha memegang tangannya… Indah benar-benar terpukul…

***

Dari gurunya, Indah mendapat informasi bahwa pada saat kegiatan ekstrakurikuler, Dino sempat beberapa kali ditegur pembimbingnya di depan kelas karena keusilannya dan sempat bertengkar dengan siswa lain. Tanpa menyalahkan siapa pun, disini Indah menggarisbawahi 'ditegur di kelas', sesuatu yang memang tidak disukai oleh Dino. Menegur Dino, atau menurutnya anak-anak pada umumnya, lebih baik dilakukan secara personal, atau minimal dengan suara yang kecil supaya tidak menjadi perhatian anak lain.

Namun, Indah pun tidak menyalahkan kejadian ini, hanya menganggapnya sebagai pemicu secara netral. Indah juga sadar kok, lingkungan di luar keluarga adalah sesuatu yang tidak mungkin diubah, so, yes, dia dan suaminya sebagai orang-tua bertanggung-jawab penuh menyiapkan anak-anak untuk beradaptasi.

Setelah kejadian itu, Dino hanya diam karena sangat marah. Dan selanjutnya, dia mencakar temannya yang menurut gurunya mendekati Dino dan bertanya, "Dino kenapa?"

Dan tanpa bermaksud defensif atau membenarkan, Indah pun bisa memahami kenapa Dino melakukan itu. Terkadang, sebagai orang dewasa pun dia melampiaskan emosi pada objek yang salah… And that's what happen to him

***

Beberapa saat membujuknya, alhamdulillah, akhirnya Dino mau pulang bersamanya…

Sepanjang jalan, di dalam mobil, Indah tidak berusaha bertanya apa yang terjadi atau apa pun. Mereka hanya diam hampir sepanjang jalan, sampai mendekati rumah, Indah bertanya kepada Dino, "Dino, kemarin ngajakin ke *ndomaret, jadi enggak?" Dan dia jawab, 'iya', jadi mampir lah mereka ke *ndomaret dekat rumah.

Disana Dino memilih beberapa snack, dan kemudian pada saat hendak pulang, melihat ada tukang balon, dia bertanya, "Mama, Dino boleh beli balon enggak?" And I said, 'yes', jadi mereka pun membeli dua balon, satu untuknya dan satu untuk adiknya.

Dia kemudian tampak ceria kembali… padahal, kurang dari sejam yang lalu saya melihatnya begitu marah, hingga sulit mengendalikan dirinya. Dari sana, kemudian saya menduga bahwa Dino sesungguhnya sedang merasa tertekan atau stress, hingga mudah tersulut amarahnya.

Stress-nya kenapa? Indah menduga salah satunya karena beberapa hari terakhir ini memang dia dan suaminya kurang memperhatian keinginannya. Dia sempat meminta jalan-jalan pas libur, tidak mereka tidak menurutinya karena sedang tukang memperbaiki rumah. Begitu juga pada saat Dino mengajak ke *ndomaret, lagi-lagi mereka tepis begitu saja. Pun di rumah, Indah maupun suaminya tidak terlalu meladeninya karena sedang sibuk ngurusin perbaikan rumah tadi.

Hal sepele sih mungkin buat orang dewasa, tapi kemudian Indah ingat bahwa Dino hanyalah anak kecil. Setelah lima hari penuh sekolah, mungkin dia jenuh, dan kemudian orang-tuanya tidak membantunya untuk melepaskan rasa penat itu. Mungkin, sebenarnya pun dia memendam marah pada orang-tuanya karena kejadian itu, who knows, ini jadi PR Indah malam ini, karena dia masih harus kembali ke kantor untuk bekerja.

Tapi, siang itu saat Indah meninggalkannya, Dino sudah kembali menjadi anak yang ceria… tanpa tersisa sedikit pun amarahnya yang membuat hati Indah kacau balau tadi…

***

Malamnya, setelah sejak sore Indah berusaha mendengar dan merespon Dino dengan lebih baik, sembari memijitnya sebelum tidur, saya mengajaknya mengobrol…

Indah: "Dino, Mama mau ngomong nih sama Dino… boleh kan?"

Dino: "Ngomong apa?"

Dan kemudian Indah bertanya tentang kejadian di kelas ekstrakurikuler…

Indah: "Tadi, Dino marah banget kanapa sih?"

Dino: "Kakak Rio…" katanya sambil hampir menangis. "Tadi Dino dilempar tempat pensil sama Kakak Rio…"

Indah: "Lalu setelah Dino dilempar, Dino gimana?"

Dino: "Ya Dino lempar lagi ke Kakak Rio… Terus Kakak Rio lempar lagi ke Dino…" 

Indah: "Emang kenapa Kakak Rio lempar Dino pake kotak pensil?"

Dino: "Ga tauk!"

Indah: "Dino, Mama nanya ini karena Mama sayang sama Dino lho… Mama enggak marah kok…" Kemudian Intan berhenti sejenak, dan kembali bertanya, "Emang Dino ngomong jorok ke Kakak Rio ya?"

Dino: "Tapi kan 'bauk' itu ga jorok Mama… Kan bisa bau wangi, bau makanan atau bau apa…" 

Dino berusaha menjelaskan… Dan yang Indah tangkap disini adalah Rio merasa tersinggung karena Dino mengatakan sesuatu yang tidak sepantasnya, sementara Dino merasa tidak bersalah dengan apa yang dikatakannya…

Kemudian, Indah pun melanjutkan pertanyaan saya tentang kejadian dengan pembimbing ekstrakurikulernya dan juga dengan teman yang dicakarnya. Namun, tidak banyak yang Indah dapatkan dari sana. Indah mendapat kesan bahwa kejadian yang membuat Dino marah adalah kejadian dengan Rio itu… Mungkin Dino berpendapat, dari kejadian itulah kemudian rentetan masalah menyerangnya…

Kemudian, Indah pun berniat menutup pembicaraan kami…

Indah: "Dino… Dino ini kan anak baik…"

Belum selesai Indah bicara, Dino memotong kalimatnya…

Dino: "Dino kan bukan anak baik Mama…" katanya hampir menangis. "Dino juga ga pinter…" lanjutnya sambil membenamkan wajahnya ke bantal.

Indah: "Eh, siapa bilang Dino itu bukan anak baik? Dino itu anak baik kok… cuma Dino belum bisa mengendalikan marahnya aja… Nanti kita sama-sama belajar mengendalikan marah ya Kak…"

Sejenak Indah diam dan berkata lagi, "Dino tau ga? Pinternya orang itu beda-beda lho… Ada yang pinternya musik, ada yang pinternya bahasa… macem-macem… Dan menurut Mama, Kakak itu pinter musik, kalau nyanyi nadanya pas… ga semua orang bisa begitu lho… Dino juga jago pelajaran Science, Math sama English… Siapa bilang Dino itu ga pinter…"

***

Indah cukup shock dengan obrolan malam itu… Indah menemukan beberapa hal yang tidak disangka sebelumnya. Dino si anak usia 7.5 tahun yang sepertinya baru kemarin masuk TK ini sekarang sudah kelas 2 SD dan punya masalah semacam ini!

Dino ternyata selama ini punya masalah dengan temannya yang mengganjal di hatinya, juga merasa dirinya BUKAN ANAK BAIK dan TIDAK PINTAR?! Dimana sepanjang ingatannya, di bangku SMP dia baru punya masalah macam ini. Ini lho, anak umur 7.5 tahun, baru duduk di bangku kelas 2 SD…

Tapi, kemudian Indah tersadar, bahwa mungkin dia kurang intens mengajak Dino yang beranjak besar mengobrol. Selama ini, obrolan mereka ya seadanya saja, datar-datar dan dangkal-dangkal saja; semacam nanya di sekolah ngapain, dan sebangsanya. Sama sekali tidak ada usaha untuk menggali lebih dalam untuk tahu cerita itu lebih dalam dan juga perasaan serta emosi yang dialami Dino.
Disini Indah pun tersadar, pemikirannya bahwa semakin anak dewasa tanggung-jawab pengasuhannya sebagai orang-tua akan berkurang itu SALAH. Justru dengan semakin besar anak, maka permasalahannya pun akan semakin kompleks. Dan untuk itu, sebagai orang-tua dia harus meluangkan waktu lebih banyak dan berkualitas untuk memahami mereka.
***

Selanjutnya, berdasarkan kisah Dino ini, menurut saya ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengobrol lebih intensif dengan anak:

Bangun kedekatan dengan anak!
Maksudnya dekat secara emosional ya… Caranya banyak… ya dengan banyak ngobrol, main bareng, memperhatikan kebutuhannya (fisik dan psikis), dan sebagainya. Ini tentu bukan hal yang instan, perlu waktu untuk menjadi sahabat anak, anak percaya dengan kita, dan kemudian terbuka.

Cari waktu yang santai dan personal! 
Misalnya pas makan berdua, atau kalau saya paling senang dengan waktu menjelang tidur. Jadi, seringkali kan anaknya minta dipijetin, nah, pas pijet itu kemudian saya sambil cerita ngalor ngidul tentang berbagai hal, termasuk menggali informasi secara lebih mendalam.

Be less judgemental!
Cerita anak itu pada umumnya ya lite-lite aja, bukan sesuatu yang berat; misalnya yang marahan sama temennya lah, dimarahin sama gurunya lah, dan sebagainya.  Tapi, jangan sampai kita menjadi judgemental misalnya dengan bilang, "Ah, Dino sih, masa gitu aja marah sama temennya…" atau "Kaya gitu aja kok dipikirin…" Big no-no! Dengan berkomentar seperti itu, anak akan merasa tidak dipahami, sehingga malas bercerita kepada kita.

Be curious dan take them seriously
Ini berkaitan dengan poin di atas juga… Jadi, selama mengobrol dengan anak, kita harus memperhatikan setiap kata yang diucapkan dan bahasa tubuhnya. Kita juga harus selalu penasaran dengan cerita-cerita anak, mencoba menggali lebih dalam dari apa yang dikatakannya. Misalnya, pada saat anak cerita kalau pas main lompat tali, talinya diambil temannya. Kemudian kita bertanya, "Lalu Dino gimana pas diambil talinya? Marah enggak? Terus temannya gimana?" dan seterusnya, supaya kita mendapatkan informasi yang lengkap mengenai cerita anak, termasuk perasaan dan emosi yang dialaminya.

Sadari bahwa seringkali anak belum memahami perasaan dan motifnya sendiri!
Maksudnya begini, ada kalanya, anak itu tau apa yang dirasakannya atau kenapa mereka melakukan sesuatu. Jadi, jika mereka menjawab, "Tidak tahu…" itu belum tentu karena mereka malas menjawab. Tapi, bisa jadi karena memang mereka tidak tahu. So, tugas kita adalah bertanya secara detail kejadian yang dialami dengan bahasa yang sederhana.

Misalnya, pada saat Dino ditanya Indah kenapa mencakar temannya (Edo) dan dia bilang tidak tahu, maka kemudian Intan dapat bertanya lebih lanjut:

"Tadi, sebelumnya, Edo lagi ngapain sama Kakak?"

"Kakak lagi kesel ya…"

"Kakak ga suka ditanyain?"

Dst.

Sehingga kita kemudian dapat menyimpulkan apa yang sebenarnya menyebabkan anak melakukan suatu tindakan dan perasaan yang dialaminya.

Tutup dengan kesimpulan berupa insight yang menguatkan mereka! 
Yup, ini bagian yang tidak kalah penting, karena ada kalanya anak-anak dengan perkembangan kemampuan kognitifnya yang belum matang tidak mampu mencerna permasalahan yang terjadi ataupun mengambil pelajaran dari suatu kejadian. Jadi, akan sangat membantu jika kita memberikan kesimpulan dan juga insight (pencerahan) agar mereka menyadari makna dari kejadian tertentu. Misalnya…

"Dino, jadi yang Kakak rasain tadi namanya marah… Dino marah karena lagi kesel, eh, malah ditanyain sama temennya…"

"Marah itu ga salah kok Kakak, setiap orang bisa mengalami yang namanya marah… Tapi, cara mengeluarkan rasa marah itu yang harus kita jaga… Kita ga boleh terus nyakar temen kita karena lagi marah atau kesal…"

"Kalau memang kita lagi marah banget, kita bisa kurangin marah misalnya dengan minum air… supaya marahnya sedikit mereda…"

Dst.

***

Yah, kurang lebih seperti itu insight dan sedikit tips yang dapat saya bagikan pada teman-teman semua. Tentu bukan tips yang sempurna ya, karena ini berdasarkan pengalaman pribadi semata. So, jika teman-teman ada yang ingin menambahkan atau sekedar sharing juga, silakan tulis di kolom komentar ya…
Meskipun ada banyak teori parenting tentang membesarkan anak yang baik, sesungguhnya tidak ada yang memberikan jaminan bahwa teori tersebut adalah yang terbaik bukan? Apalagi berlaku pada semua kasus… So, kepekaan kita sebagai orang tua terhadap sinyal-sinyal yang ditunjukkan anak, dan keterbukaan untuk selalu belajar rasanya adalah hal yang paling penting dalam hal ini.
So, tetap semangat ya… Bismillah…

With Love,
Nian Astiningrum
-end-

No comments :

Post a Comment

Hai! Terima-kasih sudah membaca..
Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan disini atau silakan DM IG @nianastiningrum for fastest response ya ;)